"Untuk apa kamu datang kesini?"Damar tak langsung mempersilakan orang tersebut. Sedangkan seseorang itu sudah sangat ingin masuk dan menemui Sari di dalam."Aku mau bertemu dengan mbak Sari."Rupanya, seseorang itu adalah Sandi. Sejak Damar membeberkan fakta yang belum Sandi ketahui tentang hubungan Sari dan Lian, Sandi merasa tak tenang. Apalagi, saat ia melihat wajah pucat Kamila. Sandi takut, ia merasa bahwa apa yang Mila alami bisa saja karena teguran dari Allah atas apa yang telah isterinya itu perbuat."Untuk apa lagi? Apa tak puas keluarga telah menyakiti Sari sedemikian rupa? Apa kamu juga ingin menambah luka Sari semakin dalam?"Damar tentu saja tidak tahu hubungan Sandi dan Sari. Ia pikir, Sandi sam saja dengan bu Tri dan juga Kamila yang selalu saja menyalahkan Sari."Tidak, tapi justru malah sebaliknya. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi di antara mbak Sari dan mas Lian. Selama ini, aku selalu berusaha menjaga hubungan baikku dengan mbak Sari. Jika semuanya terno
Sandi mengucapkan kalimat istighfar beberapa kali setelah mengusir ibu serta kakaknya dari ruang rawat sang isteri. Tak pernah Sandi bayangkan jika ia akan bertindak sejauh ini. "Maafkan aku, Bu. Ibu yang sudah memaksaku untuk melakukan ini," gumam Sandi seraya menggenggam tangan Mila. Dan sebelah tangannya lagi mengusap surai sang isteri.Sandi merasa sedikit menyesal karena sudah meninggikan suaranya pada sang ibu. Tapi, mau bagaimana lagi. Sandi sebenarnya sudah lelah mengingatkan ibunya untuk kembali menjadi pribadi yang baik.Sedangkan di luar ruangan, bu Tri tampak marah dan mengomel atas apa yang sudah dilakukan Sandi padanya."Bener-bener keterlaluan adik kamu itu, Lian. Sudah berani dia membentak Ibu hanya untuk membela perempuan gila itu," ucap bu Tri bersungut-sungut.Dada wanita tua itu tampak naik dan turun dengan cepat. Lian yang melihatnya tak bisa berkata apapun. Ia masih bingung dengan apa yang sudah menimpa keluarganya hari ini.Dari mulai perdebatan tentang gedung
"Hesti, tunggu!" teriak Lian agar Hesti berhenti. Namun, nyatanya perempuan itu terus melangkahkan kakinya menuju mobil miliknya yang sudah terlihat dekat."Hesti!" Akhirnya Lian bisa mengejar Hesti dan meraih tangannya saat Hesti sudah bersiap untuk membuka pintu mobil. Lian menarik tangan Hesti lalu memutar tubuh calon isterinya itu agar menghadap ke arahnya."Kamu kenapa, sih?" tanya Lian yang jujur saja kesal dengan sikap Hesti yang kekanakan."Aku kenapa? Kamu itu yang kenapa, Mas? Coba aku tebak, kamu masih mikirin mbak Sari, kan?"Lian mendengkus dan mengusap wajahnya kasar. Ia tak ingin pertengkaran ini terjadi. Bahkan, biduk rumah tangga mereka belum berlayar, tapi pertengkaran seperti ini sudah dapat Lian rasakan."Kamu ini ngomong apa sih, Hesti? Aku udah bilang, aku cuma kurang enak badan. Maafin aku kalau udah bikin kamu marah. Tapi aku benar-benar gak memikirkan apa yang ada dalam pikiran kamu."Lian berusaha berbicara sehalus mungkin agar Hesti tak makin marah padanya.
