Bab 30. Dibujuk Rania
"Ini konsekuensinya karena dia sudah merebut Nizar dari kamu. Ayo, dong, lakukan sesuatu. Masa dia udah bahagia sama Nizar sementara kamu masih nangis di pojokan?" Sudah hampir satu jam Rania terus membujuk gadis bermata indah itu.
Namun, Ainun terus menolak. Sekalipun dia sudah dua hari menangis serta mengurung diri dalam kamar, pantang baginya merebut suami orang. Kebahagiaan Alia adalah takdir yang Tuhan berikan dan Ainun tidak mau menentangnya.
Apalagi sampai merebut suami sahabat sendiri. Apa tanggapan orang nanti? Mereka akan melupakan fakta bahwa Alia lah yang telah lebih dulu merebut Nizar.
"Paling tidak, usik kebahagiaannya. Tahu sendiri kan kalau sejak dulu aku kurang suka sama Alia? Abis dia kayak benar sendiri kalau ngomong. Pokoknya aku bakal selalu ada di sampingmu buat melawannya. Minimal lakukan sesuatu untuk mengusiknya."
"Aku tidak bisa, Rania."
"Hei, kamu itu Gemini yang two faced. Aku yakin kamu pali
Bab 31. Alia Orang KetigaSepulang dari mengaji, Ainun langsung belok ke rumah Rania. Hari ini mereka harus menjalankan satu rencana besar sebagai permulaan konflik untuk sahabat yang dia anggap orang lain sejak kemarin.Namun, Ainun akan pura-pura menganggapnya seperti saudara seperti dulu. Tepatnya bermuka dua dan hal itu memang keahlian Ainun sejak dulu."Jadi, gimana? Tadi di pengajian kamu apa saja yang terjadi? Kamu tetep baik sama Alia, kan?""Tentu saja. Cuman aku jadi kayak nggak tega gitu karena Alia baik banget sama aku selama ini. Apa nanti bakal aman nggak, ya? Jangan sampai ketahuan umi atau Bu Zahra, bisa kena hukuman lagi aku. Paling menakutkan itu kalau ketahuan sama Ustazah Halimah. Tadi aja aku was-was, untung Alia kayak melupakan masalah kemarin.""Nggak bakal ketahuan. Di sini kita bakal bermain, tepatnya mempermainkan pikiran Alia agar terus mengingatmu. Kemarin saja saat mengerjai Nizar pakai nomor baru, dia langsung blokir i
Bab 32. Beradu Mulut"Siapa yang berani meledek anak saya, hah?!" teriak Bu Zahra lagi di sepanjang jalan diikuti oleh Alia di belakangnya.Melihat Pak Darsono, Gendis dan juga Novita sedang nongkrong di warung tadi sambil menikmati kopi hitam plus pisang goreng, Bu Zahra langsung mampir memberi tatapan tajam serupa elang yang siap menerkam mangsanya.Napasnya memburu, Bu Zahra menatap dongkol pada mereka begitu Novita dan Gendis tersenyum mengejek, paham tujuan Bu Zahra ke sana."Mau klarifikasi kalau Alia itu nggak merebut kekasih Ainun, iya?" celetuk Novita semakin berani.Bu Zahra pun menunjuk wajahnya dengan spatula. "Heh, Centong Nasi. Siapa yang katamu merebut kekasih Ainun? Lia? Emang pacaran itu diperbolehkan dalam Islam? Kagak, kan? Jadi Nizar itu bukan pacarnya Ainun. Mereka cuma pernah dekat!""Enak aja anak gue dikatain centong nasi. Anak lu kali yang mirip ampas onggok!" timpal Pak Darsono menunjuk wajah Lia.Suasana sem
Bab 33. Salah Paham"Alia, percaya sama aku. Aku bisa jelasin semuanya dari awal. Ini bukan pertama kalinya." Suara Nizar tetap lembut berharap dirinya serupa air yamg bisa memadamkan api.Namun, sepertinya percuma saja memelankan suara karena Alia malah menatap kesal pada suaminya disebabkan oleh hati yang terbakar api cemburu."Halo, Nizar? Kenapa kamu blokir nomor aku tadi? Apa kamu udah nggak sayang lagi sama aku? Kamu janji bakal lamar aku bulan depan, kenapa malah menghilang? Untung aja aku masih simpan nomer kamu waktu kita marahan. Nizar sayang, aku kangen. Sayang kenapa diem aja? Aku kapan dilamar jadinya? Pokoknya aku nggak mau tahu, nggak mau dengar alasan apa pun. Kita udah setahun pacaran dan kamu bahkan udah pernah cium pipi aku. Jadi, aku nuntut tanggungjawab atau aku laporin ke bunda," ucap Alia menirukan suara manja wanita misterius tadi."Sayang, please. Aku nggak kenal sama dia. Sebelum nikah sama kamu, yang dekat sama aku itu cuma Ainu
