Keesokan harinya,Mariana baru saja pulang bekerja. Sekujur tubuhnya terasa penat dan ia sudah tidak sabar ingin membersihkan diri. Namun, langkahnya melambat saat mendapati pintu kamarnya tidak tertutup rapat.Rasa curiga mulai menghinggapinya. Dengan hati-hati, ia mengintip sedikit dan mendapati pemandangan yang sangat mengejutkan.Di dalam sana, Nadia sedang berdiri di depan meja rias, memegang gunting besar di tangan kanan. Pakaian Mariana yang seharusnya tergantung rapi di lemari, kini tergeletak berantakan di atas tempat tidur. Beberapa bagian pakaian tampak robek akibat guntingan Nadia.“Nadia! Apa yang kamu lakukan!” Mariana mendorong pintu kamar dengan cepat.Nadia segera menoleh, wajahnya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Justru, ia tersenyum miring ketika Mariana memergokinya.“Oh, Mariana, baru pulang?” Nadia bertanya santai seolah-olah seperti tak ada yang salah dengan tindakannya. Sopan santunnya pun mendadak hilang.Mariana melangkah ke tengah kamar. “Kenapa kamu
Nate berlari menuju mobil dengan Mariana di pelukannya, sementara Rani mengikuti di belakang seraya menggendong Elhan. Nate menempatkan Mariana dengan hati-hati di kursi penumpang depan, lalu bergegas ke sisi pengemudi.Di sepanjang perjalanan, Mariana berusaha menahan rasa sakit yang makin menjadi. Darah masih mengalir dari lukanya, membuat Nate semakin gelisah.“Sayang, tahan sebentar. Kita hampir sampai,” ujar Nate tanpa sadar. Ia baru saja memanggil Mariana dengan sebutan itu di depan Rani.Rani yang duduk di belakang bersama Elhan sontak tercengang. Ia sudah mendengar desas-desus soal hubungan Nate dengan Mariana, tapi itu hanya berupa bisik-bisik yang tidak pernah punya bukti jelas. Namun, kali ini, ia mendengarnya langsung dari mulut Nate saat memanggil Mariana dengan sebutan yang sangat pribadi.Rani mengulum senyum. ‘Jadi, ini benar?’ pikirnya.Begitu sampai di klinik, Nate turun lebih dulu sambil menggendong Mariana. Sebelum berlari masuk, ia menoleh cepat ke arah Rani yang
Malam hampir larut saat Nate kembali ke kediamannya. Begitu melangkah masuk, ia mendapati Mariana duduk di ruang tamu. Wajahnya tampak cemas meskipun ia berusaha tersenyum saat melihat Nate.Mariana langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri Nate yang juga melangkah mendekat, langkah mereka seolah sinkron.“Kenapa duduk di sini?” tanya Nate dengan lembut.“Aku nungguin kamu pulang,” jawab Mariana dengan suara yang agak lemah. “Gimana soal Nadia? Kamu nggak laporin dia ke polisi, kan?”Nate diam sesaat.Mariana yang melihat sang kekasih hanya diam lantas memanggilnya dengan nada yang lebih lembut. “Nathaniel ...?”Nate mendesah pelan. Tanpa berkata banyak, ia meraih beberapa helai rambut panjang Mariana yang terjatuh di wajahnya, dan dengan lembut menyelipkan rambut itu ke belakang telinga Mariana.“Terkadang aku bertanya-tanya, Moonie,” kata Nate pelan seraya menatap Mariana dalam-dalam. “Apakah kamu masih manusia atau malaikat? Hatimu sangat baik dan tulus.”Mariana mengerucutkan
