Zara membelalakkan mata. “Hah?! Chef, tapi–”
Kael justru menatapnya dengan dingin, membuat Zara tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
Ini benar-benar di luar dugaan Zara. Dalam satu hari ini terlalu banyak masalah berat yang Zara alami. Setelah masalah dengan keluarga omnya, lalu pertengkaran bos dan tunangannya hingga menariknya ke dalam masalah mereka, dan sekarang berakhir dengan dia yang menikah dengan bosnya sendiri.
Setelah beberapa saat, mereka benar-benar tiba di kantor catatan sipil. Seseorang langsung memberikan sebuah amplop kepada Kael dan memandu mereka untuk memasuki kantor catatan sipil.
Zara hanya bisa mengekor dengan pasrah, seolah semua jalan hidupnya hari ini telah ditentukan dengan sangat rinci. Namun, perasaan bingung dan khawatir tentu saja masih memenuhi kepalanya.
Kini, mereka berdua duduk di hadapan seorang petugas kantor catatan sipil yang sepertinya adalah orang yang bertugas untuk menikahkan pasangan. Pria paruh baya itu memberikan akta pernikahan kepada Zara dan Kael untuk diberikan tanda tangan.
Sejenak Zara merasa ragu dengan pilihannya ini, tapi mengingat bagaimana om dan tantenya bertengkar karena keberadaannya di rumah, dia akhirnya kembali yakin dan langsung memberi tanda tangan di akta itu.
Zara masih menatap akta pernikahan itu dengan kebingungan dan tidak percaya. Sertifikat pernikahan itu menjelaskan bahwa dirinya dan bosnya telah menjadi pasangan suami-isteri. Zara telah resmi menjadi menantu dari keluarga konglomerat.
Zara mendesah kecil. Semoga keputusannya ini tepat.
Setelah keluar dari kantor catatan sipil, Kael kembali melajukan mobil mewahnya.
“Di mana rumahmu?” tanya Kael tiba-tiba, memecahkan keheningan.
Zara sontak menoleh dan menyebutkan alamat rumah omnya. “Chef mau ngapain?”
“Kita ambil semua barangmu, mulai sekarang kamu tinggal di rumahku,” jawab Kael tanpa menoleh sedikitpun.
Zara tertegun, tidak tahu harus merespon apa. Namun, yang jelas ini kesempatan emas untuknya agar bisa keluar dari rumah omnya.
Setelah beberapa saat, akhirnya mereka di rumah keluarga Zara. Zara mendapati bahwa omnya tidak bekerja. Pasalnya, Zara langsung melihat omnya sedang duduk di teras.
Raut wajah Riki langsung berubah begitu melihat Zara datang bersama seorang pria yang jelas orang asing baginya.
“Zara? Kok kamu balik lagi? Kamu gak kerja?” Riki langsung memberi rentetan pertanyaan pada keponakannya, sesekali matanya melirik Kael dengan curiga. “Siapa laki-laki ini?”
Zara menelan ludah, bingung harus mulai dari mana dia menjelaskan. “Om, ini–”
“Saya suami Zara,” potong Kael dengan mantab, membuat Riki langsung membelalakkan mata.
Suami?!
“Apa maksudmu?” tanya Riki dengan suara sedikit tinggi, benar-benar masih tidak percaya dengan ucapan itu. Dia menatap Kael cukup intens.
“Om, ini Che— ah maksudku ini Kael … sekarang aku sudah menikah dengan Kael,” lanjut Zara pelan, sambil mengeluarkan akta pernikahan mereka dari tasnya.
Wajah Riki langsung berubah saat melihat akta pernikahan itu.
“Ka–kamu gak bercanda, ‘kan? Kenapa mendadak seperti ini?” tanyanya, suaranya sedikit terbata, pandangannya bergantian menatap Kael dan Zara.
Riki tiba-tiba teringat percakapannya pagi tadi dengan Sarah, saat Sarah meminta Zara untuk pergi dari rumah. Apakah Zara mendengar percakapan mereka?
Riki melihat tatapan Zara kepadanya yang tampak seperti sedang memiliki banyak beban, membuat hati kecilnya merasa sedikit bersalah.
“Aku gak bercanda, Om. Aku memang sudah menikah dengan Kael tadi.” Zara mencoba menjelaskan, berharap Riki bisa menerima kenyataan ini tanpa terlalu banyak pertanyaan.
