Bel pertanda berakhirnya waktu ujian berkumandang.
Sorak sorai menggema di seluruh ruang kelas sebagai ungkapan perasaan lega para siswa dan siswi kelas dua belas karena Ujian Akhir Sekolah telah usai.Mereka akhirnya bisa kembali menjalani kehidupan sedikit santai tanpa tekanan.Jillian dan Callista saling berpelukan penuh suka cita.Pengawas yang sedang merapihkan barang-barangnya tidak terganggu dengan suara bising itu, beliau pergi setelah pamit dan tidak lama kemudian digantikan oleh wali kelas.Seketika suasana berganti hening mendengar suara sepatu pantofel wali kelas yang memasuki ruangan.“Mulai minggu besok sudah tidak ada pembelajaran lagi hingga acara perpisahan, kalian bisa liburan atau tidur seharian di rumah untuk mengganti waktu tidur kalian yang tersita karena belajar selama ujian.”“Yeaaaaayyyyy!” Sorakan kembali tercetus kian kencang bahkan beberapa siswa memukul meja menambah keriJillian langsung menabrak tubuh Rangga, memeluk pria itu begitu pintu ruangan Callista tertutup rapat. Butuh beberapa detik hingga akhirnya Rangga membalas pelukan Jillian. Jillian mendongak, mencari netra Rangga yang pasti mengabarkan kerinduan tapi bukan hanya itu yang ia temukan—ada kesedihan mendalam yang terpancar juga di sana. “Kenapa?” Jillian bertanya karena semestinya pria itu bahagia akhirnya mereka bisa bertemu dan bukannya menunjukkan wajah muram.Rangga membawa Jillian duduk di sofa, satu tangannya masih merangkul pundak Jillian lalu menarik tubuh sintal itu memeluknya kembali. “Kayanya aku hanya menjadi beban kamu aja ya, Jill?” Jillian menjauhkan tubuhnya dari Rangga, menatap penuh tanya pada sang kekasih. “Beban apa? Kamu ngomong apa sih?” “Kamu tahu ‘kan kalau aku mencintai kamu?” Jillian mengangguk, menunggu Rangga mengutarakan apa sebenarnya yang ada da
Jillian bergegas keluar sebelum Kenzo masuk ke ruangan itu dan menemukan Rangga di sana. Baru dua langkah kaki Jillian melewati pintu, ia langsung dihadapkan dengan tubuh tegap Kenzo yang baru saja menghentikan langkah. “Om,” gumam Jillian ketar-ketir. Khawatir Kenzo mengetahui ada Rangga di dalam sana sekaligus takut Kenzo melakukan hal yang bisa membongkar status mereka dihadapan Callista. Sorot mata Kenzo tak terbaca, Jillian tidak tahu apa yang sedang Kenzo pikirkan. Sesaat mereka hanya bertukar tatap tanpa bicara. “Om Kenzo, mau coba menu baru di Caffe ini? Yuk, Callista anter ke meja ….” Callista merangkul tangan Kenzo lalu menariknya membawa pria itu jauh-jauh dari ruangan di mana Rangga masih berada saat ini. “Nanti Jill menyusul, Jill ambil tas dulu.” Kenzo tidak menanggapi tapi langkahnya mengikuti tarikan tangan Callista. Jillian masuk ke ruangan Callist
Suara pintu yang dibanting kencang oleh Kenzo membuat Jillian akhirnya bernapas lega.Jillian berjongkok lalu menangis sekencang-kencangnya. Satu yang paling Jillian khawatirkan adalah setelah ini Kenzo menceraikannya dan ia berakhir di Panti Asuhan tanpa sepeser pun harta daddy. Setelah mengganti pakaiannya yang basah, Kenzo menyeberang ke walk in closet Jillian. Menggapai koper dari atas lemari lalu mengeluarkan beberapa pakaian Jillian secara asal dan memasukannya ke dalam koper. Ia juga menyambar tas kecil untuk memasukan beberapa skin care yang ada di meja rias tidak lupa dengan alat makeup Jillian. Kenzo masukan semua kebutuhan Jillian ke dalam tas kecil tersebut. Kenzo keluar dari walk in closet Jillian bertepatan ketika Jillian keluar dari kamar mandi hanya menggunakan bathrobe. Matanya membulat was-was melihat Kenzo menarik kopernya dari walk in closet. Apa Kenzo aka
Sepertinya perasaan khawatir bercampur feeling guilty yang besar setelah kepergok sedang selingkuh dari suaminya membuat mental Jillian lelah. Terbukti dari perjalanan singkat Jakarta-Bali itu tidak membuat Jillian terjaga hingga Kenzo harus menggendongnya turun dari pesawat lalu masuk ke dalam mobil yang akan membawa mereka ke sebuah resort yang telah disiapkan seorang klien. Setibanya di resort pun Kenzo begitu santai menggendong Jillian ala bridal—tidak peduli dengan tatapan aneh para karyawan resort—tetap mengayun langkah hingga ke kamar dituntun petugas hotel yang membawakan koper mereka. Dengan sangat perlahan, Kenzo merebahkan Jillian di atas ranjang dan gadis itu bergerak membelakangi Kenzo tapi sama sekali tidak terjaga. “Apa ada yang Pak Kenzo butuhkan lagi?” Dion bertanya dari ambang pintu, sekertarisnya itu tidak berani masuk karena ada Jillian. “Enggak ada, kamu boleh istirahat.” “Baik,
