Asik nih pengantin baru mau bulan madu :) Coba dong absen pembaca tersayang, siapa yang udah baca sampai bab ini??
Zara menatap Kael dengan mata berbinar, merasa semakin dekat dengan Kael daripada sebelumnya."Kamu ini, selalu bisa bikin aku salah tingkah," gumam Zara, akhirnya menyerah pada perasaan canggung yang perlahan memudar seiring tawa yang datang begitu alami di antara mereka.Kael menatapnya, senyum tipis terukir di wajahnya. Senyum yang jarang terlihat, tapi setiap kali muncul, selalu berhasil membuat Zara kehilangan kata-kata."Kalau gitu, kita bahas nanti. Sekarang … kita tidur, ya?" kata Kael, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.Zara menatapnya sejenak sebelum akhirnya membalikkan badan, membelakangi Kael. Tapi baru beberapa detik, suara beratnya kembali terdengar."Jangan membelakangi aku, Zara."Zara terkesiap pelan. Ada sesuatu dalam nada suaranya—bukan perintah, bukan rengekan, hanya pernyataan yang terasa begitu dalam.“Oh, iya aku lupa.” Zara menggigit bibir, lalu perlahan berbalik lagi. Menatap Kael yang masih memandangnya dengan ekspresi sulit ditebak.Kael tidak b
Seperti biasa, Zara turun di tempat yang agak jauh dari restoran. Langkahnya lebih hati-hati, memastikan tak ada yang memperhatikan sebelum akhirnya berjalan menuju restoran.Insiden ketika Andin melihatnya turun dari mobil Kael masih membekas di pikirannya. Satu kali kesalahan sudah cukup membuatnya panik mencari alasan.Ketika Zara sampai di depan restoran, pintu utama masih tertutup rapat, hanya lampu kecil yang menyala di dalam. Beberapa staf sudah datang lebih awal, sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk menu hari ini.Zara melangkah maju, hendak masuk ke restoran, tetapi suara familiar yang memanggil namanya menghentikan langkahnya."Zara."Zara menoleh, sedikit terkejut. Varen berdiri di dekat pintu, mengenakan jaket hitam yang terlihat lebih tebal dari biasanya."Oh, Varen. Lo datang lebih awal?" ucap Zara, berusaha terdengar santai meski hati mulai gelisah.Varen mengangguk pelan, senyumnya tipis. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Zara menebak, ini bukan percakapan ringan
Andin menatap Zara beberapa detik, lalu tertawa kencang."Ra, setahu gue yang kena senggol Ana itu tangan lo. Tapi kenapa yang bermasalah malah kepala?" ujar Andin, masih terkekeh.Zara ikut tertawa, menggeleng pelan. Dia tahu, sekalipun dia berkata jujur, Andin pasti tidak akan percaya.Siapa juga yang akan percaya kalau Zara—pelayan biasa di restoran ini, sebenarnya adalah istri dari Chef Kael yang terkenal dingin itu?"Serius, Din. Gue istri Chef Kael," kata Zara dengan nada setengah bercanda.Andin memutar bola matanya lalu melipat tangan di dada."Iya, iya. Kalau lo istri Chef Kael, berarti gue tunangannya Jefri Nichol," kata Andin dengan nada meledek."Ra, lo tuh kalau mau ngelawak, yang realistis dikit dong," lanjut Andin.Zara tersenyum samar sambil memasukkan botolnya kembali ke dalam loker. Andin memang tidak tahu tentang pernikahannya dengan Kael. Kalau sampai dia tahu yang sebenarnya, reaksinya pasti akan jauh lebih heboh.“Eh, tapi Ra. Gue perhatiin, Chef Kael tuh nggak s
