Hai guys, makasih yang udah sampai bab ini yaa :) Coba tinggalkan jejak dong ...
"Kenapa kamu nggak mau nginep?" tanya Kael akhirnya ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Suaranya terdengar santai, tapi Zara tahu dia sedang memperhatikannya.Mereka memutuskan untuk tidak menginap di kediaman keluarga Wijaya malam ini. Begitu mobil melewati gerbang utama kediaman keluarga Wijaya, Zara menghela napas panjang, seolah baru bisa bernapas lega.Baru sekarang wanita itu sadar betapa beratnya suasana di dalam tadi. Suasana yang tegang, tatapan penuh arti, dan kata-kata yang lebih tajam dari yang seharusnya."Aku masih belum siap kayaknya," jawab Zara jujur.Kael tidak langsung menanggapi. Matanya tetap fokus pada jalan, tetapi jemari kirinya yang bertumpu di setir mengetuk permukaannya pelan, tanda bahwa dia juga sedang berpikir.Zara menyandarkan kepalanya ke jendela, menatap langit yang gelap. "Aku juga kurang nyaman sama tatapan Kakek dan Atma," ujarnya pelan.Kael melirik sekilas. "Mereka lihat kamu kayak gimana emang?"Zara mengernyit, mencoba merangkai pikiranny
"Hari ini aku mau ketemu Andin, ya âŠ?"Namun, kata-kata Zara terhenti di tenggorokannya begitu melihat sosok suaminya keluar dari kamar mandi. Bertelanjang dada, hanya dibalut handuk yang terikat di pinggangnya, dengan otot perutnya yang terpampang jelas. Tetesan air masih mengalir turun dari rambutnya yang basah, meluncur melewati bahu, lalu menyusuri setiap lekuk tubuhnya sebelum akhirnya menghilang di batas handuk.Zara menelan ludah. Oksigen seolah sulit masuk ke paru-parunya.Kael menatap istrinya sekilas, alisnya sedikit berkerut.âKenapa?" tanya Kael polos, seakan tidak sadar betapa mematikannya penampilannya saat ini.Zara tersadar dari keterpakuannya, buru-buru membuang pandangannya ke arah lain."Lain kali kalau keluar dari kamar mandi itu pakai baju dari dalam," ujar Zara, berusaha terdengar santai meski pipinya terasa semakin panas.Kael justru menaikkan sebelah alis, seolah tidak mengerti masalahnya di mana. "Memangnya kenapa? Kamu âkan udah lihat semuanya.""Kael!" Zara
Zara melangkah cepat begitu melihat sosok Andin melambaikan tangan dari kejauhan. Keramaian pusat perbelanjaan di ibu kota tidak mengurangi semangatnya untuk segera menghampiri sahabatnya itu.âAndin, aku kangen banget!â seru Zara, langsung menarik Andin ke dalam pelukan erat.âYa ampun, lama banget kita nggak ketemu. Udah, yuk kita ke kafe dekat sini aja. Lo kan nggak boleh ngopi sekarang, jadi kita makan cake aja sambil minum teh,â balas Andin, lalu tertawa kecil.Mereka pun berjalan santai menuju kafe yang berada di lantai dua. Suasananya cukup nyaman, dengan interior minimalis dan jendela besar yang menghadap ke jalan utama. Aroma kopi bercampur dengan wangi kue-kue yang baru matang, menciptakan atmosfer yang membuat Zara merasa rileks sejenak.Begitu duduk dan memesan tiramisu serta teh chamomile, Zara langsung membuka obrolan.âGimana kabar di restoran? Pasti waktu itu heboh banget gara-gara kejadian gue, ya?â tanya Zara, lalu menyeruput tehnya pelan.Andin mengangkat alis. âMenu