Namun, sebelum Zara sempat melanjutkan penjelasannya, suara langkah terdengar dari pintu kamar. Sarah muncul dengan senyum manis yang terasa lebih dingin dari biasanya. Dia menatap Zara dan Kael dengan tatapan penuh curiga.
“Wah, Zara! Kok kamu gak bilang kalau mau menikah sebelumnya?” Sarah melangkah mendekat dengan percaya diri, matanya menilai Kael dari atas ke bawah.
Zara merasa sedikit terpojok. Sarah memang selalu tahu bagaimana membuatnya merasa tidak nyaman.
“Tante cuma mau mastiin semuanya baik-baik aja, Zara. Jangan sampai nanti kamu ada masalah. Ingat, kamu itu keluarga kami,” kata Sarah dengan nada yang terdengar seperti memberi nasihat, tetapi tetap ada tekanan halus di balik kata-katanya.
Kael yang diam sejak tadi, akhirnya berbicara. “Saya akan menjaga Zara dengan baik. Dan mulai hari ini saya akan membawa Zara untuk tinggal di rumah saya.”
“Di mana? Sebagai satu-satunya keluarga Zara, tentu saya harus tahu keponakan saya akan tinggal di mana,” kata Riki.
“Majestic Residences,” jawab Kael singkat.
Mendengar itu, Riki mengangguk pelan, meski wajahnya masih menunjukkan ketidakpuasan. Selain itu, dari apa yang sudah Kael katakan, dan melihat bagaimana penampilan Kael dan lokasi rumah Kael, membuat Riki berpikir jauh ke depan. Mungkin Kael memang sudah mapan untuk bisa menghidupi Zara.
Sementara itu, Sarah justru tampak terkejut ketika mengetahui lokasi rumah Kael. Dia tentu tahu bahwa lokasi itu adalah salah satu komplek perumahan paling mewah di kota. Jika rumah pribadi Kael ada di kawasan itu, bukankah ini berarti Kael adalah orang kaya?
Sarah mengerutkan dahinya, sedikit merasa aneh. Rasanya agak tidak mungkin kalau Zara bisa menikah dengan keluarga kaya raya. Namun, dia buru-buru membuang pikiran itu. Ini justru hal yang bagus untuknya, sebab kalau memang suami Zara kaya raya, itu artinya dia bisa mengambil keuntungan.
“Ya sudah, mau gimana lagi, semua sudah terjadi,” kata Riki pasrah.
Akhirnya, Zara berlalu untuk mengemasi beberapa barangnya. Begitu kembali dengan satu tas penuh, Kael yang tengah duduk di ruang tamu bersama Riki, langsung berdiri.
“Om, aku pamit, terima kasih untuk semuanya. Maaf kalau selama ini aku membebani, Om,” kata Zara dengan penuh kehati-hatian.
“Gak Zara, kamu sama sekali gak membebani om. Om harap, setelah ini kamu masih berkunjung ke sini meskipun hanya sesekali. Bagaimanapun juga, om adalah keluargamu satu-satunya,” kata Riki dengan tatapan yang sangat dalam, seolah benar-benar tidak ingin kehilangan Zara yang memang sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri.
Zara hanya membalasnya dengan anggukan pelan sambil tersenyum.
Pandangan Riki beralih kepada Kael. “Kael, sekarang Zara sudah menjadi istrimu, itu artinya dia adalah tanggung jawabmu. Saya benar-benar berharap kamu bisa merawat Zara dengan baik. Saya tidak ingin ada hal buruk terjadi padanya. Dia sudah saya anggap seperti anak saya sendiri. Tolong, kamu jaga Zara sebaik mungkin.”
Kael tersenyum hangat sambil mengangguk pelan. “Om tenang saja, saya pasti akan menjaga Zara dengan sepenuh hati. Saya juga minta maaf karena ini semua terlalu mendadak, tapi saya berjanji tidak akan membuat Zara tersakiti.”
Riki menepuk pelan bahu sambil tersenyum puas mendengar jawaban Kael.
Sementara Zara justru merasa aneh dengan jawaban Kael. Sebelumnya, Kael selalu berkata dengan sangat dingin dan penuh otoritas, tapi kenapa sekarang justru terdengar seperti pria yang memang menikahinya dengan tulus?
