Zara mengusap air matanya cepat, menatap tangan Kael yang masih terulur ke arahnya. “Masuk ke mobil,” ujar Kael singkat, nadanya lebih seperti perintah daripada tawaran. Namun, Zara menggeleng pelan, menghindari tatapan Kael. Dia membalas ucapan Kael dengan suara kecil, tetapi terdengar cukup tegas. “Gak usah, saya jalan kaki aja. Pengen cari udara segar.” Kael mengerutkan alis, ekspresinya dingin, tetapi sorot matanya tajam. “Udah malam, Zara.” “Saya cuma butuh waktu sendiri, Kael,” balas Zara, berusaha terdengar tenang meskipun suaranya sedikit bergetar. Kael menghela napas panjang, jelas tidak puas. “Jangan keras kepala.” “Saya cuma ingin waktu sendiri,” balas Zara cepat, nada suaranya mulai meninggi. “Zara, ini perintah!” ujar Kael, kali ini lebih tajam. “Jangan sampai aku marah.” Zara mendongak, menatap Kael dengan pandangan yang penuh rasa frustasi. “Kenapa, sih? Saya cuma mau sendiri, apa itu salah?” “Aku gak mau ada masalah!” balas Kael dengan sua
Zara duduk dengan gelisah di dalam mobil. Namun, Maharani yang ada di sampingnya justru tampak santai, memeriksa ponselnya sambil sesekali tersenyum. Zara tidak tahu harus berkata apa atau berbuat apa, tapi rasanya setiap detik berlalu membuatnya semakin merasa canggung. “Apa kamu suka jalan-jalan di mall?” tanya Maharani tiba-tiba, menoleh ke arah Zara dengan senyuman lembut. Zara tersentak, buru-buru mengangguk. “Kadang-kadang ... kalau ada waktu, Bu.” Maharani terkekeh pelan. “Bagus. Soalnya kita akan lama di sana.” Mobil berhenti dengan mulus di depan sebuah pusat perbelanjaan. “Ayo, Zara.” Maharani melangkah keluar dengan percaya diri, menyuruh Zara mengikutinya. Meski merasa gugup, Zara berusaha menjaga sikapnya agar tetap tenang. Mereka masuk ke dalam butik pertama. Zara bisa merasakan tatapan para pegawai yang menyambut dengan senyum ramah, meskipun Zara tahu dirinya tidak terlihat seperti pelanggan tetap di tempat ini. Maharani melangkah santai, melihat-liha
Maharani melirik ke arah Zio dan barang yang dimaksud. “Oh, itu bagus sekali. Kalau Zio suka, kenapa tidak ambil saja?” Sarah langsung menangkap peluang itu. “Ah, nggak, Bu Maharani. Ini mahal banget, agak berlebihan buat Zio.” “Tidak apa-apa, Sarah, ambil saja. Untuk anak kecil, apalagi keponakan Zara, saya akan sangat senang bisa membantu,” jawab Maharani dengan senyum hangat. “Wah, terima kasih banyak, Bu Maharani. Aduh, Zio harus bilang apa coba ke Ibu Maharani?” Sarah dengan cepat memeluk Zio, meskipun anak itu hanya terlihat sibuk dengan mainannya. Zara yang berdiri di belakang mulai tidak tahan, dia menatap Sarah dengan cukup dalam, berusaha mengingatkan. “Tante.” Sarah memutar tubuhnya dengan cepat, menatap Zara dengan ekspresi yang langsung berubah menjadi sedikit kesal. “Zara, kok kamu bilang begitu? Kan Tante cuma mikirin Zio. Masa kamu lupa gimana Om Riki ngerawat kamu dari kecil?” Zara terdiam sejenak, wajahnya memerah karena geram. Namun sebelum dia sem
