Makasih ya buat kalian yang udah baca sampai bab ini ... Pokoknya pantengin terus ya kelanjutannya :)
Zara mengernyit, tangannya menggenggam gagang pintu sebelum mendorongnya perlahan. Begitu masuk, rumah terasa gelap, hanya ada cahaya kecil dari ruang makan yang menarik perhatiannya.Di atas meja, lilin-lilin kecil tersusun rapi, menerangi dua set hidangan yang tertata dengan apik. Beberapa kelopak bunga tersebar di sekitar piring, dan di tengahnya, ada satu botol wine yang sudah terbuka. Aroma masakan tercium samar, mengisi keheningan yang sebelumnya menyelimuti ruangan.Zara diam di ambang pintu, mencoba mencerna pemandangan di depannya. Ini bukan sesuatu yang biasa. Dan hanya ada satu orang yang mungkin melakukannya.Kael.Dari balik dapur, sosok pria itu muncul, masih mengenakan apron hitam dengan kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku. Dia tampak santai, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Zara tidak bisa berpaling."Kael?" Zara akhirnya mengerjapkan mata, memastikan kalau ini bukan mimpi."Gimana? Kamu suka, nggak?" Kael berhenti di samping meja, lalu menatap Z
Zara terdiam sejenak. Dia menimbang-nimbang kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. Tidak mungkin dia bilang kalau Varen sudah menyatakan perasaannya secara langsung.Bisa-bisa besok pagi Varen langsung kehilangan pekerjaannya. Zara sudah tahu betul, bagaimana sifat suaminya ini.“Mungkin. Tapi aku nggak pernah menganggap dia lebih dari rekan kerja,” jawab Zara akhirnya.“Bagus.” Kael mengangguk pelan, tangannya mengambil gelas wine yang tadi dia letakkan di meja, lalu menyesapnya perlahan.Zara berdecak pelan, lalu menaruh gelasnya di meja. “Kenapa? Kamu khawatir aku juga suka sama Varen?”“Enggak.” Kael menoleh perlahan, matanya menatapnya dengan ekspresi datar, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“Karena aku tahu kamu cuma suka sama aku. Jadi, aku nggak perlu khawatir,” lanjut Kael sambil menyeringai tipis, nada suaranya tenang, tetapi justru terasa terlalu percaya diri.Zara terdiam. Matanya menatap Kael, mencerna kata-kata itu. Sejak kapan pria ini jadi begitu percaya di
Zara menatap layar ponsel Kael yang masih bergetar. Nama ‘Virsha’ terpampang jelas di sana.Hatinya berdebar, jelas tidak suka. Kael masih terlelap. Wajahnya terlihat tenang dalam tidurnya, seolah tidak terganggu sedikit pun oleh dering telepon yang terus berulang.Zara melirik ponsel itu sekali lagi. Haruskah dia membangunkannya? Atau ... membiarkannya saja?Jarinya hampir tergerak untuk mematikan panggilan itu, tapi kemudian dia menarik napas dalam. Tidak, dia tidak akan melakukan hal kekanak-kanakan seperti itu.Layar ponsel akhirnya meredup, tetapi hanya selang beberapa detik, dering itu kembali terdengar. Kali ini lebih lama, lebih mendesak.Zara menghela napas pelan, lalu akhirnya menyentuh lengan Kael, mengguncangnya ringan. “Kael, ada telepon.”Kael hanya bergerak sedikit, lalu bergumam dengan suara yang berat dan serak, “Siapa?”“Virsha,” jawab Zara, suaranya lebih datar dari yang dia kira.Mata Kael terbuka perlahan. Dia melirik ponselnya yang masih menyala sebelum akhirnya