“Gue udah reschedule terus ini tiket pesawatnya, gimana? Mau pergi kapan?” cetus Callista. Jillian dan ketiga sahabatnya sedang melakukan panggilan video. Mereka tidak tahu jika Jillian sedang berada di Bali, jadi sengaja Jillian menerima panggilan video itu sambil berendam di kamar mandi. “Gue paling bulan depan bisanya,” cetus Izora yang katanya sekalian ingin mengecek kampus barunya di Inggris. “Setelah acara perpisahan donk.” Kirana tampak beranjak dari ranjang. Gadis itu lalu meraih kalender duduk di atas meja belajar. “Enggak kelamaan ya?” Callista terdengar tidak setuju. “Enggak apa-apa, jadi setelah semua beres—baru deh kita liburan.” Jillian menimpali. Ia setuju pergi bulan depan karena harus mengajukan proposal ijin pergi Euro trip kepada Kenzo yang sudah tidak mempercayainya lagi. “Oh gitu ya,” gumam Callista dengan berat hati. “Tanggal tujuh belas aja,
Setelah membuat Jillian mendapatkan pelepasan dengan cara yang luar biasa, Kenzo meninggalkannya begitu saja di atas meja dalam keadaan setengah telanjang. Sempat terdengar suara gemercik dari kamar mandi, ketika pria itu sedang membersihkan tubuhnya—Jillian merapihkan gaun tidur dan memakai celana dalamnya kembali. Selang berapa lama Kenzo keluar dari sana dengan hanya melilitkan handuk di pinggang. Jillian yang sudah naik ke atas ranjang dan membalut tubuhnya dengan selimut merasa kotor saat netra Kenzo menatapnya lekat bersama seringai tipis penuh kemenangan. Usai memakai pakaian tidur yang nyaman, Kenzo merangkak naik ke atas ranjang dan bergabung dengan Jillian ke dalam selimut yang sama lalu memeluknya dari samping. Cukup lama Jillian berbaring terlentang menatap langit-langit kamar. Benaknya berisik sekali dengan suara-suara dan pikiran tentang banyak hal. Tentang daddy yang memaksakan perjodo
Jillian menghirup udara dengan aroma laut yang kental itu dalam-dalam dengan mata terpejam dari balik sunglasessnya. Ia seperti sedang merasakan kebebasan yang hakiki karena ujian telah selesai dan juga kepergian Rangga ke Paris bersama masalah dengan pria itu yang tadi malam telah ia luruskan kepada Kenzo. Ke depannya, Jillian akan fokus melancarkan aksi untuk misinya merebut kembali GZ Corp. Menjadi gadis penurut dan pura-pura mencintai Kenzo. Pura-pura mencintai Kenzo mungkin tentatif karena tidak ada jaminan Jillian tidak akan jatuh cinta pada pria sesempurna Kenzo. “Sendirian?” Suara berat seorang pria membuat mata Jillian yang sempat terpejam perlahan terbuka. Jillian terusik dari keheningan yang tengah ia ciptakan sendiri. “Iya, kenapa?” Jillian menurunkan sunglases untuk bisa melihat wajah pria yang bertanya padanya. Cukup tampan, mungkin seumur dengan Rangga. Hanya menggunakan ce
Terpaksa—hanya agar putra yang begitu ia rindukan memiliki hutang budi dan tetap tinggal barang sebentar saja—Laura akhirnya membantu Jillian atau lebih tepatnya membela Jillian dengan memperlihatkan bukti rekaman cctv kepada petugas kepolisian. Berharap rekaman tersebut bisa meringankan setiap tuduhan yang mungkin akan dilayangkan pada Jillian. Karena di dalam rekaman terlihat si pria mendatangi Jillian, sayangnya rekaman itu tidak dapat menangkap suara tapi mimik wajah si pria terlihat jelas seperti sedang meledek Jillian. Saat ini Dion yang mengurus semua tentang si korban pelemparan asbak itu di rumah sakit sambil menunggu Yuda datang. Kenzo memperjuangkan agar Jillian tidak perlu dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan karena dari pihak korban pun belum mengajukan tuntutan. Kenzo berusaha untuk menempuh jalur kekeluargaan. Pihak kepolisian akhirnya pergi menyisakan La