Bab 34. Tidak DiinginkanSeperti biasa, setiap pagi Nizar akan sibuk bersiap ke sekolah untuk mengajar. Sebagai guru honorer, dia harus rajin meskipun gaji tak seberapa. Nizar pun tengah memikirkan bagaimana caranya agar bisa menafkahi istri sendiri tanpa bantuan orang tua lagi."Pecinya jangan sampai ketinggalan." Alia sedikit berjinjit memasang peci hitam itu di kepala sang suami yang menunduk.Setelah motor Nizar meninggalkan halaman rumah, Alia pun bersiap menuju tempat pengajian. Butuh waktu tiga puluh menit untuk tiba karena harus membereskan kamar terlebih dahulu serta menjemur pakaian.Namun, sebelum keluar dari rumah, langkah Alia terhenti ketika melihat saudara ibunya sedang berkacak pinggang di depan sana. Wajahnya ditekuk menyiratkan amarah.Untung saja pintu sedikit terbuka, jadi Alia bisa menguping pembicaraan. Masih di balik tirai jendela, Alia menghela napas panjangnya."Tidak, Rita. Mereka saling mencintai, kamu jangan perca
Bab 35. Suamiku bukan Pengangguran"Salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Jadi, kami sudah merencanakan jadwal untuk aku mengkaji beberapa kitab bersamanya termasuk akhlak suami kepada istri, begitu juga sebaliknya dan ilmu itu tidak bisa dibeli dengan uang." Alia menjawab penuh percaya diri karena mengingat jawaban Ustazah Halimah tadi.Nizar bukan tidak mau bertanggungjawab urusan nafkah, tetapi belum waktunya saja. Dia sedang memikirkan usaha apa yang bisa dia lakukan sebagai kerja sampingan di mana dirinya masih boleh menimba ilmu.Sebenarnya di waktu magrib, Nizar juga mengajar beberapa tetangganya mengaji al-qur'an, tetapi semenjak tinggal di rumah mertua, pengajian justru diliburkan sementara atau ditangani teman Nizar yang masih dekat rumah dengannya.Hanya saja, Nizar tidak pernah mengizinkan mereka untuk membayar iuran pengajian sesuai ajaran dari Ustaz Hamka. Anggap aja itu sedekah sekaligus ajang mengulang kembali pelajaran dasar agar tid
Bab 36. Ke Rumah MertuaNizar langsung berdiri, membuka pintu, lalu menjawab, "ada apa, Ma?""Sini bentar, mama mau bicara penting!"Alia dan Nizar mengikuti langkah Bu Zahra ke ruang tengah, duduk tepat di depan televisi. AC dinyalakan karena cuaca begitu panas membakar kulit padahal sudah berlindung di bawah atap rumah.Bu Zahra menghela napas, menyampaikan unek-uneknya dengan meminta mereka buat tinggal di rumah Nizar dulu dengan alasan wanita paruh baya itu ingin kumpul sama teman-temannya, khawatir mengganggu ketenangan karena suara tawanya melengking."Em, itu tergantung Lia, Ma. Kalau misal dia mau ke rumah ibu." Nizar menjawab ragu, mengerjapkan mata beberapa kali."Soalnya mama khawatir tetangga songong itu pada ngehujat kalian lagi. Ntar Nizar disinggung masalah pekerjaan atau Alia dikatain perebut. Mama capek ngebela kalian. Tolong, jangan tersinggung, mama cuma mau melindungi," jelas Bu Zahra lagi, melipat bibirnya merasa bersala