Zara sadar, jika dia memilih pergi, itu berarti dia membiarkan Virsha berpikir bahwa dia memiliki kendali dalam situasi ini.Dengan langkah tenang dan setelah menarik napas panjang, akhirnya Zara memutuskan untuk masuk. Suara derap sepatunya di lantai membuat Virsha menoleh. Wanita itu tampak kaget begitu melihat Zara, tetapi keterkejutan itu hanya berlangsung sepersekian detik sebelum wajahnya kembali normal.Perlahan, Virsha melepas pelukannya, tetapi bukan karena merasa bersalah. Gerakannya santai, nyaris enggan, seolah baru saja melepaskan sesuatu yang memang menjadi miliknya."Oh Zara, aku nggak tahu kalau kamu datang juga," kata Virsa dengan nada bicara yang terdengar sedikit terlalu santai.Zara tidak langsung menjawab. Tatapannya hanya tertuju pada Kael, yang masih berdiri di sana tanpa ekspresi. Tangannya sudah menjauh dari punggung Virsha, tapi itu tidak menghapus fakta bahwa dia memang membalas pelukan tadi."Kamu khawatir juga sama aku, Zara?" Virsha kembali bersuara, kali
Zara melepaskan tangannya dengan gerakan cepat, lalu melipat tangan di dada."Aku nggak marah," sahut Zara cepat.“Aku cuma—” Zara terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata, “Heran kenapa kamu perhatian banget sama Virsha sampai pelukan segala, padahal kamu selalu dingin sama semua orang.”“Zara,” desah Kael pelan.Zara mengalihkan pandangan, memilih menatap sofa di dekatnya daripada melihat wajah suaminya.“Aku cuma cuma tenangin Virsha tadi.” Kael akhirnya melangkah lebih dekat, merunduk sedikit untuk menatap istrinya.Zara tidak segera menjawab, tetapi Kael bisa melihat bagaimana jari-jarinya mencengkram lengannya sendiri. Dia jelas masih memikirkan hal itu.“Dia kayaknya tadi syok banget,” lanjut Kael, suaranya tetap tenang. “Nggak ada maksud lain.”“Sampai kasih pelukan segala?” Zara akhirnya mendongak, menatap mata Kael dengan tatapan penuh pertanyaan.Kael menatap Zara balik, lalu tanpa peringatan, dia mengulurkan tangan dan mencubit pipi Zara pelan.Zara mengerjap kaget. “Kael—”
Malam itu, Zara tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, membayangkan berbagai kemungkinan tentang pertemuan besok dengan keluarga Ashwara.Apa yang sudah mereka tahu? Seberapa banyak yang mereka tahu soal dirinya dan Kael?Di sampingnya, Kael masih terjaga. Dia bisa merasakan kegelisahan Zara dari napasnya yang tidak teratur dan cara tubuhnya terus bergerak gelisah di tempat tidur."Tenang, Zara. Apa pun yang terjadi besok, kita hadapi bersama," kata Kael akhirnya, suaranya rendah namun terdengar tegas.Zara diam sejenak sebelum menghela napas panjang."Bagaimana kalau Ibu tahu soal kehamilan palsu itu?" tanya Zara lirih.Maharani selalu bersikap baik padanya, memperlakukannya dengan tulus seperti anaknya sendiri. Jika kebenaran terungkap, Zara tidak bisa membayangkan kekecewaan seperti apa yang akan tergambar di wajah wanita itu.Kael menoleh, menatapnya dalam. "Kita hadapi saja bersama. Kamu nggak sendirian."Tatapan Zara masih dipenuhi kegelisahan. Meski pikirannya terus berpu
"Kael, kamu kenapa bilang gitu?! Jujur aku takut sekarang!" suara Zara terdengar panik begitu pintu kamar tertutup dengan keras.Perasaan cemasnya semakin melonjak, ditambah dengan ketidakpastian yang muncul di dalam dirinya.Kael tetap berdiri tenang, lalu menghela napas sebelum akhirnya berkata, "Tenang, Zara. Aku sudah siapin rencana."Kael melepas kancing atas kemejanya, matanya tetap fokus pada Zara yang tampaknya semakin gelisah. Dia melemparkan ponselnya ke atas kasur dengan gerakan yang sedikit terburu-buru, seolah ingin segera menyelesaikan masalah yang ada."Rencana apa?" ujar Zara, nadanya waspada.Zara menatapnya tajam, jelas butuh kepastian. Tidak ada ruang untuk kebohongan kali ini, dan Zara ingin tahu sejelas-jelasnya apa yang akan Kael lakukan.Kael duduk di tepi ranjang dengan tenang, seolah rencana yang dia siapkan bukanlah sesuatu yang besar. Zara menatapnya tak percaya.Bagaimana bisa Kael setenang itu di situasi seperti ini?"Kita bilang saja mungkin kamu kegugura
