“Jill, tolong ambil keycard di saku kemeja saya,” pinta Kenzo karena kedua tangannya sedang menggendong Jillian.
Jillian melepaskan satu tangan dari leher Kenzo, bergerak menyelipkan jemarinya ke dalam jas mencari saku kemeja yang Kenzo maksud.Kemeja Kenzo yang tipis membuat Jillian bisa merasakan otot di dada pria itu.“Kamu kayanya menikmati nyentuh dada saya, ya? Kamu bisa sentuh secara langsung nanti di dalam.”Jillian terkesiap, sudah berapa lama tepatnya ia merayapkan jemari di dada pria itu?Jillian mendongak, memicing menatap sinis ke arah Kenzo setelah mendapat keycard yang dimaksud lalu merentangkan sedikit tangannya untuk menempelkan keycard hingga terdengar bunyi ‘bip’ dan pintu terbuka.Jillian masuk kembali ke suite tempat di mana tadi dirinya dirias dan berganti pakaian dengan gaun pengantin.Tapi suasana kamar itu sekarang lebih rapih dan banyak sekali dekorasi dari bunga-bunga hidup“Mau mandi bareng?” Pria itu bertanya lagi pertanyaan yang menurut Jillian menyebalkan. “Enggak, Jill enggak akan mandi.” “Oh … oke.” Kenzo pergi lagi membuka weardrobe lantas memberikan gaun tidur untuk Jillian. “Mau saya pakaikan?” tawar Kenzo. Jillian selalu merasa senyum kecil di sudut bibir Kenzo seperti sedang meledeknya. “Enggak usah!” serunya sambil merebut baju tidur dari tangan Kenzo. “Jangan ke mana-mana sampai saya selesai mandi ya … nanti saya gendong kamu lagi ke tempat tidur.” Kenzo pergi lagi setelah berkata demikian, sosoknya menghilang dibalik pintu kamar mandi yang tertutup. Tidak lama terdengar suara gemercik air dari dalam sana. Hembusan napas panjang keluar dari mulut Jillian, tidak habis pikir kenapa Kenzo bisa setenang itu padahal ia saja sangat gugup. Tapi, kenapa juga harus gugup? Mereka tidak akan benar-benar melak
“Pak … meeting dengan pak Gunadi dibatalkan, beliau harus terbang ke Kalimantan karena ada masalah dengan perusahaannya di sana.” Dion-sekertaris Kenzo untuk Indo Corp memberi informasi demikian saat mereka sedang dalam perjalanan menuju meeting tersebut. “Jadwal saya berikutnya apa?” “Tidak ada, Pak.” “Kalau begitu antar saya ke GZ Corp.” “Baik, Pak.”Kenzo paling tidak suka jika meeting-nya dibatalkan karena pasti akan berpengaruh pada jadwalnya ke depan. Tapi mungkin ada baiknya, ia jadi bisa mampir ke perusahaan yang lain. “Saya akan di sini sampai jam pulang,” kata Kenzo setelah driver menghentikan mobilnya di depan loby gedung GZ Corp. “Baik, Pak.” Dion menyahut cepat. Pintu mobil dibuka oleh sekuriti dari arah luar, Kenzo turun dan di sambut anggukan penuh hormat di sepanjang loby baik dari sekuriti maupun karyawan GZ Corp. Amira terkejut ketika
“Mau ke mana, Non?” Bu Nenny bertanya saat melihat Jillian menuruni tangga dengan pakaian rapih lengkap dengan tas dan sepatu. “Mau ngecek rumah, terus ketemu om Yuda.” Jillian mengatakannya tanpa melihat wajah Bu Nenny. “Tuan berpesan agar Non Jillian enggak ke mana-mana, katanya harus belajar karena Senin ujian.” “Oh, jadi dia bisa menghubungi asisten rumah tangga tapi enggak bisa ngehubungin istrinya sendiri.” Jillian menggeram di dalam hati sambil menatap bu Nenny sengit. Tanpa mau menanggapi ucapan wanita paruh baya itu—Jillian pergi begitu saja, menekan tombol lift penuh emosi. Sang asisten rumah tangga tidak berusaha mencegah, tapi menghubungi sang tuan untuk mengabarkan tentang Jillian. Jillian meminta resepsionis mencarikan taksi ketika ia sudah berada di loby. Dalam perjalanan, barulah Jillian menghubungi Yuda. Tidak sabar lagi untuk mencari tau apa
“Ini coklat panas untuk Ibu.” Dion meletakan satu mug coklat panas di atas meja di depan Jillian yang duduk di sofa dengan menaikkan kedua kakinya dan tubuh dibalut selimut. Jillian sudah mandi dan berganti pakaian, mereka juga sempat makan malam ditemani hening. Dan ketika Kenzo meminta Jillian duduk di sofa ruang televisi—tidak alasan untuk Jillian menolak. “Thanks, Yon … kamu boleh pulang,” kata Kenzo. “Baik Pak, saya permisi Bu.” Rasanya Jillian jengah dipanggil ibu oleh dua orang berbeda seharian ini. Padahal umurnya jauh di bawah mereka yang memanggil Jillian seperti itu. Jillian tidak menanggapi, menatap matanya Dion pun tidak. Jillian masih Jillian yang angkuh seperti dulu. Dion pergi setelah mendapat anggukan Kenzo meninggalkan Kenzo yang harus menjelaskan banyak hal kepada Jillian. Jillian menaikkan tatapannya, menghadapkan tubuh pada Kenzo dengan kedua t