“Kalau begitu, biar aku antar ke depan,” sahut Sarah yang langsung meraih tas Zara untuk dia bawa. Zara tentu tidak bisa menolaknya. “Mas, tolong jaga Zio sebentar ya.”
Akhirnya, Zara berjalan bersama Sarah, sedangkan Kael telah berjalan lebih dulu di depan.
“Zara, Tante harap setelah ini kamu gak akan lupa untuk balas budi atas semua bantuan keluarga Tante untuk kamu selama ini,” kata Sarah terus terang ketika mereka telah sampai di ujung gang.
Mendengar itu, Zara mengerutkan dahinya, merasa terkejut sekaligus bingung. Dia tidak menyangka tantenya akan mengatakan hal itu. “Balas budi gimana maksudnya, Tante?”“Sejak orang tuamu meninggal, om kamu yang membayar semua biaya kebutuhanmu, termasuk biaya pendidikanmu sampai sarjana.” Sarah menatap Zara dengan tajam. “Bulan depan Zio akan mulai masuk pendidikan dasar. Tante minta kamu bantu membayar uang sekolah Zio.”Zara membelalakkan matanya. Sepertinya, sekarang dia tidak bisa lagi berdiam begitu saja seperti sebelumnya. “Tante, semua uang pendidikan itu dari tabunganku yang memang sudah disiapkan ayahku sejak lama. Selama kuliah, aku juga sambil bekerja untuk membayar uang kuliah.”“Apa menurutmu, biaya hidupmu yang lain selama ini gratis?!” suara Sarah mulai sedikit meninggi dan lebih tajam. “Makanmu, air yang kamu pakai, pakaianmu sejak masih kecil, kamu pikir itu semua dari siapa?!”“Tante, aku sudah memberikan lebih dari setengah gajiku untuk membantu keluarga Tante. Aku
“Tolong berhenti membuat aku menjadi boneka bisnismu, Ayah,” kata Kael dengan sangat tegas seolah dia memang benar-benar telah lelah dengan permainan ayahnya.“Kael?” Maharani, ibu Kael, tidak menyangka bahwa Kael justru akan bertindak sejauh ini.Dalam situasi seperti ini, Zara benar-benar tidak berani mengangkat wajahnya, bahkan hanya untuk melihat ujung baju orang-orang pun dia tidak berani. Dia merasa bahwa kehadirannya sepertinya benar-benar bisa membuat Kael dalam masalah dengan keluarganya.“Apa maksudmu? Aku hanya berusaha memberi kehidupan yang layak untukmu hingga tua nanti. Apa kamu ingin hidup sengsara karena salah melangkah?!” Aryan berdiri dan menatap Kael dengan tajam. Maharani yang ada di sebelah Aryan, berusaha terus menenangkan suaminya dengan beberapa kali menahan mengusap lengan pria itu.Selama ini, Aryan memang selalu mengatur tiap langkah hidup Kael, bermaksud untuk memberikan kehidupan yang makmur dan terjamin untuk Kael.“Selain karena keluarga Adinata adalah
Zara membelalakkan matanya lebar-lebar.Dia tidak salah dengar, kan?“Tapi, Chef. Ini … ini nggak mungkin. Saya dan Chef …” Zara bingung sekaligus panik.Kael kembali menatapnya, kali ini sedikit lebih tajam, bibirnya membentuk garis tipis.“Kamu takut?” tanyanya datar, dengan nada yang hampir terdengar seperti ejekan.Ya, Zara takut. Bukan hanya karena situasinya yang tidak masuk akal, tetapi juga karena dia tahu dirinya tidak pernah siap untuk sesuatu seperti ini. Meskipun ini semua juga memberi keuntungan baginya, tetap saja Zara tidak bisa begitu saja memberikan dirinya. Harga dirinya bukan sesuatu yang bisa ditukar.Terlebih, jika dia memang sampai melahirkan keturunan keluarga konglomerat ini, itu berarti dia juga akan terlibat dengan semua urusan mereka, bukan?Zara menunduk, tidak tahu harus berkata apa lagi. Bagaimana bisa hal seperti itu terjadi? Hubungan seperti itu antara dia dan Kael jelas mustahil. Kael adalah bosnya.Bahkan membayangkan hal itu saja membuat Zara merasa