Zara berpikir cepat, mencoba mengendalikan situasi sebelum semuanya semakin kacau. Dengan satu tarikan napas, dia menatap Ana tajam, lalu melipat tangan di dada.Keberanian itu muncul begitu saja, mungkin karena Zara merasa sudah sangat terdesak."Ana, kamu tuh nggak capek hidup ngurusin orang lain?" tanya Zara dengan suara terdengar lebih dingin dari biasanya."Aku cuma kasih tahu Varen kenyataan yang kamu sembunyiin." Ana mendengus, melipat tangannya dengan ekspresi meremehkan.Zara mengangkat alis, lalu mengangguk seolah baru menyadari sesuatu. "Oh, pantesan kamu selalu nyebar gosip aneh tentang aku di restoran ini. Kamu iri, ya?""Aku iri sama kamu? Nggak mungkin!" Ana langsung meradang, matanya membelalak."Terus kenapa kamu segitu sibuknya ngurusin hidupku?" Zara melangkah maju, tidak lagi mau mundur.Ana terkekeh sinis. "Aku cuma nggak tahan lihat orang munafik kayak kamu, Zara. Berapa lama lagi kamu mau pura-pura?""Dengar, Ana. Kamu boleh nggak suka sama aku, tapi kamu nggak
Zara mengernyit, tangannya menggenggam gagang pintu sebelum mendorongnya perlahan. Begitu masuk, rumah terasa gelap, hanya ada cahaya kecil dari ruang makan yang menarik perhatiannya.Di atas meja, lilin-lilin kecil tersusun rapi, menerangi dua set hidangan yang tertata dengan apik. Beberapa kelopak bunga tersebar di sekitar piring, dan di tengahnya, ada satu botol wine yang sudah terbuka. Aroma masakan tercium samar, mengisi keheningan yang sebelumnya menyelimuti ruangan.Zara diam di ambang pintu, mencoba mencerna pemandangan di depannya. Ini bukan sesuatu yang biasa. Dan hanya ada satu orang yang mungkin melakukannya.Kael.Dari balik dapur, sosok pria itu muncul, masih mengenakan apron hitam dengan kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku. Dia tampak santai, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Zara tidak bisa berpaling."Kael?" Zara akhirnya mengerjapkan mata, memastikan kalau ini bukan mimpi."Gimana? Kamu suka, nggak?" Kael berhenti di samping meja, lalu menatap Z
Zara terdiam sejenak. Dia menimbang-nimbang kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. Tidak mungkin dia bilang kalau Varen sudah menyatakan perasaannya secara langsung.Bisa-bisa besok pagi Varen langsung kehilangan pekerjaannya. Zara sudah tahu betul, bagaimana sifat suaminya ini.“Mungkin. Tapi aku nggak pernah menganggap dia lebih dari rekan kerja,” jawab Zara akhirnya.“Bagus.” Kael mengangguk pelan, tangannya mengambil gelas wine yang tadi dia letakkan di meja, lalu menyesapnya perlahan.Zara berdecak pelan, lalu menaruh gelasnya di meja. “Kenapa? Kamu khawatir aku juga suka sama Varen?”“Enggak.” Kael menoleh perlahan, matanya menatapnya dengan ekspresi datar, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“Karena aku tahu kamu cuma suka sama aku. Jadi, aku nggak perlu khawatir,” lanjut Kael sambil menyeringai tipis, nada suaranya tenang, tetapi justru terasa terlalu percaya diri.Zara terdiam. Matanya menatap Kael, mencerna kata-kata itu. Sejak kapan pria ini jadi begitu percaya di
Zara menatap layar ponsel Kael yang masih bergetar. Nama ‘Virsha’ terpampang jelas di sana.Hatinya berdebar, jelas tidak suka. Kael masih terlelap. Wajahnya terlihat tenang dalam tidurnya, seolah tidak terganggu sedikit pun oleh dering telepon yang terus berulang.Zara melirik ponsel itu sekali lagi. Haruskah dia membangunkannya? Atau ... membiarkannya saja?Jarinya hampir tergerak untuk mematikan panggilan itu, tapi kemudian dia menarik napas dalam. Tidak, dia tidak akan melakukan hal kekanak-kanakan seperti itu.Layar ponsel akhirnya meredup, tetapi hanya selang beberapa detik, dering itu kembali terdengar. Kali ini lebih lama, lebih mendesak.Zara menghela napas pelan, lalu akhirnya menyentuh lengan Kael, mengguncangnya ringan. “Kael, ada telepon.”Kael hanya bergerak sedikit, lalu bergumam dengan suara yang berat dan serak, “Siapa?”“Virsha,” jawab Zara, suaranya lebih datar dari yang dia kira.Mata Kael terbuka perlahan. Dia melirik ponselnya yang masih menyala sebelum akhirnya