Di dalam mobil, pikiran wanita itu terus berkecamuk. Dia ingin meyakinkan dirinya bahwa ini bukan sesuatu yang perlu dipikirkan, tapi bayangan tadi terus menghantuinya. Betapa akrabnya mereka di meja makan, betapa menawannya Kael pagi ini.Apa suaminya memang sengaja berpenampilan seperti itu karena akan bertemu Virsha?Tidak. Itu pasti cuma pikirannya yang kelewat liar.Setelah sampai di rumah, Zara langsung melemparkan tasnya ke sofa. Dia tidak langsung duduk, hanya mondar-mandir di ruang tamu, menunggu suaminya pulang. Tangannya saling meremas, perasaannya tidak menentu.Setengah jam kemudian, suara pintu depan terbuka.Kael akhirnya datang. Jasnya sudah dilepas, menyisakan kemeja putih yang sedikit kusut dengan dasi yang sudah longgar. Zara memperhatikannya sekilas, betapa tenang raut wajah pria itu seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Kamu dari mana?" Zara langsung melempar pertanyaan, begitu Kael masuk ke dalam rumah. Suaranya tidak keras, tapi nadanya jelas menyiratkan ke
Zara melotot tajam, tapi Kael malah terkekeh pelan."Aku masih kesel," gumam Zara akhirnya, meski tubuhnya sudah tidak lagi menegang seperti tadi.Kael mengangguk. "Ya udah, keselnya sambil nemenin aku makan," katanya santai, lalu menarik tangan Zara sebelum wanita itu sempat kabur ke kamar.Dan seperti biasa, entah bagaimana, Zara selalu kalah dengan caranya.Tidak lama, perut Zara berbunyi.Kael mengerjap, bingung sendiri dengan suara yang baru terdengar begitu keras.Namun, berbeda dengan Kael, Zara malah menundukkan kepala. Awalnya, Kael pikir kalau Zara masih marah kepadanya.Grrrk.Bunyi itu kembali terdengar, bersamaan dengan kepala Zara yang menunduk semakin dalam. Tangan wanita itu pun memegangi perutnya. Pada saat itulah, Kael menyadari dari mana suara itu berasal.'Dia bohong bilang udah makan,' pikir Kael.Kael menundukkan kepalanya juga, berusaha melihat wajah Zara. "Kamu belum makan malam juga, âkan?"Zara mengangguk pelan.Kael mengusap pipi Zara, merasa lega sekaligus b
"Kamu bener mau temenin aku kontrol hari ini?" tanya Zara sambil melirik suaminya yang duduk di seberang meja makan.Hari ini adalah jadwal kontrol kandungan Zara, dan seperti yang telah Kael janjikan, mulai dari kontrol kali ini dan seterusnya, dia akan selalu menemani Zara setiap kali berkunjung ke dokter."Iya dong, âkan aku udah janji mau nemenin setiap kamu kontrol," jawab Kael santai, tangannya sibuk mengoles selai di roti bakarnya sebelum melahapnya bersama kopi hitam yang masih mengepul.âYaudah ayo berangkat,â ujar Zara sambil berdiri, mengambil tasnya yang tersampir di kursi meja makan.Saat dia berjalan mendekat, Kael mengangkat kepalanya. Tatapan matanya mengamati Zara lebih lama dari biasanya.Hari ini, istrinya memakai dress selutut dengan motif bunga-bunga kecil, rambut bergelombangnya diikat setengah, memperlihatkan leher jenjangnya. Perutnya yang mulai membuncit semakin menegaskan bahwa dia sedang mengandung.Zara terlihat lebih ⊠bersinar hari ini.Kael tersenyum tipi
"Kamu siap nggak kita punya anak kembar?" Suara Zara terdengar lebih ceria dari biasanya.Mereka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, pikiran mereka masih dipenuhi euforia sekaligus keterkejutan.Kael melirik Zara sekilas, sudut bibirnya sedikit naik, meski ekspresinya tetap datar."Nyangka aja nggak, apalagi siap." Tapi setelah jeda sejenak, pria itu menambahkan dengan suara lebih pelan, "Tapi kupikir, ini bakal seru.""Seru, ya?" Zara mengerjapkan mata, tidak menyangka tambahan di akhir kalimat Kael. Senyum kecil muncul di wajahnya.Kael mengangguk tipis. "Iya. Rumah kita bakal lebih rame."Mereka berjalan perlahan menuju kafetaria rumah sakit. Langkah Zara lebih lambat dari biasanya, tapi Kael tetap di sisinya, menyesuaikan ritme tanpa mengeluh. Sesekali, dia melirik ke arah Zara, seolah memastikan istrinya baik-baik saja setelah kabar besar yang baru mereka terima.Begitu tiba di kafetaria, Zara memilih duduk di dekat jendela. Tangannya mengaduk jus jeruk di meja tanpa niat mem
