Mendengar itu, Zara mengerutkan dahinya, merasa terkejut sekaligus bingung. Dia tidak menyangka tantenya akan mengatakan hal itu. “Balas budi gimana maksudnya, Tante?”
“Sejak orang tuamu meninggal, om kamu yang membayar semua biaya kebutuhanmu, termasuk biaya pendidikanmu sampai sarjana.” Sarah menatap Zara dengan tajam. “Bulan depan Zio akan mulai masuk pendidikan dasar. Tante minta kamu bantu membayar uang sekolah Zio.”
Zara membelalakkan matanya. Sepertinya, sekarang dia tidak bisa lagi berdiam begitu saja seperti sebelumnya. “Tante, semua uang pendidikan itu dari tabunganku yang memang sudah disiapkan ayahku sejak lama. Selama kuliah, aku juga sambil bekerja untuk membayar uang kuliah.”
“Apa menurutmu, biaya hidupmu yang lain selama ini gratis?!” suara Sarah mulai sedikit meninggi dan lebih tajam. “Makanmu, air yang kamu pakai, pakaianmu sejak masih kecil, kamu pikir itu semua dari siapa?!”
“Tante, aku sudah memberikan lebih dari setengah gajiku untuk membantu keluarga Tante. Aku juga selalu membantu pekerjaan rumah, bahkan mengurus Zio. Makan pun aku lebih sering membeli di luar. Apa semua itu masih kurang?!” tanya Zara dengan berani, suaranya mulai terdengar sedikit meninggi. Setelah selama ini dia hanya diam dengan sikap Sarah yang selalu menuntutnya ini itu ketika tidak ada Riki, Zara benar-benar merasa tidak tahan lagi.
“Masih untung aku mau menerima kamu di rumahku, apa susahnya membayar balas budi?!” jawab Sarah dengan angkuh, matanya menusuk tajam ke arah Zara.
Kali ini, suara Zara terasa lebih rendah dan dalam, dia menatap tantenya lebih dalam lagi, seolah benar-benar kecewa dengan semua ini. “Kalau gitu, kenapa gak taruh aku di panti asuhan aja?”
“Dasar anak tidak tahu terima kasih!!” Amarah Sarah semakin terpancing. Dia akhirnya mengangkat tangannya dan bersiap untuk menampar wajah Zara.
Namun, belum sempat telapak tangan itu menyentuh kulit wajah Zara, justru pergelangan tangan itu lebih dulu dicengkeram oleh tangan besar Kael.
Kael ternyata memang telah mendengar semua obrolan mereka, dan ketika dia menoleh justru mendapati Sarah yang telah melayangkan tangannya untuk menampar Zara.
Sorot mata Kael tampak tajam, wajahnya memancarkan aura dingin yang begitu menusuk. “Jauhkan tanganmu dari istriku, atau aku sendiri yang akan membalasmu.”
Zara terpaku, kaget dengan apa yang baru saja dilakukan Kael. Tidak mungkin pria sedingin Kael mau membelanya, ‘kan?!
Apa ini bagian dari sandiwara mereka?
Zara memanggil Kael pelan, “Chef … ”
Namun, Kael sama sekali tidak menoleh. Dia masih terus menatap Sarah penuh intimidasi, aura dingin dan mencekam benar-benar terpancar dari dirinya.
Zara melirik Sarah yang masih berdiri kaku dengan wajah bingung dan merah padam, tetapi tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.
Kael melepaskan genggamannya perlahan, tetapi penuh ketegasan. Tatapannya tajam, dingin, dan menusuk, membuat Sarah secara refleks mundur selangkah.
Tanpa berkata apapun lagi, Kael berbalik menghadap Zara yang masih terpaku di tempat, kemudian berjalan memasuki mobil.
Zara menelan ludah, bergegas mengikuti langkah Kael menuju mobil. Namun, sebelum benar-benar pergi, dia melirik ke arah Sarah. Tantenya masih berdiri kaku di tempat, menunduk dengan ekspresi yang penuh campuran emosi.
Zara yang masih sedikit bingung langsung membuka pintu dan masuk ke dalam.
