"Ehm, apa kau ingin kita berpisah?" Aku balik bertanya. Tiba-tiba saja dada ini berdenyut nyeri mendengarnya.Raka terdiam, bahkan ia masih sempat tersenyum menanggapi keterkejutanku."Amira, apa kau punya pacar, sebelum menikah denganku?" tanyanya lagi. Bukannya menjawab pertanyaanku tadi ia justru kembali bertanya hal yang tidak penting."Dulu. Saat aku masih kuliah, aku pernah mencintai seseorang, tapi ternyata dia ....""Dia meninggalkanmu?"Aku mengangguk kecil, mengingat masa saat dulu aku menjalin hubungan dengan Billy, teman satu kampus."Lalu sekarang dimana dia? Maksudku, laki-laki itu?"Aku bangkit dari dudukku, rasanya malas saja membahas tentang dia, dan tiba-tiba saja obrolan kami jadi membuatku bad mood."Hei, mau kemana? Aku kan sedang bertanya," cegah Raka."Aku mau tidur. ngantuk," ucapku ketus."Apa kau marah karena aku bertanya soal mantanmu?""Memangnya itu penting bagimu? Membahas masa lalu itu nggak penting, Raka.""Itu penting buatku, karena kau istriku sekaran
"Billy," bisikku lirih. Aku tercekat, tak menyangka akan bertemu dengan dia lagi, di sini, di tempat usahaku sendiri. Padahal sudah beberapa tahun aku merintis Kafe ini, tapi Tuhan mentakdirkan kami bertemu di hari ini."Hei Mir, apa kabar? Kamu, mau di makan di sini juga?" tanyannya memecah keheningan diantara kami. Setelah hampir lima tahun ini kami tak bersua, tentu saja yang ada kini rasa canggung.Aku masih diam, lidahku terasa kelu, tak mampu berkata apapun, hanya degup di dada yang terasa makin tak menentu.-"Setelah wisuda nanti aku akan datang ke rumahmu untuk melamarmu, Amira, dan selang tiga bulan, kita akan menikah. Kamu mau kan jadi istriku?" tanya Billy waktu itu kita sedang sama-sama menyusun skripsi.Tentu saja aku langsung mengangguk cepat dengan senyum merekah, aku mencintainya, sudah tentu aku sangat bahagia mendengar kepastian darinya itu."Aku mencintaimu, setelah kita nikah nanti nggak apa-apa kan, kita mulai semuanya dari nol, Papa bilang kalau aku nikah dulu
"Apa? Amira, maksudnya, kamu, sudah menikah?""Hei Bung kenapa kaget gitu? Sebenarnya ada perlu apa Anda dengan istri saya?" tanya Raka menatap lekat ke arah Billy."Oh, nggak. Nggak ada apa-apa sih, tadi kami cuma nggak sengaja ketemu di sini." Raka mengangguk kemudian menoleh padaku."Oh, apa ada sesuatu yang penting yang ingin dibicarakan? Kalau tidak ada, saya ingin mengajak istri saya pulang," pungkas Raka membuat Billy tak mampu berkata-kata lagi."Ayo Sayang, kita pulang," ucap Raka menatapku datar. Aku mengangguk dan ikut dibelakangnya."Tunggu Raka, tas-ku masih di dalam.""Biar aku yang ambil, Kau tunggu di mobil," ucapnya membuatku tak bisa membantah.Baru kali ini aku melihat netranya menatap lain ke arahku, seperti kesal, tapi juga ada kekhawatiran terlihat di sana.Raka melangkah memasuki Lobby restoran kembali. Dimana masih ada Billy duduk di sana.Tapi Raka terlihat melewatinya begitu saja, dan menemui Mita. Sepertinya ia meminta Mita untuk mengambilkan tas-ku.Tak be