Gala tersenyum kecil, mengaduk kopinya perlahan. "Ceva. Dia dulu magang di sini, tapi kayaknya nggak lanjut jadi dokter deh. Tau sendiri lah, anak konglomerat, suka seenaknya kalau sekolah. Mentang-mentang mereka banyak duit."Zara mengangkat alis, kaget. "Wah, siapa sangka dunia sesempit ini ya, Kak."Gala hanya tersenyum samar sebelum kembali menyesap kopinya. Namun, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Zara merasa sedikit ⊠tidak nyaman. Seperti ada sesuatu yang dia tahan.Sejenak, suasana di antara mereka kembali sunyi, hanya suara denting sendok menyentuh pinggiran cangkir yang terdengar. Hingga akhirnya Gala kembali membuka suara."Oh iya, Zara, aku anter pulang aja ya. Aku udah beres kok praktiknya," tawar Gala dengan nada ringan.Zara menatapnya ragu. Haruskah dia menerima tawaran ini?Namun, Kael sudah tahu bahwa dia bertemu dengan Gala hari ini. Seharusnya, ini tidak masalah.Setelah beberapa detik berpikir, akhirnya Zara mengangguk. "Oke, boleh, Kak," katanya.Mobil Gal
Pernikahan Andin dan Varen diadakan di sebuah ballroom hotel, yang juga menjadi tempat Zara menginap malam ini. Ballroom itu didekorasi dengan nuansa pastel yang lembut dan romantis, selaras dengan gaun pengantin yang dikenakan Andinâwarna pink pastel dengan aksen bunga-bunga kecil di bagian lengan. Sementara Varen tampak gagah dalam setelan jas berwarna putih.Sahabatnya itu sangat cantik hari ini, memancarkan aura kebahagiaan yang hangat. Saat melihat Zara datang, Andin segera melambaikan tangan, wajahnya sumringah seolah sudah tak sabar menunggu. Di sampingnya, Varen juga tersenyum ke arah Zara, ramah seperti biasanya.Jujur saja, terasa aneh melihat mereka berdiri berdampingan seperti ini. Ada sedikit ruang kosong di dada Zara saat mengingat bahwa dulu, Varen adalah pria yang pernah menyukainya.âZara, gue kira lo nggak akan datang,â ucap Andin begitu Zara sudah berada di dekat mereka.Memang, awalnya Zara ragu untuk datang. Anjana sempat memintanya membatalkan kehadiran dengan al
âZara, nanti kamu selama di sana ditemani bodyguard saja ya?â ucap Anjana sembari menuangkan teh ke dalam cangkir di hadapannya.Pagi itu, aroma roti panggang dan scrambled egg menguar dari dapur. Namun, meja makan keluarga Wijaya tidak sehangat biasanya. Ada kecanggungan yang menggantung di udara, sejak pembicaraan soal kepergian Zara ke luar kota.Hari ini, Zara akan menghadiri pesta pernikahan Andin dan Varenâdua sahabatnya yang telah lama menantikan hari bahagia itu. Namun, karena pestanya diadakan di luar kota, Gala menyarankan Zara untuk tidak terlalu memaksakan diri. Dia harus menginap semalam agar tubuhnya tak kelelahan, terutama pasca keguguran.Namun, permintaan Anjana terasa berlebihan. Ditemani bodyguard hanya untuk menghadiri pesta?Zara mendongak dari piringnya. Telur setengah matang di garpunya sudah dingin.âMa, tapi saya cuma nginep satu malam aja. Nggak perlu sampai pakai bodyguard segala,â tolak Zara, berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya terasa sesak. Ini buka