Sepanjang jalan, Zara terus menggigit bibirnya pelan, pikirannya berkecamuk dengan perasaan campur aduk
Kenapa Kael melindunginya? Meskipun Kael memang mendengar percakapannya dengan tantenya, bukankah mereka sepakat untuk tidak ikut campur dengan urusan pribadi masing-masing?
“Kita ke mana, Chef?” tanya Zara akhirnya, setelah tersadar bahwa dia cukup asing dengan jalanan perumahan mewah ini.
“Ke rumahku,” jawab Kael tanpa memberi penjelasan lebih.
Tak lama, mobil berhenti di depan sebuah rumah bergaya scandinavian berwarna monokrom. Rumah itu tampak begitu luas dengan halaman yang terasa cukup.
Zara mengikuti langkah Kael yang lebih dulu masuk. Beberapa asisten rumah dengan cekatan membantu barang bawaan Zara, dan langsung meletakkannya di kamar tamu.
Begitu tiba di ruang tamu, Kael berhenti dan menatap Zara. “Jangan khawatir, kita akan tidur di kamar terpisah.”
Belum sempat Zara menjawab, Kael sudah kembali melangkah. Namun, Zara berhasil menahannya.
“Chef,” panggil Zara segera yang langsung menghentikan langkah Kael.
Pria itu menoleh dan kembali menatap Zara, tetapi tidak ada kata yang keluar darinya, hanya tampak satu alis yang terangkat.
“Soal omongan tunangan Chef tadi, gimana kalau ternyata dia beneran kasih tahu keluarga Chef?” kata Zara dengan keraguan, dia menundukkan kepalanya. “Terlebih, sekarang kita sudah menikah. Saya takut, Chef.”
Kael memasukkan tangannya ke dalam saku celananya, lalu tersenyum tipis. “Justru karena kita sudah menikah, mereka tidak akan bisa berbuat banyak.”
Zara terdiam. Memang benar apa yang dikatakan Kael, tetapi tetap saja Zara masih merasa takut. Yang dihadapi bukan lagi keluarga om dan tantenya, tetapi keluarga besar yang punya banyak kuasa.
Zara menghela napas.
Mungkin, ini memang konsekuensi atas solusi cepat itu.
“Rapikan barangmu, setelah itu kita pergi ke rumah orang tuaku,” kata Kael lagi yang langsung membuyarkan lamunan Zara.
“Ba–baik, Chef,” jawab Zara lirih.
Sekarang, Zara tidak bisa melakukan apapun selain mengikuti alur. Setidaknya, masalah dia harus keluar dari rumah omnya sudah selesai. Meskipun kini dia harus kembali bersiap dengan masalah baru yang akan segera datang, setidaknya itu bukan berurusan dengan satu-satunya keluarga yang dia punya.
Zara menghela napas berat, kemudian melangkah menuju kamar yang telah disiapkan untuknya. Begitu masuk ke dalam kamar itu, pandangan Zara langsung menyapu setiap sudut kamar yang dua kali lebih besar dari kamarnya di rumah omnya. Zara melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul 5 sore.
Hari ini benar-benar terlalu banyak kejadian bagi Zara.
Setelah membersihkan dirinya, Zara kembali keluar menuju ruang tengah. Di sana, Kael telah duduk di sofa dengan kaos polo berwarna putih dan celana bahan berwarna hitam.
Pakaian santai yang dikenakan oleh Kael membuat Zara terdiam sejenak. Ini adalah kali pertama Zara melihat bosnya memakai pakaian santai. Kenapa rasanya terlihat lebih … tampan?
Tidak!
Zara buru-buru menggelengkan kepalanya dan kembali melangkah mendekati Kael yang masih sibuk dengan ponselnya.
“Chef,” panggil Zara pelan membuat Kael menoleh.
Setelah itu, Kael bangkit tanpa mengucapkan apapun dan langsung melangkah keluar rumah. Tentu saja Zara mengikutinya di belakang.
Kael melajukan mobilnya ke arah salah satu perumahan elit yang berada di tengah kota. Sepanjang perjalanan, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari keduanya.
Tak lama, mobil berhenti di depan rumah mewah bergaya klasik dengan halaman luas yang dipenuhi dengan berbagai jenis tanaman hias. Zara terus mengikuti langkah Kael dengan hati yang bergejolak. Tangannya bahkan terus meremas ujung bajunya hingga tampak sedikit kusut.
