Nah loh ada hubungan apa ya Kael sama Virsha?? Dipastikan rumah tangga mereka semakin tegang ini ... Coba kalian tebak apa hubungan mereka?
“Zara harus keluar dari rumah ini, Mas.” Kalimat yang keluar dari mulut sang tante, Sarah, membuat Zara mematung. Niat hanya ingin mengambil air dari dapur, Zara malah tanpa sengaja mendengar pembicaraan om dan tantenya di dalam kamar tentang dirinya! “Apa maksud kamu, Sarah?” Om Zara, Riki, berucap dengan suara tertahan, seakan tak percaya dengan ucapan istrinya. “Semenjak ada Zara, keuangan kita jadi membengkak. Zio sebentar lagi akan masuk sekolah dasar, dan biayanya gak sedikit. Kalau Zara masih di sini, untuk makan aja kita bisa kesusahan, Mas!” keluh Sarah dengan suara lirih, tetapi masih bisa terdengar jelas di telinga Zara. “Tapi, Zara gak punya siapa-siapa, keluarganya cuma aku. Lagian, dia juga ‘kan kasih uang ke kita, masa tidak cukup?” jawab Riki. “Mas, 3 juta cukup buat apa?! Paling-paling itu cuma nutup biaya makan dia selama sebulan! Terus listrik, air, dan segala hal lain yang dia pakai gimana? Siapa yang tanggung kalau bukan kita?” balas Sarah dengan frustra
Kael Ashwara, putra tunggal sekaligus calon pewaris keluarga Ashwara yang ternama. Dia adalah sosok dingin dan penuh wibawa, yang memiliki prestasi luar biasa. Di usianya yang masih terbilang muda, 29 tahun, Kael telah diakui sebagai chef genius internasional dengan kemampuan luar biasa! Bahkan, setiap restoran yang dia miliki diberikan paling tidak dua bintang Michelin! Dan sekarang, pria luar biasa semacam itu … sedang mengakui Zara sebagai kekasih yang akan dia nikahi?! Kebohongan macam apa ini!? “C-Chef–” Baru ingin meminta penjelasan, ucapan Zara terhenti ketika melihat tatapan tajam dari Kael. Tanpa perlu bicara, Zara tahu pria tersebut sedang memperingatinya untuk bungkam! Di sisi lain, Clara seperti menggila. Dia membuka matanya lebar-lebar dan menatap Zara dengan penuh amarah, lalu beralih kepada Kael. “Gak mungkin! Jangan bohong, Kael” seru Clara dengan suara tinggi. “Aku tahu dia itu cuma pelayan di restoranmu. Mana mungkin kamu menolak aku hanya karena pelay
Ucapan Kael begitu tenang dan tatapan matanya juga terlihat datar seolah apa yang tadi dia katakan bukan suatu hal yang besar. Berbanding terbalik dengan Zara yang membelalakkan matanya, mulutnya terbuka, tetapi tidak ada kata yang keluar. Dia benar-benar tidak bisa mencerna semua ini dengan baik, semua terlalu mendadak. Bahkan, Clara pun tampak terperanga, tapi sorot matanya makin tajam dan penuh kebencian. Maharani juga tampak terkejut, benar-benar tidak menduga putra tunggalnya akan mengatakan hal seperti itu. Sebelumnya, dia memang selalu mendukung keputusan Kael, bahkan tentang Kael yang tidak ingin dijodohkan dengan Clara, putri keluarga Adinata. Namun, dia sama sekali tidak menyangka kalau putranya akan berbuat sejauh ini. Setelah menatap Kael dengan cukup dalam, bergulat dengan perasaan terkejut dan tanda tanya besar, Maharani berbalik menatap Zara. “Apa itu benar, Nak?” Mendengar pertanyaan itu, Zara diserang kebingungan. Dia tidak tahu apa yang harus dia katakan.
