"Nduk, bangun! Nduk! Nduk Risna!" panggil Mbok Darmi seraya mengoleskan minyak angin pada bagian bawah hidung Risna.
Perempuan itu mengerjapkan kelopak matanya kemudian terbangun. Setelah sadar, ia melihat ke sekeliling dan terkejut ketika pemandangan hutan yang masih cukup rindang menyapa indra penglihatannya.
"Mbok, kita ...?"
"Tenang dulu, kita masih belum sampai di kota. Sampean dan keluarga baru saja mengalami kecelakaan," terang Mbok Darmi membuat Risna terkejut setengah mati.
"Kecelakaan, Mbok?" Risna terduduk di pinggir jalan dengan alas seadanya. Kemudian mengamati sekitar dan begitu syok ketika mendapati mobil yang ia tumpangi sudah ringsek menabrak pohon. Bagian kap mesin mobil sudah terbuka dan diselubungi asap serta kaca depannya juga retak parah. "Terus yang lainnya gimana, Mbok?"
"Tenang, Nduk, tenang. Pak Hasnan cuma luka ringan di bagian kepala sama kakinya. Den Satria tadi sempat pingsan sebentar, tapi sudah baikan. Malah sekarang ikut sama Mang Jajang nyari sinyal buat manggil tukang derek."
Risna menghembuskan napas lega, lantas meraba keningnya karena merasa sedikit pusing. Rupanya, sudah ada perban kecil di bagian pelipis kiri, rasa pusing itu pasti bersumber dari sana. Ketika ia memeriksa bagian tubuh lainnya, ternyata tidak ada luka serius yang ia alami, mungkin hanya memar di beberapa bagian. Syukurlah, sekarang ia sadar betapa pentingnya memakai sabuk pengaman saat berkendara. Karena entah akan seberapa banyak luka yang ia derita jika tidak menggunakannya, mengingat kecelakaan yang ia alami cukup parah.
"Mbok, saya lupa sesuatu. Anak itu ... gimana keadaannya?" tanya Risna setelah cukup lama diam.
Mimik wajah Mbok Darmi berubah dingin. "Anak itu baik-baik saja, Nduk. Nggak ada luka sekecil apapun di badannya." Perempuan setengah baya itu menatap Risna dengan seksama. "Sekarang opo sampean nggak merasa aneh? Semua orang luka-luka kecuali dia. Waktu Mang Jajang liat ke jok belakang, dia masing anteng di posisinya, seperti nggak terpengaruh sama sekali. Padahal tadi, cuma dia yang nggak pakai sabuk pengaman."
Risna terkesiap beberapa saat. "Mungkin cuma kebetulan, Mbok. Anak itu beruntung."
"Beruntung kok aneh. Mbok malah mikir kalau kecelakaan ini ulah si anak setan itu. Sampean sial karena mengadopsi anak itu."
Risna tergugu. Karena jujur ia juga merasa aneh. Tapi ... apa iya anak sekecil itu mampu membuat kecelakaan yang begitu besar? Kenapa rasanya mustahil sekali?
"Sudah siuman kamu, Ris?" Tiba-tiba Hasnan muncul dari arah belakang dengan terpincang-pincang. Kepalanya yang semula baik-baik saja kini sudah terlilit kain perban untuk pertolongan pertama.
Risna mengangguk pelan.
"Untung kita pakai mobil yang mahal. Kalau nggak bisa kena luka lebih parah kita." Hasnan duduk di sebelah Risna setelah menyerahkan kotak P3K kepada Mbok Darmi.
Tak berapa lama, Satria dan Mang Jajang juga menampakkan batang hidungnya. Supir di keluarga Hasnan itu langsung memeriksa keadaan mobil yang masih menempel pada batang pohon, berharap ia tahu alasan dibalik kecelakaan ini. Kebetulan, ia sedikit mengerti soal mesin dan sebagainya. Sementara Satri memilih duduk di sebelah kedua orangtuanya.
"Udah berhasil nelpon, Sat?" tanya Hasnan sambil mengamati wajah anaknya yang masih pucat.
Satria hanya mengangguk.