"Jadi, ini semua gara-gara ibu kamu, Sandi?" tanya bu Marni, ibu mertua Sandi.Saat bu Marni dan pak Joko, kedua orang tua Mila tiba di rumah sakit, mereka dikejutkan dengan Mila yang tengah berteriak-teriak dalam dekapan Sandi.Dokter yang dipanggil Sandi melalui tombol darurat terpaksa memberikan suntikan obat penenang pada Mila karena tak ingin Mila terus mengamuk dan akan memperburuk keadaannya.Kini, Mila tengah terlelap dan Sandi harus menghadapi kedua orang tua Mila sendirian."Maaf, Ma. Tapi aku yakin, ibu juga tidak mungkin sengaja melakukannya. Ini semua hanyalah kecelakaan yang sudah Allah takdirkan untuk Mila.""Halah! Kamu itu memang paling bisa kalau bicara ya, San. Pokoknya Mama gak mau tahu, ibu kamu harus bertanggung jawab atas semuanya. Kalau sampai terjadi sesuatu yang lebih buruk lagi pada Mila, Mama gak akan segan buat laporin ibu kamu ke polisi," ucap bu Marni yang membuat Sandi menelan ludahnya gugup.Di saat bu Marni terus mencerca Sandi dengan berbagai pertany
Perseteruan antara bu Tri dan bu Marni akhirnya bisa terselesaikan dan itu semua berkat pak Joko. Karena terlanjur kesal dengan bu Marni, bu Tri akhirnya memutuskan untuk pulang dengan menggunakan taksi."Setelah pulang dari rumah sakit, biarin Mila pulang ke rumah Mama saja, San," ucap bu Marni yang kini menatap tajam ke arah Sandi."Aku bisa menjaga Mila, Ma. Biarkan Mila tetap bersama denganku di rumah ibu.""Kamu gak lihat gimana kondisi Mila sekarang? Belum ketemu sama ibu kamu saja Mila udah uring-uringan begitu. Kalau tiap hari harus ketemu di rumah, apa gak jadi gila anakku?" ucap bu Marni kesal. Rasanya ia sudah tak sudi membiarkan Mila tetap hidup bersama dengan bu Tri yang menurutnya sudah menyebabkan anaknya keguguran."Ma, hati-hati kalau ngomong. Ucapan adalah doa, bicara yang baik-baik saja," tegur pak Joko yang membuat bu Marni seperti menyesal dengan apa yang sudah ia ucapkan. "Kalau begitu, Sandi juga akan ikut menemani Mila di rumah Mama. Boleh, kan?"Bu Marni tamp
"Brengsek!"Kepalan tangan Lian nyaris mengenai wajah Damar jika saja tangan Damar tak sigap menahan tangan Lian.Sari yang terkejut melihat apa yang terjadi pun segera mendekati mereka. Apalagi, Sari melihat adanya Kia yang ikut serta bersama Lian dan juga bu Tri yang baru saja sampai."Kia!""Ibu!"Keduanya saling melepas rindu. Meskipun baru dua hari mereka kembali terpisah, tapi rasanya begitu lama. Tentu saja itu karena dua hari yang lalu, untuk pertama kalinya Sari dan Kia bertemu setelah Sari menjalani perawatan selama berbulan-bulan."Jangan gunakan kekerasan di depan anak-anak, Lian. Apalagi, dia adalah anakmu sendiri. Jangan buat dia melihat bagaimana sifat ayahnya yang tak patut untuk dicontoh," ucap Damar dengan nada datar. Sedangkan Lian, ia justru membuang muka dan tampak tengah mengatur emosinya."Apa yang terjadi, Mas? Kenapa Mas Lian ingin memukul kamu?" tanya Sari pada Damar karena ia yakin, jika ia bertanya pada Lian, ia tak akan mendapat jawaban yang memuaskan."Oh
Hari terus berganti. Rupanya, Sandi benar-benar menemani Mila untuk tinggal di rumah orang tuanya dan itu sudah berjalan selama satu minggu ini. Di rumah, bu Tri terus saja uring-uringan, sebab tidak ada lagi yang membantunya mengerjakan pekerjaan rumah."Memang gak tahu diuntung si Mila itu! Menyesal aku sudah menganggapnya menantu kesayangan selama ini," gerutu bu Tri setelah melempar alat pel ke sembarang arah.Dirinya merasa lelah sebab sedari tadi pagi tak bisa berleha-leha karena terus saja mengerjakan pekerjaan rumah. Biasanya, bu Tri hanya akan menyapu ala kadarnya. Ngepel pun jika tak salah ingat hanya ia lakukan dua kali selama Mila tidak ada di rumah.Hari ini, ia terpaksa membersihkan seluruh bagian rumah karena orang tua Hesti akan datang kesana. Titik terang perdebatan Hesti dan Lian tentang acara pernikahan mereka rupanya belum juga terlihat.Lian masih tetap dengan pendiriannya, begitu pun dengan Hesti. Dengan kesepakatan antara orang tua Hesti dan juga bu Tri, mereka