Audi A6 milik Kael berhenti tepat di depan pintu utama pusat perbelanjaan. Begitu Kael dan Zara keluar, para penjaga keamanan dan beberapa resepsionis pusat perbelanjaan itu menunduk kepada mereka penuh hormat. Seorang pria langsung mengambil alih untuk memarkirkan mobil Kael. Melihat ini semua, pikiran Zara kembali berputar keras. Kenapa mereka semua menunduk penuh hormat kepada Kael dan dirinya? Mereka hanya dua orang biasa–bukan, Zara hanya orang biasa yang ingin membeli cincin pernikahan bersama dengan Kael, atasannya yang memang berasal dari keluarga ternama, tetapi tetap saja Kael bukan seorang presiden atau bahkan pemilik pusat perbelanjaan ini. “Selamat datang, Tuan Muda. Mari saya antar,” kata seorang resepsionis wanita yang penuh dengan rasa hormat. Sebentar … Tuan Muda? Zara mengernyitkan dahinya, merasa semakin heran dengan panggilan itu. Mengapa Kael dipanggil Tuan Muda? Kael hanya mengangguk pelan dan berjalan mengikuti resepsionis wanita itu, dan Zara tentu
Zara membelalakkan mata. “Hah?! Chef, tapi–” Kael justru menatapnya dengan dingin, membuat Zara tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ini benar-benar di luar dugaan Zara. Dalam satu hari ini terlalu banyak masalah berat yang Zara alami. Setelah masalah dengan keluarga omnya, lalu pertengkaran bos dan tunangannya hingga menariknya ke dalam masalah mereka, dan sekarang berakhir dengan dia yang menikah dengan bosnya sendiri. Setelah beberapa saat, mereka benar-benar tiba di kantor catatan sipil. Seseorang langsung memberikan sebuah amplop kepada Kael dan memandu mereka untuk memasuki kantor catatan sipil. Zara hanya bisa mengekor dengan pasrah, seolah semua jalan hidupnya hari ini telah ditentukan dengan sangat rinci. Namun, perasaan bingung dan khawatir tentu saja masih memenuhi kepalanya. Kini, mereka berdua duduk di hadapan seorang petugas kantor catatan sipil yang sepertinya adalah orang yang bertugas untuk menikahkan pasangan. Pria paruh baya itu memberikan akta pernikahan
Pagi ini, mereka telah di rumah keluarga Zara untuk mengambil beberapa barang Zara. Zara mendapati bahwa hari itu omnya sedang tidak bekerja. Pasalnya, Zara langsung melihat omnya sedang duduk di teras. Raut wajah Riki terlihat bingung dan sedikit cemas. Namun, wajahnya langsung berubah begitu melihat Zara datang bersama seorang pria yang jelas orang asing baginya. “Zara? Dari mana aja kamu? Kenapa semalam gak pulang?” Riki langsung memberi rentetan pertanyaan pada keponakannya, sesekali matanya melirik Kael dengan curiga. “Siapa laki-laki ini?” Zara menelan ludah, bingung harus mulai dari mana dia menjelaskan. “Om, ini–” “Saya suami Zara,” potong Kael dengan mantab, membuat Riki langsung membelalakkan mata. Suami?! “Apa maksudmu?” tanya Riki dengan suara sedikit tinggi, benar-benar masih tidak percaya dengan ucapan itu. Dia menatap Kael cukup intens. “Om, ini Che— ah maksudku ini Kael … sekarang aku sudah menikah dengan Kael,” lanjut Zara pelan, sambil mengeluarkan a
Zara terpaku, kaget dengan apa yang baru saja dilakukan Kael. Tidak mungkin pria sedingin Kael mau membelanya, ‘kan?! Apa ini bagian dari sandiwara mereka? Zara memanggil Kael pelan, “Chef … ” Namun, Kael sama sekali tidak menoleh. Dia masih terus menatap Sarah penuh intimidasi, aura dingin dan mencekam benar-benar terpancar dari dirinya. Zara melirik Sarah yang masih berdiri kaku dengan wajah bingung dan merah padam, tapi tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Kael melepaskan genggamannya perlahan, tetapi penuh ketegasan. Tatapannya tajam, dingin, dan menusuk, membuat Sarah secara refleks mundur selangkah. Tanpa berkata apapun lagi, Kael berbalik menghadap Zara yang masih terpaku di tempat, kemudian berjalan memasuki mobil. Zara menelan ludah, bergegas mengikuti langkah Kael menuju mobil. Namun, sebelum benar-benar pergi, dia melirik ke arah Sarah. Tantenya masih berdiri kaku di tempat, menunduk dengan ekspresi yang penuh campuran emosi. Zara yang masih sedikit