Hasnan membuang napasnya kasar. "Aneh banget. Padahal sebelum berangkat tadi, aku udah periksa semuanya. Nggak ada yang bermasalah. Tapi kenapa tadi tiba-tiba remnya blong, ya?"
"Kamu lupa kali, Mas?" Risna menanggapi.
"Nggak mungkin. Daya ingat Mas ini masih baik. Kamu lupa kalau Mas sering makan makanan kualitas import? Nggak mungkin lah Mas lupa."
Risna terdiam, lantas melirik ke arah anak perempuan yang sejak tadi terus menatapnya dengan tajam. Bulu kuduknya tiba-tiba merinding. Hingga perhatiannya teralihkan saat Mang Jajang akhirnya datang menghampiri mereka.
"Gimana, Mang? Remnya blong 'kan?" Hasnan bertanya.
Kening laki-laki bertubuh kerempeng itu tampak bergelombang. "Maaf atuh, Pak, sepertinya Bapak salah. Mobilnya nggak ada kendala. Remnya juga bisa digunain."
"Masa, sih, Mang? Salah kali. Soalnya tadi saya yakin banget kalau remnya blong." Hasnan berjengit heran.
"Yeee, kalau Bapak nggak percaya, sok atuh dilihat."
Ayah satu anak itu bangun dari duduknya dan menyusul Mang Jajang memeriksa mobil. Aneh sekali jika perkataan supirnya itu benar. Padahal ia yakin kalau rem mobil tidak berfungsi sebelum kecelakaan itu terjadi.
Hasnan mulai memeriksa kondisi mobil dengan teliti. Mang Jajang yang berdiri di belakangnya hanya celingukan sambil sesekali membantu Hasnan. Hingga akhirnya, Hasnan terkejut setengah mati ketika meneliti bagian rem. Tidak ada yang rusak. Tidak ada kabel yang putus. Lalu bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi?
Menjelang matahari tenggelam, Risna dan keluarganya baru sampai ke rumah. Seusai makan malam, mereka berkumpul di ruang tengah untuk membicarakan sesuatu. Tak lupa, anak perempuan dengan tatapan seram itu juga ikut bergabung bersama mereka."Karena kalian semua sudah berkumpul di sini, aku mau ngasih tahu hal penting." Risna menggandeng tangan anak perempuan yang duduk di sebelahnya. Kedua sudut bibirnya selalu merekah, melambangkan hatinya yang sedang berbunga-bunga meskipun baru saja tertimpa musibah kecelakaan. "Aku sama Mas Hasnan sudah sepakat, ingin mengadopsi anak perempuan ini dan memberinya nama ... Narnia.""Narnia?" Semua orang serempak bertanya.Mbok Darmi dan Mang Jajang saling tatap. Risna ini, sepertinya sudah terkena pengaruh anak setan sehingga keanehan apapun yang menimpanya hanya dianggap sebuah kebetulan."Tolong sayangi Narnia seperti kalian menyayangi anggota keluar
"Ya Allah Gusti! Sampean makan daging mentah?!"Mbok Darmi terkejut setengah mati sampai membanting cangkir kopi yang hendak ia berikan pada Hasnan. Bagaimana tidak, saat tak sengaja melihat pintu gudang yang terbuka, ia berniat untuk menutupnya kembali. Namun, belum sempat niatnya itu terlaksana, bayangan seorang anak perempuan yang tengah menyantap daging ayam mentah justru mengejutkannya.Kini Narnia sang tersangka, malah tetap asik mengunyah tanpa memedulikan kehadiran orang lain dalam ruangan tersebut. Ia begitu rakus seperti orang kelaparan meskipun yang ia konsumsi bukanlah daging matang yang telah diberi bumbu.Dari arah lain, datang Risna dan Satria yang langsung memasang wajah jijik saat melihat kelakuan Narnia."Kamu kenapa makan daging mentah, Nak? Ayo, muntahkan. Nanti kamu sakit perut." Risna segera menarik anak perempuan itu dan membuang sisa daging yang sudah tinggal separuh. Narnia langsung merengut saat santapanny
Pintu depan berderit pelan. Sosok remaja tanggung menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Gelap. Suasana sunyi. Sepertinya semua orang sudah memasuki alam mimpi. Ia masuk perlahan-lahan, menahan langkah demi langkah agar tak menimbulkan suara yang dapat membuat semua orang terbangun.Hampir berhasil menjalan misi, satu langkah lagi ia akan sampai ke kamar tanpa ketahuan. Padahal ia sudah sangat yakin tidak akan ada orang yang memergokinya. Tapi tiba-tiba suara seseorang mengalun tegas dari balik kegelapan."Apa sekarang anak kelas satu SMP juga ada jam lembur?"Cklek!Semua lampu menyala terang. Kegelapan yang menyembunyikan tubuhnya kini sudah tidak ada lagi. Remaja tanggung itu celingukan mencari sumber suara dan terkejut setengah mati saat menjumpai semua orang yang sudah berkumpul untuk menanti kepulangannya. Tak ada keramahan, masing-masing mereka memasang wajah serius.