Keesokan harinya. Zara berusaha bangun lebih awal dari biasanya. Dia memutuskan untuk pergi kerja diam-diam, berharap tidak bertemu dengan Kael pagi itu. Setelah memastikan Kael tidak ada di sekitar, Zara menyelinap keluar dari rumah besar itu. Langkahnya terburu-buru, tapi terasa berat dengan perasaan campur aduk yang masih menghantuinya sejak tadi malam. Dia berjalan kaki menuju gerbang komplek perumahan, yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Lelah mulai terasa di kakinya, tapi Zara lebih memilih ini daripada harus berpapasan dengan Kael. Ketika dia hampir sampai di gerbang, suara deru mobil terdengar mendekat. Zara menoleh dan mendapati mobil mewah Kael melintas. Dia menunduk sedikit, berharap Kael tidak melihatnya. Namun, yang ada malah tawa sumbang keluar dari bibirnya. ‘Sungguh lucu,’ pikir Zara, saat sang suami melaju ke tempat kerja dengan mobil mewah, sementara dia hanya bisa berjalan kaki ke depan komplek dan melanjutkan perjalanan dengan bus. Namun, menurutnya i
‘Andin, ngapain dia di sini?’ pikir Zara panik, wajahnya langsung memucat.Kalau sampai Zara ketahuan, jelas semua akan menjadi semakin runyam.“Lo … lo mau ke mana? Dan … itu supir? Sejak kapan lo begini?” tanyanya dengan nada tak percaya, ekspresinya campuran antara bingung dan penasaran. Otaknya bekerja cepat mencari alasan, tapi semakin Zara mencoba, semakin kosong pikirannya. Beberapa kali dia melihat sekeliling lalu membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar. Zara terdiam sejenak, mencoba menjaga ekspresinya agar tetap tenang meski hatinya berdegup kencang. “Gue ikut shooting!” jawab Zara akhirnya, suaranya datar. “Shooting? Shooting apa?” Andin menyipitkan mata, penuh rasa ingin tahu. Zara mencoba tertawa canggung sambil menggaruk tengkuknya, meski tidak gatal. “Itu .. reality show! Mereka lagi butuh orang buat acara ... ehm, keluarga palsu.” Andin menatap Zara seperti dia baru saja mendengar sesuatu yang mustahil. “Keluarga palsu? Reality show apaan itu?”
Zara yang sedang menunduk langsung terdiam, otaknya berputar cepat mencari jawaban. Jantungnya berdetak keras, tetapi dia berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang. Berapa usia kandungan yang cukup masuk akal dengan keadaannya?! “Ti-tiga minggu, Nyo—eh, Ibu,” jawab Zara segera dengan terbata, berusaha memperbaiki panggilannya dengan cepat. Maharani hanya mengangguk pelan. Makan malam kembali dilanjutkan dalam suasana yang hening. Aryan yang terlihat masih kurang puas dengan situasi, akhirnya angkat bicara lagi, suaranya dingin dengan nada sindiran yang halus. “Kael, kalau Zara lebih suka bekerja daripada di rumah, mungkin itu karena dia merasa tidak cukup nyaman. Atau mungkin kamu terlalu sibuk dan tidak memberinya perhatian?” Aryan menatap Kael dengan senyum tipis, jelas menantang. Zara mencengkram ujung taplak meja di bawah tangannya, mencoba menyembunyikan kegelisahan. Sementara itu, Kael hanya mengangkat pandangan dengan ekspresi tanpa emosi. "Dia nyaman,"
Suasana di dalam mobil terasa berat, meskipun tak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Zara duduk di samping Kael di kursi belakang, menatap ke luar jendela, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian selama makan malam tadi.Kael di sampingnya, duduk tegak dengan wajah dingin yang sulit ditebak. Dia hanya menatap lurus ke depan, seolah-olah tidak ada siapa pun di sebelahnya. Namun, aura dingin itu cukup membuat Zara semakin menutup diri, takut jika salah bicara akan menambah ketegangan.Mobil berhenti dengan mulus di depan rumah besar mereka. Supir keluar untuk membuka pintu, tapi Kael lebih dulu membuka pintunya sendiri. Zara menunduk sedikit sambil mengucapkan terima kasih pelan pada supir sebelum menyusul Kael masuk ke dalam.Begitu mereka melewati pintu utama, Zara melirik ke arah Kael.“Makasih, Chef,” ucapnya refleks, meskipun suaranya nyaris tak terdengar.Kael menghentikan langkahnya sejenak, lalu menoleh padanya dengan tatapan dingin, seolah sedang memprotes ucapan Za
