Rizal sedikit demi sedikit berhasil mengumpulkan data orang-orang lama yang pernah terlibat dengan perusahaannya juga perusahaan yang dipimpin oleh Ma saat ini. Ada kemungkinan besar jika orang-orang ini ada keterlibatan dalam kecelakaan yang di alaminya.
"Gimana nak, kamu udah temukan datanya," tanya Rizal pada putranya.
"Masih belum ayah, sepertinya mereka menyembunyikan sesuatu. Data yang kita cari ini sepertinya secara khusus disembunyikan deh," tebaknya sambil berkutat dengan laptopnya.
"Kamu cari terus data itu, ayah akan keluar bertemu dengan seseorang dulu," ucapnya.
Marshel mendongakkan kepalanya, menatap ayahnya yang kini bersiap meninggalkan perusahaan. Entah mengapa ada rasa takut serta cemas ketika Marshel melihat ayahnya akan pergi seorang diri.
"Yah, biar aku temenin ya?"
"Nggk usah, kamu disini aja ya. Kamu terus cari data itu sampai ketemu, jangan biarkan mereka menyadari kalau kita sedang membuka kasus lama ini."
"Ba
Sabrina tiba dirumah sakit dan segera mendapat pertolongan pertamanya. Dokter Abel begitu panik saat Alex menghubunginya dan mengatakan kondisi terkini dari nonanya.Bulan tak hentinya menangis, ia sungguh khawatir dengan kondisi menantunya itu. Ditengah rasa cemasnya itu, guru kelas Sasa tiba-tiba menghubunginya. Guru itu mengatakan jika Sasa tiba-tiba mencari mamanya.Tak hanya itu, Sasa bahkan terus menangis sembari memanggil-manggil sang mama. Mereka memang tak ada ikatan antara anak dengan ibu kandungnya, namun mungkin ikatan mereka jauh lebih kuat dari pada itu."Lex tolong kamu jemput Sasa disekolahnya ya. Bawa dia kesini menemui mamanya.""Apa tidak masalah nyonya, nona mungkin membutuhkan ruang untuk istirahat.""Entahlah Lex, tapi anak itu saat ini sedang menangis tak berhenti. Dia terus memanggil mamanya.""Apa mungkin nona kecil memiliki ikatan dengan nona muda?""Mungkin saja, mungkin karena rasa tulus Sabrina
Marshel tiba dirumahnya, ia terkejut ketika ada mobil polisi yang terparkir dihalaman rumahnya. Dadanya kembali sakit, ia mencengkeram kuat dadanya berharap mengurangi kesakitannya."Bunda," serunya yang bergegas masuk kedalam rumahnya.Baru saja ia tiba, tiga orang polisi kini sudah ada dihadapannya. Ketiganya datang entah dengan tujuan apa namun Marshel merasa tak ingin mendengar apapun dari mereka. Marshel masuk dan mengabaikan ketiga polisi tersebut, kini ia hanya ingin melihat kondisi bundanya."Bunda," serunya yang melihat Lena tengah menangis diruang tengah."Ada apa ini, kenapa bunda bisa menangis dan kenapa ada polisi diluar," tanya Marshel beruntun pada pelayan rumahnya."I-itu tuan, ehm sebaiknya tuan bertanya sendiri kepada para polisi tersebut. Kamu nggak bisa tuan," ucap salah satu pelayannya dengan berlinang air mata.Jantung Marshel semakin bergemuruh, rasa takutnya semakin besar menghantuinya saat melihat mereka semua menang
Marshel berdiri ditepu jurang tersebut, ada jejak mobil ayahnya sebelum akhirnya jatuh kedalamnya. Bahkan bangkai mobil yang terbakar masih terlihat jejak apinya dibawah sana."Gimana, ayah ketemu," tanya Nio yang baru saja datang bersama Alex juga Darma.Marshel tak menyahutinya, pandangannya kini hanya menatap bangkai mobil yang masih memercikkan api dibawah sana. Darma paham kondisinya, ia melangkah maju dan membawa Marshel dalam pelukannya."Kita cari kebenarannya, belum tentu ayahmu ada didalam sana," ucap Darma."Ayah om," tangis Marshel memeluk Darma.Nio menepuk punggung Marshel untuk menguatkannya, Alex mulai bergerak. Ia mulai menyisir semua tempat kejadian, ia merasa jika ada yang janggal dalam kecelakaan yang tuan Rizal alami ini."Apa yang kamu temukan," tanya Nio dengan suara pelannya."Lihat ini tuan, "menunjukkan bekas ban mobil yang tertinggal pada jalanan."Maksud kamu?""Benar tuan, sepertinya mobilnya