Ketika tiba di Rumah Sakit Aurora, Zara semakin merasa gugup. Maharani melangkah mantap menuju meja pendaftaran untuk mengatur pemeriksaan. Sementara itu, Zara merasa detak jantungnya berlomba dengan langkah kakinya sendiri. “Bu, saya mau ke toilet sebentar,” ujar Zara cepat, mencoba menyembunyikan rasa paniknya di balik senyum canggung. “Hati-hati ya, Zara,” jawab Maharani tanpa curiga. Zara mengangguk cepat, lalu melangkah pergi dengan tergesa, tangannya sudah mengeluarkan ponsel dari tas kecilnya. Begitu sampai di toilet, dia memastikan pintunya terkunci sebelum langsung menghubungi Kael. Nada sambung terdengar dua kali sebelum suara dingin Kael menjawab, “Ada apa?” “Chef, saya di rumah sakit sekarang,” bisik Zara dengan nada panik. Bahkan, saking paniknya dia sampai memanggil Kael dengan sebutan ‘Chef’ lagi. “Ibu membawa saya untuk periksa kandungan.” Keheningan singkat di telepon membuat Zara semakin gelisah. Kael akhirnya menjawab, nadanya tajam. “Kenapa gak
Malam ini, Kael dan Deon bertemu di sebuah bar. Kael yang jarang menunjukkan emosi, terlihat sedikit berbeda malam ini. Ada sorot yang lebih tajam di matanya, seolah dia tahu percakapan ini akan lebih rumit dari biasanya. Deon sudah menunggu di meja pojok dengan sebotol bir yang hampir habis. Begitu melihat Kael, dia langsung menyeringai, mengangkat gelas kecilnya. "Kael Ashwara. Cuma beberapa hari kita gak ketemu dan lo langsung kasih gue kejutan besar," kata Deon menyapa, nada suaranya bercampur antara bercanda dan penasaran. Kael hanya duduk tanpa banyak bicara, memesan whiskey sebelum akhirnya menatap Deon dengan tatapan datar. Deon mengangkat bahu, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Gue bingung. Zara, istri lo itu ... Dari mana asalnya?” Kael menyesap minumannya perlahan sebelum menjawab. “Itu nggak penting.” Deon menatap Kael tajam. “Jangan gitu, Kael. Gue kenal lo lebih dari siapa pun. Lo bukan tipe orang yang buru-buru nikah. Jadi, kenapa ini semua berasa
Kael tetap berdiri diam, wajahnya tetap dingin seperti biasa, tetapi ada kilatan samar di matanya yang sulit diartikan. "Ka—kamu ngapain di sini?" Zara akhirnya bertanya, suaranya masih sedikit serak. Tangannya reflek merapikan rambutnya yang berantakan, merasa canggung dengan situasi yang tidak diduga. Kael tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap Zara dalam diam selama beberapa detik yang terasa begitu lama bagi Zara, sebelum akhirnya berkata dengan nada datar. "Kenapa tidur di sofa?" Zara terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Hatinya berdebar keras, bukan hanya karena keterkejutan, tetapi juga karena tatapan Kael yang begitu tajam, seolah-olah dia sedang mencari sesuatu dalam dirinya. Tatapan Kael tetap mengunci Zara, membuat udara di antara mereka terasa semakin tegang. “Jawab, Zara.” Kael akhirnya mengulang pertanyaannya, suaranya terdengar lebih rendah tapi penuh tekanan, seolah dia tidak akan membiarkan Zara lolos tanpa jawaban. Zara menelan ludah, mencoba
“Chef,” Varen menyapa lebih dulu, membungkuk sedikit sebagai tanda hormat sebelum melangkah menuju dapur. Gesturnya santai, tetapi ada sedikit ketegangan yang tidak bisa disembunyikan. Zara yang berdiri di belakang Varen, merasa kedua kakinya hampir tidak bisa bergerak. Dengan canggung, dia menundukkan kepala sedikit dan mencoba menyapa. “Pagi, Chef,” ucapnya pelan, suaranya nyaris bergetar. Kael mengangkat alis, tatapannya semakin tajam. “Ini sudah siang,” koreksinya dengan nada dingin yang menusuk, membuat Zara tersentak. “Oh! Iya, maaf Chef ... Siang, maksud saya.” Zara buru-buru membetulkan, merasa malu karena salah sebut. Kael tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya mengarahkan pandangannya sekilas ke arah Varen yang sudah menghilang di balik pintu dapur, lalu kembali ke Zara. Sorot matanya begitu dingin, membuat Zara merasa seperti sedang diperiksa sampai ke dalam pikirannya. Merasa tidak sanggup berada di bawah tatapan itu lebih lama, Zara segera menunduk