Kenzo menatap wajah cantik yang tengah mengusel di dadanya, tampak begitu damai dan pulas tidak seperti dirinya yang semalaman berusaha menahan hasrat karena tubuh bagian atas Jillian masih dalam keadaan polos dan dua bagian yang besar di dada Jillian menekan perutnya. Siksaan terberat bagi Kenzo yang memiliki kebutuhan khusus sebagai seorang pria dewasa yang harus menghadapi kondisi seperti ini. Kenzo melapisi satu sisi wajah Jillian menggunakan telapak tangannya yang besar, ibu jari Kenzo bergerak mengusap bibir Jillian. Pria itu meringis tatkala keinginan terbesarnya saat ini untuk mencium bibir Jillian harus ia redam agar sang istri tidak terjaga dari mimpi indahnya. Sinar matahari yang menembus melalui celah tirai menerpa wajah Jillian, perlahan Jillian bergerak lalu mengerjap dan membuka mata. Jillian masih mengumpulkan kesadarannya, ingatannya ditarik paksa pada waktu sebelum ia terlelap. Lalu mendongak h
Setelah Kenzo mengambil jarak dan mengabaikan Jillian selama satu minggu. Pria itu kini melancarkan rencananya yang kedua yaitu selalu ada untuk Jillian dan memberikan perhatian penuh. Om Kenzo : Ice Creamnya udah sampe? Tanpa sadar bibir Jillian mengulum senyum membaca pesan dari Kenzo. Jillian : Baru sampe, dianter sekuriti. Jillian tidak lupa mengirim foto satu bucket ice cream yang Kenzo belikan untuknya. Om Kenzo : Saya pulang malam, ada rapat di GZ Corp. Om Kenzo : Semangat belajarnya ya. Om Kenzo : Apa perlu saya minta bu Nenny menginap? Jillian : Enggak usah, Jill belajar di kamar aja biar enggak takut. Padahal itu kode agar Kenzo segera pulang karena Jillian merasa horor di Penthouse sendirian. Om Kenzo : Apa perlu, nanti malam saya tidur di kamar juga supaya kamu enggak takut? “Ngelunjak nih Om-Om,” gumam Jillian, jempolnya sibuk mengetikan ba
Bel pertanda berakhirnya waktu ujian berkumandang. Sorak sorai menggema di seluruh ruang kelas sebagai ungkapan perasaan lega para siswa dan siswi kelas dua belas karena Ujian Akhir Sekolah telah usai. Mereka akhirnya bisa kembali menjalani kehidupan sedikit santai tanpa tekanan. Jillian dan Callista saling berpelukan penuh suka cita. Pengawas yang sedang merapihkan barang-barangnya tidak terganggu dengan suara bising itu, beliau pergi setelah pamit dan tidak lama kemudian digantikan oleh wali kelas. Seketika suasana berganti hening mendengar suara sepatu pantofel wali kelas yang memasuki ruangan. “Mulai minggu besok sudah tidak ada pembelajaran lagi hingga acara perpisahan, kalian bisa liburan atau tidur seharian di rumah untuk mengganti waktu tidur kalian yang tersita karena belajar selama ujian.” “Yeaaaaayyyyy!” Sorakan kembali tercetus kian kencang bahkan beberapa siswa memukul meja menambah keri
Jillian langsung menabrak tubuh Rangga, memeluk pria itu begitu pintu ruangan Callista tertutup rapat. Butuh beberapa detik hingga akhirnya Rangga membalas pelukan Jillian. Jillian mendongak, mencari netra Rangga yang pasti mengabarkan kerinduan tapi bukan hanya itu yang ia temukan—ada kesedihan mendalam yang terpancar juga di sana. “Kenapa?” Jillian bertanya karena semestinya pria itu bahagia akhirnya mereka bisa bertemu dan bukannya menunjukkan wajah muram.Rangga membawa Jillian duduk di sofa, satu tangannya masih merangkul pundak Jillian lalu menarik tubuh sintal itu memeluknya kembali. “Kayanya aku hanya menjadi beban kamu aja ya, Jill?” Jillian menjauhkan tubuhnya dari Rangga, menatap penuh tanya pada sang kekasih. “Beban apa? Kamu ngomong apa sih?” “Kamu tahu ‘kan kalau aku mencintai kamu?” Jillian mengangguk, menunggu Rangga mengutarakan apa sebenarnya yang ada da