Zara sadar, jika dia memilih pergi, itu berarti dia membiarkan Virsha berpikir bahwa dia memiliki kendali dalam situasi ini.Dengan langkah tenang dan setelah menarik napas panjang, akhirnya Zara memutuskan untuk masuk. Suara derap sepatunya di lantai membuat Virsha menoleh. Wanita itu tampak kaget begitu melihat Zara, tetapi keterkejutan itu hanya berlangsung sepersekian detik sebelum wajahnya kembali normal.Perlahan, Virsha melepas pelukannya, tetapi bukan karena merasa bersalah. Gerakannya santai, nyaris enggan, seolah baru saja melepaskan sesuatu yang memang menjadi miliknya."Oh Zara, aku nggak tahu kalau kamu datang juga," kata Virsa dengan nada bicara yang terdengar sedikit terlalu santai.Zara tidak langsung menjawab. Tatapannya hanya tertuju pada Kael, yang masih berdiri di sana tanpa ekspresi. Tangannya sudah menjauh dari punggung Virsha, tapi itu tidak menghapus fakta bahwa dia memang membalas pelukan tadi."Kamu khawatir juga sama aku, Zara?" Virsha kembali bersuara, kali
Pernikahan Andin dan Varen diadakan di sebuah ballroom hotel, yang juga menjadi tempat Zara menginap malam ini. Ballroom itu didekorasi dengan nuansa pastel yang lembut dan romantis, selaras dengan gaun pengantin yang dikenakan Andin—warna pink pastel dengan aksen bunga-bunga kecil di bagian lengan. Sementara Varen tampak gagah dalam setelan jas berwarna putih.Sahabatnya itu sangat cantik hari ini, memancarkan aura kebahagiaan yang hangat. Saat melihat Zara datang, Andin segera melambaikan tangan, wajahnya sumringah seolah sudah tak sabar menunggu. Di sampingnya, Varen juga tersenyum ke arah Zara, ramah seperti biasanya.Jujur saja, terasa aneh melihat mereka berdiri berdampingan seperti ini. Ada sedikit ruang kosong di dada Zara saat mengingat bahwa dulu, Varen adalah pria yang pernah menyukainya.“Zara, gue kira lo nggak akan datang,” ucap Andin begitu Zara sudah berada di dekat mereka.Memang, awalnya Zara ragu untuk datang. Anjana sempat memintanya membatalkan kehadiran dengan al
“Zara, nanti kamu selama di sana ditemani bodyguard saja ya?” ucap Anjana sembari menuangkan teh ke dalam cangkir di hadapannya.Pagi itu, aroma roti panggang dan scrambled egg menguar dari dapur. Namun, meja makan keluarga Wijaya tidak sehangat biasanya. Ada kecanggungan yang menggantung di udara, sejak pembicaraan soal kepergian Zara ke luar kota.Hari ini, Zara akan menghadiri pesta pernikahan Andin dan Varen—dua sahabatnya yang telah lama menantikan hari bahagia itu. Namun, karena pestanya diadakan di luar kota, Gala menyarankan Zara untuk tidak terlalu memaksakan diri. Dia harus menginap semalam agar tubuhnya tak kelelahan, terutama pasca keguguran.Namun, permintaan Anjana terasa berlebihan. Ditemani bodyguard hanya untuk menghadiri pesta?Zara mendongak dari piringnya. Telur setengah matang di garpunya sudah dingin.“Ma, tapi saya cuma nginep satu malam aja. Nggak perlu sampai pakai bodyguard segala,” tolak Zara, berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya terasa sesak. Ini buka