“Kael, apa maksudmu membatalkan perjodohan dengan keluarga Adinata?!”
Suara keras dari Aryan Ashwara, menusuk telinga Zara dan Kael begitu mereka memasuki ruang tamu rumah besar itu, seolah dia telah mengetahui semua permasalahan ini.
“Aku tidak akan pernah menikahi Clara.” Kael langsung menyodorkan akta pernikahannya kepada sang ayah. “Karena aku sudah menikah dengan pilihanku sendiri.”
Aryan melihat akta pernikahan yang diberikan oleh putra tunggalnya dengan tajam. “Apa kamu gila, Kael?!”
“Tolong berhenti membuat aku menjadi boneka bisnismu, Ayah,” kata Kael dengan sangat tegas seolah dia memang benar-benar telah lelah dengan permainan ayahnya.“Kael?” Maharani, ibu Kael, tidak menyangka bahwa Kael justru akan bertindak sejauh ini.Dalam situasi seperti ini, Zara benar-benar tidak berani mengangkat wajahnya, bahkan hanya untuk melihat ujung baju orang-orang pun dia tidak berani. Dia merasa bahwa kehadirannya sepertinya benar-benar bisa membuat Kael dalam masalah dengan keluarganya.“Apa maksudmu? Aku hanya berusaha memberi kehidupan yang layak untukmu hingga tua nanti. Apa kamu ingin hidup sengsara karena salah melangkah?!” Aryan berdiri dan menatap Kael dengan tajam. Maharani yang ada di sebelah Aryan, berusaha terus menenangkan suaminya dengan beberapa kali menahan mengusap lengan pria itu.Selama ini, Aryan memang selalu mengatur tiap langkah hidup Kael, bermaksud untuk memberikan kehidupan yang makmur dan terjamin untuk Kael.“Selain karena keluarga Adinata adalah
Zara membelalakkan matanya lebar-lebar.Dia tidak salah dengar, kan?“Tapi, Chef. Ini … ini nggak mungkin. Saya dan Chef …” Zara bingung sekaligus panik.Kael kembali menatapnya, kali ini sedikit lebih tajam, bibirnya membentuk garis tipis.“Kamu takut?” tanyanya datar, dengan nada yang hampir terdengar seperti ejekan.Ya, Zara takut. Bukan hanya karena situasinya yang tidak masuk akal, tetapi juga karena dia tahu dirinya tidak pernah siap untuk sesuatu seperti ini. Meskipun ini semua juga memberi keuntungan baginya, tetap saja Zara tidak bisa begitu saja memberikan dirinya. Harga dirinya bukan sesuatu yang bisa ditukar.Terlebih, jika dia memang sampai melahirkan keturunan keluarga konglomerat ini, itu berarti dia juga akan terlibat dengan semua urusan mereka, bukan?Zara menunduk, tidak tahu harus berkata apa lagi. Bagaimana bisa hal seperti itu terjadi? Hubungan seperti itu antara dia dan Kael jelas mustahil. Kael adalah bosnya.Bahkan membayangkan hal itu saja membuat Zara merasa
Keesokan harinya. Zara berusaha bangun lebih awal dari biasanya. Dia memutuskan untuk pergi kerja diam-diam, berharap tidak bertemu dengan Kael pagi itu. Setelah memastikan Kael tidak ada di sekitar, Zara menyelinap keluar dari rumah besar itu. Langkahnya terburu-buru, tapi terasa berat dengan perasaan campur aduk yang masih menghantuinya sejak tadi malam. Dia berjalan kaki menuju gerbang komplek perumahan, yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Lelah mulai terasa di kakinya, tapi Zara lebih memilih ini daripada harus berpapasan dengan Kael. Ketika dia hampir sampai di gerbang, suara deru mobil terdengar mendekat. Zara menoleh dan mendapati mobil mewah Kael melintas. Dia menunduk sedikit, berharap Kael tidak melihatnya. Namun, yang ada malah tawa sumbang keluar dari bibirnya. ‘Sungguh lucu,’ pikir Zara, saat sang suami melaju ke tempat kerja dengan mobil mewah, sementara dia hanya bisa berjalan kaki ke depan komplek dan melanjutkan perjalanan dengan bus. Namun, menurutnya i
‘Andin, ngapain dia di sini?’ pikir Zara panik, wajahnya langsung memucat.Kalau sampai Zara ketahuan, jelas semua akan menjadi semakin runyam.“Lo … lo mau ke mana? Dan … itu supir? Sejak kapan lo begini?” tanyanya dengan nada tak percaya, ekspresinya campuran antara bingung dan penasaran. Otaknya bekerja cepat mencari alasan, tapi semakin Zara mencoba, semakin kosong pikirannya. Beberapa kali dia melihat sekeliling lalu membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar. Zara terdiam sejenak, mencoba menjaga ekspresinya agar tetap tenang meski hatinya berdegup kencang. “Gue ikut shooting!” jawab Zara akhirnya, suaranya datar. “Shooting? Shooting apa?” Andin menyipitkan mata, penuh rasa ingin tahu. Zara mencoba tertawa canggung sambil menggaruk tengkuknya, meski tidak gatal. “Itu .. reality show! Mereka lagi butuh orang buat acara ... ehm, keluarga palsu.” Andin menatap Zara seperti dia baru saja mendengar sesuatu yang mustahil. “Keluarga palsu? Reality show apaan itu?”
