"Luna." Tama mengguncang bahuku mencoba mengembalikan kesadaranku. Telingaku masih berdenging dan keringat dingin mulai membasahi pelipis. Aku masih sangat terkejut dengan ingatan yang yang datang.Wajah Tama tepat berada di depan wajahku. Dengan tangan yang masih bergetar aku melepas pelan pegangannya.Dia berbohong. Aku merasa tercekik. Jantungku berdetak kencang karenanya."Kamu kenapa? Kamu kedinginan? Kita pulang aja. Harusnya kamu nggak maksain diri.""A-aku, aku baik-baik aja." Aku berhasil mengeluarkan suaraku kemudian mundur menjauhinya."Kita harus pulang. Kamu pucat banget." Dia kembali mengusap pelan pundakku kemudian beralih menatap Rendi yang mengantar kami."Aku nggak apa-apa. Lanjut aja," kataku kesal."Nggak. Aku nggak mau ambil resiko kalau sampai terjadi sesuatu sama kamu.""Aku bisa urus diri aku sendiri Tama.""Rendi bawa kita pul-""Aku bilang aku bisa urus diri aku sendiri!" Aku menekankan setiap kalimat. Rasa khawatir yang dia perlihatkan tidak membuatku terkes
Aku menatap nanar bayanganku. Memang apa yang aku harapkan dari pesta ini. Aku juga tidak mengetahui bagaimana kepribadianku sebelum kehilangan ingatan. Tapi tetap saja tidak wajar rasanya mendapat pelecahan seperti ini. Ditambah Tama juga hanya diam. Membuatku bertambah kesal.Setelah sedikit merasa tenang aku kembali memasuki ballroom hotel. Tidak seperti sebelumnya ketika aku dan Tama berdiri di tengah ruangan. Kini aku memilih untuk menyembunyikan diri di bagian paling ujung.Mataku menelisik ruangan mencoba menemukan Tama di tengah lautan manusia. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan sekarang dan Tama merupakan satu-satunya manusia yang bisa kupercaya.Saat ingin berbalik tiba-tiba seseorang menabrakku."Aduh. Maaf-maaf. Gue nggak sengaja. Maaf banget gue tadi emang lagi kurang fokus." Wanita yang menabrakku meminta maaf sambil menundukkan kepalanya dalam.Padahal bukan masalah besar jika hanya menyengol. Toh, aku juga dalam kondisi yang t
"Lyan," tiba-tiba sesosok pria datang menghampiri kami. Membuat pembicaraanku dengan Lyan spontan terhenti.Lyan sendiri tersentak. Dia segera berdiri dari kurisnya, "Damar!"Aku menatap pria itu kesal karena sudah menganggu pembicaraan kami. Pria itu terlihat lebih tinggi dari Tama. Dia mengenakan kemeja putih dan jas silver. jika disandingkan dengan Lyan mereka tampak serasi. Wanita itu terlihat sangat mungil disamping sosok Damar.Dia tidak tersenyum saat bertatapan dengan Lyan, "Aku udah cari kamu kemana-mana."Harusnya dia menanyakan keadaan istrinya. Tapi ini dia malah membuat gestur yang menyebalkan. Dia menatap tajam Lyan. Memojokkan wanita itu seakan semua memang karena Lyan yang tidak langsung menemuinya setelah sempat terpisah, "a-aku dari tadi di sini," cicitnya pelan.Aku tidak menyukai interaksi mereka yang terkesan asing. Bukan seperti pasangan pada umumnya meski pun hal itu juga terjadi padaku. Ekspresi Damar semakin berubah dingin saat melihatku."Kamu kenal dia?"Lyan
Aku tidak ingat bagaimana aku pulang dari pesta dan berakhir di tempat tidur dengan lingeri yang terlihat kontras dikulitku. Ketika aku bangun sisi tempat tidur Tama hanya tinggal seprai yang kusut. "Selamat pagi." Kepalaku tersentak ke arah pintu yang terbuka. Tama sedang bersandar di kusen pintu, sudah mandi, dan bersiap dengan setelan kantornya. Dia terlihat menawan dalam balutan jas mahal miliknya. "Pagi." Aku dengan santai menarik selimut hingga ke dada. Menutupi tubuhku yang tidak menggunakan bra. Tapi sesaat kemudian aku tersadar karena tingkah konyolku. Tama kan suamiku dan mungkin dia yang sudah menggantikan bajuku. Dia memperhatikan tetapi tidak berkomentar. "Kamu bisa turun sebentar? Jubahnya ada di lemari." "Oke," ujarku sambil mengangguk. Aku menunggunya pergi agar aku leluasa untuk pergi ke lemari pakaian tapi yang terjadi malah sebaliknya, Tama masih menungguku berdiri di sana. Dengan ragu-ragu aku mengeluarkan d