âChef, tastenya sudah pas?â Suara salah satu sous chef membuyarkan lamunan Kael.Pria itu mengangguk pelan. âSudah,â jawabnya singkat.Kini Kael berdiri di dapur The Velvet Spoonâtempat yang sudah cukup lama tidak dia kunjungi. Setelah urusan di Ashwara Group sedikit lebih stabil sejak pengangkatannya sebagai presiden direktur, Kael akhirnya memutuskan kembali ke restorannya. Bukan untuk inspeksi atau evaluasi besar-besaran, tapi sekadar menenggelamkan diri dalam kesibukan yang bisa mengalihkan pikirannya.Sudah seminggu sejak Zara pergi dari rumah. Dan sejak itu, Kael belum bisa sepenuhnya tenang.Kael hanya butuh mengalihkan pikirannya. Mencari pelarian. Mencegah dirinya terlalu larut memikirkan satu hal yang akhir-akhir ini selalu membuat dadanya sesak, yaitu perpisahannya dengan Zara.Tangan pria itu tetap bergerak, mengarahkan tim, mencicipi, memberi instruksi. Namun, pikirannya tidak benar-benar ada di sana.Sesekali, matanya tertuju pada kaca yang menghadap ke area servis. Dari
âApa kamu bilang?! Dokter Gala ⊠ayah dari Zelena?!â bentak Anjana, begitu Ceva akhirnya jujur tentang siapa ayah kandung anaknya. Matanya membelalak, suaranya tajam dan bergetar menahan marah.âIya, Ma âŠâ Ceva menunduk, suaranya lirih. âGala ayahnya.âTubuh Ceva gemetar. Dia tahu ini akan terjadi. Namun, tetap saja, saat berhadapan langsung dengan amarah ibunya, semuanya terasa jauh lebih berat dari yang dia bayangkan.Wajar jika Anjana semarah ini. Selama bertahun-tahun, Ceva menyimpan kebenaran itu sendiri. Bagi orang lain, ini mungkin hanya kisah cinta yang kandas. Namun, bagi Anjana yang menjaga nama keluarga seperti menjaga napasnya sendiri, ini adalah aib yang tak termaafkan.Anjana menatap putrinya dengan sorot tajam. âKenapa kamu tidak bilang dari dulu?! Kamu anggap Mama ini apa?!âCeva tak sanggup menjawab. Dia hanya diam, berharap ibunya berhenti bicara, walau tahu itu mustahil.Dulu, Ceva sempat magang di rumah sakit tempat Gala bekerja. Di sanalah semuanya dimulai. Hubunga
Gadis kecil yang selalu tersenyum hangat padanya ... adalah anak Gala?Mantan kekasihnya?Ini gila.Seketika, perut Zara terasa mual. Entah karena syok, kaget, atau karena tubuhnya yang sedang hamil memang tak kuat menampung kenyataan sebanyak ini di pagi hari. Dia mundur selangkah, berniat meninggalkan tempat itu diam-diam.Prang!Sebuah suara nyaring pecah di udara. Vas bunga di atas meja kecil dekat tirai jatuh dan hancur berkeping-keping di lantai.Zara mematung. Matanya melebar, jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat.âGawat. Aku ketahuan,â batin Zara panik.Dari taman, Gala langsung menoleh cepat. Begitu pula Ceva. Wajah keduanya berubahâkaget, panik, dan bingung dalam waktu bersamaan.âZara?â Suara Gala terdengar pelan, nyaris tak percaya.Zara hanya berdiri kaku, masih terperangkap antara ingin berlari atau berpura-pura tidak mendengar apa pun. Namun, semuanya sudah terlambat. Tatapan mereka bertemu. Tak ada lagi yang bisa disembunyikan.Ceva bangkit dari bangku, langkahny
Zara tersenyum kecil saat membaca pesan dari Andin.Ah, benar juga. Andin akan menikah minggu depan. Karena semua kekacauan yang terjadi belakangan ini, Zara sampai lupa akan undangan pernikahan sahabatnya itu.Andin dan Varen.Sebuah pasangan yang tak pernah dia bayangkan akan bersama. Andin adalah sahabatnya, teman baiknya sejak awal kuliah.Sedangkan Varen ... pria yang pernah menyatakan cinta padanya. Pria yang sempat membuat hatinya goyah, tapi tidak cukup kuat untuk menggantikan Kael.Dan sekarang? Varen akan menikahi sahabatnya sendiri.Sungguh kebetulan yang aneh. Namun, hidup memang tidak pernah kehabisan kejutan, âkan?Zara menghela napas, lalu mengetik balasan.[Gue udah sehat kok. Gue pasti usahain dateng ke nikahan lo.]Jari-jarinya berhenti di atas layar. Pandangannya terpaku pada pesan itu. Resepsi Andin akan digelar di luar kota, dan itu artinya dia harus menginap. Mengingat kondisi kehamilannya sekarang, dan sikap Anjana yang makin protektif, kecil kemungkinan ibunya a