"Raka?""Nomornya sudah aku blokir dan sudah aku hapus pesannya!"Aku ternganga menatap Raka yang tengah santai mengambil kaos yang sudah kusiapkan lalu memakainya."Apa Kau mau melihatku memakai celana di sini?" tanyanya membuatku netraku mendelik.Tentu saja aku tak mau. Ada-ada saja ini orang. Bergegas aku langsung mengambil pakaian ganti dan berlari masuk ke kamar mandi untuk mandi."Hah, ada-ada saja Raka, yang benar saja mau pakai celana di depanku. Ya walaupun kami suami istri tapi untuk hal satu itu, otakku masih suci." Aku bermonolog sendiri di dalam kamar mandi.Selesai mandi aku keluar kamar, sepi. Raka sepertinya sudah keluar kamar tadi.Kembali aku menatap benda pipihku yang tergeletak di atas nakas. Hah! Otakku kembali teringat tentang Billy. Mungkin tindakan Raka benar, memang sebaiknya nomornya di blokir. "Amira! Buatkan minuman untukku!" Raka tiba-tiba memasuki kamar ini."Bukankah tadi sudah kau buatkan?""Satu cangkir tadi tak sengaja kesenggol sama Mama. Cepat ka
"Ijinkan aku tunaikan kewajibanku malam ini?" tanyanya sambil mengecup jemari tanganku. Aku tercekat, tak percaya dengan apa yang kudengar saat ini, benarkah Raka handak menyentuhku malam ini? Aku menatap nanar kedua iris hitam itu, hampir satu tahun waktu yang sudah kami jalani sama-sama, benarkah hari ini adalah saatnya aku benar-benar menjadi istri yang sesungguhnya bagi Raka?Lalu bagaimana dengan hatinya? Benarkah ia mengatakan itu karena telah tumbuh cinta di hatinya untukku? Atau hanya sebatas nafsu belaka? Atau hanya sekedar ingin memenuhi nafkah batin untukku saja?Aku masih terdiam menatapnya dalam."Amira, apa yang kau pikirkan?" tanyanya menarikku dari lamunan."Apa kau tak percaya padaku? Aku tak akan memaksa jika memang kau belum siap," ungkapnya lagi. Lalu mulai menarik diri hendak turun dari ranjang ini.Buru-buru aku menahan lengan kekarnya. Netra kami kembali beradu membuat aku seperti tersihir oleh tatapan matanya, pelan Raka mulai mendekatkan wajahnya dan terus m
Raka POV.Aroma wangi shampo seketika menguar menusuk indera penciumanku ketika hijab yang menutupi kepalanya benar-benar terlepas. Rambut hitam dan tebal itu tampak sedikit berantakan, tapi justru membuatnya terlihat cantik.Aku mengusap pelan kepalanya, Amira hanya diam menatapku.Cantik. Satu kata untuk wanita yang kini duduk berhadapan denganku. Aku seperti tersadar, kecantikannya berkali-kali lipat ketika tanpa hijab."Kenapa selama ini kau tutupi, keindahan ini?" tanyaku kemudian, menikmati keindahan makhluk ciptaan Allah ini."Aurat ya harus di tutup 'kan," sahutnya membuatku tersenyum. Ya benar juga, bukankah seharusnya begitu, dan aku ingin keindahan ini hanya aku saja yang menikmati, tak kan kubiarkan laki-laki melihatnya. Aku tak rela.Satu tahun bukan waktu yang sebentar, selama beberapa bulan belakangan ini, hubungan kami semakin dekat, dan aku mulai nyaman berada didekatnya, perhatiannya, ketulusannya dalam menyiapkan semua keperluanku. Semua itu membuatku tersadar, da
"Raka berangkat dulu Ma, Assalamualaikum!" ucapku buru-buru meraih tangan Mama, apalagi pagi ini aku harus menggantikan Papa untuk meeting dengan para semua kepala devisi."Lho nggak sarapan dulu? Amira mana?""Nggak sempet Ma! Gampang lah nanti makan di kantor!" seruku kemudian melangkah meninggalkan Mama."Eh, Amira mana?" tanyanya lagi mengulangi pertanyaannya, membuatku kembali menoleh."Masi Masih tidur Ma! Kecapekan kayaknya.""Kecapekan?" "Iya, masak iya harus Raka jelasin juga kecapekan kenapa!" ketusku, gemas sekali dengan pertanyaan Mama. Nggak tahu apa aku sudah telat, belum lagi harus macet-macetan di jalan.Mama justru tersenyum menatapku penuh arti, entah apa yang sedang dipikirkan, aku tak peduli, sekarang aku harus cepat ke kantor."Udah ya Ma, aku berangkat, Assalamualaikum!""Iya, wa'alaikum salam! Hati-hati ya Ka!"Bergegas aku kemudikan mobil membelah jalanan kota ini, hiruk pikuk keramaian kota seperti sudah jadi makanan sehari-hari bagi kami warga +62 apalagi d