"Mbaknya yakin?" tanya wanita itu yang masih tercengang dengan kelakuanku. "Iya. Ini semuanya," jawabku pasti. Dia mengambil dress yang aku kenakan semalam dan membukanya di depanku, "Tapi ini dress keluaran Dior koleksi terbaru!" "Terus?" Aku bertanya. Tidak terlalu perduli. Jika dilihat memang tidak memenuhi syarat untuk masuk ke badan amal. Wanita di depanku masih berargument membuatku mengalihkan pandangan pada sopir taksi yang membawa tas terakhirku dan meletakkannya di sana. Dia bergumam ke arahku, "Dia itu nganggap kamu gila, nak." "Erm. Bukan gitu maksud saya tapi ... ini baju-baju mahal soalnya." "Semuanya?" tanya supir itu sambil melirik semua barang bawaanku dan juga diriku. Aku hanya mengangkat bahu, "Bukannya bisa kamu jual?" Kedua manusia berbeda usia itu menatapku, "Bapak tahu tempat buat jual barang kayak gini. Kalau kamu mau bapak bisa antar. Tapi tetap dengan tambahan ekstra," tawarnya. "Nggak usah. Tolong urus semuanya aja mbak. Kalau mau dijual juga nggak a
Hari sudah hampir gelap saat aku kembali.Aku memeluk perlengkapan bayi yang sudah ku beli sambil menunggu lift berhenti di lantai penthouse. Setelah sampai aku melangkah keluar dan menekan password ke keypad. Akhirnya pintu mengeluarakan bunyi tanda jika sudah terbuka. Aku dengan segera mendorongnya hingga terbuka lebih lebar dan langsung terkejut melihat apa yang terjadi di dalam.Tiga orang yang berada di dalam ruangan tampak dalam kondisi yang tidak baik. Bahkan mereka juga tidak menyadari kedatanganku. Ada bi Susan, Rendi, dan Tama. Tama ...Tama berteriak ke ponselnya dengan ekspresi mengerikan yang belum pernah aku lihat sebelumnya."Saya nggak perduli soal itu! Dia nggak mungkin pergi jauh ... " geramnya, "cepat cari sampai ketemu."Bi Susan meremas-remas tangannya saat Tama melangakah mendekatinya."Tama, nak ..."Tama melesat ke arahnya begitu cepat bahkan aku saja sampai tersentak, "Kasih tahu aku gimana caranya dia bisa keluar tanpa bibi tahu?"Wanita tua itu kaget mendeng
"Selamat pagi," sapaku pada seorang dokter yang kami kunjungi. Aku tidak tahu apa yang aku harapkan tapi tentu saja bukan dokter muda yang cantik. Dia mengenakan jas putih yang semakin menunjukkan betapa mengagumkannya dia. Dan sepertinya aku harus menerima fakta jika Tama memang dikelilingi oleh wanita-wanita cantik. Dokter yang aku kunjungi bersama Tama saat ini merupakan sosok wanita bermata sipit dengan berambut hitam panjang. Kulitnya putih dan riasan wajah natural mempermanis dirinya. Dia duduk di balik meja bermonitor. "Selamat pagi, Nyonya Irfandi." Psikiater itu menyapa dengan senyuman sebelum menoleh ke suamiku yang berdiri tegap di belakang kursiku, "kenapa loe nggak duduk di sofa?" Dia menatap Tama dengan salah satu alis yang terangkat. Dia juga menunjuk ke area lain di dalam ruangannya yang sudah tersedia satu set sofa dan televisi yang menyala. "Gue mau dengar keadaan Luna." "Itu tergantung pasiennya, Tama." Dokter melanjutkan sambil berbalik menatap ke arahku, "apa
"Apa yang diomongin Lisa tadi?" Aku mengalihkan pandanganku dari pepohonan yang kami lewati.Tama masih duduk tegang di sampingku. Sepuluh menit yang kami lewati bersama tadi penuh dengan keheningan. Dia tidak menggangguku sama sekali. Aku merasa sedikit kecewa. Mungkin karena efek kehamilan atau mungkin karena saran dari Lisa tadi. Tapi sejujurnya aku akui aku sangat lelah dan juga frustasi. Aku merasa seperti manusia kosong yang tidak memiliki isi karena amnesia ini. Aku sampai tidak bisa menebak apa-apa karena hal itu sangat menakutkan untuk dipikirkan. Tapi jika aku memaksakan diri nyawa bayiku yang menjadi taruhannya. Ini bukan hanya tentangmu tapi tentang bayimu Luna. Jangan egois. Aku mengerjap dua kali sebelum menjawab. "Aku kira dia bakal kasih tahu kamu langsung." Aku tidak bermaksud menuduh Tama. Tapi mengetahui bagaimana dekatnya hubungan mereka bukan hal aneh jika Tama tahu tentang kondisiku. "Dia suruh aku buat langsung tanya ke kamu. Dia mengumpat dan menyuruhku untu