Nate mendorong tubuh wanita itu dengan pelan namun tegas hingga menciptakan jarak di antara mereka. Gerakannya bukan kasar, tapi cukup jelas untuk menunjukkan bahwa ia tidak nyaman.Tanpa berkata apa pun, Nate segera melangkah mendekati Mariana yang berdiri beberapa langkah dari mereka. Ia mendekat hingga sangat dekat.Salah satu tangannya dengan mantap melingkari pinggang Mariana untuk memperjelas kedekatan mereka. Sikapnya membuat posisi Mariana tidak bisa disalahartikan oleh siapa pun.“Jeslyn,” kata Nate dengan tegas. “Ini Mariana, ibu susu Elhan.”Ia berhenti sejenak. Lalu dengan bangga menambahkan, “Dan selain itu, Mariana juga kekasihku.”Wanita bernama Jeslyn itu tampak terkejut. Matanya membelalak, lalu ia cepat-cepat mengatur ekspresinya agar terlihat santai. Namun kerutan samar di antara alisnya tak bisa berbohong.“Tunggu,” seru Jeslyn sambil mengangkat satu tangan, kemudian menunjuk ke arah Mariana. “Dia ... ibu susu Elhan? Dan juga ... kekasihmu?”Nate mengangguk mantap,
Mariana tak bisa menahan senyum saat menatap layar ponselnya. Tiga kata itu—Aku cinta kamu—terpampang jelas dari Nate.Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti mantra ajaib yang menghantam hatinya dengan lembut. Membuat pipinya memanas dan perutnya seperti dihuni ribuan kupu-kupu.Dengan wajah yang masih berbinar, Mariana memutar tubuh Elhan agar menghadap ke arahnya. Bayi lucu itu menatap polos dengan aroma bubur yang menguar dari mulutnya.Senyum Mariana makin melebar. “Elhan sayang… kamu lucu banget, tahu nggak?” ucapnya gemas sambil mencium pipi Elhan.Ia terkikik kecil, lalu menambahkan lirih dengan pipi memerah, “Persis kayak papamu.”Belum sempat Mariana melanjutkan ocehan manjanya pada Elhan, kemunculan Arsita yang begitu tiba-tiba membuat Mariana terkejut bukan main.“Selamat pagi,” sapa Arsita begitu riang. Matanya berbinar dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.Mariana beranjak berdiri, lalu membalas sapaan Arsita dengan sopan. “Pagi, Tante.”Wanita paruh baya dengan pen
Hari pertama Mbak Yanti bekerja, suasana rumah berjalan seperti biasa. Elhan baru saja bangun dan sedang bermain di lantai ruang tengah bersama Mariana saat suara bel rumah terdengar.Mariana menoleh, lalu mendengar langkah kaki Rani menuju pintu depan. Tak lama kemudian, suara Rani terdengar samar. “Masuk aja, Mbak. Mari, saya antar ke dalam.”Setelah itu, Mbak Yanti muncul di ambang ruang tengah, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana panjang hitam. Rambutnya disanggul rapi dengan senyum hangat menghiasi wajahnya. Begitu melihat Elhan, mata wanita itu langsung berbinar.“Selamat pagi, Mbak Mariana,” sapa Mbak Yanti sopan.“Pagi. Silakan duduk, Mbak,” jawab Mariana ramah. Ia menoleh ke Elhan yang sedang menggerak-gerakkan mainan. “Elhan sayang. Ada yang mau kenalan.”Elhan menatap Mbak Yanti dengan rasa ingin tahu. Ketika Mariana menggendong dan mendekatkannya, Mbak Yanti mengulurkan tangan, membiarkan Elhan menyentuh jarinya.“Halo, Nak. Ganteng banget kamu,” ujarnya lembut.E
“Astaghfirullah! Apa yang kalian berdua lakukan?!”Suara jeritan Mariana menggema di kamar tidur yang dulu menjadi saksi cintanya dengan sang suami. Namun kini, pemandangan di hadapannya menghancurkan segalanya.Tubuh Mariana limbung, tapi ia memaksa dirinya tetap berdiri. Napasnya tersengal sementara dadanya mulai terasa sesak.Di atas ranjang mereka, suaminya berbaring tanpa busana. Dan yang lebih menghancurkan hatinya, wanita yang bersamanya adalah Bianca—adik kandung Mariana sendiri.Mariana menatap mereka dengan mata yang bergetar, berusaha mencari penjelasan yang sebenarnya tak lagi diperlukan. Segala sesuatu sudah terpampang jelas di hadapannya.“Kalian … bagaimana bisa?” suaranya nyaris tak terdengar.Darah di tubuhnya terasa beku. Kepalanya berdenyut hebat, seolah-olah dunia yang selama ini ia kenal runtuh begitu saja. Air mata menggenang di pelupuk matanya dan mengaburkan pandangannya.“Ka-kak ….” Bia tergagap, wajahnya pucat pasi saat buru-buru meraih selimut untuk menutupi