Amira Pov.Aku terbangun ketika matahari sudah mulai meninggi, silau sinar matahari masuk melalui jendela kaca yang sebagian sudah tersibak tirainya. Aku menoleh ke samping, Raka sudah tak ada,Hah, aku kesiangan, aku melirik jam dinding sudah jam delapan pagi. Aku mencoba bangkit, tapi rasanya tubuhku sakit semua.Rasa nyeri begitu terasa di bagian bawah tubuhku. Namun seketika aku tersenyum sendiri mengingat momen semalam. Aku mencari kuncir rambut di atas nakas, namun yang kutemukan justru secarik kertas di sana. Aku mengulum senyum membaca pesan memo yang Raka tinggalkan.Aku tak menyangka pada akhirnya aku benar-benar menyerahkan diri ini, untuk Raka, laki-laki yang sudah sah menjadi suamiku sejak setahun lalu.Semoga ini akan menjadi awal kehidupan kami lebih baik lagi. Aamiin.Meski tertatih aku berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.__"Selamat pagi Ma, ehm, maafkan Amira Ma, Amira bangun kesiangan," ucapku merasa tak enak dengan Mama sarapan sudah tertata di atas m
Arya. Aku menutup pelan pintu kamar, agar Azzam tak sampai terbangun. Ya, yang datang berkunjung adalah Arya.Dia berdiri di ambang pintu dengan senyum yang tak pernah berubah, senyum yang dulu pernah menghancurkanku, namun kini terasa begitu berbeda. Di sebelahnya, seorang wanita cantik berdiri dengan tatapan penuh kasih. Wajahnya hangat dan bersahabat, membuatku merasa nyaman seketika."Selamat, Raka, Amira," ucap Arya dengan suara yang tenang tapi sedikit canggung. Raka masih terdiam menatap Arya dengan tatapan tak biasa."Ehm, Aku dengar Amira sudah melahirkan," ucapnya lagi, melihat Raka tak bergeming.Aku masih berdiri, mencoba menenangkan diriku. Bertemu Arya lagi setelah sekian lama, di saat hidupku sudah berubah begitu banyak, rasanya aneh. Dulu, aku pernah dekat walau hanya sebatas teman, dan tak kupungkiri, aku mengaguminya. Semua bentuk perhatian yang ia berikan.Dan bahkan mungkin pernah ada sedikit rasa berharap akan hidup bersamanya.Tapi kini, melihatnya di depan
Pulang dari kantor polisi kami ber-empat kembali diliputi suasana hening, sibuk dengan pikiran masing-masing."Pa, Ma, mau aku buatkan minum apa?" tanyaku begitu kami sampai di rumah."Nggak perlu Mir, kamu istirahat saja, kamu pasti capek." Mama menolak."Nggak apa-apa Ma. Cuma bikin minum doang, sekalian buat teman ngobrol. Aku buatin teh hangat aja ya Ma.""Ya sudah. Terserah kamu saja Sayang."Aku pun melenggang ke dapur, sedangkan Raka bersama Mama dan Papa duduk di ruang tamu."Mama benar-benar nggak nyangka, dengan perempuan itu, wanita seperti itu yang dulu kamu cintai? Apa pantas yang seperti itu kamu perjuangkan untuk menjadi pendamping hidup kamu, Ka! Apa kata keluarga kita? Apa kata relasi bisnis kita?! Mama nggak menuntut yang berlebihan, paling tidak seorang wanita yang mendampingi kamu itu adalah perempuan terhormat, yang mampu menjaga marwahnya, menjaga tutur katanya, karena bagaimanapun sikap istri, perilaku seorang istri itu adalah harga diri kamu sebagai suami, Ka!
