Makasih ya yang udah baca sampai bab ini. Tunggu updatenya besok yaa :)
"Kamu bener mau temenin aku kontrol hari ini?" tanya Zara sambil melirik suaminya yang duduk di seberang meja makan.Hari ini adalah jadwal kontrol kandungan Zara, dan seperti yang telah Kael janjikan, mulai dari kontrol kali ini dan seterusnya, dia akan selalu menemani Zara setiap kali berkunjung ke dokter."Iya dong, ‘kan aku udah janji mau nemenin setiap kamu kontrol," jawab Kael santai, tangannya sibuk mengoles selai di roti bakarnya sebelum melahapnya bersama kopi hitam yang masih mengepul.“Yaudah ayo berangkat,” ujar Zara sambil berdiri, mengambil tasnya yang tersampir di kursi meja makan.Saat dia berjalan mendekat, Kael mengangkat kepalanya. Tatapan matanya mengamati Zara lebih lama dari biasanya.Hari ini, istrinya memakai dress selutut dengan motif bunga-bunga kecil, rambut bergelombangnya diikat setengah, memperlihatkan leher jenjangnya. Perutnya yang mulai membuncit semakin menegaskan bahwa dia sedang mengandung.Zara terlihat lebih … bersinar hari ini.Kael tersenyum tipi
"Kamu siap nggak kita punya anak kembar?" Suara Zara terdengar lebih ceria dari biasanya.Mereka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, pikiran mereka masih dipenuhi euforia sekaligus keterkejutan.Kael melirik Zara sekilas, sudut bibirnya sedikit naik, meski ekspresinya tetap datar."Nyangka aja nggak, apalagi siap." Tapi setelah jeda sejenak, pria itu menambahkan dengan suara lebih pelan, "Tapi kupikir, ini bakal seru.""Seru, ya?" Zara mengerjapkan mata, tidak menyangka tambahan di akhir kalimat Kael. Senyum kecil muncul di wajahnya.Kael mengangguk tipis. "Iya. Rumah kita bakal lebih rame."Mereka berjalan perlahan menuju kafetaria rumah sakit. Langkah Zara lebih lambat dari biasanya, tapi Kael tetap di sisinya, menyesuaikan ritme tanpa mengeluh. Sesekali, dia melirik ke arah Zara, seolah memastikan istrinya baik-baik saja setelah kabar besar yang baru mereka terima.Begitu tiba di kafetaria, Zara memilih duduk di dekat jendela. Tangannya mengaduk jus jeruk di meja tanpa niat mem
Gala tersenyum kecil, mengaduk kopinya perlahan. "Ceva. Dia dulu magang di sini, tapi kayaknya nggak lanjut jadi dokter deh. Tau sendiri lah, anak konglomerat, suka seenaknya kalau sekolah. Mentang-mentang mereka banyak duit."Zara mengangkat alis, kaget. "Wah, siapa sangka dunia sesempit ini ya, Kak."Gala hanya tersenyum samar sebelum kembali menyesap kopinya. Namun, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Zara merasa sedikit … tidak nyaman. Seperti ada sesuatu yang dia tahan.Sejenak, suasana di antara mereka kembali sunyi, hanya suara denting sendok menyentuh pinggiran cangkir yang terdengar. Hingga akhirnya Gala kembali membuka suara."Oh iya, Zara, aku anter pulang aja ya. Aku udah beres kok praktiknya," tawar Gala dengan nada ringan.Zara menatapnya ragu. Haruskah dia menerima tawaran ini?Namun, Kael sudah tahu bahwa dia bertemu dengan Gala hari ini. Seharusnya, ini tidak masalah.Setelah beberapa detik berpikir, akhirnya Zara mengangguk. "Oke, boleh, Kak," katanya.Mobil Gal
