Dinda kembali mengintip melalui lubang kecil yang ada di pintu kamar ke-tiga itu dengan napas tertahan. Namun kali ini sama sekali tak terlihat apa-apa, karena malam yang telah larut dan lampu kamar yang dimatikan."Dinda," Suara bariton Andra tiba-tiba terdengar dari belakangnya. Dinda tersentak kaget. Ia sampai terlonjak berdiri dan spontan menoleh. "Dok ... Dokter?" sahutnya tergagap. Sebagai orang yang tak suka lancang terhadap barang milik orang lain, tindakannya barusan membuatnya sangat malu. Gadis itu tampak pucat seperti maling yang tertangkap basah. "Kamu sedang apa?" selidik Andra. "Sa-saya sedang ... sedang mengambil minum," jawabnya. Lalu cepat-cepat melangkah ke kulkas dan membuka lemari pendingin itu. Saking gugupnya, alih-alih mengambil air mineral, Dinda malah mengambil buah. Lalu bergegas keluar dari dapur. "Maaf, Dokter. Saya permisi tidur duluan," ucapnya saat melewati Andra.Andra hanya menatapnya. Ia tahu Dinda sedang berbohong dan merasa gugup karena kar
Siska menunjukkan layar ponsel Dinda. "Lo mau hubungi Dr.Andra, kan? Tunggu sebentar, biar gue bantu."Wanita itu mengetikkan nomor Andra. "Gue kirim pesan aja, oke?" tanyanya tanpa bermaksud bertanya sungguhan. "Maafkan saya, Dokter. Saya tidak bisa datang. Saya benar-benar tak punya keberanian untuk berbicara di depan kamera," ejanya sambil mengetik. Mata Dinda seketika membulat. Siska benar-benar licik. Namun tak ada gunanya melarang. Wanita itu pasti tetap akan melaksanakan rencananya. "Eh, jangan takut. Gue nggak kirim sekarang, kok. Gue akan kirim setelah lima menit acara dimulai. Jadi Janson tidak akan sempat membatalkan acaranya," Siska cekikikan setelah mengatakan rencananya. Perempuan berpakaian seksi itu kemudian menelepon seseorang dengan ponselnya sendiri. "Masuk sekarang!" titahnya singkat. Seorang laki-laki berjas hitam muncul di balik pintu kaca salon dengan senyum yang lebih mirip seringai. Rambutnya dicat pirang. Dinda ingat laki-laki itu. Salah seorang dari te
Dinda membuka kelopak matanya yang terasa berat. Tubuhnya pun begitu lemah."Kamu udah sadar? Syukurlah," Suara lembut Dr.Andra terdengar di sampingnya. Dinda menoleh, dan melihat sang dokter tampan sedang menatapnya dengan tatapan teduh. Bibir yang menawan itu pun tersenyum. "Baru kali ini aku merasa sangat takut tidak bisa membantu seseorang untuk sadar." Andra meraih jemari Dinda dan menggenggamnya hangat. Dinda melihat ke arah tangannya dan baru menyadari bahwa ada selang infus yang terpasang. Gadis itu mengernyit. Apa ia di Rumah Sakit? Kepalanya langsung berputar ke sekeliling. Dan ternyata ia berada di kamar sang dokter. Di ranjang empuk laki-laki itu. "Semalam kamu pingsan, pas masuk ke ruang jumpa pers," ujar Andra.Dinda membasahi bibirnya yang terasa kering. Kejadian semalam terlintas kembali di kepalanya. Semalam ia memang sudah merasa tak enak badan sejak awal. Kemudian ditambah syok dan kehujanan. "Apa ini sudah pagi?" Andra mengangguk. "Tadi malam kamu tidur
"Memangnya kenapa? Aku sudah melihat semuanya semalam."Mata Dinda seketika membulat mendengar pernyataan sang dokter. Ia juga baru sadar kalau rambut panjangnya sekarang terbuka. "Melihat semua?" "Iya. Semalam kamu pingsan dengan baju yang basah. Jadi aku menggantinya dengan piyama ku." Dinda meneguk salivanya. Ia tak tahu harus menjawab apa, hanya bisa membayangkan seperti apa saat sang dokter melihat semuanya. Dan bayangan itu membuatnya sangat malu. Dengan pipi yang memerah ia menutup dadanya dengan bantal.Andra tersenyum melihat ekspresi itu. "Kenapa? Apa ada yang tidak boleh kulihat?"Dinda menggeleng. Karena memang tak ada yang tak boleh dilihat laki-laki itu darinya. "Mulai sekarang, di dalam rumah tidak perlu pakai hijab, ya? Aku suka melihat rambutmu."Dinda meraba rambutnya. Lalu mengangguk. "Aku beruntung sekali menjadi laki-laki yang pertama kali melihat rambut indah mu."Pipi Dinda semakin merona. Ini memang pertama kalinya ia membuka hijab di hadapan seorang le
