Rizal menatap Kael dengan bingung. “Tim gudang dan sous chef? Apa ada rencana lain, Chef?”Kael mengangguk singkat, ekspresinya tetap tanpa emosi. “Kita luncurkan Chef’s Special Menu untuk minggu ini.”Chef’s Special Menu berarti penyediaan menu makanan baru yang tidak ada dalam daftar menu sebelumnya. Strategi ini dipilih sebagai salah satu solusi cepat untuk menghadapi krisis pasokan bahan baku utama. Dengan strategi ini, bukan hanya bisa untuk menjaga operasional restoran tetap berjalan, tetapi juga memastikan citra The Velvet Spoon sebagai restoran berkualitas tinggi tidak goyah di mata pelanggan.Setidaknya, itu yang ada dalam pikiran Kael. Rizal tergagap sejenak, lalu mengangguk cepat. Tentu Rizal tahu apa yang harus dia lakukan jika ada hal seperti ini. “B–Baik, Chef. Saya segera atur semuanya.”Kael melirik jam tangannya, lalu menambahkan, “Siapkan dalam 10 menit. Brief jelas, tidak ada ruang untuk kesalahan.”Rizal segera bergegas, langkahnya terdengar cepat di atas lantai d
Dengan gaun mewah berwarna merah yang membuat lekuk tubuh sempurna semakin terlihat indah, wanita itu melangkah masuk dengan aura anggun yang cukup tajam. Semua mata di sekitarnya seolah tertarik pada kehadirannya. Zara merasa detak jantungnya meningkat meskipun dia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Kenapa Clara datang ke sini?! Clara berhenti di depan resepsionis, lalu dengan suara yang cukup keras untuk menarik perhatian, dia berkata, "Saya ingin meja di tengah, tempat yang paling strategis." Resepsionis dengan sopan mengangguk, lalu menuntun Clara ke meja yang dia inginkan. Namun, sebelum resepsionis bisa memanggil pelayan, Clara mengangkat tangannya dengan anggun. "Tunggu." Clara memandang sekeliling, lalu matanya menangkap sosok Zara yang baru saja keluar dari dapur. Sebuah senyum kecil penuh arti muncul di wajahnya. "Aku ingin dilayani oleh dia," lanjutnya sambil menunjuk Zara. Zara yang mendengar itu langsung membeku di tempat. Dia berharap teli
Zara mengerutkan dahinya, merasa aneh dengan tindakan Kael. Sementara Clara langsung membelalakkan matanya tidak terima. “Itu tidak perlu! Staf kamu ini jelas ceroboh. Kalau saja dia lebih berhati-hati, insiden ini tidak akan terjadi!" Clara mulai merasa panik. Selain tidak puas dengan jawaban Kael, kalau sampai rekaman CCTV itu terlihat jelas, sudah pasti akan menjadi boomerang untuk Clara. Zara mengepalkan tangannya di belakang punggungnya, mencoba menahan amarah yang membakar dadanya. Suasana di restoran menjadi semakin menegangkan. Semua mata tertuju pada sosok Zara yang sedang merasa serba salah, juga Clara yang tampak sedang meminta keadilan. Jelas Kael tidak bisa membiarkan ini semua begitu saja. Reputasi restorannya akan dipertaruhkan jika memang Zara lalai dalam bekerja. “Kael, stafmu jelas lalai. Gak perlu cek CCTV segala!” seru Clara lagi. Dia tidak bisa begitu saja membiarkan Kael melihat rekaman CCTV. Namun, nyatanya Kael sama sekali tidak peduli dengan