Bab 37. Aku tidak Tahu"Kira-kira, Nizar pernah nggak inget aku? Atau misal mengaku ke kamu kalau dia sudah salah meninggalkan aku?" Kembali Ainun bertanya pada Alia yang semakin merasa tidak nyaman.Wanita itu berharap dalam hati teman-temannya yang lain langsung datang agar Ainun mengalihkan topik pembicaraan. Namun, sepertinya tidak karena pengajian masih lama lagi."Kemarin Diqi ke rumah aku buat ngambil kitabnya yang sudah lama aku pinjem. Dia kalau ngomong mungkin suka ngawur, tapi entah kenapa aku malah senang. Katanya, Nizar selalu ngebahas aku ke dia setiap kali ketemu. Nizar masih merasa bersalah bahkan berharap di kehidupan yang akan datang, jodohnya adalah aku. Dia seperti lupa bahwa kehidupan yang akan datang adalah akhirat, tidak seperti dalam negeri dongeng atau drama-drama Kulea. Mungkin itu sebabnya, setiap malam aku memimpikan Nizar datang meminta maaf. Ternyata dia masih selalu memikirkan aku. Menurut kamu sendiri, kenapa Nizar masih mikirin a
Bab 38. Suara Hati Ainun"Sepertinya kamu kurang bersih, deh, masa ada debu di dapur ini?" Ainun mencolek lemari kaca, lantas tersenyum penuh arti karena tidak ada debu sama sekali yang menempel di sana. Dia pun melanjutkan, "mau aku bantu buatin kopi sesuai takaran yang Nizar suka?""Tidak perlu." Alia merampas kembali gula yang dipegang oleh sahabatnya, lalu menuangkan satu sendok makan gula, satu sendok teh kopi."Bukan seperti itu, Lia."Alia menatap tajam pada Ainun. "Mungkin itu dulu, tapi setelah menikah, kesukaan Nizar berubah. Dia lebih menyukai takaran yang aku buat sendiri.""Oke." Senyum Ainun merekah, kemudian meninggalkan dapur begitu saja karena merasa kesal.Dia tersentak begitu melihat Bu Aminah yang baru saja melewati pintu. Luka lama kembali terkuak. Tiga hari sebelum putranya menikah, wanita paruh baya itu meminta Ainun untuk bertemu.Hari itu, sepulang dari majlis, Ainun menemui Bu Aminah di dekat alun-alun. "Iya, Tan?""Aku tahu kamu dan Nizar saling mencintai, t
Bab 88. Takdir Itu Selalu Indah.Setiap hari selalu sama, diisi dengan warna kehidupan yang indah. Seperti dulu, seolah tidak ada kisah kelam di masa lalu yang menyebabkan hati hancur tanpa kepingan lagi.Ainun bahagia berada di dekat teman-temannya, tetapi tentu saja ada masa dia menangis dalam kesendirian mengingat orang yang telah mendahului.Semua orang bahagia meski tidak ada kabar dari Rania. Semenjak pindah ke Manado, dia menghilang bagai ditelan bumi. Namun, mereka semua berusaha untuk terlihat santai walau khawatir pindah agama.Tak terasa sudah dua tiga berlalu. Usaha bakso meriang pun tidak lagi berada di depan rumah Bu Zahra melainkan di sampingnya. Jadi tetangga sebelah rumah Alia pindah ke luar kota, jadi mereka membeli lokasi itu karena lumayan luas.Rumah diratakan, lalu membangun warung makan yang lebih terkesan mewah dan bersih. Sementara pada tingkat dua adalah rumah Nizar dan Alia."Cie yang mau nikah. Jadinya sama
Bab 87. Pengaruh NgidamAlia pulang ke rumahnya setelah siang karena Nizar yang meminta. Sementara Ainun berkumpul dengan keluarga Diqi, mereka begitu baik karena mau membantu Ainun.Sebenarnya perempuan itu merasa sedih, seolah dilupakan oleh Rania. Dia hanya menanggapi status Face-book tentang kematian sang umi dengan emotikon sedih, tanpa mengirim pesan apalagi memunculkan batang hidungnya.Dia terbuai oleh godaan Cris. Mereka terlalu bucin sampai lupa pada teman dan yang lainnya. Mereka seperti perangko, menempel siang dan malam. Rania melangkah semakin jauh dari Tuhannya."Kamu pake parfum kopi ya?"Sebelah alis Nizar terangkat tipis. "Iya, emang selalu pake, kan?"Alia mengulum senyum, kemudian memeluk erat Nizar padahal posisinya sedang berada di depan rumah. Untung saja lagi sepi pelanggan siang itu karena cuaca benar-benar panas.Menghirup lekat-lekat aroma parfum Nizar, membuatnya mengulum senyum. "Suka banget!""Lepa