Bab 59Setelah mengetahui keberadaan Bingo di kamar ke-tiga, Dinda tak lagi merasa sendirian saat Andra belum kembali dari rumah sakit. Ia kerap kali membawa Bingo keluar dari kamar dan menutup semua jendela. Awalnya, kucing itu tampak enggan dekat dengan gadis yang baru dilihatnya. Namun kelembutan Dinda dan aroma Dr.Andra yang sering tercium pada gadis itu membuat si kucing pasrah dibawa kemana saja. Senja tiba, dan suara mesin mobil Andra terdengar memasuki garasi. Dinda membukakan pintu sambil menggendong Bingo. Andra tampak mematung disambut oleh Dinda dan Bingo. Gadis itu tersenyum senang sambil memainkan tangan Bingo agar melambai padanya. "Selamat datang, Dokter," Suara gadis itu sengaja dihaluskan seperti suara kucing.Perlahan bibir menawannya tersenyum. "Hai Bingo. Apa kau merepotkan istriku?"Pipi Dinda seketika merona mendengar pertanyaan itu. "Tidak, Bingo menemaniku main," jawabnya sambil meraih tangan Andra dan mengecup punggung tangannya. Ini pertama kali ia la
Bab 60Andra terpaku. "Jamaah?" Dinda mengangguk sambil tersenyum manis. Lalu melangkah mendekati. "Ya, saya ingin Dokter jadi imamnya.""Tidak. Saya tidak bisa!" tolak Andra. "Kamu sudah tau itu," lirihnya kemudian. Dinda meraih lengan laki-laki itu dan memeluknya manja. "Saya tau. Tapi ini juga salah Dokter. Dokter buat saya bercita-cita tinggi pada pernikahan kita. Saya ingin Dokter tidak hanya menjadi imam dalam pernikahan ini, tapi juga dalam shalat saya."Andra meneguk salivanya. Melihat sikap manja Dinda membuatnya berkeringat. Mungkin jika gadis itu meminta sesuatu yang lain ia akan segera melakukannya. Tapi ini ... shalat. Andra perlahan menggeleng. "Aku tidak pantas, Dinda.""Semua orang pantas untuk kembali pada Tuhannya. Bahkan jika itu pencuri, pezina, perampok, bahkan pembunuh sekalipun.""Bagaimana kalau aku melakukan salah satunya?""Allah akan tetap menunggu Dokter untuk kembali pada-Nya. Dan rasa tak pantas yang Dokter rasakan sekarang, adalah bukti bahwa Dokte
Bab 61Dinda membalas dekapan itu. Memeluk tubuh tegap sang dokter sehangat mungkin.Andra memejamkan matanya menerima balasan dari gadis itu. Menikmati hangatnya hingga dadanya terasa berdebar. Menghirup harumnya rambut lembut Dinda hingga membuat sebuah rasa yang menggebu kembali hadir."Dinda, aku udah punya SIM, kan?" Dinda mengernyit dalam dekapan laki-laki itu. "SIM? Udah kan? Kalo nggak gimana Dokter bisa bawa mobil?""Bukan Surat Izin Mengemudi, tapi Surat Izin Mencium."Pipi Dinda seketika merona mendengarnya. Gadis itu semakin mempererat pelukannya dan menyembunyikan wajahnya di dada yang bidang itu.Gerakan Dinda justru membuat Andra merasa tergelitik. Membuat aliran panas di dalam darahnya mengalir dengan cepat. "Aku tidak bisa terus bertahan kalo begini, Sayang," bisiknya di telinga Dinda. Bulu Dinda kembali meremang. Hangatnya napas laki-laki itu menyapu telinganya. Membuat jantungnya berdebar tak karuan. "Usia Bingo udah berapa tahun, Dokter?" Napas Andra yang mu
Dinda kembali mendapatkan pesan saat baru duduk di bangkunya. Kali ini dari Andra. "Dinda, pulang kuliah sore nanti, kamu jalan-jalan saja dulu sama Fathimah. Aku sudah transfer uangnya."Dinda mengangkat alisnya. Transfer uang lagi? Saldo buku tabungannya setiap hari bertambah. Ia hanya memakainya untuk ongkos pulang kalau sang dokter tidak bisa menjemput. Sekarang laki-laki itu kembali mengirimkan uang. Lama-lama Dinda bisa buka usaha dengan uang tabungannya. "Mamanya Reza mau ketemu nanti sore. Boleh nggak saya ke sana aja?" ketiknya."Boleh," balas Andra setelah beberapa saat. Dinda menghela napas lega dan menyimpan ponselnya kembali. Fathimah kemudian datang dengan wajah kuyu dan lingkaran mata yang menghitam. "Kamu kenapa?" risau Dinda."Aku nggak bisa tidur semalaman.""Nggak tidur kenapa?" Fathimah menghempaskan tubuhnya pada kursi di samping Dinda. "Karena cinta.""Maksudnya?" Dinda bingung setengah geli mendengar jawaban sahabatnya."Semalam aku datengin apartemen