Clara melangkah masuk. Wajahnya memerah, bibirnya tertarik dalam ekspresi marah. “Kael,” suaranya penuh tuduhan, mata menatap Kael tajam, “Kamu pikir aku sebodoh itu?” “Selama ini, aku tahu siapa kamu. Hidupmu cuma tentang pekerjaan!” lanjutnya, suaranya meninggi. “Kamu bahkan tidak pernah terlihat dekat dengan perempuan manapun.” “Kemarin kamu bilang dia hamil, dan sekarang? Tiba-tiba kamu bilang sudah menikah?” matanya melirik tajam ke arah Zara, “Ini tidak masuk akal!” Clara berhenti sejenak, tatapannya menusuk, sebelum tawa pendek penuh ejekan lolos dari bibirnya. “Kael, siapa yang akan percaya kebohongan murahan seperti ini?” Kael tetap diam, hanya menatap Clara dengan dingin. Tidak ada reaksi berlebihan, hanya tatapan yang penuh ketenangan berlapis ancaman. “Cukup, Clara,” ucapnya akhirnya, suaranya rendah dan datar, tapi terasa seperti sebuah perintah yang tidak bisa dibantah. Tapi, Clara tidak berhenti. Dia mengalihkan pandangannya kepada Zara, memandangnya dari
"Halo, Tante," sapa Varsha hangat, sebelum matanya beralih ke Kael. Bibirnya melengkung lebih lebar, nada suaranya berubah menjadi lebih lembut. "Kael, lama kita nggak ketemu!"Zara menegang tanpa sadar.Senyuman wanita itu sangat berkelas, aura percaya diri mengelilinginya, seolah kehadirannya di tempat ini adalah sesuatu yang sudah biasa.Kael yang biasanya sedikit bicara, justru langsung membalas sapaan itu. Meski ada sedikit kecanggungan di wajahnya, tetapi nada bicaranya tidak sedingin biasa."Kapan datang?" tanya Kael singkat dengan senyum samar yang hampir sulit dilihat di wajahnya.Varsha menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Dia menjawab sambil tersenyum kecil. "Baru tadi pagi. Aku langsung ke sini setelah urus beberapa hal. Aku cuma mampir sebentar, nggak nyangka kamu ada disini juga."Zara diam, mencoba mencerna informasi itu.Kael masih menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak, alisnya sedikit berkerut. "Mampir? Memangnya kamu dari mana?"Varsha terkekeh, tatap
Acara pun berlanjut hingga malam hari. Orang-orang mulai berpamitan, satu per satu meninggalkan tempat acara. Zara melirik layar ponselnya, berharap Kael sudah mengirim kabar. Namun sejak tadi, ponselnya sepi.Akhirnya, dia mengetik pesan.[Kael, di mana? Mau jemput aku jam berapa?]Tidak lama kemudian, balasan masuk.[Aku masih di restoran. Ada masalah sedikit. Kamu ikut ke rumah ibu saja dulu, nanti aku jemput di sana.]Zara menghela napas pelan. Dia tidak tahu masalah apa yang sedang Kael hadapi di restoran, tetapi yang jelas, malam ini dia tidak bisa langsung pulang bersama Kael.Maharani yang duduk di sebelahnya menoleh. “Gimana, Zara? Kael sudah di jalan?”Zara menggeleng. “Sepertinya Kael masih ada urusan di restoran, Bu. Saya ikut Ibu pulang dulu saja.”“Oh, ya sudah. Ayo kita pulang,” ujar Maharani sambil merapikan tasnya.Zara mengikuti langkah Maharani keluar dari restoran, sesekali melirik layar ponselnya. Ada perasaan aneh di dadanya—entah karena Kael, atau karena Clara ta