Zara yang sedang menunduk langsung terdiam, otaknya berputar cepat mencari jawaban. Jantungnya berdetak keras, tetapi dia berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang. Berapa usia kandungan yang cukup masuk akal dengan keadaannya?! “Ti-tiga minggu, Nyo—eh, Ibu,” jawab Zara segera dengan terbata, berusaha memperbaiki panggilannya dengan cepat. Maharani hanya mengangguk pelan. Makan malam kembali dilanjutkan dalam suasana yang hening. Aryan yang terlihat masih kurang puas dengan situasi, akhirnya angkat bicara lagi, suaranya dingin dengan nada sindiran yang halus. “Kael, kalau Zara lebih suka bekerja daripada di rumah, mungkin itu karena dia merasa tidak cukup nyaman. Atau mungkin kamu terlalu sibuk dan tidak memberinya perhatian?” Aryan menatap Kael dengan senyum tipis, jelas menantang. Zara mencengkram ujung taplak meja di bawah tangannya, mencoba menyembunyikan kegelisahan. Sementara itu, Kael hanya mengangkat pandangan dengan ekspresi tanpa emosi. "Dia nyaman,"
Suasana di dalam mobil terasa berat, meskipun tak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Zara duduk di samping Kael di kursi belakang, menatap ke luar jendela, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian selama makan malam tadi.Kael di sampingnya, duduk tegak dengan wajah dingin yang sulit ditebak. Dia hanya menatap lurus ke depan, seolah-olah tidak ada siapa pun di sebelahnya. Namun, aura dingin itu cukup membuat Zara semakin menutup diri, takut jika salah bicara akan menambah ketegangan.Mobil berhenti dengan mulus di depan rumah besar mereka. Supir keluar untuk membuka pintu, tapi Kael lebih dulu membuka pintunya sendiri. Zara menunduk sedikit sambil mengucapkan terima kasih pelan pada supir sebelum menyusul Kael masuk ke dalam.Begitu mereka melewati pintu utama, Zara melirik ke arah Kael.“Makasih, Chef,” ucapnya refleks, meskipun suaranya nyaris tak terdengar.Kael menghentikan langkahnya sejenak, lalu menoleh padanya dengan tatapan dingin, seolah sedang memprotes ucapan Za
Rizal menatap Kael dengan bingung. “Tim gudang dan sous chef? Apa ada rencana lain, Chef?”Kael mengangguk singkat, ekspresinya tetap tanpa emosi. “Kita luncurkan Chef’s Special Menu untuk minggu ini.”Chef’s Special Menu berarti penyediaan menu makanan baru yang tidak ada dalam daftar menu sebelumnya. Strategi ini dipilih sebagai salah satu solusi cepat untuk menghadapi krisis pasokan bahan baku utama. Dengan strategi ini, bukan hanya bisa untuk menjaga operasional restoran tetap berjalan, tetapi juga memastikan citra The Velvet Spoon sebagai restoran berkualitas tinggi tidak goyah di mata pelanggan.Setidaknya, itu yang ada dalam pikiran Kael. Rizal tergagap sejenak, lalu mengangguk cepat. Tentu Rizal tahu apa yang harus dia lakukan jika ada hal seperti ini. “B–Baik, Chef. Saya segera atur semuanya.”Kael melirik jam tangannya, lalu menambahkan, “Siapkan dalam 10 menit. Brief jelas, tidak ada ruang untuk kesalahan.”Rizal segera bergegas, langkahnya terdengar cepat di atas lantai d