“Mommy …,” panggil gadis kecil yang kini telah berusia empat tahun. Gadis kecil itu duduk membelakangi Jillian karena rambutnya sedang diikat pony tail sesuai permintaan sang gadis. “Yess Love?” Jillian menyahut. “Apa Cantik boleh memiliki adik lagi?” Jillian menaikkan kedua alisnya lalu mengerjap pelan. “Pasti Daddy yang meminta Cantik mengatakan itu sama Mommy, kan?” Jillian menjauhkan tangannya dari kepala Cantik, ia selesai mengikat rambut ikal gadis kecil yang cerewet itu. Cantik membalikan badan lalu tersenyum lebar. “Kata Daddy, Cantik bisa main Barbie sama adik Cantik yang baru.” Jillian tertawa sumbang, tangannya terulur merapihkan poni Cantik. “Adik Rae enggak mau main boneka, maunya main mobil sama kereta.” Cantik mengerucutkan bibir. Cassius Rae Maverick-adiknya
Awalnya Callista berpikir kalau Caffe yang dibangun Jillian tidak akan bertahan lama karena ia begitu paham Jillian dengan segala sikap manjanya akan bosan apalagi ia yakin kalau Caffe itu dibangun hanya untuk membalas dendam kepadanya. Tapi nyatanya dua tahun berlalu dan Jillian tampak serius menjalankan Caffe itu, setiap hari pulang dari kampus mobil Jillian terlihat di pelataran Caffe hingga malam suaminya menjemput. Dan yang membuat Callista kesal adalah Caffe Jillian tidak pernah sepi pengunjung. Selalu saja pelataran parkir di depan Caffe itu penuh malah Jillian menyewa satu lahan sepanjang tahun untuk parkiran karena hari Sabtu atau minggu Caffe Jillian akan membudak dengan pengunjung. Padahal yang Callista tahu kalau menu di sana dibandrol cukup mahal. Pintarnya Jillian, ia sengaja membuat Caffenya eksclusive dengan sasaran kalangan atas tapi justru kalangan menengah dan mungkin ka
Jillian belum pernah merasa secemas ini dalam hidupnya. Ia khawatir launching Caffe-nya tidak berjalan lancar meski sudah menyewa EO dan mempersiapkan semuanya sesempurna mungkin. “Sayang, udah siap?” Kenzo melongokan kepala ke dalam walk in closet. Pria itu lantas masuk sambil mengembangkan senyum menawannya melihat Jillian yang tampak cemas berdiri di depan cermin seukuran tinggi Jillian. “Kamu gugup ya?” Kenzo berdiri di depan Jillian, kedua tangannya menggenggam tangan Jillian yang terasa dingin. Jillian meringis seraya mengangguk. “Aku khawatir ada masalah … Callista berulah misalnya.” “Kita enggak akan pernah tahu, tapi aku udah berusaha antisipasi semua faktor kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.” “Kamu selalu prepare banget kaya gini ya?” “Aku selalu merencanakan semuanya dengan matang.” Kenzo membingkai sisi wajah Jil
“Oke … nanti karangan bunga diletakan di dinding depan sebelah kiri dan tolong geser pot besar yang di depan itu … kayanya menghalangi pemandangan dari sudut bagian kanan,” titah Jillian kepada seorang pria pegawainya. “Baik, Bu!” Pria itu pergi untuk melakukan perintah Jillian. Jillian melangkah cepat menuju kitchen. “Pak Ronald, semua bahan sudah oke? Berapa porsi dari setiap menu yang bisa kita sediakan?” Jillian bertanya kepada kokinya. “Bahan aman Bu, bisa sampai lima puluh porsi dari setiap menu … ibu mau cek lemari pendingin kita?” “Enggak perlu, Pak … saya percayakan sama Bapak ya!” “Siap Bu.” Jillian lantas pergi menuju bar tempat baristanya meracik kopi. “Mas Raka bagaimana bahan-bahannya? Pak Ronald sudah oke di lima puluh porsi dari setiap menu ….” Raut cemas di wajah Jillian membuat Raka tersenyum. “Ten
“Pak Adam boleh kok kalau mau cium Cantik.” Awalnya Adam Askandar tampak ragu tapi kemudian menunduk untuk mengecup kepala Cantik. Bahunya mulai bergetar menahan isak tangis yang sedari tadi ia tahan hingga menyesakan dada. Sang asisten segera memegangi Adam Askandar sementara Augusta Maverick dan ayahnya Bima menghampiri Adam Askandar bermaksud menenangkan. Mereka berdua membawa Adam Askandar ke meja yang telah disediakan. Tatapan sendu Jillian selama beberapa saat memaku Kenzo. Pria itu bergerak mendekat untuk mengecup kening Jillian. “Jangan mikir yang enggak-enggak,” kata Kenzo mengingatkan. “Kamu kira aku lagi mikirin apa?” Jillian mengerucutkan bibirnya. “Tiara.” Jillian mengembuskan napasnya karena jawaban Kenzo benar. “Memangnya kamu udah enggak mikirin dia?”