Kami berdua bersama Papa dan Mama berada dalam satu mobil, menuju ke kantor polisi. Setelah tadi polisi mengabari bahwa dalang dari peristiwa kecelakaan ini telah berhasil ditangkap, kami langsung bersiap dan hendak langsung jalan ke kantor polisi.Namun siapa sangka ternyata Papa juga mendapatkan kabar yang sama dari kepolisian, jadilah Papa menjemput kami ke rumah dan bersama-sama ke kantor polisi.Di dalam mobil suasana hening, semua larut dalam pikiran masing-masing. Menerka siapa sebenarnya dalang dari semua ini.Hampir setengah jam perjalanan akhirnya kami sampai. Masih dengan bantuan satu kruk untuk menyangga tubuh bagian kanannya Mas Raka tampak bersemangat memasuki gedung kantor polisi."Bisa Mas?""Bisa. Aku bisa sendiri. Ayo kita masuk."Kami ber-empat berjalan bersisian masuk.Di dalam kami sudah di tunggu oleh Pak Kapolres Arga Setiawan."Mari silahkan duduk Pak. Pak Andi, tolong bawa kemari tahanan atas nama Evita," titahnya pada rekannya."Siap Ndan!"Aku dan Raka seket
Akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah melewati pahitnya hidup, beserta ujian yang menghadang.Amira POV."Selamat pagi Pak Raka, kami sudah berhasil menemukan pelaku tabrak lari yang menimpa Bapak beserta istri bulan lalu," ucap Pak polisi melalui panggilan telepon. Kebetulan Mas Raka menyalakan loud speaker begitu melihat telepon masuk dari kepolisian. Jadi aku. Isa ikut mendengarkannya.Kini kami sedang sarapan pagi, di meja makan rumah kami. Sepulang dari rumah sakit, kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Beberapa hari ibu menginap di rumah sampai kondisiku benar-benar pulih."Alhamdulillah. Terimakasih banyak informasinya Pak." Raka mengucap syukur sambil melirik ke arahku dengan netra berbinar."Sama-sama Pak. Dan hari ini juga tim kami akan langsung melakukan penangkapan terhadap dalang utamanya.""Apa? Jadi benar dugaan kita selama ini kalau ....""Ya Pak! Mereka mengaku di suruh oleh seseorang. Dan setelah kami melakukan pemeriksaan, dan mengin
Amira Pov.Aku terbangun mendapati Raka telah tergugu pilu di sisiku.Ada apa? Kenapa Raka terlihat begitu kacau. Baru kusadari ternyata aku berada di sebuah ruangan ICU, dengan selang dan menempel di lengan dan tubuhku.Mendengar penuturan Raka, ternyata aku mengalami koma selama delapan hari lamanya. Aku kaget, benarkah aku tidur selama itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata aku sempat dinyatakan meninggal oleh dokter. Ya, aku mengalami ma ti suri.Berkali-kali ia mengecup jemariku, matanya sembab, terlihat sorot matanya yang teduh dan penuh cinta. Aku percaya, laki-laki yang kuperjuangkan kini ternyata benar mencintaiku. Aku benar-benar merasakan itu.Setelah beberapa jam aku sadar, aku dipindahkan ke ruang rawat. Dengan telaten ibu merawatku karena kondisi Raka juga belum sepenuhnya sembuh, ia masih harus terus melakukan terapi sampai minimal dia bisa berdiri, walau dengan alat bantu kruk.Kecelakaan yang menimpa kami beberapa waktu lalu, aku benar-benar tak tahu, Raka bi