Kini sudah lewat dari satu minggu selepas kecelakaan yang Rizal alami, hari ini Sabrina juga sudah diijinkan untuk pulang dengan pemantauan langsung dokter Abel. Namun masalah antar keduanya ternyata masih tak kunjung selesai, Sabrina masih betah mendiamkan sang suami yang setia menemaninya."Apa semua sudah siap," tanya Nio setelah menyelesaikan pembayaran administrasinya."Sudah, kamu dorong istri kamu biar mami yang bawa barang-barangnya.""Mami, boleh tolong dorongin Sabrina nggak," pintanya menatap Bulan.Bulan hanya bisa menghela nafasnya, ia tersenyum lalu mendorong kursi roda menantunya itu keluar dari rumah sakit. Bulan hanya bisa berharap agar masalah keduanya segera terselesaikan."Mami, aku mau mampir kerumah bunda sama ayah dulu boleh nggak," tanya Sabrina.Nio juga Bulan terdiam dan saling melepar pandangannya, keduanya sampai saat ini masih menyembunyikan tentang kejadian yang menimpa Rizal dari Sabrina."Ehm, kita pula
Syan mulai bersikat tegas, ia tak ingin perusahaannya itu gulung tikar hanya karena seorang wanita. Ia memikirkan semua cara untuk mendapat hak mutlak atas departemen keuangan, selain menjadi direktur keuangan ia juga harus bisa masuk kedalam team audit yang dikelola oleh para pemegang saham."Tapi buk-"Tanpa terkecuali, mau pak Max sekalipun yang meminta uang kalian harus tetap mendapat persetujuan dari saya.""Baik, kami akan lakukan sesuai dengan perintah anda.""Satu lagi, tolong kalian atur pertemuan saya dengan para pemegang saham."Kedua orang anak buah itu hanya bisa saling pandang, setelah mendeklarasikan diri sebagai direktur keuangan lalu apa lagi yang akan dilakukan atasannya itu menemui para pemegang saham."Maaf buk, kalau boleh tahu apa yang harus kami katakan pada mereka," tanyanya."Panggil pemegang saham yang mengendalikan audit keuangan, beri tahu mereka saya menunggu mereka di cafe XX."
Syan kini bukan hanya menjabat sebagai direktur keuangan, ia kini juga telah resmi bergabung dengan team audit para pemegang saham. Hari ini para team audit tiba-tiba datang dan meminta semua data keuangan perusahaan, Max gugup sebab ia belum sempat menyiapkan data palsu untuk diserahkannya."Brengsek, kenapa bisa tiba-tiba gini."Ia benar-benar tak habis fikir dengan kedatangan para audit itu dengan begitu mendadak. Fikirannya kini buntu, Max sama sekali tak bisa memikirkan cara apapun untuk mengatasi ini.Sedang diruang meeting terlihat Syan tengah tersenyum dengan begitu manis diantara para team audit, Max yang baru saja melangkah masuk begitu terkejut dengan kehadiran putrinya ditengah-tengah team audit perusahaannya."Syan, ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaanmu. Sebaiknya kamu keluar," seru Max.Syan hanya tersenyum melihat wajah gugup papanya tersebut, bahkan kini Max mulai berkeringat diruang yang begitu dingin tersebut."Maafk