Rizal menatap Kael dengan bingung. “Tim gudang dan sous chef? Apa ada rencana lain, Chef?”Kael mengangguk singkat, ekspresinya tetap tanpa emosi. “Kita luncurkan Chef’s Special Menu untuk minggu ini.”Chef’s Special Menu berarti penyediaan menu makanan baru yang tidak ada dalam daftar menu sebelumnya. Strategi ini dipilih sebagai salah satu solusi cepat untuk menghadapi krisis pasokan bahan baku utama. Dengan strategi ini, bukan hanya bisa untuk menjaga operasional restoran tetap berjalan, tetapi juga memastikan citra The Velvet Spoon sebagai restoran berkualitas tinggi tidak goyah di mata pelanggan.Setidaknya, itu yang ada dalam pikiran Kael. Rizal tergagap sejenak, lalu mengangguk cepat. Tentu Rizal tahu apa yang harus dia lakukan jika ada hal seperti ini. “B–Baik, Chef. Saya segera atur semuanya.”Kael melirik jam tangannya, lalu menambahkan, “Siapkan dalam 10 menit. Brief jelas, tidak ada ruang untuk kesalahan.”Rizal segera bergegas, langkahnya terdengar cepat di atas lantai d
[Mas, bisa ke rumah sakit? Aku tunggu.]Pesan dari Zara akhirnya datang. Dua hari terakhir, Kael hidup dalam penantian yang sunyi. Datang ke rumah sakit berkali-kali hanya untuk diusir, bahkan sampai meminta bantuan Maharani untuk membujuk Anjana. Namun, semua upaya itu sia-sia.Dan sekarang ... mungkin ini kesempatan satu-satunya.Kael segera bergegas. Dia membawa tas kecil berisi baju ganti untuk Zara, beberapa kebutuhan lainnya, dan satu kotak berisi nasi goreng seafood, makanan kesukaan Zara. Entah sejak kapan, hal-hal kecil seperti itu terasa seperti satu-satunya cara untuk bisa dimaafkan.Di depan pintu ruang rawat, dia sempat berhenti. Dari dalam terdengar suara dua perempuan berbicara. Suara Anjana terdengar datar dan cukup dingin untuk membuat siapa pun mengurungkan niat masuk. Namun, Kael menahan napas, menegakkan punggung, lalu mengetuk pelan pintu putih itu."Masuk," suara Zara terdengar.Ketika Kael membuka pintu, tiga pasang mata langsung tertuju padanya. Ada Anjana yang
Tidak ada jawaban. Zara hanya mengangguk. Tidak menoleh, tidak juga melihat ke pria itu.Kael berdiri perlahan, masih sempat menatap punggung istrinya sekali lagi sebelum akhirnya melangkah menuju pintu. Setiap langkah terasa berat, seolah kakinya menolak meninggalkan perempuan itu sendirian.Namun pria itu tahu, mencintai bukan cuma soal memeluk saat luka, tapi juga tahu kapan harus memberi ruang untuk menangis sendiri.Sebelum benar-benar keluar, Kael sempat menoleh sekali lagi. Zara masih memunggunginya. Tubuhnya tampak diam, tapi bahunya bergerak sedikit. Halus, rapuh, seolah menahan sesuatu yang nyaris pecah.Kael menarik napas dalam, lalu menutup pintu perlahan. Namun tidak lama, dari balik pintu, suara tangis Zara kembali terdengar. Pelan, namun cukup menghantam jiwanya yang sudah remuk. Tangis yang tidak bisa dia redakan, tidak bisa dia peluk, tidak bisa dia bagi.Di luar, Kael bersandar ke pintu yang dingin. Matanya terpejam. Rahangnya mengeras. Dadanya naik turun, menahan sem