Tidak seperti dulu, saat kedatangan tamu di rumah itu, Sari lah yang bertugas untuk menghidangkan minuman di meja. Namun, saat ini Lian benar-benar merasa rendah di depan Sari dan juga Damar yang datang bersamanya."Kenapa repot-repot, Lian? Kami hanya mampir sebentar untuk mengambil surat panggilan dari pengadilan yang kamu maksud," ucap Damar membuat Lian melirik malas.Lian hanya tidak ingin terlihat makin buruk di depan kedua orang itu karena tak memperlakukan tamu dengan baik."Setidaknya aku masih punya adab untuk menjamu tamu," jawab Lian seraya mendudukkan diri di kursi miliknya.Sari merasakan atmosfer yang tak mengenakkan di ruangan itu. Tatapan kedua laki-laki itu seperti yang pernah Sari lihat beberapa tahun yang lalu."Ibu, Ibu kenapa pergi lagi? Kia mau tidur sama Ibu sama Ayah," cicit Kia yang berada di atas pangkuan Sari."Kia, duduk sini sama Ayah!" ucap Lian dengan nada memerintah, namun, Kia justru menggelengkan kepalanya enggan.Lian hendak berdiri untuk mengambil
Sari turun dari mobil yang ia tumpangi bersama Damar. Seperti biasa, Sari mempersilakan Damar untuk sekadar duduk di kursi teras untuk menikmati secangkir teh buatannya."Terimakasih karena udah anterin aku hari ini ya, Mas."Damar buru-buru menelan air teh yang masih berada dalam mulutnya dan segera meletakkan cangkir teh ke atas meja."Sama-sama."Sari menyandarkan punggungnya dan menghela napas panjang. Ia sendiri tak tahu mengapa rasanya bisa selega ini. Tanpa sadar, Sari tersenyum sendiri membayangkan jika nanti saatnya Kia akan ikut bersamanya.Lamunan Sari buyar saat mendengar suara dering ponsel milik Damar. Buru-buru lelaki itu menjawab panggilan telepon untuknya."Ya, Bu?"Rupanya sang ibu yang menghubungi Damar. Sari tak ingin menguping pembicaraan ibu dan anak itu. Ia sendiri memilih untuk mengutak-atik ponsel miliknya sendiri."Aku tanya dulu ya, Bu. Bisa jadi dia sedang lelah. Kami baru saja pulang setelah berbelanja."Sari jadi merasa bahwa Damar dan ibunya tengah membi
Wajah Hesti seketika berubah cemberut saat Lian membentaknya di depan umum. Dalam hati, Hesti semakin merasa bahwa ia harus segera membalas dendam pada Lian.Setelah membentak Hesti, Lian berlalu menuju bagian baju anak perempuan yang tadi disambangi oleh Sari dan Damar.Saat ini, Sari sudah berpindah tempat. Mungkin sedang mencari barang-barang lain yang ingin ia berikan pada putrinya.Seketika Lian menelan ludahnya kasar saat melihat harga yang tertera pada baju tersebut.Itu baju yang hampir sama dengan yang Sari ambil tadi. Lian tidak menyangka jika baju anak-anak seperti itu harganya bisa mencapai lima ratus ribu.Ia jadi teringat masa dimana Sari meminta uang pada Lian untuk membelikan baju untuk anaknya itu karena baju-baju milik Kia sudah banyak yang tak muat."Eh, buat apa uang itu, Lian?" tanya bu Tri saat Lian menyerahkan uang senilai dua ratus ribu pada Sari.Padahal, Sari sudah merasa sangat senang karena ia akan pergi ke pasar guna membelikan anaknya itu baju baru."Buat
Hari cepat sekali berganti. Setidaknya, itu yang dirasakan oleh Lian. Akhirnya, perceraiannya dengan Sari pun sudah sah secara hukum negara. Tuntutan Sari akan harta gono gini juga terkabul. Dalam waktu dekat, Lian harus menjual rumah itu agar hasil penjualan bisa ia bagi dengan Sari. Atau, jika Lian masih ingin mempertahankan rumah itu, Lian harus membayar separuh harga rumah pada Sari. Dan tentu saja Lian tak punya uang untuk itu.Berbeda dengan yang Sari rasakan. Selain perasaan lega karena kini statusnya sudah jelas, Sari juga merasa lebih baik karena tak ada lagi ikatan yang menyambung dirinya dan juga keluarga Lian selain Kia.Namun, Sari berjanji untuk tidak menciptakan permusuhan di antara keduanya. Bagi Sari, yang terputus darinya dan Lian hanyalah status suami dan isteri. Tapi, untuk menjadi orang tua Kia, mereka tetaplah berada di posisinya masing-masing."Udah, sih, Mas. Ikhlasin aja rumah itu. Toh, kamu bilang kalau bangun rumah itu pakai uang mbak Sari juga, kan? Berart