Keesokan harinya,Langit kelabu menaungi pemakaman kecil itu, seolah turut berduka atas kehilangan Mariana. Rintik hujan jatuh perlahan, membasahi tanah merah yang masih basah oleh galian segar. Udara dingin menusuk, tapi tak sebanding dengan kehampaan yang menggerogoti hatinya.Meski rasa sakit pasca operasi masih terasa, tetapi Mariana meneguhkan hatinya untuk mengantar bayinya ke peristirahatan terakhir.Wanita itu duduk kaku di samping batu nisan, kedua tangannya saling mencengkeram erat di atas pangkuan. Mata sembabnya menatap kosong ke gundukan tanah merah yang baru saja ditutup.Di sanalah, di dalam bumi yang dingin itu, bayi yang seharusnya lahir dalam hitungan hari kini tertidur selamanya.Suara ustaz terdengar khidmat saat ia membacakan ayat-ayat suci. Isak tangis pecah di antara keluarga yang hadir, tetapi Mariana sendiri hanya terdiam, tak mampu mengeluarkan suara.‘Sayang … maafkan Mama.’ Suara itu hanya terucap dalam hati Mariana.Tidak ada air mata lagi yang bisa Marian
Hari pertama Mbak Yanti bekerja, suasana rumah berjalan seperti biasa. Elhan baru saja bangun dan sedang bermain di lantai ruang tengah bersama Mariana saat suara bel rumah terdengar.Mariana menoleh, lalu mendengar langkah kaki Rani menuju pintu depan. Tak lama kemudian, suara Rani terdengar samar. “Masuk aja, Mbak. Mari, saya antar ke dalam.”Setelah itu, Mbak Yanti muncul di ambang ruang tengah, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana panjang hitam. Rambutnya disanggul rapi dengan senyum hangat menghiasi wajahnya. Begitu melihat Elhan, mata wanita itu langsung berbinar.“Selamat pagi, Mbak Mariana,” sapa Mbak Yanti sopan.“Pagi. Silakan duduk, Mbak,” jawab Mariana ramah. Ia menoleh ke Elhan yang sedang menggerak-gerakkan mainan. “Elhan sayang. Ada yang mau kenalan.”Elhan menatap Mbak Yanti dengan rasa ingin tahu. Ketika Mariana menggendong dan mendekatkannya, Mbak Yanti mengulurkan tangan, membiarkan Elhan menyentuh jarinya.“Halo, Nak. Ganteng banget kamu,” ujarnya lembut.E
Mariana tak bisa menahan senyum saat menatap layar ponselnya. Tiga kata itu—Aku cinta kamu—terpampang jelas dari Nate.Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti mantra ajaib yang menghantam hatinya dengan lembut. Membuat pipinya memanas dan perutnya seperti dihuni ribuan kupu-kupu.Dengan wajah yang masih berbinar, Mariana memutar tubuh Elhan agar menghadap ke arahnya. Bayi lucu itu menatap polos dengan aroma bubur yang menguar dari mulutnya.Senyum Mariana makin melebar. “Elhan sayang… kamu lucu banget, tahu nggak?” ucapnya gemas sambil mencium pipi Elhan.Ia terkikik kecil, lalu menambahkan lirih dengan pipi memerah, “Persis kayak papamu.”Belum sempat Mariana melanjutkan ocehan manjanya pada Elhan, kemunculan Arsita yang begitu tiba-tiba membuat Mariana terkejut bukan main.“Selamat pagi,” sapa Arsita begitu riang. Matanya berbinar dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.Mariana beranjak berdiri, lalu membalas sapaan Arsita dengan sopan. “Pagi, Tante.”Wanita paruh baya dengan pen