“Chef, tastenya sudah pas?” Suara salah satu sous chef membuyarkan lamunan Kael.Pria itu mengangguk pelan. “Sudah,” jawabnya singkat.Kini Kael berdiri di dapur The Velvet Spoon—tempat yang sudah cukup lama tidak dia kunjungi. Setelah urusan di Ashwara Group sedikit lebih stabil sejak pengangkatannya sebagai presiden direktur, Kael akhirnya memutuskan kembali ke restorannya. Bukan untuk inspeksi atau evaluasi besar-besaran, tapi sekadar menenggelamkan diri dalam kesibukan yang bisa mengalihkan pikirannya.Sudah seminggu sejak Zara pergi dari rumah. Dan sejak itu, Kael belum bisa sepenuhnya tenang.Kael hanya butuh mengalihkan pikirannya. Mencari pelarian. Mencegah dirinya terlalu larut memikirkan satu hal yang akhir-akhir ini selalu membuat dadanya sesak, yaitu perpisahannya dengan Zara.Tangan pria itu tetap bergerak, mengarahkan tim, mencicipi, memberi instruksi. Namun, pikirannya tidak benar-benar ada di sana.Sesekali, matanya tertuju pada kaca yang menghadap ke area servis. Dari
“Apa kamu bilang?! Dokter Gala … ayah dari Zelena?!” bentak Anjana, begitu Ceva akhirnya jujur tentang siapa ayah kandung anaknya. Matanya membelalak, suaranya tajam dan bergetar menahan marah.“Iya, Ma …” Ceva menunduk, suaranya lirih. “Gala ayahnya.”Tubuh Ceva gemetar. Dia tahu ini akan terjadi. Namun, tetap saja, saat berhadapan langsung dengan amarah ibunya, semuanya terasa jauh lebih berat dari yang dia bayangkan.Wajar jika Anjana semarah ini. Selama bertahun-tahun, Ceva menyimpan kebenaran itu sendiri. Bagi orang lain, ini mungkin hanya kisah cinta yang kandas. Namun, bagi Anjana yang menjaga nama keluarga seperti menjaga napasnya sendiri, ini adalah aib yang tak termaafkan.Anjana menatap putrinya dengan sorot tajam. “Kenapa kamu tidak bilang dari dulu?! Kamu anggap Mama ini apa?!”Ceva tak sanggup menjawab. Dia hanya diam, berharap ibunya berhenti bicara, walau tahu itu mustahil.Dulu, Ceva sempat magang di rumah sakit tempat Gala bekerja. Di sanalah semuanya dimulai. Hubunga
Gadis kecil yang selalu tersenyum hangat padanya ... adalah anak Gala?Mantan kekasihnya?Ini gila.Seketika, perut Zara terasa mual. Entah karena syok, kaget, atau karena tubuhnya yang sedang hamil memang tak kuat menampung kenyataan sebanyak ini di pagi hari. Dia mundur selangkah, berniat meninggalkan tempat itu diam-diam.Prang!Sebuah suara nyaring pecah di udara. Vas bunga di atas meja kecil dekat tirai jatuh dan hancur berkeping-keping di lantai.Zara mematung. Matanya melebar, jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat.‘Gawat. Aku ketahuan,’ batin Zara panik.Dari taman, Gala langsung menoleh cepat. Begitu pula Ceva. Wajah keduanya berubah—kaget, panik, dan bingung dalam waktu bersamaan.“Zara?” Suara Gala terdengar pelan, nyaris tak percaya.Zara hanya berdiri kaku, masih terperangkap antara ingin berlari atau berpura-pura tidak mendengar apa pun. Namun, semuanya sudah terlambat. Tatapan mereka bertemu. Tak ada lagi yang bisa disembunyikan.Ceva bangkit dari bangku, langkahny
Zara tersenyum kecil saat membaca pesan dari Andin.Ah, benar juga. Andin akan menikah minggu depan. Karena semua kekacauan yang terjadi belakangan ini, Zara sampai lupa akan undangan pernikahan sahabatnya itu.Andin dan Varen.Sebuah pasangan yang tak pernah dia bayangkan akan bersama. Andin adalah sahabatnya, teman baiknya sejak awal kuliah.Sedangkan Varen ... pria yang pernah menyatakan cinta padanya. Pria yang sempat membuat hatinya goyah, tapi tidak cukup kuat untuk menggantikan Kael.Dan sekarang? Varen akan menikahi sahabatnya sendiri.Sungguh kebetulan yang aneh. Namun, hidup memang tidak pernah kehabisan kejutan, ‘kan?Zara menghela napas, lalu mengetik balasan.[Gue udah sehat kok. Gue pasti usahain dateng ke nikahan lo.]Jari-jarinya berhenti di atas layar. Pandangannya terpaku pada pesan itu. Resepsi Andin akan digelar di luar kota, dan itu artinya dia harus menginap. Mengingat kondisi kehamilannya sekarang, dan sikap Anjana yang makin protektif, kecil kemungkinan ibunya a