Dengan gaun mewah berwarna merah yang membuat lekuk tubuh sempurna semakin terlihat indah, wanita itu melangkah masuk dengan aura anggun yang cukup tajam. Semua mata di sekitarnya seolah tertarik pada kehadirannya. Zara merasa detak jantungnya meningkat meskipun dia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Kenapa Clara datang ke sini?! Clara berhenti di depan resepsionis, lalu dengan suara yang cukup keras untuk menarik perhatian, dia berkata, "Saya ingin meja di tengah, tempat yang paling strategis." Resepsionis dengan sopan mengangguk, lalu menuntun Clara ke meja yang dia inginkan. Namun, sebelum resepsionis bisa memanggil pelayan, Clara mengangkat tangannya dengan anggun. "Tunggu." Clara memandang sekeliling, lalu matanya menangkap sosok Zara yang baru saja keluar dari dapur. Sebuah senyum kecil penuh arti muncul di wajahnya. "Aku ingin dilayani oleh dia," lanjutnya sambil menunjuk Zara. Zara yang mendengar itu langsung membeku di tempat. Dia berharap teli
[Mas, bisa ke rumah sakit? Aku tunggu.]Pesan dari Zara akhirnya datang. Dua hari terakhir, Kael hidup dalam penantian yang sunyi. Datang ke rumah sakit berkali-kali hanya untuk diusir, bahkan sampai meminta bantuan Maharani untuk membujuk Anjana. Namun, semua upaya itu sia-sia.Dan sekarang ... mungkin ini kesempatan satu-satunya.Kael segera bergegas. Dia membawa tas kecil berisi baju ganti untuk Zara, beberapa kebutuhan lainnya, dan satu kotak berisi nasi goreng seafood, makanan kesukaan Zara. Entah sejak kapan, hal-hal kecil seperti itu terasa seperti satu-satunya cara untuk bisa dimaafkan.Di depan pintu ruang rawat, dia sempat berhenti. Dari dalam terdengar suara dua perempuan berbicara. Suara Anjana terdengar datar dan cukup dingin untuk membuat siapa pun mengurungkan niat masuk. Namun, Kael menahan napas, menegakkan punggung, lalu mengetuk pelan pintu putih itu."Masuk," suara Zara terdengar.Ketika Kael membuka pintu, tiga pasang mata langsung tertuju padanya. Ada Anjana yang
Tidak ada jawaban. Zara hanya mengangguk. Tidak menoleh, tidak juga melihat ke pria itu.Kael berdiri perlahan, masih sempat menatap punggung istrinya sekali lagi sebelum akhirnya melangkah menuju pintu. Setiap langkah terasa berat, seolah kakinya menolak meninggalkan perempuan itu sendirian.Namun pria itu tahu, mencintai bukan cuma soal memeluk saat luka, tapi juga tahu kapan harus memberi ruang untuk menangis sendiri.Sebelum benar-benar keluar, Kael sempat menoleh sekali lagi. Zara masih memunggunginya. Tubuhnya tampak diam, tapi bahunya bergerak sedikit. Halus, rapuh, seolah menahan sesuatu yang nyaris pecah.Kael menarik napas dalam, lalu menutup pintu perlahan. Namun tidak lama, dari balik pintu, suara tangis Zara kembali terdengar. Pelan, namun cukup menghantam jiwanya yang sudah remuk. Tangis yang tidak bisa dia redakan, tidak bisa dia peluk, tidak bisa dia bagi.Di luar, Kael bersandar ke pintu yang dingin. Matanya terpejam. Rahangnya mengeras. Dadanya naik turun, menahan sem
“Maaf … maafin aku,” suara Kael kembali terdengar, parau dan penuh luka. Isakannya akhirnya pecah. Pria yang selalu terlihat kuat itu kini menangis di hadapan istrinya, tanpa mencoba menahan atau menyembunyikannya.Zara ikut menangis bersama pria itu. Mereka memang masih punya satu bayi yang bertahan, tapi tetap saja … kehilangan ini bukan hal yang mudah diterima.Zara ingin marah, tapi kepada siapa? Pada Kael? Pada Bayu? Pada Ranu? Atau pada dirinya sendiri?Kael membenci dirinya. Dia merasa gagal. Tidak berdaya. Tidak berguna.Tangis mereka menyatu dalam keheningan kamar VIP itu. Tidak seperti biasanya, pria itu tidak mencoba menenangkan Zara. Tidak mencoba berkata bahwa semua akan baik-baik saja.Karena pada kenyataannya … tidak ada yang baik-baik saja di sini.Akhirnya, mereka memilih untuk merasakan sakit itu bersama.