Di samping Clara, seorang wanita paruh baya juga duduk dengan tenang, membenahi tas mahalnya di pangkuan. Anggun Kartika Adinata—ibu Clara.Zara menelan ludah, dadanya yang semula terasa sesak kini semakin berat.Telapak tangannya sedikit berkeringat. Matanya tetap tertuju pada Clara dan Anggun yang duduk tenang di sudut ruangan, seolah tak terganggu oleh kedatangan Zara.Zara melirik Maharani, seolah mencari penjelasan. Maharani hanya tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan Zara dengan lembut, seolah memberi isyarat agar dia tetap tenang."Mereka memang selalu datang," ujar Maharani pelan, suaranya hanya cukup untuk didengar Zara. "Ibu sengaja tidak memberitahumu, takut kamu tidak mau hadir."Zara membelalakkan mata tipis, hatinya mencelos. Jadi, Maharani memang sudah menduga bahwa dia akan merasa tidak nyaman jika tahu Clara ada di sini?Kael yang berdiri di sebelahnya menyadari perubahan ekspresi Zara. Dia melirik ke arah yang sama, lalu mendengus kecil."Kalau kamu nggak nyaman, k
Zara bisa merasakan adanya kecemasan yang tersembunyi dalam suara Kael. Zara tersenyum singkat, mencoba meredakan ketegangan."Tenang aja, Kael. Ini ibu yang telepon," jawab Zara, berusaha menjaga suasana tetap santai meski dia tahu Kael merasa cemburu.Maharani terdengar di ujung telepon, suaranya ceria dan penuh kehangatan. "Zara, nanti akhir pekan bisa nggak kamu anterin Ibu ke acara arisan? Ada beberapa kenalan Ibu yang ingin bertemu kamu. Ibu pikir, sambil sekalian memperkenalkan menantu kesayangan Ibu ini.”Zara sedikit terkejut mendengar permintaan itu. Namun, dia tidak bisa menolak permintaan ibu mertuanya. Meskipun ada rasa cemas, dia tidak ingin mengecewakan Maharani.Zara mengangguk, meskipun Maharani tidak bisa melihatnya."Tentu, Ibu. Saya akan datang," jawab Zara, mencoba terdengar mantap meskipun sedikit bimbang.Setelah telepon selesai, Zara meletakkan ponselnya di meja, dan Kael menatapnya dengan tatapan serius, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut."Ada apa?" tanya
Zara membeku. Matanya terbelalak menatap emoji hati yang bertengger manis di akhir kalimat. Jantungnya langsung berdebar kencang. Kael? Ngirim emoji hati?Tangan Zara buru-buru mengetik balasan.[Kael ... emoji itu maksudnya apa?]Pesannya belum sempat terkirim ketika muncul notifikasi lain.[Tenang aja, sudah aku beresin sama cara aku.]Zara menganga. Pesan dengan emoji itu hilang. Dia mengetuk-ngetuk layar ponselnya, memastikan kalau dia tidak salah lihat.[Kael? Kamu barusan hapus sesuatu, ya?]Kael membalas singkat.[Typo.]Zara menggigit bibirnya, menahan tawa yang hampir lolos.Kael, meskipun dia dingin dan tidak pernah banyak bicara, tetap saja ada momen-momen seperti ini yang membuat hati Zara berdebar dan ingin berbalik menggoda Kael. Namun untuk sekarang, dia memilih menyimpan kebahagiaan kecil ini sendiri, menikmati perasaan hangat yang meluap tanpa perlu mengungkapkannya.Setelah kejadian itu, Zara kembali bekerja dengan perasaan sedikit lebih ringan. Meski masih ada sisa r
Zara menelan ludah lalu terdiam sejenak, memikirkan bagaimana harus menjelaskan situasi ini. Di satu sisi, dia merasa bersalah karena mencoba mengelak dari kenyataan yang sudah jelas, tapi di sisi lain, dia tak bisa membiarkan Andin mengetahui lebih banyak tentang apa yang terjadi dengan Kael."Lo nggak lagi sakit ‘kan, Andin?" Zara akhirnya memecah keheningan dengan pertanyaan yang terdengar seperti pembelaan diri.Andin menoleh dengan tatapan bingung."Nggak kok, kenapa lo tanya gitu sama gue?" jawab Andin, masih dengan nada tidak mengerti.Zara tersenyum canggung, dia sedikit gugup."Iya, itu buktinya lo halusinasi. Masa iya gue turun dari mobil Chef Kael? Gak mungkin, ‘kan? Gue baru turun dari bus, kayaknya Chef Kael juga mau ke restoran, lo ada-ada aja." Zara berusaha menjelaskan, meskipun kata-katanya terdengar sedikit dipaksakan.Andin menatapnya sejenak, seperti mencoba mencerna, lalu tersenyum kecil. "Iya sih, nggak mungkin. Gue salah lihat kayaknya."Zara menghela napas lega,