“Mommy …,” panggil gadis kecil yang kini telah berusia empat tahun. Gadis kecil itu duduk membelakangi Jillian karena rambutnya sedang diikat pony tail sesuai permintaan sang gadis. “Yess Love?” Jillian menyahut. “Apa Cantik boleh memiliki adik lagi?” Jillian menaikkan kedua alisnya lalu mengerjap pelan. “Pasti Daddy yang meminta Cantik mengatakan itu sama Mommy, kan?” Jillian menjauhkan tangannya dari kepala Cantik, ia selesai mengikat rambut ikal gadis kecil yang cerewet itu. Cantik membalikan badan lalu tersenyum lebar. “Kata Daddy, Cantik bisa main Barbie sama adik Cantik yang baru.” Jillian tertawa sumbang, tangannya terulur merapihkan poni Cantik. “Adik Rae enggak mau main boneka, maunya main mobil sama kereta.” Cantik mengerucutkan bibir. Cassius Rae Maverick-adiknya
Awalnya Callista berpikir kalau Caffe yang dibangun Jillian tidak akan bertahan lama karena ia begitu paham Jillian dengan segala sikap manjanya akan bosan apalagi ia yakin kalau Caffe itu dibangun hanya untuk membalas dendam kepadanya. Tapi nyatanya dua tahun berlalu dan Jillian tampak serius menjalankan Caffe itu, setiap hari pulang dari kampus mobil Jillian terlihat di pelataran Caffe hingga malam suaminya menjemput. Dan yang membuat Callista kesal adalah Caffe Jillian tidak pernah sepi pengunjung. Selalu saja pelataran parkir di depan Caffe itu penuh malah Jillian menyewa satu lahan sepanjang tahun untuk parkiran karena hari Sabtu atau minggu Caffe Jillian akan membudak dengan pengunjung. Padahal yang Callista tahu kalau menu di sana dibandrol cukup mahal. Pintarnya Jillian, ia sengaja membuat Caffenya eksclusive dengan sasaran kalangan atas tapi justru kalangan menengah dan mungkin ka
Jillian belum pernah merasa secemas ini dalam hidupnya. Ia khawatir launching Caffe-nya tidak berjalan lancar meski sudah menyewa EO dan mempersiapkan semuanya sesempurna mungkin. “Sayang, udah siap?” Kenzo melongokan kepala ke dalam walk in closet. Pria itu lantas masuk sambil mengembangkan senyum menawannya melihat Jillian yang tampak cemas berdiri di depan cermin seukuran tinggi Jillian. “Kamu gugup ya?” Kenzo berdiri di depan Jillian, kedua tangannya menggenggam tangan Jillian yang terasa dingin. Jillian meringis seraya mengangguk. “Aku khawatir ada masalah … Callista berulah misalnya.” “Kita enggak akan pernah tahu, tapi aku udah berusaha antisipasi semua faktor kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.” “Kamu selalu prepare banget kaya gini ya?” “Aku selalu merencanakan semuanya dengan matang.” Kenzo membingkai sisi wajah Jil
“Oke … nanti karangan bunga diletakan di dinding depan sebelah kiri dan tolong geser pot besar yang di depan itu … kayanya menghalangi pemandangan dari sudut bagian kanan,” titah Jillian kepada seorang pria pegawainya. “Baik, Bu!” Pria itu pergi untuk melakukan perintah Jillian. Jillian melangkah cepat menuju kitchen. “Pak Ronald, semua bahan sudah oke? Berapa porsi dari setiap menu yang bisa kita sediakan?” Jillian bertanya kepada kokinya. “Bahan aman Bu, bisa sampai lima puluh porsi dari setiap menu … ibu mau cek lemari pendingin kita?” “Enggak perlu, Pak … saya percayakan sama Bapak ya!” “Siap Bu.” Jillian lantas pergi menuju bar tempat baristanya meracik kopi. “Mas Raka bagaimana bahan-bahannya? Pak Ronald sudah oke di lima puluh porsi dari setiap menu ….” Raut cemas di wajah Jillian membuat Raka tersenyum. “Ten
“Pak Adam boleh kok kalau mau cium Cantik.” Awalnya Adam Askandar tampak ragu tapi kemudian menunduk untuk mengecup kepala Cantik. Bahunya mulai bergetar menahan isak tangis yang sedari tadi ia tahan hingga menyesakan dada. Sang asisten segera memegangi Adam Askandar sementara Augusta Maverick dan ayahnya Bima menghampiri Adam Askandar bermaksud menenangkan. Mereka berdua membawa Adam Askandar ke meja yang telah disediakan. Tatapan sendu Jillian selama beberapa saat memaku Kenzo. Pria itu bergerak mendekat untuk mengecup kening Jillian. “Jangan mikir yang enggak-enggak,” kata Kenzo mengingatkan. “Kamu kira aku lagi mikirin apa?” Jillian mengerucutkan bibirnya. “Tiara.” Jillian mengembuskan napasnya karena jawaban Kenzo benar. “Memangnya kamu udah enggak mikirin dia?”