Bab 86. Aroma MenyengatPukul delapan pagi, Ainun baru saja keluar dari kamar mandi tepat setelah Nawaf dan Nizar pulang karena harus bekerja, begitu pula dengan kedua mertuanya.Saat tiba di dalam kamar, aroma sabun lemon menguar begitu saja sampai menusuk indra penciuman Alia yang sedang sibuk berkirim pesan dengan suaminya."Ainun!" pekik Alia merasa mual. Dia berlari keluar dari kamar sambil menutup hidung rapat. Kepalanya mendadak pusing, keringat membasahi pelipis.Perempuan yang baru saja ingin mengambil daster panjang dalam lemari pakaian itu mengerutkan kening, bingung. Kenapa Alia menutup hidung seakan mencium bau busuk atau menyengat?Padahal selama ini selera sabun mereka sama. Lantas, kenapa? batin Ainun penasaran.Sementara dalam kamar mandi, Alia muntah sedikit. Setelah itu mengambil minum dan langsung meneguknya setengah gelas. Dia terduduk lesu di meja makan sambil sesekali menghela napas panjang."Kamu kenapa, sih?"
Bab 85. Jangan Tinggalkan Aku"Jangan larut dalam kesedihan, Ainun. Perbanyak doa untuk umi, semoga Allah menerima semua amal kebaikannya," kata Ustazah Halimah begitu melihat perempuan itu duduk di dalam kamarnya, menatap kosong dalam pelukan Alia."Umi sudah nggak ada. Sekarang aku yatim piatu, Ustazah," balas Ainun lirih. Tidak ada lagi air mata yang mengalir di sepanjang pipinya.Puncak dari segala kesedihan adalah ketika mata tak lagi mampu menangis. Kehilangan kedua orang tua sangat menyakitkan, membuat Ainun merasa sendiri di dunia.Sakit yang disebabkan kehilangan itu tidak memiliki obat. Mereka bilang, hati akan pulih seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, menurut Ainun berbeda. Sampai kapan pun, rasa sakit itu akan selalu ada.Apalagi karena kehilangan orang tua, di mana setiap insan tidak bisa terlahir kembali. Orang tua adalah sosok yang tidak ada gantinya. Mereka ada dalam hati, di tempat paling istimewa.Perempuan itu menunduk
Bab 84. Berujung Air MataEmosi Diva meluap sampai ke ubun-ubun. Baru saja si Kemayu itu ingin menyerang Ainun ketika Diqi lantas mendorongnya.Diqi sudah berjanji akan melindungi Ainun dalam keadaan apa pun bahkan jika harus kehilangan nyawa sendiri. Dia memberi tatapan tajam, dingin tak tersentuh pada Diva. "Jangan berani menyentuh istriku atau kamu harus berakhir di rumah sakit!" ancamnya serius."Serius amat, Yang? Padahal kalau kamu bagi nomer Whats-App, kan, gak bakal seribet ini. Ayolah!" Diva mengedipkan sebelah mata, sengaja ingin menggoda Diqi.Namun, siapa yang akan tergoda padanya? Setiap lelaki normal itu mencintai wanita dan bukan waria. Diqi sangat tahu bagaimana Islam melarang perbuatan yang meniru umat terdahulu, sebut saja Kaum Sodom."Minggir!" Ainun dengan penuh keberanian mendorong bahu lelaki kemayu itu sampai harus tersungkur ke belakang. Beberapa pasang memperhatikan mereka. Ada yang merasa kasihan ada pula yang menganggap m