Nate mendorong tubuh wanita itu dengan pelan namun tegas hingga menciptakan jarak di antara mereka. Gerakannya bukan kasar, tapi cukup jelas untuk menunjukkan bahwa ia tidak nyaman.Tanpa berkata apa pun, Nate segera melangkah mendekati Mariana yang berdiri beberapa langkah dari mereka. Ia mendekat hingga sangat dekat.Salah satu tangannya dengan mantap melingkari pinggang Mariana untuk memperjelas kedekatan mereka. Sikapnya membuat posisi Mariana tidak bisa disalahartikan oleh siapa pun.“Jeslyn,” kata Nate dengan tegas. “Ini Mariana, ibu susu Elhan.”Ia berhenti sejenak. Lalu dengan bangga menambahkan, “Dan selain itu, Mariana juga kekasihku.”Wanita bernama Jeslyn itu tampak terkejut. Matanya membelalak, lalu ia cepat-cepat mengatur ekspresinya agar terlihat santai. Namun kerutan samar di antara alisnya tak bisa berbohong.“Tunggu,” seru Jeslyn sambil mengangkat satu tangan, kemudian menunjuk ke arah Mariana. “Dia ... ibu susu Elhan? Dan juga ... kekasihmu?”Nate mengangguk mantap,
Malam hampir larut saat Nate kembali ke kediamannya. Begitu melangkah masuk, ia mendapati Mariana duduk di ruang tamu. Wajahnya tampak cemas meskipun ia berusaha tersenyum saat melihat Nate.Mariana langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri Nate yang juga melangkah mendekat, langkah mereka seolah sinkron.“Kenapa duduk di sini?” tanya Nate dengan lembut.“Aku nungguin kamu pulang,” jawab Mariana dengan suara yang agak lemah. “Gimana soal Nadia? Kamu nggak laporin dia ke polisi, kan?”Nate diam sesaat.Mariana yang melihat sang kekasih hanya diam lantas memanggilnya dengan nada yang lebih lembut. “Nathaniel ...?”Nate mendesah pelan. Tanpa berkata banyak, ia meraih beberapa helai rambut panjang Mariana yang terjatuh di wajahnya, dan dengan lembut menyelipkan rambut itu ke belakang telinga Mariana.“Terkadang aku bertanya-tanya, Moonie,” kata Nate pelan seraya menatap Mariana dalam-dalam. “Apakah kamu masih manusia atau malaikat? Hatimu sangat baik dan tulus.”Mariana mengerucutkan
Nate berlari menuju mobil dengan Mariana di pelukannya, sementara Rani mengikuti di belakang seraya menggendong Elhan. Nate menempatkan Mariana dengan hati-hati di kursi penumpang depan, lalu bergegas ke sisi pengemudi.Di sepanjang perjalanan, Mariana berusaha menahan rasa sakit yang makin menjadi. Darah masih mengalir dari lukanya, membuat Nate semakin gelisah.“Sayang, tahan sebentar. Kita hampir sampai,” ujar Nate tanpa sadar. Ia baru saja memanggil Mariana dengan sebutan itu di depan Rani.Rani yang duduk di belakang bersama Elhan sontak tercengang. Ia sudah mendengar desas-desus soal hubungan Nate dengan Mariana, tapi itu hanya berupa bisik-bisik yang tidak pernah punya bukti jelas. Namun, kali ini, ia mendengarnya langsung dari mulut Nate saat memanggil Mariana dengan sebutan yang sangat pribadi.Rani mengulum senyum. ‘Jadi, ini benar?’ pikirnya.Begitu sampai di klinik, Nate turun lebih dulu sambil menggendong Mariana. Sebelum berlari masuk, ia menoleh cepat ke arah Rani yang
Keesokan harinya,Mariana baru saja pulang bekerja. Sekujur tubuhnya terasa penat dan ia sudah tidak sabar ingin membersihkan diri. Namun, langkahnya melambat saat mendapati pintu kamarnya tidak tertutup rapat.Rasa curiga mulai menghinggapinya. Dengan hati-hati, ia mengintip sedikit dan mendapati pemandangan yang sangat mengejutkan.Di dalam sana, Nadia sedang berdiri di depan meja rias, memegang gunting besar di tangan kanan. Pakaian Mariana yang seharusnya tergantung rapi di lemari, kini tergeletak berantakan di atas tempat tidur. Beberapa bagian pakaian tampak robek akibat guntingan Nadia.“Nadia! Apa yang kamu lakukan!” Mariana mendorong pintu kamar dengan cepat.Nadia segera menoleh, wajahnya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Justru, ia tersenyum miring ketika Mariana memergokinya.“Oh, Mariana, baru pulang?” Nadia bertanya santai seolah-olah seperti tak ada yang salah dengan tindakannya. Sopan santunnya pun mendadak hilang.Mariana melangkah ke tengah kamar. “Kenapa kamu