Zara membeku. Kael yang berada di sampingnya juga menegang, tapi kali ini, bukan karena kebohongan mereka hampir terbongkar. Tapi karena ternyata, itu bukan kebohongan sama sekali.Zara benar-benar hamil."Lalu bagaimana kondisinya?" suara Hardi terdengar lebih dalam dari biasanya.Dokter itu tersenyum, lalu berkata dengan nada lembut, "Saya bisa pastikan kondisinya baik, tapi tetap harus menjaga kesehatan dan menghindari stres, karena usia kandungannya masih sangat rentan."Maharani tersenyum penuh kemenangan. "Kan aku sudah bilang, anak kita tidak mungkin membohongi kita, apalagi soal kehamilan.""Bagus. Setidaknya sekarang semuanya jelas," kata Aryan sambil mengangguk kecil, sementara Hardi hanya menghela napas puas.Zara masih tidak bisa berbicara. Pikirannya kosong.Tangannya bahkan sedikit gemetar saat menekan perutnya sendiri, seolah ingin memastikan bahwa ini bukan mimpi.Dia benar-benar hamil?Seharusnya dia merasa lega karena kebohongan mereka tidak terbongkar. Seharusnya in
"Kenapa kamu nggak mau nginep?" tanya Kael akhirnya ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Suaranya terdengar santai, tapi Zara tahu dia sedang memperhatikannya.Mereka memutuskan untuk tidak menginap di kediaman keluarga Wijaya malam ini. Begitu mobil melewati gerbang utama kediaman keluarga Wijaya, Zara menghela napas panjang, seolah baru bisa bernapas lega.Baru sekarang wanita itu sadar betapa beratnya suasana di dalam tadi. Suasana yang tegang, tatapan penuh arti, dan kata-kata yang lebih tajam dari yang seharusnya."Aku masih belum siap kayaknya," jawab Zara jujur.Kael tidak langsung menanggapi. Matanya tetap fokus pada jalan, tetapi jemari kirinya yang bertumpu di setir mengetuk permukaannya pelan, tanda bahwa dia juga sedang berpikir.Zara menyandarkan kepalanya ke jendela, menatap langit yang gelap. "Aku juga kurang nyaman sama tatapan Kakek dan Atma," ujarnya pelan.Kael melirik sekilas. "Mereka lihat kamu kayak gimana emang?"Zara mengernyit, mencoba merangkai pikirann
Kael menoleh ke arah anak itu. Bukannya bingung atau menolak, dia justru mencondongkan tubuh sedikit, menatap anak itu dengan lebih jelas."Kenapa?" tanya Kael, suaranya lebih lembut dari biasanya.Tanpa ragu, anak perempuan itu merentangkan tangannya, meminta untuk digendong. Kael hanya diam sejenak, lalu tersenyum tipis sebelum meraih tubuh mungil itu dan mendudukkannya di pangkuan.Tunggu. Kael ... tersenyum?Zara nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Sejak kapan Kael bisa setenang ini saat berhadapan dengan seorang anak?"Anak siapa ini?" tanya Kael datar, meskipun tangannya tetap bergerak pelan, menepuk punggung kecil anak itu seolah menenangkan.Anak perempuan itu langsung menyandarkan kepalanya ke dada Kael dengan nyaman, jari-jari mungilnya mencengkram kerah kemejanya erat.Zara melirik Ceva dengan alis bertaut. Ceva yang semula tampak terkejut, kini memasang senyum santai."Ini anak ... sepupu kita," jawab Ceva akhirnya.Zara tidak mengatakan apa-apa, tet