Bab 83. Senyum tanpa Makna"Kamu beneran hamil, Sayang?" tanya Nizar sangat antusias. Kedua matanya berbinar, lalu bulir bening menggenang di sana."Iya, alhamdulillah. Sebentar lagi kamu akan jadi seorang ayah." Alia mengulum senyum, tidak lama setelah itu Nizar langsung menariknya masuk kamar agar bisa leluasa memeluk sang istri.Sebenarnya bisa saja melakukan itu di luar, tetapi khawatir tertangkap basah sama Bu Aminah dan Pak Abdullah, mereka bisa malu. Di dalam kamar, Nizar memeluk erat istrinya sambil menghujaninya dengan kecupan lembut di seluruh wajah."Makanya tadi aku suruh mandi dulu sebelum ngasih tahu, takut bau jigong!" kata Alia setelah Nizar melonggarkan pelukannya.Namun, lelaki itu tidak menanggapi. Dia menuntun Alia untuk duduk di tepi ranjang, setelah itu dia akan mensejajarkan wajahnya dengan perut Alia yang masih sangat rata.Tangan kanannya mengusap perut perempuan itu. "Anak abi. Apa kabar, Sayang? Oh iya, kamu jangan
Bab 82. Takdir yang DirindukanPukul sebelas malam, kedua mempelai sudah memasuki kamar karena kelelahan karena terus melayani tamu dan memaksakan senyuman. Padahal, Ainun merasa nyeri di bagian perut dan pinggangnya.Saat sedang duduk di depan kaca rias untuk menghapus make up dengan remover, tiba-tiba Diqi berlutut dan memeluknya dari belakang membuat bulu kuduk perempuan itu meremang."Ada apa?" tanya Ainun sedikit gugup. Dia takut melakukan itu. Apalagi sekarang ada di rumah Diqi, mudah bagi lelaki itu untuk memaksanya.Bibirnya yang sedikit gemetar terlihat jelas dari pantulan cermin. Diqi menarik sudut bibir tipis, kemudian berdiri, melangkah menuju lemari pakaian.Setelah kembali, dia meletakkan hadiah dari Alia tadi di meja, tepat depan Ainun. "Buka sekarang!""Nanti saja, Diq–""Eh, bukan Diqi. Habibi, singkatnya 'bi'. Mengerti, Sayangku?"Jauh di lubuk hati, Ainun merasa senang karena melihat binar cinta terpanc
Bab 81. Gemuruh dalam DadaLepas salat asar, kedua mempelai kembali ke pelaminan. Semua masih saja, tamu undangan silih berganti menyalami mereka. Tentu saja, baik Ainun maupun Nizar hanya mengulurkan tangan kepada mahram saja dan mengatup kedua tangan di depan dada untuk yang lainnya.Rasa lelah duduk seharian hadir memeluk raga mereka. Ainun ingin sekali masuk kamar untuk meregangkan otot walau sebentar. Namun, senyum dari setiap tamu seolah membakar semangatnya lagi dan lagi."Kamu udah buka kado dari Alia?" Kembali Diqi bertanya sesuatu yang tidak ingin Ainun bahas saat ini."Belum. Gak mau buka sekarang, nanti saja.""Kenapa?""Pokoknya nanti saja. Gak usah terlalu penasaran, nanti malah gak sesuai harapan. Alia pasti ngasih jilbab kalau gak gamis.""Menurut aku bukan gamis, melainkan ...." Diqi tersenyum, sengaja menggantung ucapannya lantas mengerling manja pada sang istri.Ainun sendiri menghela napas panjang, lalu memb
Bab 80. Qobiltu"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq," ucap Diqi begitu lantang melafazkan sighot qabul di depan penghulu dan semua orang.Air mata Ainun kembali menggenang ketika mengingat momen beberapa jam lalu saat dia telah resmi menjadi seorang istri. Seluruh keluarga serta tamu undangan nampak bahagia, Ainun mengulum senyum.Achmad Asshidiqi adalah sosok lelaki yang sudah lama menjadi sahabat gadis bermata indah itu. Mereka sering berbagi pengalaman dan saling melempar pendapat sehingga Diqi tidak menyadari bahwa benih cinta perlahan tumbuh di dalam hatinya.Dia anak bungsu, tetapi hidup mandiri. Tanpa sahabatnya ketahui bahwa sejak sekolah, Diqi memang pernah diajari berbisnis oleh orang tua. Padahal dia terlahir dari keluarga berada.Cinta yang terus tumbuh detik demi detik. Diqi berjanji akan selalu menjaga Ainun, dalam suka duka bahkan di siang dan malamnya."Alhamdulillah, s