Hari besar akhirnya tiba. Pembukaan cabang baru The Velvet Spoon, restoran mewah milik Kael, menjadi pusat perhatian kalangan bisnis dan sosialita malam ini.Kael dan Zara berjalan beriringan menuju pintu utama, tangan mereka bertaut erat. Semua mata tertuju pada pasangan itu, seolah mereka adalah bintang utama di acara ini, dan memang, begitulah kenyataannya.Saat memasuki ruangan, suasana mewah langsung menyergap. Meja-meja berjejer dengan makanan dan minuman terbaik, dari hidangan pembuka hingga deretan wine serta champagne mahal yang berkilauan di bawah lampu kristal. Aroma uang begitu kental di udara, mengingat hampir semua tamu yang hadir berasal dari kalangan terpandang.Zara mengenakan dress baby doll hitam yang sederhana namun anggun, tidak berlebihan, tapi tetap memancarkan pesona. Di sebelahnya, Kael tampil menawan dalam setelan jas hitam yang pas di tubuhnya, kontras dengan ekspresi dingin yang seolah tidak terpengaruh oleh perhatian orang-orang.Saat mereka berjalan melewa
Maharani menghela napas kecil sebelum tersenyum tipis. “Ranu, kau datang juga rupanya.” “Ke mana ayahmu? Apa masih di luar negeri?” tanya Hardi. “Iya, Kakek. Masih di Singapura,” jawab Ranu. Ranu Ashwara, dia adalah putra sulung Bayu Ashwara, adik kandung Aryan. Bayu dan Aryan adalah dua bersaudara, anak dari Hardi. Dari segi fisik, ada sedikit kemiripan antara Ranu dan Kael, terutama di garis rahang dan sorot mata yang tajam. Namun, auranya jelas berbeda, Kael dingin dan penuh kendali, sementara Ranu membawa kesan santai yang licin, seperti seseorang yang terbiasa membaca situasi sebelum mengambil langkah berikutnya. Kael yang sejak tadi hanya memperhatikan, akhirnya mengangkat gelasnya dengan santai, lalu meneguk isinya sebelum menaruhnya kembali ke meja. “Duduklah. Tidak perlu banyak basa-basi.” Nada suara Kael datar, tidak menunjukkan emosi apa pun. Namun, karena itulah ada ketegangan halus yang merayap dalam percakapan mereka. Aryan tetap diam, tidak memberikan reaksi apa p
Ceva menatap tangan yang disodorkan Gala selama beberapa detik. Ada jeda kecil di sana. Entah ragu, enggan, atau sesuatu yang lain. Namun, akhirnya dia menjabatnya singkat, sekadar formalitas.“Baik,” jawab Ceva datar, lalu menarik tangannya kembali dengan cepat, seolah tak ingin berlama-lama dalam kontak fisik itu.Gala menurunkan tangannya perlahan, lalu melirik Zara yang berdiri di samping Ceva. Ada perubahan dalam ekspresinya, lebih tenang, atau mungkin hanya pura-pura tenang.“Zara, apa kabar?” tanya Gala, basa-basinya begitu kentara, padahal baru dua hari lalu mereka bertemu.“Baik, Kak.” Zara membalas dengan senyum tipis.Sejenak, keheningan menggantung di antara mereka sebelum Zara kembali membuka suara. “Kak, makasih ya udah datang ke acara ini.”Gala mengangguk kecil. “Iya, aku malah senang kamu ngundang aku ke sini.”Senyum Gala sekilas mengembang sebelum tatapannya sedikit bergeser, melirik ke arah Ceva. “Aku jadi bisa ketemu orang yang udah lama nggak aku temuin.”Ceva yan
“Sejak kapan kamu nggak suka wortel?”Zara bertanya langsung begitu mereka masuk ke dalam mobil. Suaranya terdengar datar, tapi Kael tahu ada sesuatu di balik nada itu.Mereka pulang diantar supir karena Kael minum wine sedikit tadi di pesta. Mobil melaju dengan tenang di jalanan malam, tetapi suasana di dalam terasa sedikit menegang.Kael yang sejak tadi bersandar santai hanya melirik Zara sekilas sebelum kembali menatap ke luar jendela.“Jangan mulai deh,” jawab Kael pendek.Zara mengendus pelan, mencoba meredam kekesalannya. Dia tahu Virsha memang mengenal Kael lebih dulu, tapi menunjukkan kedekatan mereka di depan Zara seperti tadi sungguh membuatnya jengah.“Lucu aja,” lanjut Zara, nadanya lebih tajam. “Setiap hari aku lihat kamu makan. Aku nggak pernah dengar kamu nolak wortel. Bahkan aku inget banget kamu makan sup wortel minggu lalu tanpa protes. Tapi tadi—”Kael menoleh dengan ekspresi malas. “Kamu mau bahas ini sepanjang jalan?”Zara menyipitkan mata. “Kamu menghindar?”Kael