Zara mengusap air matanya cepat, menatap tangan Kael yang masih terulur ke arahnya. “Masuk ke mobil,” ujar Kael singkat, nadanya lebih seperti perintah daripada tawaran. Namun, Zara menggeleng pelan, menghindari tatapan Kael. Dia membalas ucapan Kael dengan suara kecil, tetapi terdengar cukup tegas. “Gak usah, saya jalan kaki aja. Pengen cari udara segar.” Kael mengerutkan alis, ekspresinya dingin, tetapi sorot matanya tajam. “Udah malam, Zara.” “Saya cuma butuh waktu sendiri, Kael,” balas Zara, berusaha terdengar tenang meskipun suaranya sedikit bergetar. Kael menghela napas panjang, jelas tidak puas. “Jangan keras kepala.” “Saya cuma ingin waktu sendiri,” balas Zara cepat, nada suaranya mulai meninggi. “Zara, ini perintah!” ujar Kael, kali ini lebih tajam. “Jangan sampai aku marah.” Zara mendongak, menatap Kael dengan pandangan yang penuh rasa frustasi. “Kenapa, sih? Saya cuma mau sendiri, apa itu salah?” “Aku gak mau ada masalah!” balas Kael dengan sua
Zara duduk dengan gelisah di dalam mobil. Namun, Maharani yang ada di sampingnya justru tampak santai, memeriksa ponselnya sambil sesekali tersenyum. Zara tidak tahu harus berkata apa atau berbuat apa, tapi rasanya setiap detik berlalu membuatnya semakin merasa canggung. “Apa kamu suka jalan-jalan di mall?” tanya Maharani tiba-tiba, menoleh ke arah Zara dengan senyuman lembut. Zara tersentak, buru-buru mengangguk. “Kadang-kadang ... kalau ada waktu, Bu.” Maharani terkekeh pelan. “Bagus. Soalnya kita akan lama di sana.” Mobil berhenti dengan mulus di depan sebuah pusat perbelanjaan. “Ayo, Zara.” Maharani melangkah keluar dengan percaya diri, menyuruh Zara mengikutinya. Meski merasa gugup, Zara berusaha menjaga sikapnya agar tetap tenang. Mereka masuk ke dalam butik pertama. Zara bisa merasakan tatapan para pegawai yang menyambut dengan senyum ramah, meskipun Zara tahu dirinya tidak terlihat seperti pelanggan tetap di tempat ini. Maharani melangkah santai, melihat-liha
Maharani melirik ke arah Zio dan barang yang dimaksud. “Oh, itu bagus sekali. Kalau Zio suka, kenapa tidak ambil saja?” Sarah langsung menangkap peluang itu. “Ah, nggak, Bu Maharani. Ini mahal banget, agak berlebihan buat Zio.” “Tidak apa-apa, Sarah, ambil saja. Untuk anak kecil, apalagi keponakan Zara, saya akan sangat senang bisa membantu,” jawab Maharani dengan senyum hangat. “Wah, terima kasih banyak, Bu Maharani. Aduh, Zio harus bilang apa coba ke Ibu Maharani?” Sarah dengan cepat memeluk Zio, meskipun anak itu hanya terlihat sibuk dengan mainannya. Zara yang berdiri di belakang mulai tidak tahan, dia menatap Sarah dengan cukup dalam, berusaha mengingatkan. “Tante.” Sarah memutar tubuhnya dengan cepat, menatap Zara dengan ekspresi yang langsung berubah menjadi sedikit kesal. “Zara, kok kamu bilang begitu? Kan Tante cuma mikirin Zio. Masa kamu lupa gimana Om Riki ngerawat kamu dari kecil?” Zara terdiam sejenak, wajahnya memerah karena geram. Namun sebelum dia sem
Ketika tiba di Rumah Sakit Aurora, Zara semakin merasa gugup. Maharani melangkah mantap menuju meja pendaftaran untuk mengatur pemeriksaan. Sementara itu, Zara merasa detak jantungnya berlomba dengan langkah kakinya sendiri. “Bu, saya mau ke toilet sebentar,” ujar Zara cepat, mencoba menyembunyikan rasa paniknya di balik senyum canggung. “Hati-hati ya, Zara,” jawab Maharani tanpa curiga. Zara mengangguk cepat, lalu melangkah pergi dengan tergesa, tangannya sudah mengeluarkan ponsel dari tas kecilnya. Begitu sampai di toilet, dia memastikan pintunya terkunci sebelum langsung menghubungi Kael. Nada sambung terdengar dua kali sebelum suara dingin Kael menjawab, “Ada apa?” “Chef, saya di rumah sakit sekarang,” bisik Zara dengan nada panik. Bahkan, saking paniknya dia sampai memanggil Kael dengan sebutan ‘Chef’ lagi. “Ibu membawa saya untuk periksa kandungan.” Keheningan singkat di telepon membuat Zara semakin gelisah. Kael akhirnya menjawab, nadanya tajam. “Kenapa gak