--Setelah menangis hebat, Zara tertidur dengan sendirinya. Matanya masih basah, napasnya belum sepenuhnya tenang, tapi tubuhnya terlalu lelah untuk terus menahan se
Kael berdiri di depan pintu ruang operasi, kedua tangannya mengepal begitu keras. Napasnya berat, nyaris tak terdengar. Perasaan ini … ketidakberdayaan yang menggerogoti dari dalam, mengikisnya perlahan.Dia benci ini.Setiap detik terasa seperti lambat dan menyakitkan. Gala ada di dalam sana, berjuang untuk menyelamatkan Zara dan anak-anak mereka. Namun, bagaimana jika terlambat? Bagaimana jika tidak ada yang bisa diselamatkan?Pikiran itu merayap ke benaknya seperti racun. Tidak. Zara kuat. Dia pasti bisa bertahan.Namun, pintu ruang operasi tetap tertutup rapat.Entah berapa lama Kael berdiri di sana, menanti dengan napas tersendat dan kepala penuh doa yang terus terucap. Hingga akhirnya, pintu itu terbuka.Gala keluar dengan langkah berat. Pakaian operasinya berlumuran darah. Wajahnya letih, tapi yang membuat dada Kael semakin sesak adalah ekspresi di matanya."Gimana keadaan Zara?" suara Kael serak, hampir patah.Gala menarik napas dalam, seakan menyiapkan dirinya sebelum berkata,
Gala terkesiap, matanya mencari sumber tembakan. Namun, kemudian mereka menyadari sesuatu.Bayu terhuyung ke belakang. Tangan yang memegang pistol bergetar hebat sebelum akhirnya tubuhnya jatuh berlutut. Darah merembes dari pahanya.Kael mengerutkan dahi. Apa yang baru saja terjadi?Baru saat itulah dia melihatnya.Ranu berdiri tidak jauh dari ayahnya, pistol masih berasap di tangannya. Wajahnya tegang, matanya lebar seakan dia sendiri tak percaya apa yang baru saja dia lakukan.Ranu baru saja menembak ayahnya sendiri!Bayu menatapnya dengan tatapan terkejut dan marah sekaligus. "Kamu—"Dor!Tembakan lain menggema. Kali ini mengenai lengan Bayu, membuat pria itu memekik kesakitan. Namun, bukan Ranu yang menembak.Kael menoleh cepat. Dari bayangan di luar gudang, beberapa pria berpakaian serba hitam muncul dengan senjata siap di tangan. Gerakan mereka cepat dan terlatih.Orang-orang Anjana.Dalam hitungan detik, suasana berubah drastis. Anak buah Bayu panik. Beberapa mencoba kabur, tapi
“Tunggu, Kael!”Kael hampir membuka pintu mobilnya ketika suara Gala menghentikannya. Dia menoleh dengan sorot mata tajam."Aku udah dapat lokasinya," kata Gala cepat. "Kita nggak perlu buang-buang waktu buat cari Ranu. Lebih baik kita langsung menyelamatkan Zara."Kael diam sesaat. Rahangnya masih mengeras, tapi tatapannya menusuk. "Di mana?"Gala menekan layar ponselnya lalu menunjukkan sebuah titik di peta digital. "Gudang kosong di daerah pelabuhan. Ray barusan mengkonfirmasi. Ada aktivitas mencurigakan di sana, dan ciri-cirinya cocok dengan tempat di foto tadi."Kael menatap layar ponsel itu dengan rahang mengatup. Gudang. Sama seperti dugaannya. Tanpa membuang waktu, dia membuka pintu mobilnya. "Kita berangkat sekarang."Gala mengangguk dan segera menyusul.Kael menekan gas dalam-dalam, mobilnya melesat membelah malam. Jalanan basah akibat gerimis tadi sore, tapi pikirannya terlalu penuh untuk peduli. Hanya satu hal yang ada di kepalanya, menemukan Zara dalam keadaan selamat.Di