“Mas hari ini mau ke mana? Ke restoran atau ke kantor?” tanya Zara sambil menyantap bubur ayamnya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, ibu hamil itu mendadak ingin makan bubur ayam.Suaminya yang duduk di seberangnya hanya bisa geleng-geleng kepala. Sarapan sudah disiapkan oleh asisten rumah tangga seperti biasa, roti panggang dan omelet.Namun, istrinya tiba-tiba ingin bubur ayam?Mau tidak mau, Kael harus keluar kompleks pagi-pagi untuk mencarikannya. Dan sekarang, setelah perjuangan yang tidak seharusnya dia lakukan sepagi ini, Zara malah makan dengan santai seolah tidak ada yang terjadi.“Kayaknya mau ke restoran sih. Kemarin habis pembukaan cabang baru, pusat agak keteteran. Pak Rizal kasihan kewalahan,” jawab Kael sambil menyesap kopi hitamnya.Zara mengangguk paham. Namun, matanya kemudian melirik ke arah cangkir kopi yang dipegang Kael. Dari tadi, suaminya itu tidak menyentuh makanan sama sekali."Mas, kenapa nggak sarapan? Malah cuma minum kopi dari tadi?" tanya Zara sambil meng
Pernikahan Andin dan Varen diadakan di sebuah ballroom hotel, yang juga menjadi tempat Zara menginap malam ini. Ballroom itu didekorasi dengan nuansa pastel yang lembut dan romantis, selaras dengan gaun pengantin yang dikenakan Andin—warna pink pastel dengan aksen bunga-bunga kecil di bagian lengan. Sementara Varen tampak gagah dalam setelan jas berwarna putih.Sahabatnya itu sangat cantik hari ini, memancarkan aura kebahagiaan yang hangat. Saat melihat Zara datang, Andin segera melambaikan tangan, wajahnya sumringah seolah sudah tak sabar menunggu. Di sampingnya, Varen juga tersenyum ke arah Zara, ramah seperti biasanya.Jujur saja, terasa aneh melihat mereka berdiri berdampingan seperti ini. Ada sedikit ruang kosong di dada Zara saat mengingat bahwa dulu, Varen adalah pria yang pernah menyukainya.“Zara, gue kira lo nggak akan datang,” ucap Andin begitu Zara sudah berada di dekat mereka.Memang, awalnya Zara ragu untuk datang. Anjana sempat memintanya membatalkan kehadiran dengan al
“Zara, nanti kamu selama di sana ditemani bodyguard saja ya?” ucap Anjana sembari menuangkan teh ke dalam cangkir di hadapannya.Pagi itu, aroma roti panggang dan scrambled egg menguar dari dapur. Namun, meja makan keluarga Wijaya tidak sehangat biasanya. Ada kecanggungan yang menggantung di udara, sejak pembicaraan soal kepergian Zara ke luar kota.Hari ini, Zara akan menghadiri pesta pernikahan Andin dan Varen—dua sahabatnya yang telah lama menantikan hari bahagia itu. Namun, karena pestanya diadakan di luar kota, Gala menyarankan Zara untuk tidak terlalu memaksakan diri. Dia harus menginap semalam agar tubuhnya tak kelelahan, terutama pasca keguguran.Namun, permintaan Anjana terasa berlebihan. Ditemani bodyguard hanya untuk menghadiri pesta?Zara mendongak dari piringnya. Telur setengah matang di garpunya sudah dingin.“Ma, tapi saya cuma nginep satu malam aja. Nggak perlu sampai pakai bodyguard segala,” tolak Zara, berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya terasa sesak. Ini buka