“Clara?” ulang Kael. Mendengar nama itu, Kael langsung mendongak, rahangnya mengeras. Rizal yang berdiri di dekat pintu ikut merasa tegang. Dia tahu betapa pentingnya gala dinner ini bagi Kael dan restoran, dan sekarang semua rencana yang sudah dibuat menjadi berantakan. Kael menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun jelas bahwa dia sedang berada di ambang ledakan amarah. “Maaf, Chef. Clara baru saja mengajukan paten ini beberapa minggu lalu, tapi prosesnya dipercepat. Dia jelas punya koneksi yang kuat,” jawab salah satu dari mereka. Kael memijat pelipisnya, mencoba berpikir cepat. Dia berjalan mondar-mandir di ruangan itu, tatapannya tajam seolah sedang mencari solusi di antara serpihan masalah yang baru saja menghantamnya. Kael mengetukkan jarinya ke meja dengan ritme teratur, mencoba mengendalikan emosi yang semakin memuncak. Setelah mendengar nama Clara disebut, pikirannya langsung melayang pada berbagai kemungkinan buruk. Dia tidak akan membiarka
“Kael gimana, Ra? Kalian udah ketemu?” tanya Gala pelan setelah selesai memeriksa kondisi Zara.Mereka kini berada di kamar lantai dua. Ruang yang selama seminggu terakhir menjadi tempat Zara mengasingkan diri dari dunia luar. Gala tahu betul, luka di tubuh Zara mungkin sudah mulai pulih, tapi tidak dengan luka di hatinya.Pria itu juga tahu, apa yang terjadi antara Zara dan Kael bukan hal sepele. Gala bahkan sempat bertemu Kael di depan rumah sakit saat Zara diperbolehkan pulang. Tatapan pria itu kosong, wajahnya lelah seperti tak tidur berhari-hari. Aneh rasanya, karena Kael seharusnya pulang bersama Zara hari itu, tapi nyatanya hanya wanita itu yang dibawa pulang oleh Anjana.Zara menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum menjawab.“Belum, Kak,” ucap Zara pelan. “Sempat datang ke sini ... tapi diusir sama bodyguard Mama.”Zara menunduk, suaranya serak. Tidak ada amarah dalam kata-katanya, hanya kelelahan yang tertahan terlalu lama.Ya, seketat itu Anjana menjaga
“Zara, ayo sarapannya dimakan,” suara Anjana dari meja makan membuyarkan lamunan Zara.Perempuan itu tersentak pelan, lalu mengangguk dan memaksakan senyum. Dia mengambil sendok, meski tak benar-benar lapar.Sejujurnya, Zara tidak merasa nyaman tinggal di rumah ini. Tatapan tajam kakeknya, Harun yang selalu mengawasinya seolah dia adalah orang luar, dan nada bicara Atma yang dingin setiap kali mereka berpapasan—semuanya membuat udara di rumah ini terasa lebih dingin dari biasanya.Namun, dia tetap memilih tinggal di sini. Rumah itu memang bukan tempat yang ramah, tapi jauh di dalam hati, dia masih trauma dengan apa yang terjadi di rumahnya sendiri. Ingatan tentang paket ancaman itu masih membekas.Setiap suara langkah di malam hari, setiap bayangan yang melintas di dinding, bisa membuat jantungnya berdebar tak karuan. Setidaknya, di sini dia merasa lebih aman … walau tak benar-benar merasa diterima.“Kalau kamu nggak suka menu hari ini, bisa minta Mbok Darmi buat yang lain,” ucap Anjan