Seorang wanita berjas putih berdiri di sisi ranjang sambil mengalungkan stetoskop ke lehernya. Setelah diminta memeriksa keadaan Risna ia tersenyum ke arah Hasnan yang tampaknya sangat mencemaskan sang istri."Ini bukan kabar buruk, Pak Hasnan. Jangan terlalu khawatir."Hasnan mengusap lembut surai istrinya lantas bertanya, "Memangnya istri saya kenapa? Kenapa dia tiba-tiba pingsan, Dok?"Wanita itu lagi-lagi tersenyum. Sambil menyiapkan resep yang harus ditebus, ia mulai menjelaskan keadaan Risna."Istri Pak Hasnan itu ... sedang hamil muda. Usia kandungannya baru satu bulan." Senyumnya kian merekah.Risna dan Hasnan terdiam beberapa detik kemudian saling pandang. "Hamil?" ucapnya berbarengan."Iya. Selamat menanti kehadiran anggota keluarga baru, ya, Pak, Bu. Saya harap kalian menjaga kandungannya dengan baik. Kalian pasti tahu kalau masa-masa tiga bulan pertama itu cukup rentan," jelas wanita itu setelah meny
Anak laki-laki itu berlari tak tentu arah. Menembus gelapnya malam tanpa penerangan yang memadai. Mungkin sesekali, jalanan akan berubah terang ketika kendaraan besar melintas di sisi kirinya."Ayah udah nggak mau ngurusin anak berandalan kayak kamu. Pergi dan jangan pernah balik lagi buat selama-lamanya!" Perkataan Hasnan kembali terngiang dalam benak Satria. Tak pernah ia sangka, ayahnya akan tega berkata seperti itu. Sejak beberapa hari yang lalu, ia memang sudah merasakan kasih sayang dari orangtuanya berkurang. Itu semua terjadi karena kehadiran Narnia. Anak perempuan itu telah merebut semuanya dari Satria. Ia membencinya.Berjam-jam lamanya Satria berjalan di pinggir trotoar. Hingga tiba-tiba suara gaduh terdengar dari arah belakang. Satria berhenti sejenak."Woi, Bro! Itu anak kecil yang tadi gaya-gayaan nyerang kita, tuh. Lo liat nggak?"Satria lant
Risna mendekati sosok anak laki-laki yang terbaring di atas tandu perlahan-lahan. Beberapa kali ia memejamkan mata lantaran tak sanggup melihat keadaan korban kecelakaan yang begitu mengenaskan. Sebagian wajahnya hancur, bahkan isi kepalanya terburai begitu saja dengan darah yang terus mengalir. Satu bola matanya nyaris keluar, sementara bagian belakang kepalanya sudah menghilang entah kemana. Mungkin hancur saat kendaraan tadi melindasnya. Wajah sang korban sulit dikenali, yang menjadi pengenal hanyalah barang-barang milik korban yang sampai saat ini melekat di tubuhnya. Korban memakai seragam SMP lengkap dengan sepatu. Sementara di area kecelakaan itu terjadi, warga menemukan sebuah tas yang tergeletak di pinggir jalan, diperkirakan tas itu juga milik korban.Tubuh Risna mendadak kaku, hatinya bergetar, dan jantungnya seperti ingin meledak saat itu juga. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia lihat adalah salah. Ibu mana yang sanggup menyaksikan putra