Sudah dua hari berlalu sejak kejadian di kolam renang.Mariana tetap menjalani hari-harinya seperti biasa, tapi kini ia lebih berhati-hati. Ia mulai memperhatikan gerak-gerik orang-orang di rumah. Tidak ada yang mencolok, namun justru itu yang membuatnya lebih gelisah.Pagi itu, dari dapur terbuka dengan dinding kaca besar yang memberinya pandangan leluasa ke taman samping, Mariana melihat Mbok Darmi berbicara sambil menunduk di dekat sun lounger.Sekilas, wanita paruh baya itu tampak menempelkan ponsel ke telinganya, berbicara dengan raut wajah serius dan sesekali menempelkan telapak tangan dekat mulut.Ketika Mbok Darmi sadar sedang diperhatikan, ia buru-buru menurunkan telepon dan pura-pura mengelap sun lounger di dekatnya.Meski terhalang dinding kaca dan tak bisa mendengar apa yang diucapkan wanita paruh baya itu, Mariana yakin ada yang tidak beres dengannya. Terlebih, Mbok Darmi tampak terkejut ketika mata mereka bertemu, sebelum akhirnya terlihat salah tingkah.‘Kenapa tingkah
Sudah lima hari berlalu sejak kejadian di dekat minimarket. Dan sampai sekarang, semuanya berjalan biasa saja.Tidak ada yang aneh, tidak ada yang mencurigakan.Mariana mulai berpikir mungkin dia memang terlalu cemas saat itu.“Mungkin yang waktu itu memang bukan Bara,” gumamnya pelan sambil menyeruput jus dingin yang ia buat sendiri—campuran apel, jeruk, dan sedikit buah naga.Pagi itu, matahari bersinar hangat. Mariana duduk di bangku taman belakang, menikmati suasana sambil mengawasi Elhan yang duduk manis di stroller. Bayi lucu itu tampak sibuk memainkan mainan kecil di tangannya, kadang tertawa kecil sendiri.Mariana meletakkan gelas kosongnya di atas meja. Senyum tipis muncul di wajahnya saat melihat Elhan yang menggemaskan.Tapi beberapa menit kemudian, Elhan mulai merengek pelan.“Lho, kenapa sayang? Haus ya?”Mariana langsung bangkit dan mendekat. Ia tahu betul tangisan pelan itu. Elhan pasti sedang haus.Dengan sigap, Mariana menggendong Elhan dari stroller dan membawanya ke
Mobil Nate melaju stabil membelah jalanan kota yang mulai dipenuhi cahaya lampu senja. Mariana duduk di kursi penumpang dengan pandangan kosong menatap jendela. Pikirannya sibuk membayangkan kemungkinan terburuk soal Bara.Apa yang akan dilakukan pria itu kalau benar-benar kembali mengusiknya?Mariana belum menyadari arah mobil yang tidak seperti biasanya.Baru setelah melewati bundaran yang seharusnya menjadi jalan pulang, Mariana mengerutkan dahi. Matanya menoleh cepat ke Nate. “Kita mau ke mana?” tanyanya bingung.Nate melirik sebentar ke arahnya, lalu tersenyum kecil. “Makan malam.”Mariana mengangguk dan berohria pelan.Tak lama kemudian, mobil berbelok ke sebuah bangunan berdinding batu alam dengan tumbuhan merambat yang menjuntai lembut dari balkon lantai dua.Lampu-lampu kecil menyala hangat, membingkai jendela dan pintu kayu dengan sentuhan klasik.Mariana memperhatikan bangunan itu sambil turun dari mobil, lalu berhenti di depan sambil mendongak.“Lumiere Garden,” gumam Maria