Lena jatuh sakit setelah bertahan selama beberapa hari, tubuhnya bertambah kurus dengan wajah yang begitu pucat. Marshel begitu terluka dengan apa yang sedang terjadi, belum sembuh luka kehilangan ayahnya kini ia juga harus bertambah luka dengan keadaan bundanya."Marshel mohon bun, bunda harus kuat," gumamnya menggenggam tangan bundanya."Bunda bertahan bun, Marshel yakin ayah pasti pulang," gumamnya.Marshel tak punya tempat untuknya berbagi, ia tak mungkin berbagi dengan adiknya yang saat ini butuh pengawasan ekstra. Ia juga tak mungkin membebani Nio dengan semua keluh kesahnya, ia tahu apa yang sedang dihadapi adik iparnya itu dan ia tak ingin menambah beban baginya."Marshel butuh bunda, Marshel nggak punya siapa-siapa bun. Marshel mohon bangun bun," tangisnya pun akhirnya pecah. Marshel menangis dalam kesendiriannya, Marshel menangis dalam kesepiannya. Ia ingin sebuah bahu untuknya bertahan, namun nyatanya kini ia hanya seorang diri ta
Setelah kejadian diperusahaan tempo lalu, kini hubungan Max dengan Syan semakin menjauh. Max begitu murka hingga memukul Syan sepulang putrinya bekeja, ia tak bisa menahan semua kemarahan lagi.Dan pagi ini adalah pagi dimana Syan datang kekantor dengan wajah lebamnya, sengaja ia tak menutupi bekas pukulan papanya karena ia ingin menunjukka kepada semua orang siapa Max Taulin sesungguhnya.Semua orang terkejut melihat penampilan Syan yang serba hitam berhias lebam, semua orang bergunjing dibelakang Syan membicarakan semua luka lebamnya. Itulah yang Syan inginkan, ia ingin merekalah yang menyerang Max dan bukan dirinya, ia ingin orang lain yang menjatuhkan papanya tanpa harus menggunakan tangannya sendiri."Sis, kamu siapin semua dokumen keuangan perusahaan kita. Para pemegang saham berencana meninjau semua proses keuangan kita," perintahnya pada sekrtarisnya."Baik buk, ehm apa perlu saya ambilkan obat dulu buk. Luka ibuk perlu diobatin dulu," cemas
chapter I Semua siap dan semua telah lengkap. Penghulu menjabat tangan Ardan, dengan sekali nafas Ardan kini telah resmi menyunting Tian sebagai istrinya. Sah.. Sah.. Sah.. Seru semua orang dengan gembira, tangis pecah melihat keduanya telah resmi menikah. Tak banyak memang undangannya, namun itu adalah semua orang yang ada dipihak Tian kedepannya. Semua kolega Prambu yang setia siap berdisi di belakang Tian dan memperjuangkan hak miliknya. Acara pasang cincin usai, kini Tian mengambil tangan Ardan dan menciumnya. Hatinya berdesir merasakan bibir Tian melekat dikulitnya secara langsung, hatinya menghangat begitu. Tanpa di duga Ardan juga menggerakkan tangannya, meletakkan tangannya tepat di kepala Tian saat istrinya itu mencium punggung tangannya. Kini berganti Ardan yang mencium kening istrinya, cukup lama kala bibir itu mengecup langsung kulit istrinya. "Gadis yang selama ini sudah kuanggap sebagai adikku kini sudah resmi ku nikahi," batin Ardan. chapter II Tanpa menjawab
Matius terkejut dengan penolakan dari Selly, ia tak menyangka jika rasa marahnya begitu besar melebihi rasa rindunya. Matius tahu apa kesalahannya, ia juga menerima semua yang Selly lakukan padanya.Matius hanya ingin hidup bahagia bersama keluarga kecilnya, hidup normal seperti orang pada umumnya. Namun sebelum itu ia harus menebus semua kesalahannya, ia harus menyelesaikan semua masa lalunya yang begitu kelam itu."Maaf," lirih Matius mencoba meraih tangan Selly di depannya.Selly murka, ia melampiaskan semua kemarahannya saat ini juga. Ia mengamuk, memukul Matius bahkan juga menghancurkan semua barang yang ada di ruangan tersebut."Bodoh kamu, kamu pergi dari sini. Pergi temui istrimu itu, jangan pernah muncul lagi di depanku!" teriaknya dengan begitu kencang."Tolong dengerin dulu, sebentar saja." mohonnya.Selly terus mengamuk, mengabaikan semua ucapan Matius yang ingin berbicara dengannya. Hingga Matius begitu geram d