Kael mematung. Untuk sesaat, seluruh dunia terasa hening. Bahkan detak mesin infus terdengar seperti gema di lorong kosong.“Maksud kamu …?” tanya Kael pelan. Suaranya serak, seperti tertahan di tenggorokan.Zara menatapnya lurus, dan kali ini tidak ada air mata, hanya kelelahan yang dalam. “Mama bilang, kamu udah gagal jagain aku. Jadi dia minta aku buat pisah.”Kael menunduk, perlahan berdiri. Tangan di sisi tubuhnya mengepal, seolah menahan sesuatu yang nyaris meledak di dalam dadanya.“Kamu setuju?” tanya pria itu pelan. Suaranya rendah. Bukan marah, tapi penuh luka yang tak dia tunjukkan pada siapa pun selama ini.Zara tidak langsung menjawab. Pandangannya kembali pada jendela, tak kuasa menatap pria itu lebih lama. Suaminya. Lelaki yang membuat segalanya menjadi rumit sekaligus bermakna.“Zara,” suara Kael terdengar lebih dalam sekarang.“Aku nggak mau, Mas … Tapi kalau Mama maksa, aku harus gimana?” lirih Zara nyaris seperti bisikan.Kael terdiam. Di wajahnya, tidak ada amarah—y
[Mas, bisa ke rumah sakit? Aku tunggu.]Pesan dari Zara akhirnya datang. Dua hari terakhir, Kael hidup dalam penantian yang sunyi. Datang ke rumah sakit berkali-kali hanya untuk diusir, bahkan sampai meminta bantuan Maharani untuk membujuk Anjana. Namun, semua upaya itu sia-sia.Dan sekarang ... mungkin ini kesempatan satu-satunya.Kael segera bergegas. Dia membawa tas kecil berisi baju ganti untuk Zara, beberapa kebutuhan lainnya, dan satu kotak berisi nasi goreng seafood, makanan kesukaan Zara. Entah sejak kapan, hal-hal kecil seperti itu terasa seperti satu-satunya cara untuk bisa dimaafkan.Di depan pintu ruang rawat, dia sempat berhenti. Dari dalam terdengar suara dua perempuan berbicara. Suara Anjana terdengar datar dan cukup dingin untuk membuat siapa pun mengurungkan niat masuk. Namun, Kael menahan napas, menegakkan punggung, lalu mengetuk pelan pintu putih itu."Masuk," suara Zara terdengar.Ketika Kael membuka pintu, tiga pasang mata langsung tertuju padanya. Ada Anjana yang
Tidak ada jawaban. Zara hanya mengangguk. Tidak menoleh, tidak juga melihat ke pria itu.Kael berdiri perlahan, masih sempat menatap punggung istrinya sekali lagi sebelum akhirnya melangkah menuju pintu. Setiap langkah terasa berat, seolah kakinya menolak meninggalkan perempuan itu sendirian.Namun pria itu tahu, mencintai bukan cuma soal memeluk saat luka, tapi juga tahu kapan harus memberi ruang untuk menangis sendiri.Sebelum benar-benar keluar, Kael sempat menoleh sekali lagi. Zara masih memunggunginya. Tubuhnya tampak diam, tapi bahunya bergerak sedikit. Halus, rapuh, seolah menahan sesuatu yang nyaris pecah.Kael menarik napas dalam, lalu menutup pintu perlahan. Namun tidak lama, dari balik pintu, suara tangis Zara kembali terdengar. Pelan, namun cukup menghantam jiwanya yang sudah remuk. Tangis yang tidak bisa dia redakan, tidak bisa dia peluk, tidak bisa dia bagi.Di luar, Kael bersandar ke pintu yang dingin. Matanya terpejam. Rahangnya mengeras. Dadanya naik turun, menahan sem
“Maaf … maafin aku,” suara Kael kembali terdengar, parau dan penuh luka. Isakannya akhirnya pecah. Pria yang selalu terlihat kuat itu kini menangis di hadapan istrinya, tanpa mencoba menahan atau menyembunyikannya.Zara ikut menangis bersama pria itu. Mereka memang masih punya satu bayi yang bertahan, tapi tetap saja … kehilangan ini bukan hal yang mudah diterima.Zara ingin marah, tapi kepada siapa? Pada Kael? Pada Bayu? Pada Ranu? Atau pada dirinya sendiri?Kael membenci dirinya. Dia merasa gagal. Tidak berdaya. Tidak berguna.Tangis mereka menyatu dalam keheningan kamar VIP itu. Tidak seperti biasanya, pria itu tidak mencoba menenangkan Zara. Tidak mencoba berkata bahwa semua akan baik-baik saja.Karena pada kenyataannya … tidak ada yang baik-baik saja di sini.Akhirnya, mereka memilih untuk merasakan sakit itu bersama.--Setelah menangis hebat, Zara tertidur dengan sendirinya. Matanya masih basah, napasnya belum sepenuhnya tenang, tapi tubuhnya terlalu lelah untuk terus menahan se