Zara menggigit bibirnya. Dia sudah tahu bahwa akan ada yang mempertanyakan keberadaannya di sini, tetapi mendengarnya langsung tetap terasa menusuk."Saya datang, karena hanya ingin mengenal ibu kandung saya lebih jauh. Itu saja," ucap Zara akhirnya, suaranya tenang tetapi tegas.Atma menyeringai, ekspresinya masih santai, tetapi ada sesuatu di balik matanya yang tidak bisa sepenuhnya dia sembunyikan. "Ah, jadi kamu hanya ingin mengenal Mama? Tapi bukan keluarga?"Anjana menghela napas kecil sebelum akhirnya angkat bicara. "Atma, bicara yang sopan kepada kakakmu."Atma terkekeh pelan, seolah tidak menganggap teguran itu serius. "Ma, aku hanya … penasaran.""Seorang kakak yang tiba-tiba datang setelah menghilang, lalu ingin mengenal Mama, tapi tidak peduli dengan keluarga lainnya. Ini terdengar agak aneh, ‘kan?" Atma menyandarkan dagunya ke salah satu tangannya, tatapannya masih menilai Zara."Mama yang meminta Kakakmu untuk datang, dan Mama juga yang mengakui bahwa dia adalah anak Mama
Akhir pekan pun tiba. Setelah memastikan Zara sehat, akhirnya mereka memutuskan untuk datang ke kediaman keluarga Wijaya.Sudah sepuluh menit mobil mereka terparkir di halaman rumah yang lebih mirip istana itu, tetapi belum ada tanda-tanda Zara ingin keluar. Tangannya mencengkeram rok dengan erat, jemarinya sedikit gemetar, sementara matanya terpaku pada pintu besar yang menjulang di depan mereka.Kael yang duduk di kursi pengemudi, hanya diam. Matanya sekilas melirik Zara, mengamati istrinya yang jelas dipenuhi keraguan.Dia tahu Zara butuh waktu.Namun, setelah beberapa menit berlalu tanpa gerakan, Kael akhirnya buka suara. "Mau pulang aja?"Zara menoleh, menatapnya. Ada kilatan keraguan di matanya, tetapi dengan cepat dia menepisnya."Nggak, kita masuk aja," ucap Zara mantap, meskipun suaranya tidak sepenuhnya meyakinkan.Kael mengamati wajah istrinya sesaat sebelum akhirnya mengangguk. Dia tidak menanyakan lebih lanjut. Jika Zara sudah memutuskan, dia akan menghormatinya.Begitu k
Di rumah sakit, Kael berjalan cepat menuju meja resepsionis dengan Zara dalam gendongannya. Rahangnya mengatup erat, napasnya sedikit lebih berat dari biasanya, tapi dia tetap berusaha terlihat tenang. Sorot matanya tajam, penuh ketegangan yang tak bisa disembunyikan."Istri saya sedang hamil. Dia sakit perut, kramnya cukup parah. Bisa panggil dokter sekarang?"Perawat di meja langsung sigap. "Silakan ke ruang gawat darurat, Pak. Kami akan segera panggil dokter."Kael mengikuti arahan itu, langkahnya tetap stabil meski ada desakan dalam dirinya untuk lebih cepat. Dia menurunkan Zara ke ranjang dengan hati-hati. Tangannya masih berada di punggung Zara sejenak sebelum akhirnya perlahan menarik diri, tapi matanya tetap terpaku pada wajah istrinya yang pucat.Tidak butuh waktu lama sampai dokter datang. Seorang pria paruh baya dengan jas putih masuk, membawa clipboard dan stetoskop di tangannya."Sejak kapan sakitnya?" tanyanya, langsung memeriksa kondisi Zara."Sekitar lima belas menit ya
Zara yang masih berusaha menstabilkan napasnya langsung menegang. Matanya membulat."Kita ... belum selesai?" ulang Zara, memastikan dia tidak salah dengar.Kael mengangguk santai, senyumnya tetap tipis dan mencurigakan."Kael, aku udah nggak ada tenaga," lirih Zara, tangannya meraba selimut, berusaha menariknya untuk menutupi tubuhnya.Kael dengan mudah menarik kembali selimut itu."Emang makan butuh tenaga?" kata Kael, suaranya terdengar santai.Zara membeku.“Hah? Makan?" Detik berikutnya, Zara langsung duduk di tempat tidur, menatap Kael seakan pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang tak masuk akal.Kael mengangkat bahu. "Iya, aku nyuruh kamu jangan tidur dulu karena aku mau ajak kamu makan."Zara masih menatap pria itu lama, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke tempat tidur dan menutup wajah dengan bantal. "Ya Tuhan, aku kira maksudmu tadi—""Apa?" Kael bertanya, kepalanya sedikit miring dengan ekspresi polos yang jelas dibuat-buat.Zara mendengus kesal. "Udah, nggak usah dibah