“Maaf … maafin aku,” suara Kael kembali terdengar, parau dan penuh luka. Isakannya akhirnya pecah. Pria yang selalu terlihat kuat itu kini menangis di hadapan istrinya, tanpa mencoba menahan atau menyembunyikannya.Zara ikut menangis bersama pria itu. Mereka memang masih punya satu bayi yang bertahan, tapi tetap saja … kehilangan ini bukan hal yang mudah diterima.Zara ingin marah, tapi kepada siapa? Pada Kael? Pada Bayu? Pada Ranu? Atau pada dirinya sendiri?Kael membenci dirinya. Dia merasa gagal. Tidak berdaya. Tidak berguna.Tangis mereka menyatu dalam keheningan kamar VIP itu. Tidak seperti biasanya, pria itu tidak mencoba menenangkan Zara. Tidak mencoba berkata bahwa semua akan baik-baik saja.Karena pada kenyataannya … tidak ada yang baik-baik saja di sini.Akhirnya, mereka memilih untuk merasakan sakit itu bersama.--Setelah menangis hebat, Zara tertidur dengan sendirinya. Matanya masih basah, napasnya belum sepenuhnya tenang, tapi tubuhnya terlalu lelah untuk terus menahan se
Kael berdiri di depan pintu ruang operasi, kedua tangannya mengepal begitu keras. Napasnya berat, nyaris tak terdengar. Perasaan ini … ketidakberdayaan yang menggerogoti dari dalam, mengikisnya perlahan.Dia benci ini.Setiap detik terasa seperti lambat dan menyakitkan. Gala ada di dalam sana, berjuang untuk menyelamatkan Zara dan anak-anak mereka. Namun, bagaimana jika terlambat? Bagaimana jika tidak ada yang bisa diselamatkan?Pikiran itu merayap ke benaknya seperti racun. Tidak. Zara kuat. Dia pasti bisa bertahan.Namun, pintu ruang operasi tetap tertutup rapat.Entah berapa lama Kael berdiri di sana, menanti dengan napas tersendat dan kepala penuh doa yang terus terucap. Hingga akhirnya, pintu itu terbuka.Gala keluar dengan langkah berat. Pakaian operasinya berlumuran darah. Wajahnya letih, tapi yang membuat dada Kael semakin sesak adalah ekspresi di matanya."Gimana keadaan Zara?" suara Kael serak, hampir patah.Gala menarik napas dalam, seakan menyiapkan dirinya sebelum berkata,
Gala terkesiap, matanya mencari sumber tembakan. Namun, kemudian mereka menyadari sesuatu.Bayu terhuyung ke belakang. Tangan yang memegang pistol bergetar hebat sebelum akhirnya tubuhnya jatuh berlutut. Darah merembes dari pahanya.Kael mengerutkan dahi. Apa yang baru saja terjadi?Baru saat itulah dia melihatnya.Ranu berdiri tidak jauh dari ayahnya, pistol masih berasap di tangannya. Wajahnya tegang, matanya lebar seakan dia sendiri tak percaya apa yang baru saja dia lakukan.Ranu baru saja menembak ayahnya sendiri!Bayu menatapnya dengan tatapan terkejut dan marah sekaligus. "Kamu—"Dor!Tembakan lain menggema. Kali ini mengenai lengan Bayu, membuat pria itu memekik kesakitan. Namun, bukan Ranu yang menembak.Kael menoleh cepat. Dari bayangan di luar gudang, beberapa pria berpakaian serba hitam muncul dengan senjata siap di tangan. Gerakan mereka cepat dan terlatih.Orang-orang Anjana.Dalam hitungan detik, suasana berubah drastis. Anak buah Bayu panik. Beberapa mencoba kabur, tapi
“Tunggu, Kael!”Kael hampir membuka pintu mobilnya ketika suara Gala menghentikannya. Dia menoleh dengan sorot mata tajam."Aku udah dapat lokasinya," kata Gala cepat. "Kita nggak perlu buang-buang waktu buat cari Ranu. Lebih baik kita langsung menyelamatkan Zara."Kael diam sesaat. Rahangnya masih mengeras, tapi tatapannya menusuk. "Di mana?"Gala menekan layar ponselnya lalu menunjukkan sebuah titik di peta digital. "Gudang kosong di daerah pelabuhan. Ray barusan mengkonfirmasi. Ada aktivitas mencurigakan di sana, dan ciri-cirinya cocok dengan tempat di foto tadi."Kael menatap layar ponsel itu dengan rahang mengatup. Gudang. Sama seperti dugaannya. Tanpa membuang waktu, dia membuka pintu mobilnya. "Kita berangkat sekarang."Gala mengangguk dan segera menyusul.Kael menekan gas dalam-dalam, mobilnya melesat membelah malam. Jalanan basah akibat gerimis tadi sore, tapi pikirannya terlalu penuh untuk peduli. Hanya satu hal yang ada di kepalanya, menemukan Zara dalam keadaan selamat.Di