âKael gimana, Ra? Kalian udah ketemu?â tanya Gala pelan setelah selesai memeriksa kondisi Zara.Mereka kini berada di kamar lantai dua. Ruang yang selama seminggu terakhir menjadi tempat Zara mengasingkan diri dari dunia luar. Gala tahu betul, luka di tubuh Zara mungkin sudah mulai pulih, tapi tidak dengan luka di hatinya.Pria itu juga tahu, apa yang terjadi antara Zara dan Kael bukan hal sepele. Gala bahkan sempat bertemu Kael di depan rumah sakit saat Zara diperbolehkan pulang. Tatapan pria itu kosong, wajahnya lelah seperti tak tidur berhari-hari. Aneh rasanya, karena Kael seharusnya pulang bersama Zara hari itu, tapi nyatanya hanya wanita itu yang dibawa pulang oleh Anjana.Zara menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum menjawab.âBelum, Kak,â ucap Zara pelan. âSempat datang ke sini ... tapi diusir sama bodyguard Mama.âZara menunduk, suaranya serak. Tidak ada amarah dalam kata-katanya, hanya kelelahan yang tertahan terlalu lama.Ya, seketat itu Anjana menjagan
âZara, ayo sarapannya dimakan,â suara Anjana dari meja makan membuyarkan lamunan Zara.Perempuan itu tersentak pelan, lalu mengangguk dan memaksakan senyum. Dia mengambil sendok, meski tak benar-benar lapar.Sejujurnya, Zara tidak merasa nyaman tinggal di rumah ini. Tatapan tajam kakeknya, Harun yang selalu mengawasinya seolah dia adalah orang luar, dan nada bicara Atma yang dingin setiap kali mereka berpapasanâsemuanya membuat udara di rumah ini terasa lebih dingin dari biasanya.Namun, dia tetap memilih tinggal di sini. Rumah itu memang bukan tempat yang ramah, tapi jauh di dalam hati, dia masih trauma dengan apa yang terjadi di rumahnya sendiri. Ingatan tentang paket ancaman itu masih membekas.Setiap suara langkah di malam hari, setiap bayangan yang melintas di dinding, bisa membuat jantungnya berdebar tak karuan. Setidaknya, di sini dia merasa lebih aman ⊠walau tak benar-benar merasa diterima.âKalau kamu nggak suka menu hari ini, bisa minta Mbok Darmi buat yang lain,â ucap Anjan
Kael mematung. Untuk sesaat, seluruh dunia terasa hening. Bahkan detak mesin infus terdengar seperti gema di lorong kosong.âMaksud kamu âŠ?â tanya Kael pelan. Suaranya serak, seperti tertahan di tenggorokan.Zara menatapnya lurus, dan kali ini tidak ada air mata, hanya kelelahan yang dalam. âMama bilang, kamu udah gagal jagain aku. Jadi dia minta aku buat pisah.âKael menunduk, perlahan berdiri. Tangan di sisi tubuhnya mengepal, seolah menahan sesuatu yang nyaris meledak di dalam dadanya.âKamu setuju?â tanya pria itu pelan. Suaranya rendah. Bukan marah, tapi penuh luka yang tak dia tunjukkan pada siapa pun selama ini.Zara tidak langsung menjawab. Pandangannya kembali pada jendela, tak kuasa menatap pria itu lebih lama. Suaminya. Lelaki yang membuat segalanya menjadi rumit sekaligus bermakna.âZara,â suara Kael terdengar lebih dalam sekarang.âAku nggak mau, Mas ⊠Tapi kalau Mama maksa, aku harus gimana?â lirih Zara nyaris seperti bisikan.Kael terdiam. Di wajahnya, tidak ada amarahây