Ponsel Kael bergetar lagi.Kael menurunkan pandangannya. Satu foto terkirim.Saat dia membukanya, darahnya langsung mendidih.Istrinya, dengan tangan mungil terikat di sandaran kursi, pergelangan tangannya merah dengan bekas lecet, seolah sempat memberontak. Matanya tertutup kain hitam, pipinya pucat. Bibirnya yang biasanya berwarna lembut kini tampak sedikit kering. Rambutnya berantakan, beberapa helai jatuh ke dahinya. Jantung Kael berdetak kencang, nyaris sakit.Dada Kael bergejolak. Napasnya berat, rahangnya mengatup kuat. Emosi membuncah begitu dahsyat, tetapi dia menahannya dengan sekuat tenaga. Ini bukan saatnya kehilangan kendali.Matanya menyusuri setiap detail dalam foto itu, menganalisis dengan cepat. Bayangan buram di belakang Zara. Lantai beton kasar. Cahaya redup dari sudut kiri. Sebuah ruangan yang tak berperabotan.Gudang? Basement?Ponselnya bergetar lagi. Kali ini, sebuah pesan masuk.[Kamu punya waktu 24 jam.]Kael mengepalkan tangan, rahangnya mengatup keras. Napasn
"Kamu nggak mau pulang dulu? Di sini juga nggak aman kalau ada wartawan yang tahu."Gala duduk di kursi dekat jendela, melirik ponselnya sekilas sebelum menatap Zara. Di luar, berita masih panas, meski mulai mereda berkat pengaruh Anjana.Zara tetap di kursinya, punggung menegang, jari-jarinya saling meremas di atas paha. Suara dari televisi kecil di sudut ruangan menggema pelan, tapi cukup untuk mengingatkannya pada kekacauan yang menunggu di luar.Zara menggigit bibirnya. "Aku belum siap keluar."Gala menghela napas, lalu meletakkan ponselnya di meja. "Aku ngerti. Tapi semakin lama kamu di sini, semakin besar kemungkinan seseorang tahu keberadaanmu. Kalau Kael udah selesai sama urusannya, lebih baik kamu pulang."Sebelum Zara bisa menjawab. tiba-tiba, pintu kamar diketuk. Seorang suster masuk dengan senyum ramah. "Nyonya Zara, penjemputan Anda sudah tiba."Zara dan Gala saling pandang."Penjemputan?" Gala mengernyit."Iya," katanya sopan, "orang suruhan suami Anda sudah datang untuk
Ranu menatap berkas di atas meja tanpa menyentuhnya. Bibirnya masih menyunggingkan senyum kecil, tetapi Kael bisa melihat ketegangan halus di rahang sepupunya.Bayu melirik ke arah laporan itu, lalu menghela napas pendek. "Apa maksud semua ini, Kael?"Kael tidak langsung menjawab. Dia membalik halaman pertama berkas itu dengan tenang, jemarinya bergerak tanpa tergesa-gesa."Seperti yang sekretarisku katakan, ini adalah hasil investigasi timku. Dan ternyata, penyebaran berita negatif tentang aku dan Zara bukan sesuatu yang terjadi begitu saja." Mata Kael terangkat, menatap lurus ke arah Ranu. "Ada seseorang yang dengan sengaja mengatur semuanya."Ranu terkekeh pelan, suara rendahnya mengandung nada mengejek. "Itu tuduhan serius. Jangan bilang kamu berpikir aku ada di balik semua ini?"Kael tidak membalas, hanya menatap Ranu lebih lama, cukup untuk membuat udara di ruangan semakin berat.Aryan yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. "Buka laporannya, Ranu," perintahnya singkat.Tawa ke