Ponsel Kael bergetar lagi.Kael menurunkan pandangannya. Satu foto terkirim.Saat dia membukanya, darahnya langsung mendidih.Istrinya, dengan tangan mungil terikat di sandaran kursi, pergelangan tangannya merah dengan bekas lecet, seolah sempat memberontak. Matanya tertutup kain hitam, pipinya pucat. Bibirnya yang biasanya berwarna lembut kini tampak sedikit kering. Rambutnya berantakan, beberapa helai jatuh ke dahinya. Jantung Kael berdetak kencang, nyaris sakit.Dada Kael bergejolak. Napasnya berat, rahangnya mengatup kuat. Emosi membuncah begitu dahsyat, tetapi dia menahannya dengan sekuat tenaga. Ini bukan saatnya kehilangan kendali.Matanya menyusuri setiap detail dalam foto itu, menganalisis dengan cepat. Bayangan buram di belakang Zara. Lantai beton kasar. Cahaya redup dari sudut kiri. Sebuah ruangan yang tak berperabotan.Gudang? Basement?Ponselnya bergetar lagi. Kali ini, sebuah pesan masuk.[Kamu punya waktu 24 jam.]Kael mengepalkan tangan, rahangnya mengatup keras. Napasn
"Kamu nggak mau pulang dulu? Di sini juga nggak aman kalau ada wartawan yang tahu."Gala duduk di kursi dekat jendela, melirik ponselnya sekilas sebelum menatap Zara. Di luar, berita masih panas, meski mulai mereda berkat pengaruh Anjana.Zara tetap di kursinya, punggung menegang, jari-jarinya saling meremas di atas paha. Suara dari televisi kecil di sudut ruangan menggema pelan, tapi cukup untuk mengingatkannya pada kekacauan yang menunggu di luar.Zara menggigit bibirnya. "Aku belum siap keluar."Gala menghela napas, lalu meletakkan ponselnya di meja. "Aku ngerti. Tapi semakin lama kamu di sini, semakin besar kemungkinan seseorang tahu keberadaanmu. Kalau Kael udah selesai sama urusannya, lebih baik kamu pulang."Sebelum Zara bisa menjawab. tiba-tiba, pintu kamar diketuk. Seorang suster masuk dengan senyum ramah. "Nyonya Zara, penjemputan Anda sudah tiba."Zara dan Gala saling pandang."Penjemputan?" Gala mengernyit."Iya," katanya sopan, "orang suruhan suami Anda sudah datang untuk
Ranu menatap berkas di atas meja tanpa menyentuhnya. Bibirnya masih menyunggingkan senyum kecil, tetapi Kael bisa melihat ketegangan halus di rahang sepupunya.Bayu melirik ke arah laporan itu, lalu menghela napas pendek. "Apa maksud semua ini, Kael?"Kael tidak langsung menjawab. Dia membalik halaman pertama berkas itu dengan tenang, jemarinya bergerak tanpa tergesa-gesa."Seperti yang sekretarisku katakan, ini adalah hasil investigasi timku. Dan ternyata, penyebaran berita negatif tentang aku dan Zara bukan sesuatu yang terjadi begitu saja." Mata Kael terangkat, menatap lurus ke arah Ranu. "Ada seseorang yang dengan sengaja mengatur semuanya."Ranu terkekeh pelan, suara rendahnya mengandung nada mengejek. "Itu tuduhan serius. Jangan bilang kamu berpikir aku ada di balik semua ini?"Kael tidak membalas, hanya menatap Ranu lebih lama, cukup untuk membuat udara di ruangan semakin berat.Aryan yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. "Buka laporannya, Ranu," perintahnya singkat.Tawa ke