"Ris, tolong angkatin telpon Mas sebentar! Mas masih mandi!" teriak Hasnan kepada Risna yang hingga saat ini masih berdiri di samping jendela dengan tatapan kosong. Risna hanya menoleh sekilas, tak beranjak sama sekali. Seolah bisu, ia mengabaikan teriakan suaminya dari dalam kamar mandi saat benda pipih di atas nakas terus berdering. "Ris, kamu masih di sana 'kan? Tolong angkatin telpon Mas sebentar!"Perempuan itu masih bergeming.Akhirnya, beberapa saat kemudian Hasnan keluar dari kamar mandi dengan wajah kesal. Ia hanya mengenakan lilitan handuk sebatas pinggang lantas berbicara pada Risna, "Kok, nggak diangkat, Ris? Kasihan yang nelpon. Siapa tahu penting." Masih tak ada jawaban.Hasnan membuang napasnya kasar karena lagi-lagi Risna mengabaikannya. Sejak dua hari yang lalu, perempuan itu memang berubah drastis. Ia dingin dan tak tersentuh. Hanya akan bicara seperlunya saja, itu pun kalau benar-benar penting. Penyebabnya m
"Pak, sholat dulu. Sudah adzan Maghrib itu," ujar seorang perempuan beberapa saat setelah mendengar suara adzan dari surau terdekat."Libur dulu lah, Buk. Bapak masih capek. Hari ini panen kita lumayan banyak jadi harus kerja ekstra. Toh, rezeki kita masih lumayan."Sang istri lantas menoleh. Suaminya ini memang susah sekali bila diajak beribadah. Apalagi sejak tanaman cabai mereka memberikan hasil yang melimpah, suaminya semakin jauh dari Tuhan lantaran menganggap hidupnya sudah berkecukupan. Ia lupa, bahwa Yang Kuasa mampu memutarbalikkan derajat manusia. Bila saat ini kita bergelimang harta, belum tentu esoknya akan mengalami nasib serupa."Bapak nggak boleh gitu. Inget Tuhan cuma pas lagi butuhnya saja. Giliran sudah merasa mampu, langsung lupa segalanya.""Wes tho, Bu, menengo. Bapak ini lagi capek habis pulang dari kebun, jangan malah diceramahi."Istrinya menc
"Ris, tolong angkatin telpon Mas sebentar! Mas masih mandi!" teriak Hasnan kepada Risna yang hingga saat ini masih berdiri di samping jendela dengan tatapan kosong. Risna hanya menoleh sekilas, tak beranjak sama sekali. Seolah bisu, ia mengabaikan teriakan suaminya dari dalam kamar mandi saat benda pipih di atas nakas terus berdering. "Ris, kamu masih di sana 'kan? Tolong angkatin telpon Mas sebentar!"Perempuan itu masih bergeming.Akhirnya, beberapa saat kemudian Hasnan keluar dari kamar mandi dengan wajah kesal. Ia hanya mengenakan lilitan handuk sebatas pinggang lantas berbicara pada Risna, "Kok, nggak diangkat, Ris? Kasihan yang nelpon. Siapa tahu penting." Masih tak ada jawaban.Hasnan membuang napasnya kasar karena lagi-lagi Risna mengabaikannya. Sejak dua hari yang lalu, perempuan itu memang berubah drastis. Ia dingin dan tak tersentuh. Hanya akan bicara seperlunya saja, itu pun kalau benar-benar penting. Penyebabnya m
Risna mendekati sosok anak laki-laki yang terbaring di atas tandu perlahan-lahan. Beberapa kali ia memejamkan mata lantaran tak sanggup melihat keadaan korban kecelakaan yang begitu mengenaskan. Sebagian wajahnya hancur, bahkan isi kepalanya terburai begitu saja dengan darah yang terus mengalir. Satu bola matanya nyaris keluar, sementara bagian belakang kepalanya sudah menghilang entah kemana. Mungkin hancur saat kendaraan tadi melindasnya. Wajah sang korban sulit dikenali, yang menjadi pengenal hanyalah barang-barang milik korban yang sampai saat ini melekat di tubuhnya. Korban memakai seragam SMP lengkap dengan sepatu. Sementara di area kecelakaan itu terjadi, warga menemukan sebuah tas yang tergeletak di pinggir jalan, diperkirakan tas itu juga milik korban.Tubuh Risna mendadak kaku, hatinya bergetar, dan jantungnya seperti ingin meledak saat itu juga. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia lihat adalah salah. Ibu mana yang sanggup menyaksikan putra