“Chef, tastenya sudah pas?” Suara salah satu sous chef membuyarkan lamunan Kael.Pria itu mengangguk pelan. “Sudah,” jawabnya singkat.Kini Kael berdiri di dapur The Velvet Spoon—tempat yang sudah cukup lama tidak dia kunjungi. Setelah urusan di Ashwara Group sedikit lebih stabil sejak pengangkatannya sebagai presiden direktur, Kael akhirnya memutuskan kembali ke restorannya. Bukan untuk inspeksi atau evaluasi besar-besaran, tapi sekadar menenggelamkan diri dalam kesibukan yang bisa mengalihkan pikirannya.Sudah seminggu sejak Zara pergi dari rumah. Dan sejak itu, Kael belum bisa sepenuhnya tenang.Kael hanya butuh mengalihkan pikirannya. Mencari pelarian. Mencegah dirinya terlalu larut memikirkan satu hal yang akhir-akhir ini selalu membuat dadanya sesak, yaitu perpisahannya dengan Zara.Tangan pria itu tetap bergerak, mengarahkan tim, mencicipi, memberi instruksi. Namun, pikirannya tidak benar-benar ada di sana.Sesekali, matanya tertuju pada kaca yang menghadap ke area servis. Dari
“Apa kamu bilang?! Dokter Gala … ayah dari Zelena?!” bentak Anjana, begitu Ceva akhirnya jujur tentang siapa ayah kandung anaknya. Matanya membelalak, suaranya tajam dan bergetar menahan marah.“Iya, Ma …” Ceva menunduk, suaranya lirih. “Gala ayahnya.”Tubuh Ceva gemetar. Dia tahu ini akan terjadi. Namun, tetap saja, saat berhadapan langsung dengan amarah ibunya, semuanya terasa jauh lebih berat dari yang dia bayangkan.Wajar jika Anjana semarah ini. Selama bertahun-tahun, Ceva menyimpan kebenaran itu sendiri. Bagi orang lain, ini mungkin hanya kisah cinta yang kandas. Namun, bagi Anjana yang menjaga nama keluarga seperti menjaga napasnya sendiri, ini adalah aib yang tak termaafkan.Anjana menatap putrinya dengan sorot tajam. “Kenapa kamu tidak bilang dari dulu?! Kamu anggap Mama ini apa?!”Ceva tak sanggup menjawab. Dia hanya diam, berharap ibunya berhenti bicara, walau tahu itu mustahil.Dulu, Ceva sempat magang di rumah sakit tempat Gala bekerja. Di sanalah semuanya dimulai. Hubunga
Gadis kecil yang selalu tersenyum hangat padanya ... adalah anak Gala?Mantan kekasihnya?Ini gila.Seketika, perut Zara terasa mual. Entah karena syok, kaget, atau karena tubuhnya yang sedang hamil memang tak kuat menampung kenyataan sebanyak ini di pagi hari. Dia mundur selangkah, berniat meninggalkan tempat itu diam-diam.Prang!Sebuah suara nyaring pecah di udara. Vas bunga di atas meja kecil dekat tirai jatuh dan hancur berkeping-keping di lantai.Zara mematung. Matanya melebar, jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat.‘Gawat. Aku ketahuan,’ batin Zara panik.Dari taman, Gala langsung menoleh cepat. Begitu pula Ceva. Wajah keduanya berubah—kaget, panik, dan bingung dalam waktu bersamaan.“Zara?” Suara Gala terdengar pelan, nyaris tak percaya.Zara hanya berdiri kaku, masih terperangkap antara ingin berlari atau berpura-pura tidak mendengar apa pun. Namun, semuanya sudah terlambat. Tatapan mereka bertemu. Tak ada lagi yang bisa disembunyikan.Ceva bangkit dari bangku, langkahny
Zara tersenyum kecil saat membaca pesan dari Andin.Ah, benar juga. Andin akan menikah minggu depan. Karena semua kekacauan yang terjadi belakangan ini, Zara sampai lupa akan undangan pernikahan sahabatnya itu.Andin dan Varen.Sebuah pasangan yang tak pernah dia bayangkan akan bersama. Andin adalah sahabatnya, teman baiknya sejak awal kuliah.Sedangkan Varen ... pria yang pernah menyatakan cinta padanya. Pria yang sempat membuat hatinya goyah, tapi tidak cukup kuat untuk menggantikan Kael.Dan sekarang? Varen akan menikahi sahabatnya sendiri.Sungguh kebetulan yang aneh. Namun, hidup memang tidak pernah kehabisan kejutan, ‘kan?Zara menghela napas, lalu mengetik balasan.[Gue udah sehat kok. Gue pasti usahain dateng ke nikahan lo.]Jari-jarinya berhenti di atas layar. Pandangannya terpaku pada pesan itu. Resepsi Andin akan digelar di luar kota, dan itu artinya dia harus menginap. Mengingat kondisi kehamilannya sekarang, dan sikap Anjana yang makin protektif, kecil kemungkinan ibunya a