“Kael gimana, Ra? Kalian udah ketemu?” tanya Gala pelan setelah selesai memeriksa kondisi Zara.Mereka kini berada di kamar lantai dua. Ruang yang selama seminggu terakhir menjadi tempat Zara mengasingkan diri dari dunia luar. Gala tahu betul, luka di tubuh Zara mungkin sudah mulai pulih, tapi tidak dengan luka di hatinya.Pria itu juga tahu, apa yang terjadi antara Zara dan Kael bukan hal sepele. Gala bahkan sempat bertemu Kael di depan rumah sakit saat Zara diperbolehkan pulang. Tatapan pria itu kosong, wajahnya lelah seperti tak tidur berhari-hari. Aneh rasanya, karena Kael seharusnya pulang bersama Zara hari itu, tapi nyatanya hanya wanita itu yang dibawa pulang oleh Anjana.Zara menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum menjawab.“Belum, Kak,” ucap Zara pelan. “Sempat datang ke sini ... tapi diusir sama bodyguard Mama.”Zara menunduk, suaranya serak. Tidak ada amarah dalam kata-katanya, hanya kelelahan yang tertahan terlalu lama.Ya, seketat itu Anjana menjagan
“Zara, ayo sarapannya dimakan,” suara Anjana dari meja makan membuyarkan lamunan Zara.Perempuan itu tersentak pelan, lalu mengangguk dan memaksakan senyum. Dia mengambil sendok, meski tak benar-benar lapar.Sejujurnya, Zara tidak merasa nyaman tinggal di rumah ini. Tatapan tajam kakeknya, Harun yang selalu mengawasinya seolah dia adalah orang luar, dan nada bicara Atma yang dingin setiap kali mereka berpapasan—semuanya membuat udara di rumah ini terasa lebih dingin dari biasanya.Namun, dia tetap memilih tinggal di sini. Rumah itu memang bukan tempat yang ramah, tapi jauh di dalam hati, dia masih trauma dengan apa yang terjadi di rumahnya sendiri. Ingatan tentang paket ancaman itu masih membekas.Setiap suara langkah di malam hari, setiap bayangan yang melintas di dinding, bisa membuat jantungnya berdebar tak karuan. Setidaknya, di sini dia merasa lebih aman … walau tak benar-benar merasa diterima.“Kalau kamu nggak suka menu hari ini, bisa minta Mbok Darmi buat yang lain,” ucap Anjan
Kael mematung. Untuk sesaat, seluruh dunia terasa hening. Bahkan detak mesin infus terdengar seperti gema di lorong kosong.“Maksud kamu …?” tanya Kael pelan. Suaranya serak, seperti tertahan di tenggorokan.Zara menatapnya lurus, dan kali ini tidak ada air mata, hanya kelelahan yang dalam. “Mama bilang, kamu udah gagal jagain aku. Jadi dia minta aku buat pisah.”Kael menunduk, perlahan berdiri. Tangan di sisi tubuhnya mengepal, seolah menahan sesuatu yang nyaris meledak di dalam dadanya.“Kamu setuju?” tanya pria itu pelan. Suaranya rendah. Bukan marah, tapi penuh luka yang tak dia tunjukkan pada siapa pun selama ini.Zara tidak langsung menjawab. Pandangannya kembali pada jendela, tak kuasa menatap pria itu lebih lama. Suaminya. Lelaki yang membuat segalanya menjadi rumit sekaligus bermakna.“Zara,” suara Kael terdengar lebih dalam sekarang.“Aku nggak mau, Mas … Tapi kalau Mama maksa, aku harus gimana?” lirih Zara nyaris seperti bisikan.Kael terdiam. Di wajahnya, tidak ada amarah—y