"Kael, gimana urusan di restoran? Karyawan yang lain ngomong apa tentang hubungan kita?" tanya Zara.Malam sudah larut. Lampu kamar hotel menyala temaram, menciptakan suasana tenang.Kael baru keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah. Dengan santai, dia mengambil handuk kecil dan mulai mengeringkan rambutnya. "Mana ada yang berani ngomong langsung. Tapi ya, mereka semua kaget, itu udah pasti."Zara menunggu kelanjutannya, tapi Kael malah sibuk mengusap handuk di lehernya, seolah tidak terburu-buru untuk menjawab.“Terus?” desak Zara.“Kamu tau siapa yang paling kelihatan terpukul?” Kael akhirnya menoleh, sorot matanya tenang, tapi ada sesuatu yang samar di sana. Seperti menunggu reaksi Zara.Zara mengernyit. “Siapa?”“Varen.” Kael melempar handuk ke kursi sebelum berjalan mendekati tempat tidur.Zara terdiam sesaat. Bukan karena terkejut, tapi lebih ke arah ... canggung. "Oh.""Itu aja reaksi kamu?" Kael mendudukkan diri di tepi tempat tidur, menatap istrinya sekilas.Zara menga
"Kael!" seru Zara sambil berlari kecil ke arah suaminya yang sedang bersandar di depan mobil.Kael menoleh, tapi begitu Zara mendekat, dia langsung merentangkan tangan seolah bersiap menangkapnya jika terjatuh."Hei, jangan lari gitu," tegur Kael, meski nada suaranya tetap lembut."Kenapa? Kangen banget, ya, sama aku?" lanjut Kael, sedikit menggoda.Zara hanya terkikik kecil sebelum menggeleng, tapi matanya berbinar, jelas menunjukkan betapa leganya dia melihat Kael di sini. Pria itu mengusap puncak kepalanya, sentuhan yang terasa hangat dan menenangkan.Tanpa banyak bicara, Zara masuk ke dalam mobil. Kael mengikutinya, duduk di kursi pengemudi dan menyalakan mesin. Namun, bukannya langsung melajukan mobil, dia malah mencondongkan tubuh ke arahnya.Zara menegang sejenak sebelum menyadari apa yang Kael lakukan, pria itu memasangkan sabuk pengamannya."Aku bisa sendiri," gumam Zara, meski membiarkan Kael melakukannya.Kael tidak menjawab. Dengan tenang, dia menarik sabuk itu dan mengunci
Clara menoleh dengan senyum manis. Oh, tentu saja. Wanita ini memang jago berpura-pura."Saya hanya ingin menyapa Zara, Bu Anjana. Selain itu, saya penasaran ... bagaimana kabar istri dari pria yang dulu hampir jadi suami saya?" ujar Clara dengan nada santai.Anjana tidak terkejut. Di kalangan konglomerat, pertunangan Clara dan Kael memang sudah jadi rahasia umum.Zara menatap Clara dengan tajam. Mustahil Clara datang hanya untuk basa-basi.“Langsung saja, Clara. Apa yang sebenarnya kamu inginkan?” tanya Zara tanpa ragu.Clara mendesah, menyandarkan dagunya di tangan. "Aku hanya ingin tahu ... Kael. Bagaimana perasaannya tentang semua ini?"Kael? Jadi, dia masih saja belum menyerah?Clara tersenyum miring. "Dia pasti terkejut, ya? Asal kamu tahu, dia tidak suka berada di posisi lemah." Jemarinya bermain-main dengan poni rambut, seolah sedang menikmati permainan ini.“Maksudmu apa?” tanya Zara, menajamkan tatapannya.Clara mengangkat bahu, ekspresinya dibuat seolah-olah tidak peduli. "K