Jillian melongo takjub dengan rahang sedikit terbuka, luar biasa terpukau semenjak mobil yang dikemudikan driver memasuki gerbang depan rumahnya. Rumah yang disiapkan Kenzo untuknya sebelum mereka membatalkan perjanjian perceraian. Dan sekarang, setelah dilakukan beberapa renovasi kecil dan pengisian furniture yang memakan biaya besar—Jillian ingin menempatinya bersama Kenzo dan si Cantik. “Rumah ini aku banget,” gumam Jillian yang baru saja melangkah memasuki pintu utama. “Kamu suka?” Kenzo yang tengah menggendong si Cantik bertanya dari belakang punggung Jillian. Jillian memutar tubuhnya, melangkah sekali untuk mengikis jarak dengan Kenzo. “Aku suka … sangat suka! Rumah ini pasti mahal banget ya?” Terlihat pendar haru di netra Jillian yang berwarna coklat. Sang suami yang kelewat tampan dan sabar itu memberikan senyumnya. “Buat kamu, enggak ada ya
“Daddy pulaaaang!” seru Jillian yang tengah menggendong si Cantik melangkah mendekati pintu lift yang terbuka menampilkan sosok pria tampan pujaan hatinya. Kenzo menjatuhkan tasnya lalu merentangkan kedua tangan setelah keluar dari lift dan kini Jillian beserta si Cantik berada dalam pelukannya. “Kalian wangi sekali,” kata Kenzo yang telah puas mendaratkan banyak kecupan di wajah Jillian dan si Cantik. “Iya donk, tadi mommy sama Cantik mandi bareng … aku udah bisa mandiin si Cantik lho, Yang.” Jillian begitu bahagia ketika menceritakan prestasi sebagai Ibu yang akhirnya bisa memandikan sang buah hati meski sudah terlambat dua bulan lamanya. “Waaaw, hebat!” Kenzo memuji, memberikan hadiah kecupan lagi di bibir Jillian. “Aku mandi dulu ya,” kata Kenzo yang merasa tidak nyaman dengan tubuhnya yang lengket karena seharian berada di proyek. Kenzo bergegas
“Mau sampai kapan lo ngehindarin gue terus?” Kin berdiri tepat di depan Jillian menghalangi langkah wanita itu yang selama beberapa minggu semenjak kembali berkuliah selalu menghindarinya. Jillian akan menundukkan kepala bila harus terpaksa berpapasan dengan Kin lalu berjalan cepat agar cowok itu tidak bisa menyusul atau bila sudah melihat Kin dari jauh—Jillian lebih baik mengambil jalan memutar. Sebesar itu kekesalan Jillian kepada Kin yang telah dengan sengaja—hanya demi nama baik keluarga—menyerahkannya kepada polisi. Jillian akhirnya mendongak menatap Kin nyalang. “Minggir lo!” serunya, mendorong dada Kin kasar. “Jill … gue minta maaf, denger gue dulu!” Kin mencengkram tangan Jillian yang tidak berhenti meronta. “Lo enggak ada kuliah lagi, kan? Gue mau ngomong sama lo … sebentar aja, gue mau jelasin sama lo.” “Udah jelas, enggak perlu lo jelasin lagi!” seru Jillian
Satu hari setelah Jillian mengetahui Kenzo membiayai pengobatan ibunya Amira. “Yang … duit jajan aku kok belum kamu transfer?” Jillian bertanya sambil mengangkat ponselnya ke udara memberitau bahwa baru saja ia mengecek saldo rekeningnya dan belum bertambah. “Lupa ya? Apa duitnya abis dipake bayar pengobatan ibunya tante Amira?” serobot Jillian padahal Kenzo sudah membuka mulutnya untuk memberi penjelasan. “Bukan begitu sayang, hari ini enggak tahu kenapa m-banking eror … aku coba transfer sekarang ya.” Kenzo mengeluarkan ponselnya dari saku celana, seharian ini selain sibuk, memang setelah berulang kali dicoba—Kenzo tidak bisa mengakses rekeningnya melalui m-banking. “Ga usah lah, urusin aja tuh ibunya tante Amira,” ujar Jillian sambil melengos keluar kamar. “Ya?” Kenzo melongo, kedua alisnya terangkat membuat kerutan di keningnya. Satu minggu setelah Jilli