Zara mematung. Kalimat terakhir dari Kael seperti sebuah air es yang mengguyur sekujur tubuhnya.Di satu sisi, Zara memang tidak bisa membohongi dirinya yang mulai merasakan sesuatu aneh ketika bersama Kael. Di sisi lain, ia takut bahwa ini mungkin akan menjadi awal buruk baginya.Di sela genggaman itu, ibu jari Kael mengusap lembut tangan Zara, menyalurkan rasa aman. “Kamu gak perlu takut.”Zara menatapnya, mencari sesuatu di mata pria itu. Kejujuran? Ketulusan? Atau hanya sesuatu yang terasa nyata, padahal bukan?Dia tidak menemukan kebohongan di sana. Hanya ada Kael, dengan ekspresi datarnya yang khas, tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda."Kael ..." suara Zara lirih, tapi tidak tahu harus melanjutkan dengan apa.Kael menarik napas, lalu tersenyum kecil. "Aku mau kita mulai dari awal. Sebagai kita. Bukan karena kesepakatan atau paksaan siapa pun."Zara masih diam.Kael sekarang bertanya-tanya, apakah dia belum cukup untuk meyakinkan Zara? Apakah selama ini tindakannya belum bisa
Setelah berhasil keluar dari pelukan Kael dan selesai mandi, Zara melilitkan handuk di tubuhnya dan kembali ke kamar untuk berpakaian. Suasana kamar terasa berbeda sekarang, meski Kael sudah tidak ada di sana. Dia merasa kosong, canggung, tetapi juga ... ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuat hatinya terasa berat.Saat dia selesai berpakaian, suara Kael terdengar dari bawah."Zara, ke sini sebentar," panggil Kael dengan tegas, tanpa tergesa.Zara merasa detak jantungnya kembali berdebar. Ada perasaan canggung, tetapi dia tahu, apa pun yang Kael ingin bicarakan, ini penting.Dengan langkah pelan, dia keluar dari kamar dan menuruni tangga, menuju ruang tamu tempat suara Kael berasal.Kael duduk di sofa, wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya. Ketika Zara muncul, matanya langsung terarah padanya. Dia melambaikan tangan, memberi isyarat agar Zara mendekat, lalu sambil menepuk tempat di sampingnya.Zara ragu sejenak, berdiri di tempatnya dengan tangan menggenggam ujung bajunya.
Mereka akhirnya sampai di rumah, Zara setengah terhuyung mengikuti langkah cepat Kael yang tetap memegangnya erat. Begitu masuk, Kael langsung membawanya ke kamar."Kael, aku bisa sendiri!" Zara mencoba membebaskan diri, tetapi Kael tidak mendengarkan. Dengan satu gerakan, dia membukakan pintu kamar dan membawa Zara ke ranjang.Dia memiringkan tubuh Zara, bersiap membaringkannya. Namun, tubuh Zara yang tidak seimbang membuat Kael juga kehilangan kendali. Tanpa sengaja, Kael ikut jatuh ke ranjang.Bruk!Tubuh Kael menimpa Zara, membuat wajah mereka hanya terpisah beberapa inci.Zara yang kini membelalak kaget, tanpa sadar membuat wajahnya memanas. Kael menahan diri dengan kedua tangannya di sisi kepala Zara, mencoba menjaga jarak, tetapi jarak di antara mereka sudah terlalu dekat.Zara mengedipkan mata, napasnya tertahan."Kael ... " bisik Zara pelan, suara itu hampir tak terdengar.Kael tetap diam, tubuhnya masih berada di atas Zara. Napas Kael menyentuh wajah Zara, hangat dan tak ber