"Kondisi Amira memburuk, Ka!"Degh!Jantungku seakan melompat dari tempatnya, mendengar kabar dari Papa."Pa! Bantu aku, aku mau ke ruangan Amira."Aku langsung berusaha bangkit, dengan dibantu Papa aku bisa turun dan beralih ke kursi roda. Dengan sigap Papa mendorong kursi roda ini menuju ke ruang ICU.Sepanjang lorong rumah sakit, jantungku berpacu cepat. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada istriku. Papa mendorongku setengah berlari.Hingga kami sampai di depan ruang ICU, di sana sudah ada mertuaku dan Mama. Melihatku datang, mereka semua menatapku. Semua orang menatap iba padaku, ibu sudah menangis tergugu di bahu ayah. Sedangkan Mama menatapku dengan berurai air mata. Ada apa? Apa yang terjadi pada Amira?"Gimana Amira Ma? Bagaimana keadaan Amira? Apa yang terjadi?!" sentakku."Raka, sabar Nak. Sabar." Mama berucap sambil berusaha meraih tanganku."Sabar, sabar kenapa sih! Aku mau masuk! Aku mau menemui Amira!" Aku berusaha memutar kursi roda ini sendiri berusaha untuk me
Bibirnya pucat, dengan beberapa selang tertempel di tubuhnya. Aku menatapnya dengan hati teriris nyeri.Kenapa bukan aku saja yang ada diposisi ini Amira? Dia sudah koma lebih dari satu minggu lamanya. Kini aku sudah bisa mengunjunginya ke ruang ICU meski masih menggunakan kursi roda. Dan belum bisa berdiri, untuk duduk saja rasanya masih kaku dan sakit.Tapi aku berusaha untuk menahan sakitnya demi bisa menemui istriku yang masih terbaring koma di ICU. Sakitnya raga ini tak sebanding dengan sakitnya rasa di dada melihat orang yang kita cintai terbaring lemah tak berdaya.Aku genggam erat jemarinya yang lembut, kubisikkan kata-kata cinta, dan penuh semangat. Aku yakin di alam bawah sadarnya dia pasti bisa mendengarku.Aku ingin dia tahu, aku akan selalu ada di sampingnya dalam keadaan apapun."Sayang, sudah cukup lama kamu tidurnya. Sekarang kamu harus bangun. Kamu bilang kita akan sama-sama menjaga anak kita, makanya kamu harus bangun, kamu harus sehat, karena hanya beberapa bulan l
Aku membuka mata perlahan, rasanya tubuhku ngilu, sakit semua. Baru kusadari aku berada di sebuah ruangan dengan selang infus sudah terpasang di punggungku tanganku.Astaghfirullah, Amira dimana? Apa dia baik-baik saja. Begitu aku tersadar, orang pertama yang aku cari adalah Amira. Mengingat saat kejadian kecelakaan itu, kondisi Amira sepertinya lebih parah dariku.Aku menoleh ke kanan dan kiri, aku hanya sendirian. Ya Tuhan bagaimana keadaan istriku? Apa dia baik-baik saja? Juga bayi dalam kandungannya. Apakah dia baik-baik saja?Tiba-tiba saja aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku takut kehilangan mereka berdua. Aku tak 'kan memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada kalian! Air mataku lolos begitu saja. Baru kali ini aku merasa sangat takut kehilangan seseorang dalam hidupku.Ini salahku kurang hati-hati di jalan. Aku harus cari Amira.Aaaaagh!Aku berusaha untuk duduk tapi ternyata pinggangku rasanya sakit sekali. Kepalaku juga di perban.Akhirny
"Apa kau mau tetap tinggal di sini?" tanyaku padanya seraya memiringkan tubuhku, lalu mengelus perutnya. Entah mengapa sekarang aku jadi suka rela mengelus perutnya, merasakan ada calon penerusku di dalam rahimnya."Memangnya boleh aku tetap tinggal di sini?""Ya boleh saja, aku akan ikut tinggal di sini.""Lalu kerjaanmu?""Ya aku akan cari kerjaan lain di sini.""Aku rasa itu nggak mungkin Mas. Mengingat kamu adalah calon penerus perusahaan Papa.""Ya mau gimana lagi, kalau istriku maunya di sini. Masak aku di sana sendirian. Aku nggak akan kuat LDR-an sama kamu." Aku menggenggam jemari tangannya lalu mengecupnya lembut."Memangnya kamu maunya kita berjauhan lagi seperti kemarin?" tanyaku padanya. Ia hanya menggeleng.Pelan aku menarik tangannya hingga membuat tubuhnya mendekat dan semakin dekat. Kedua netra kami beradu, dan dalam hitungan detik aku mendarat sebuah civman di bibirnya yang ranum. Aku begitu merindukan bibir merah muda itu.Cukup lama kami di posisi ini, seakan salin