Matahari hari ini bersinar dengan begitu teriknya, Sabrina yang awalnya ingin berkeliling dengan si kembar ke taman pada akhirnya mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih bersantai di dalam rumah sembari menikmati buah-buahan yang Bulan sediakan."Anak cantik mama lagi apa ini, kenapa jarinya di emut-emut gitu?" tanyanya dengan begitu gemas."Aduh, ini si ganteng malah kakinya yang di emut-emut." menepuk keningnya dengan seulas senyumannya.Hari ini semua orang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, para laki-laki sibuk bekerja sedang Bulan sedang menemani Lena mengatur acara pernikahan anak-anaknya. Sedang Ica hari ini meminta ijin untuk kembali ke Jogja, awalnya Marshel melarangnya dengan berbagai alasannya namun Ica yang keras kepala pada akhirnya memenangkan pertempuran itu.Ica sedang ada di dalam kendaraannya menuju rumahnya, ia di jemput dengan anak buahnya yang selalu setia mengawalnya kemanapun perginya. Namun tiba-tiba Ica mengubah tujuan
Stevan segera mendapat penanganan dari dokter, wajahnya yang semakin pucat membuat Sabrina juga Nio menjadi semakin pucat. Sedang Stevi terlihat dengan pulas tertidur dalam gendongan sang papa."Gimana ini hubby, kenapa dokter lama banget di dalam?""Sabar, kita tunggu aja di sini."Dan tak lama dokter keluar. Sabrina segera saja memberondong dokter tersebut dengan berbagai pertanyaannya, hingga tanpa sadar dokter tersebut menyunggingkan senyum manisnya."Dokter lagi godain istri saya ya?" ketus Nio melihat dokter laki-laki itu tersenyum menatap istrinya."Oh maafkan saya pak, bukan maksud saya ingin menggoda istri anda. Namun saya hanya tersenyum ketika tahu ternyata saya sedang berhadapan dengan ibu baru," jelasnya dengan begitu ramah.Plakk,"Hubby apaan sih, bisa-bisanya cemburu saat kayak gini," kesalnya."Lalu gimana anak saya dok?""Gpp, hanya demam karena perubahan cuaca saja. Hari ini juga bisa langsung di
Mata Ica terbuka dengan tiba-tiba, posisi yang begitu kurang nyaman bagi keduanya saat ini. Wajah Marshel begitu dekat dengan wajah Ica, sangat dekat hingga Ica dapat merasakan deru nafas Marshel yang menerpa wajahnya."Ehm, udah bangun ya." canggungnya membuka suara."Iya. Ini kayaknya terlalu dekat deh kita," sahut Ica dengan wajah memerahnya menahan malu.Dengan cepat Marshel menegakkan tubuhnya, berdiri membuang muka ke sembarang arah. Sedang Ica kini juga bangkit membenarkan posisinya, wajahnya sudah sangat merah seperti udang rebus."Loe ngapain di sini?" tanya Ica menutupi rasa canggungnya."Heh, aku kamu. Kenapa jadi loe gue lagi sih," omel Marshel."Iya, iya. Kamu kenapa di sini? Bukannya tadi lagi kerja ya?""Pulang, di suruh sama bunda. Kamu kenapa, tidur sambil nangis?"Ica belum siap membuka kembali lukanya, ia masih tertutup rapat bahkan tak pernah membukanya. Kini ia hanya ingin hidup seperti pada normalnya