Jillian melongo takjub dengan rahang sedikit terbuka, luar biasa terpukau semenjak mobil yang dikemudikan driver memasuki gerbang depan rumahnya. Rumah yang disiapkan Kenzo untuknya sebelum mereka membatalkan perjanjian perceraian. Dan sekarang, setelah dilakukan beberapa renovasi kecil dan pengisian furniture yang memakan biaya besar—Jillian ingin menempatinya bersama Kenzo dan si Cantik. “Rumah ini aku banget,” gumam Jillian yang baru saja melangkah memasuki pintu utama. “Kamu suka?” Kenzo yang tengah menggendong si Cantik bertanya dari belakang punggung Jillian. Jillian memutar tubuhnya, melangkah sekali untuk mengikis jarak dengan Kenzo. “Aku suka … sangat suka! Rumah ini pasti mahal banget ya?” Terlihat pendar haru di netra Jillian yang berwarna coklat. Sang suami yang kelewat tampan dan sabar itu memberikan senyumnya. “Buat kamu, enggak ada ya
“Daddy pulaaaang!” seru Jillian yang tengah menggendong si Cantik melangkah mendekati pintu lift yang terbuka menampilkan sosok pria tampan pujaan hatinya. Kenzo menjatuhkan tasnya lalu merentangkan kedua tangan setelah keluar dari lift dan kini Jillian beserta si Cantik berada dalam pelukannya. “Kalian wangi sekali,” kata Kenzo yang telah puas mendaratkan banyak kecupan di wajah Jillian dan si Cantik. “Iya donk, tadi mommy sama Cantik mandi bareng … aku udah bisa mandiin si Cantik lho, Yang.” Jillian begitu bahagia ketika menceritakan prestasi sebagai Ibu yang akhirnya bisa memandikan sang buah hati meski sudah terlambat dua bulan lamanya. “Waaaw, hebat!” Kenzo memuji, memberikan hadiah kecupan lagi di bibir Jillian. “Aku mandi dulu ya,” kata Kenzo yang merasa tidak nyaman dengan tubuhnya yang lengket karena seharian berada di proyek. Kenzo bergegas
“Mau sampai kapan lo ngehindarin gue terus?” Kin berdiri tepat di depan Jillian menghalangi langkah wanita itu yang selama beberapa minggu semenjak kembali berkuliah selalu menghindarinya. Jillian akan menundukkan kepala bila harus terpaksa berpapasan dengan Kin lalu berjalan cepat agar cowok itu tidak bisa menyusul atau bila sudah melihat Kin dari jauh—Jillian lebih baik mengambil jalan memutar. Sebesar itu kekesalan Jillian kepada Kin yang telah dengan sengaja—hanya demi nama baik keluarga—menyerahkannya kepada polisi. Jillian akhirnya mendongak menatap Kin nyalang. “Minggir lo!” serunya, mendorong dada Kin kasar. “Jill … gue minta maaf, denger gue dulu!” Kin mencengkram tangan Jillian yang tidak berhenti meronta. “Lo enggak ada kuliah lagi, kan? Gue mau ngomong sama lo … sebentar aja, gue mau jelasin sama lo.” “Udah jelas, enggak perlu lo jelasin lagi!” seru Jillian
Satu hari setelah Jillian mengetahui Kenzo membiayai pengobatan ibunya Amira. “Yang … duit jajan aku kok belum kamu transfer?” Jillian bertanya sambil mengangkat ponselnya ke udara memberitau bahwa baru saja ia mengecek saldo rekeningnya dan belum bertambah. “Lupa ya? Apa duitnya abis dipake bayar pengobatan ibunya tante Amira?” serobot Jillian padahal Kenzo sudah membuka mulutnya untuk memberi penjelasan. “Bukan begitu sayang, hari ini enggak tahu kenapa m-banking eror … aku coba transfer sekarang ya.” Kenzo mengeluarkan ponselnya dari saku celana, seharian ini selain sibuk, memang setelah berulang kali dicoba—Kenzo tidak bisa mengakses rekeningnya melalui m-banking. “Ga usah lah, urusin aja tuh ibunya tante Amira,” ujar Jillian sambil melengos keluar kamar. “Ya?” Kenzo melongo, kedua alisnya terangkat membuat kerutan di keningnya. Satu minggu setelah Jilli