Kael berdiri di depan pintu ruang operasi, kedua tangannya mengepal begitu keras. Napasnya berat, nyaris tak terdengar. Perasaan ini … ketidakberdayaan yang menggerogoti dari dalam, mengikisnya perlahan.Dia benci ini.Setiap detik terasa seperti lambat dan menyakitkan. Gala ada di dalam sana, berjuang untuk menyelamatkan Zara dan anak-anak mereka. Namun, bagaimana jika terlambat? Bagaimana jika tidak ada yang bisa diselamatkan?Pikiran itu merayap ke benaknya seperti racun. Tidak. Zara kuat. Dia pasti bisa bertahan.Namun, pintu ruang operasi tetap tertutup rapat.Entah berapa lama Kael berdiri di sana, menanti dengan napas tersendat dan kepala penuh doa yang terus terucap. Hingga akhirnya, pintu itu terbuka.Gala keluar dengan langkah berat. Pakaian operasinya berlumuran darah. Wajahnya letih, tapi yang membuat dada Kael semakin sesak adalah ekspresi di matanya."Gimana keadaan Zara?" suara Kael serak, hampir patah.Gala menarik napas dalam, seakan menyiapkan dirinya sebelum berkata,
Gala terkesiap, matanya mencari sumber tembakan. Namun, kemudian mereka menyadari sesuatu.Bayu terhuyung ke belakang. Tangan yang memegang pistol bergetar hebat sebelum akhirnya tubuhnya jatuh berlutut. Darah merembes dari pahanya.Kael mengerutkan dahi. Apa yang baru saja terjadi?Baru saat itulah dia melihatnya.Ranu berdiri tidak jauh dari ayahnya, pistol masih berasap di tangannya. Wajahnya tegang, matanya lebar seakan dia sendiri tak percaya apa yang baru saja dia lakukan.Ranu baru saja menembak ayahnya sendiri!Bayu menatapnya dengan tatapan terkejut dan marah sekaligus. "Kamu—"Dor!Tembakan lain menggema. Kali ini mengenai lengan Bayu, membuat pria itu memekik kesakitan. Namun, bukan Ranu yang menembak.Kael menoleh cepat. Dari bayangan di luar gudang, beberapa pria berpakaian serba hitam muncul dengan senjata siap di tangan. Gerakan mereka cepat dan terlatih.Orang-orang Anjana.Dalam hitungan detik, suasana berubah drastis. Anak buah Bayu panik. Beberapa mencoba kabur, tapi
“Tunggu, Kael!”Kael hampir membuka pintu mobilnya ketika suara Gala menghentikannya. Dia menoleh dengan sorot mata tajam."Aku udah dapat lokasinya," kata Gala cepat. "Kita nggak perlu buang-buang waktu buat cari Ranu. Lebih baik kita langsung menyelamatkan Zara."Kael diam sesaat. Rahangnya masih mengeras, tapi tatapannya menusuk. "Di mana?"Gala menekan layar ponselnya lalu menunjukkan sebuah titik di peta digital. "Gudang kosong di daerah pelabuhan. Ray barusan mengkonfirmasi. Ada aktivitas mencurigakan di sana, dan ciri-cirinya cocok dengan tempat di foto tadi."Kael menatap layar ponsel itu dengan rahang mengatup. Gudang. Sama seperti dugaannya. Tanpa membuang waktu, dia membuka pintu mobilnya. "Kita berangkat sekarang."Gala mengangguk dan segera menyusul.Kael menekan gas dalam-dalam, mobilnya melesat membelah malam. Jalanan basah akibat gerimis tadi sore, tapi pikirannya terlalu penuh untuk peduli. Hanya satu hal yang ada di kepalanya, menemukan Zara dalam keadaan selamat.Di