Malam ini, Kael dan Deon bertemu di sebuah bar. Kael yang jarang menunjukkan emosi, terlihat sedikit berbeda malam ini. Ada sorot yang lebih tajam di matanya, seolah dia tahu percakapan ini akan lebih rumit dari biasanya. Deon sudah menunggu di meja pojok dengan sebotol bir yang hampir habis. Begitu melihat Kael, dia langsung menyeringai, mengangkat gelas kecilnya. "Kael Ashwara. Cuma beberapa hari kita gak ketemu dan lo langsung kasih gue kejutan besar," kata Deon menyapa, nada suaranya bercampur antara bercanda dan penasaran. Kael hanya duduk tanpa banyak bicara, memesan whiskey sebelum akhirnya menatap Deon dengan tatapan datar. Deon mengangkat bahu, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Gue bingung. Zara, istri lo itu ... Dari mana asalnya?” Kael menyesap minumannya perlahan sebelum menjawab. “Itu nggak penting.” Deon menatap Kael tajam. “Jangan gitu, Kael. Gue kenal lo lebih dari siapa pun. Lo bukan tipe orang yang buru-buru nikah. Jadi, kenapa ini semua berasa
"Apa? Kita jadi lebih hemat waktu, ‘kan?" ujar Kael dengan nada polos yang jelas dibuat-buat.Zara mengerucutkan bibir, tatapannya penuh kecurigaan. "Hemat waktu dari mana? Nanti bukannya cepat malah tambah lama kalau kita mandi bareng."Kael mencondongkan tubuh sedikit, matanya berkilat jahil. "Tenang aja, aku nggak bakal macem-macem … kecuali kalau kamu yang mulai duluan.""Kael!" pekik Zara, wajahnya langsung merona.Kael terkekeh, lalu bersandar santai di ambang pintu kamar mandi, sengaja tidak memberi jalan."Kamu mau ngobrol atau mau mandi?" tanya Kael, nada suaranya terdengar malas, seolah dia tidak sedang dalam situasi darurat.Zara mengatupkan rahangnya, menatapnya tajam sebelum akhirnya mendengus kesal. "Yaudah, aku aja yang mandi di kamar mandi lain."Kael tersenyum tipis, terlihat sangat puas dengan kemenangan kecilnya.Tanpa membuang waktu, Zara langsung keluar dari kamar dengan langkah cepat. Sementara itu, Kael menutup pintu kamar mandi dengan senyum kecil di wajahnya.
"Mulai hukumanmu," gumam Kael, jemarinya perlahan menyusuri lengan Zara, menciptakan jejak panas di kulitnya.Zara menahan napas, ekspresi datar Kael kini dipenuhi dengan niat yang jelas.Alih-alih menjauh, Zara justru menatapnya balik, seakan menantang. Jantungnya berdebar, tetapi bukan karena takut, melainkan sesuatu yang lebih mendebarkan dari itu.Zara tahu ini akan terjadi sejak dia mulai bermain api dengan Kael. Dan sekarang, dia harus siap menerima akibatnya.Kael menatapnya sejenak, menyadari bahwa kali ini Zara tidak mencoba menghindar. Bibirnya melengkung tipis."Masih mau menantang aku?" bisik Kael, nadanya rendah dan dalam.Zara tersenyum samar, lalu mengangkat tangannya, melingkarkan jemarinya ke belakang leher Kael.Kael menunduk, menelusuri sisi leher Zara dengan bibirnya. Gerakannya lambat, seperti menikmati setiap reaksi yang muncul darinya.Napas Zara memburu. Jemarinya meremas bahu Kael tanpa sadar. "Kael …""Hm?" gumam pria itu, sementara tangannya mulai bergerak l