Anak laki-laki itu berlari tak tentu arah. Menembus gelapnya malam tanpa penerangan yang memadai. Mungkin sesekali, jalanan akan berubah terang ketika kendaraan besar melintas di sisi kirinya."Ayah udah nggak mau ngurusin anak berandalan kayak kamu. Pergi dan jangan pernah balik lagi buat selama-lamanya!" Perkataan Hasnan kembali terngiang dalam benak Satria. Tak pernah ia sangka, ayahnya akan tega berkata seperti itu. Sejak beberapa hari yang lalu, ia memang sudah merasakan kasih sayang dari orangtuanya berkurang. Itu semua terjadi karena kehadiran Narnia. Anak perempuan itu telah merebut semuanya dari Satria. Ia membencinya.Berjam-jam lamanya Satria berjalan di pinggir trotoar. Hingga tiba-tiba suara gaduh terdengar dari arah belakang. Satria berhenti sejenak."Woi, Bro! Itu anak kecil yang tadi gaya-gayaan nyerang kita, tuh. Lo liat nggak?"Satria lant
Seorang wanita berjas putih berdiri di sisi ranjang sambil mengalungkan stetoskop ke lehernya. Setelah diminta memeriksa keadaan Risna ia tersenyum ke arah Hasnan yang tampaknya sangat mencemaskan sang istri."Ini bukan kabar buruk, Pak Hasnan. Jangan terlalu khawatir."Hasnan mengusap lembut surai istrinya lantas bertanya, "Memangnya istri saya kenapa? Kenapa dia tiba-tiba pingsan, Dok?"Wanita itu lagi-lagi tersenyum. Sambil menyiapkan resep yang harus ditebus, ia mulai menjelaskan keadaan Risna."Istri Pak Hasnan itu ... sedang hamil muda. Usia kandungannya baru satu bulan." Senyumnya kian merekah.Risna dan Hasnan terdiam beberapa detik kemudian saling pandang. "Hamil?" ucapnya berbarengan."Iya. Selamat menanti kehadiran anggota keluarga baru, ya, Pak, Bu. Saya harap kalian menjaga kandungannya dengan baik. Kalian pasti tahu kalau masa-masa tiga bulan pertama itu cukup rentan," jelas wanita itu setelah meny
Pintu depan berderit pelan. Sosok remaja tanggung menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Gelap. Suasana sunyi. Sepertinya semua orang sudah memasuki alam mimpi. Ia masuk perlahan-lahan, menahan langkah demi langkah agar tak menimbulkan suara yang dapat membuat semua orang terbangun.Hampir berhasil menjalan misi, satu langkah lagi ia akan sampai ke kamar tanpa ketahuan. Padahal ia sudah sangat yakin tidak akan ada orang yang memergokinya. Tapi tiba-tiba suara seseorang mengalun tegas dari balik kegelapan."Apa sekarang anak kelas satu SMP juga ada jam lembur?"Cklek!Semua lampu menyala terang. Kegelapan yang menyembunyikan tubuhnya kini sudah tidak ada lagi. Remaja tanggung itu celingukan mencari sumber suara dan terkejut setengah mati saat menjumpai semua orang yang sudah berkumpul untuk menanti kepulangannya. Tak ada keramahan, masing-masing mereka memasang wajah serius.