Hari ini semua orang tengah sibuk mempersiapkan acara pertunangan Ica dengan Marshel, semua nampak antusias menjelang acara bahagia tersebut. Sabrina yang tak bisa bergerak leluasa bertugas merangkai bunga bersama kedua buah hatinya, sedang yang lainnya mengawasi petugas dekornya."Sebelah sini ya mas, tolong agak di penuhi lagi jadi biar nggak lubang." seru Bulan."Sebelah sini aja mas bagus, iya itu nanti taruh di sana aja biar bisa buat duduk." sibuk Lena mengarahkan orang-orang.Semua nampak begitu sibuk, sedang Ica sedang berada di kamarnya menikmati spa yang di sediakan Sabrina khusus untuk dirinya. Tak ada para lelaki yang menemani, hanya ada para wanita tangguh sebab laki-laki sedang bertugas mencari nafkahnya."Bun, ini taruh di mana ya?""Wah bagus banget sayang kamu ngerangkai bunganya," takjubnya dengan hasil rangkaian sang putri."Bisa aja, udah ini taruh mana? Berat tau," keluhnya."Sini, biar bunda aja yang bawa ya. Kam
Marshel terus mencari keberadaan Ica di dalam rumah, namun sudah semua tempat ia periksa masih juga tak bisa menemukan calon istrinya itu. Tak mungkin jika Ica pergi bersama Bunda, sebab Bunda sedang berada di rumah sakit untuk terapi ayah."Kemana lagi itu anak keluar nggak bilang-bilang," gerutunya.Berkali-kali ia mencoba menghubungi Ica namun tak satupun panggilan atau pesan yang mendepat respon dari lawannya. Semakin geram saat Marshel memikirkan ide Ica lalu untuk membalas kelakuan Selly."Jangan-jangan?"Rasa panik segera menyelimutinya, ia meraih kunci mobil yang ada di dekatnya. Namun baru saja akan melangkah, orang yang sedari tadi di carinya tiba-tiba muncul dengan senyum merekah di wajahnya."Loh, mau kemana?" tanya Ica dengan polosnya."Kenapa sih? Orang nanya itu di jawab, bukannya di pelototin gitu," omelnya.Tak habis fikir Marshel dengan jalan fikiran wanita di depannya itu, bisa-bisanya tak mengerti dengan ke k
Sudah satu bulan sejak lahirnya kedua bayi mungil itu di tengah-tengah mereka, hari-hari Sabrina juga begitu sibuk dengan ketiga bayinya termasuk sang suami yang menjadi bayi kembali diantara anak-anaknya."Hubby ayo buruan, kasian stev udah dingin ini." teriak Sabrina dari dalam kamar mandi.Benar saja, keduanya bersama-sama merawat kedua bayi itu tanpa bantuan suster sebab Sabrina merasa masih sanggup mengurus buah hati mereka. Masih ada mami juga bunda yang setiap harinya selalu membantu menjaga kedua bayi lincah itu.Pagi ini penuh dengan teriakan Sabrina karena merasa kesal dengan suaminya, tugas melepas baju Stevi si bayi cantik itu hanya memakan waktu 10 menitan namun di tangan Nio itu bisa memakan waktu lebih dari 30 menit."Hubby buruan atau keluar dari kamar," teriaknya lagi dengan seluruh kekesalannya."Iya mama, kami datang." serunya dengan rasa tak bersalahnya.Kini keduanya duduk berhadapan dengan masing-masing bayi di tanganny
Deru mobil mulai terdengar, semua orang bersiap dengan berbagai hal di tangannya masing-masing. Terlihat Syan bersama Lili membawa sebuah gulungan berdua, entah apa itu isinya. Dan,"Surprise," teriak semua orang bersamaan.Jantung Sabrina terasa berdetak begitu cepat karena rasa terkejutnya, beruntung si kembar tak mendengar teriakan menggema tersebut.Mata Sabrina berkaca-kaca ketika menatap semua orang di depannya, dengan takjub ia melihat rumah yang ternyata sudah di dekor dengan begitu indahnya demi menyambut ke datangannya. Sabrina tak dapat menahan air mata harunya, ia menangis menutup wajah dengan kedua tangannya."Terima kasih semua," ucapnya dengan sesegukan dalam pelukan sang suami."Mana cucu kami?""Ada di bekang, ayah tunggu aja nanti juga masuk si kembar," seru Antonio.Mata Sabrina memicing melihat sebuat tulisan yang di bentangkan Lili bersama Syan. Dengan penasaran ia mencoba mendorong sendiri kursi rodanya unt