Begitu mereka sampai di rumah, Kael membuka pintu di sisi Zara, lalu tanpa banyak bicara, menarik tangannya dan menggiringnya masuk ke dalam rumah."Kael—""Diam," potong Kael singkat.Zara merasakan jantungnya semakin berdebar kencang. Pria ini serius, ya?Begitu mereka masuk ke dalam, pintu tertutup, dan Kael langsung berbalik menghadapnya. Tatapannya tajam, tetapi bibirnya menyunggingkan senyum kecil yang membuat Zara semakin bisa menebak apa yang ada di pikirannya."Duduk," perintah Kael.Zara menelan ludah, lalu duduk di sofa dengan hati-hati. Matanya masih mengamati Kael yang melepas jam tangannya dengan gerakan santai, lalu melipat kedua lengannya di dada."Jadi, Nyonya Ashwara ingin dihukum seperti apa?" Kael mulai berbicara, nada suaranya rendah, tetapi terdengar penuh penekanan.Zara berdehem kecil, berusaha mencari celah untuk keluar dari situasi ini."Itu ‘kan cuma bercanda," jawab Zara dengan senyum manis.Kael mengangkat sebelah alis. "Sayangnya, aku nggak anggap itu berc
Setelah seharian bekerja, Zara memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Seperti biasa, ketika Kael masih sibuk, dia memilih naik bus. Lagipula, dia sudah terbiasa.Namun, ketika melewati sebuah kafe yang tidak jauh dari restoran, matanya langsung menangkap mobil mewah yang terparkir di depan. Hanya ada satu orang yang bisa memiliki mobil seperti itu di area ini.Kael.Zara berhenti sejenak, menatap ke dalam kafe dengan dahi berkerut.Di sana, di sudut ruangan dekat jendela, Kael duduk dengan santai. Tangan kanannya memegang cangkir kopi, sementara tangan kirinya bersandar di atas meja.Ekspresinya tampak tenang, tetapi Zara tahu lebih baik dari siapa pun. Ketika Kael terlihat terlalu tenang, itu berarti sesuatu sedang mengganggunya.Tanpa berpikir panjang, Zara mendorong pintu kafe dan melangkah masuk. Suara lonceng kecil menggema saat pintu terbuka, tetapi Kael bahkan tidak menoleh. Tatapannya tetap lurus ke depan, seolah sudah tahu Zara akan datang.Zara berjalan mendekat dan berhe
Sementara itu, Zara akhirnya berhasil menarik tangannya dari genggaman Varen."Ren, ngapain sih lo?" tanya Zara dengan nada kesal, alisnya bertaut.Varen mengangkat kedua tangan seolah tidak bermaksud buruk."Nggak, gue cuma mau ngasih ini ke lo," ujar Varen, sambil menyodorkan sebuah kotak kecil berisi coklat.Zara menimbang-nimbang sebelum akhirnya memasukkan kotak itu ke dalam tasnya. Dia malas berdebat lebih jauh."Oh ... makasih. Tapi lain kali, jangan tiba-tiba pegang tangan gue lagi, ya," ucap Zara sambil melirik tajam.Varen tertawa kecil, menggaruk tengkuknya. "Oke, sorry, gue refleks."Mereka tidak menyadari bahwa Kael masih mengamati dari dalam mobil dengan ekspresi gelap.Setelah berbasa-basi sebentar, mereka akhirnya masuk ke dalam restoran. Suasana masih sepi karena jam operasional belum dimulai.Zara langsung berjalan ke loker untuk bersiap-siap, sementara Varen baru saja melepas jaketnya ketika suara berat memanggil namanya."Varen."Zara refleks menoleh dengan kaget se
"Zara, Ibu tidak pernah menilai seseorang dari statusnya. Ibu sangat jelas melihat perubahan Kael sejak menikah denganmu, dan itu sudah cukup," ujar Maharani dengan lembut, menggenggam tangan Zara seolah ingin meyakinkannya."Tapi saya bukan siapa-siapa, Bu. Saya nggak punya latar belakang hebat seperti perempuan lain yang mungkin lebih cocok dengan Kael ..." lirih Zara."Zara, cinta bukan soal latar belakang, bukan soal cocok atau tidak cocok di mata orang lain. Lihat Kael, dia memilihmu bukan karena siapa kamu di mata orang lain, tapi karena siapa kamu di matanya." Maharani menangkup pipi Zara, ibu jarinya menghapus sisa air mata yang tertinggal di sana.Zara terdiam. Kata-kata Maharani seperti tamparan lembut yang menenangkan."Kamu tahu? Sejak kecil, Kael selalu menahan diri. Dia tumbuh dalam aturan yang ketat, harus selalu sempurna, harus selalu sesuai harapan. Tapi setelah menikah denganmu, dia belajar untuk mengikuti hatinya sendiri. Kamu mengajarinya itu, Zara," lanjut Maharani