"Ya Allah Gusti! Sampean makan daging mentah?!"Mbok Darmi terkejut setengah mati sampai membanting cangkir kopi yang hendak ia berikan pada Hasnan. Bagaimana tidak, saat tak sengaja melihat pintu gudang yang terbuka, ia berniat untuk menutupnya kembali. Namun, belum sempat niatnya itu terlaksana, bayangan seorang anak perempuan yang tengah menyantap daging ayam mentah justru mengejutkannya.Kini Narnia sang tersangka, malah tetap asik mengunyah tanpa memedulikan kehadiran orang lain dalam ruangan tersebut. Ia begitu rakus seperti orang kelaparan meskipun yang ia konsumsi bukanlah daging matang yang telah diberi bumbu.Dari arah lain, datang Risna dan Satria yang langsung memasang wajah jijik saat melihat kelakuan Narnia."Kamu kenapa makan daging mentah, Nak? Ayo, muntahkan. Nanti kamu sakit perut." Risna segera menarik anak perempuan itu dan membuang sisa daging yang sudah tinggal separuh. Narnia langsung merengut saat santapanny
Menjelang matahari tenggelam, Risna dan keluarganya baru sampai ke rumah. Seusai makan malam, mereka berkumpul di ruang tengah untuk membicarakan sesuatu. Tak lupa, anak perempuan dengan tatapan seram itu juga ikut bergabung bersama mereka."Karena kalian semua sudah berkumpul di sini, aku mau ngasih tahu hal penting." Risna menggandeng tangan anak perempuan yang duduk di sebelahnya. Kedua sudut bibirnya selalu merekah, melambangkan hatinya yang sedang berbunga-bunga meskipun baru saja tertimpa musibah kecelakaan. "Aku sama Mas Hasnan sudah sepakat, ingin mengadopsi anak perempuan ini dan memberinya nama ... Narnia.""Narnia?" Semua orang serempak bertanya.Mbok Darmi dan Mang Jajang saling tatap. Risna ini, sepertinya sudah terkena pengaruh anak setan sehingga keanehan apapun yang menimpanya hanya dianggap sebuah kebetulan."Tolong sayangi Narnia seperti kalian menyayangi anggota keluar
"Nduk, bangun! Nduk! Nduk Risna!" panggil Mbok Darmi seraya mengoleskan minyak angin pada bagian bawah hidung Risna.Perempuan itu mengerjapkan kelopak matanya kemudian terbangun. Setelah sadar, ia melihat ke sekeliling dan terkejut ketika pemandangan hutan yang masih cukup rindang menyapa indra penglihatannya."Mbok, kita ...?""Tenang dulu, kita masih belum sampai di kota. Sampean dan keluarga baru saja mengalami kecelakaan," terang Mbok Darmi membuat Risna terkejut setengah mati."Kecelakaan, Mbok?" Risna terduduk di pinggir jalan dengan alas seadanya. Kemudian mengamati sekitar dan begitu syok ketika mendapati mobil yang ia tumpangi sudah ringsek menabrak pohon. Bagian kap mesin mobil sudah terbuka dan diselubungi asap serta kaca depannya juga retak parah. "Terus yang lainnya gimana, Mbok?""Tenang, Nduk, tenang. Pak Hasnan cuma luka ringan di bagian kepala sama kakinya. Den Satria tadi sempat pingsan sebentar, tapi suda
"Mengadopsi?" Semua orang serempak bertanya.Risna mengangguk cepat. "Iya, saya pengen punya anak perempuan. Saya janji akan merawat dia seperti anak saya sendiri," ujarnya sendu sambil menatap anak perempuan itu lekat-lekat.Sejak melihat anak perempuan itu pertama kali, Risna memang sudah jatuh hati. Diluar latar belakang dan segala kisah mistisnya, Risna yakin bahwa ia hanyalah seorang anak kecil yang juga membutuhkan kasih sayang. Risna hanya ingin memberikannya sepenuh hati.Tiba-tiba Ki Larmo maju beberapa langkah. "Ojo wani-wani! Sampean nggak ngerti wujud asline. Bahaya. Sudah banyak yang jadi korbannya," bantah Ki Larmo dengan tegas."Tapi dia nggak seseram yang kalian pikir, Ki. Kurasa dia cuma anak kecil yang mengalami gangguan mental karena bertahun-tahun diasingkan. Dia hanya butuh psikolog. Dan saya akan memberikan semua itu untuk kesembuhan dia." Risna tetap bersikeras.