“Kael gimana, Ra? Kalian udah ketemu?” tanya Gala pelan setelah selesai memeriksa kondisi Zara.Mereka kini berada di kamar lantai dua. Ruang yang selama seminggu terakhir menjadi tempat Zara mengasingkan diri dari dunia luar. Gala tahu betul, luka di tubuh Zara mungkin sudah mulai pulih, tapi tidak dengan luka di hatinya.Pria itu juga tahu, apa yang terjadi antara Zara dan Kael bukan hal sepele. Gala bahkan sempat bertemu Kael di depan rumah sakit saat Zara diperbolehkan pulang. Tatapan pria itu kosong, wajahnya lelah seperti tak tidur berhari-hari. Aneh rasanya, karena Kael seharusnya pulang bersama Zara hari itu, tapi nyatanya hanya wanita itu yang dibawa pulang oleh Anjana.Zara menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum menjawab.“Belum, Kak,” ucap Zara pelan. “Sempat datang ke sini ... tapi diusir sama bodyguard Mama.”Zara menunduk, suaranya serak. Tidak ada amarah dalam kata-katanya, hanya kelelahan yang tertahan terlalu lama.Ya, seketat itu Anjana menjagan
“Zara, ayo sarapannya dimakan,” suara Anjana dari meja makan membuyarkan lamunan Zara.Perempuan itu tersentak pelan, lalu mengangguk dan memaksakan senyum. Dia mengambil sendok, meski tak benar-benar lapar.Sejujurnya, Zara tidak merasa nyaman tinggal di rumah ini. Tatapan tajam kakeknya, Harun yang selalu mengawasinya seolah dia adalah orang luar, dan nada bicara Atma yang dingin setiap kali mereka berpapasan—semuanya membuat udara di rumah ini terasa lebih dingin dari biasanya.Namun, dia tetap memilih tinggal di sini. Rumah itu memang bukan tempat yang ramah, tapi jauh di dalam hati, dia masih trauma dengan apa yang terjadi di rumahnya sendiri. Ingatan tentang paket ancaman itu masih membekas.Setiap suara langkah di malam hari, setiap bayangan yang melintas di dinding, bisa membuat jantungnya berdebar tak karuan. Setidaknya, di sini dia merasa lebih aman … walau tak benar-benar merasa diterima.“Kalau kamu nggak suka menu hari ini, bisa minta Mbok Darmi buat yang lain,” ucap Anjan
Kael mematung. Untuk sesaat, seluruh dunia terasa hening. Bahkan detak mesin infus terdengar seperti gema di lorong kosong.“Maksud kamu …?” tanya Kael pelan. Suaranya serak, seperti tertahan di tenggorokan.Zara menatapnya lurus, dan kali ini tidak ada air mata, hanya kelelahan yang dalam. “Mama bilang, kamu udah gagal jagain aku. Jadi dia minta aku buat pisah.”Kael menunduk, perlahan berdiri. Tangan di sisi tubuhnya mengepal, seolah menahan sesuatu yang nyaris meledak di dalam dadanya.“Kamu setuju?” tanya pria itu pelan. Suaranya rendah. Bukan marah, tapi penuh luka yang tak dia tunjukkan pada siapa pun selama ini.Zara tidak langsung menjawab. Pandangannya kembali pada jendela, tak kuasa menatap pria itu lebih lama. Suaminya. Lelaki yang membuat segalanya menjadi rumit sekaligus bermakna.“Zara,” suara Kael terdengar lebih dalam sekarang.“Aku nggak mau, Mas … Tapi kalau Mama maksa, aku harus gimana?” lirih Zara nyaris seperti bisikan.Kael terdiam. Di wajahnya, tidak ada amarah—y