Kael melirik Zara, mencari jawaban di wajah istrinya, tetapi ekspresi Zara tetap tenang. Dia tidak terlihat emosi, tetapi justru karena itulah Kael semakin curiga.Apa ini berarti Zara masih marah pada Kael?Apa Zara masih kesal sampai-sampai tidak mau tidur sekamar dengannya malam ini?"Kamu yakin?" tanya Maharani pelan, mencoba membaca maksud di balik permintaan itu.Zara mengangguk ringan. "Iya, Bu. Saya ingin menemani Ibu malam ini."Kael menghela napas pelan, tapi tetap memperhatikan reaksi Zara dengan saksama."Baiklah, Sayang. Kebetulan Ibu juga ingin ada teman ngobrol malam ini," jawab Maharani akhirnya, tersenyum lembut.Kael masih menatap Zara, tapi istrinya sama sekali tidak melihat ke arahnya. Bukan karena dia tidak sadar, tapi karena dia memang menghindari tatapan Kael.Dan itu cukup untuk membuat Kael tahu, Zara belum baik-baik saja.Setelah selesai makan malam, Zara berjalan menuju kamar untuk berganti pakaian. Kael mengikutinya dari belakang, langkahnya pelan, tetapi pe
Hening, udara seakan berat di antara mereka, kata-kata yang baru saja keluar masih bergema di pikiran masing-masing."Apa kamu yakin sama keputusanmu?" tanya Zara, suaranya datar, meski ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan dalam setiap suku kata.Kael tidak butuh waktu lama untuk menjawab."Aku nggak pernah merasa seyakin ini," ujar Kael dengan keyakinan yang tercermin dalam matanya.Zara menghela napas, lalu menatapnya, matanya yang tidak berkaca-kaca justru menyimpan begitu banyak beban yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata."Kenapa kamu nggak marah?" tanya Kael, kali ini dengan suara lebih kecil, penuh rasa ingin tahu dan sedikit kesedihan.Zara tersenyum kecil, tetapi senyum itu lebih terasa seperti luka."Aku marah, Kael," jawab Zara pelan, suaranya hampir tenggelam oleh beratnya perasaan yang dia tahan.Kael menelan ludah, merasa cemas. "Iya, maksud aku … kenapa kamu nggak marah besar? Mungkin kalau kamu melampiaskannya, aku bakal ngerasa lebih baik."Zara menggeleng
"Enggak," jawab Kael cepat, terlalu cepat.Seperti orang yang ingin lari dari kenyataan, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya semakin memperburuk keadaan.Zara tetap berdiri di tempatnya, tidak bergerak, matanya menatap Kael lurus, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab."Kalau nggak, kenapa ada surat ini?" Suara Zara terdengar lebih pelan, tapi ada tekanan di dalamnya yang cukup untuk membuat Kael sulit bernapas.Kael menarik napas dalam, mencoba meredakan sesak di dadanya. Dia bisa merasakan denyut halus di pelipisnya, tanda bahwa pikirannya sedang berusaha keras mencari jalan keluar.Kael tahu, kalau dia berkata terlalu sedikit, Zara tidak akan puas. Namun, jika dia berkata terlalu banyak, dia tahu kata-katanya hanya akan semakin melukai."Ayah yang mengurus ini, bukan aku," kata Kael akhirnya, suara sedikit pecah, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Zara terdiam sejenak, matanya berkedip, menunggu penjelasan lebih lanjut."Maksud kamu?" tanya Zara, suaranya