Sari dan Damar saling berpandangan. Merasa sia-sia kebohongan yang mereka buat untuk mengelabuhi orang tua Damar."Ibu gak lagi becanda, kan?"Ibu dari Damar itu tertawa. Sesekali menepuk pundak sang suami karena merasa lucu, sebab sudah berhasil menipu anaknya sendiri."Ya enggak, lah, Damar. Namira itu memang saudara jauh kita. Tepatnya, dari keluarga ayah kamu. Ya, kan, dari dulu kamu jarang kumpul sama keluarga dari ayah kamu. Kebetulan juga, Namira kuliahnya di luar negeri, dapat beasiswa kuliah di China."Damar hanya bisa menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal. Gara-gara ia yang tidak terlalu dekat dengan keluarga ayahnya, apalagi saudara jauh, ia jadi mudah ditipu."Tapi gak apa-apa ya, Pak. Kita nipu kamu juga ada hasilnya, kan? Sekarang, akhirnya kamu pulang bawa perempuan juga. Seneng Ibu rasanya, Mar.""Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kalian berhubungan?" Ayah Damar yang sedari tadi diam, akhirnya mengeluarkan suaranya.Sari melirik ke arah Damar, seakan menyuruh
"Ya gak usah ditanya lagi, lah, Hesti. Kalau bukan pelakor, apa namanya? Wong kamu sama Lian aja udah jalan bareng sebelum mereka sah bercerai," ucap bu Rasti membuat Hesti mengeram marah. Tapi, ia tidak ingin merusak imej sebagai seorang bidan jika harus marah-marah di depan umum."Tapi gak apa-apa, sih. Secara tidak langsung, kamu sudah menyelamatkan Sari dari mertua toksis macam bu Tri. Siap-siap aja kamu nanti, kalau gak kuat, langsung lambaikan tangan aja, ya. Jangan sampai gila kaya si Sari."Ketiga ibu itu tertawa bersama-sama. Merasa diolok-olok, Hesti sudah tak kuat terus berlama-lama disana."Ini Bu bidan, kembaliannya," ucap pemilik warung seraya menyerahkan beberapa lembaran uang pada Hesti.Tak ingin berlama-lama mendengar celotehan para ibu, Hesti lantas segera menaiki motornya dan segera pulang menuju rumah."Huuu ... malu, kan, dia. Makanya buru-buru pergi, tuh!""Iya. Profesinya mulia banget, tapi kelakuan orangnya gak ada mulia-mulianya. Ya udah yuk, Ibu-ibu, kita la
Lian berkata dengan suara yang cukup keras hingga mengambil alih atensi orang-orang yang semula sibuk dengan urusan mereka masing-masing.Kini, nyaris semua pasang mata tertuju padanya. Sari hanya bisa melongo melihat apa yang sudah Lian lakukan di tempat umum seperti ini.Sari bangkit, diikuti dengan Damar yang ada di belakangnya. Lian masih menatap tajam ke arah Sari dan secara bergantian menatap ke arah Damar."Mas, apa yang kamu lakukan? Malu didengar orang, Mas!" desis Sari yang jujur saja merasa sangat malu."Kamu malu karena kamu merasa sudah memiliki laki-laki lain sebelum kita resmi bercerai, kan? Kalau aku, untuk apa malu? Aku mengatakan hal yang benar."Sari hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar jawaban Lian. Kedua mata Sari terasa makin lembab mengingat laki-laki di hadapannya, yang dulu pernah begitu ia damba, kini berubah menjadi laki-laki tak berperasaan."Biarin aja kenapa, sih, Lian. Bener kata kamu, tuh. Dia malu karena orang-orang jadi tahu kalau dia itu perempu
Sari tergagap. Meski sedari tadi hal itulah yang ada di dalam pikirannya. Tapi, ia benar-benar tidak menyangka jika Damar akan mengatakan hal itu."M-mas, ka-kamu becanda, kan?"Damar berdehem singkat, ia pun membetulkan posisi duduknya yang tadinya condong ke depan."Tidak, Sari. Untuk yang kedua kalinya aku meminta kamu untuk jadi kekasihku. Tapi, kali ini tolong jangan tolak aku. Aku hanya ingin meminta bantuan kamu. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Maksudku, aku minta kamu untuk jadi pacar pura-puraku."Rasanya jantung Sari nyaris terlepas dari tempatnya. Akhirnya, ia bisa bernapas lega saat Damar mengutarakan niat aslinya untuk menjadikannya seorang kekasih."Maaf, Mas. Tapi, untuk apa?"Sari merasa banyak berhutang budi pada Damar. Jika memang diperlukan dan sangat mendesak, Sari mungkin bersedia menjadi pacar pura-pura Damar. Tapi, tentu saja Sari perlu tahu apa alasannya."Ibuku terus mendesak agar aku segera menikah, Sari. Kamu tahu sendiri, tahun ini usiaku sudah
Sari refleks mendorong tubuh Lian hingga laki-laki tersebut terjatuh dan beruntung, tepat di belakang Lian adalah ranjang dengan ukuran besar. Jadi, tubuhnya hanya terhempas ke atas empuknya kasur."Akh!" Sari memekik sebab bu Tri menarik tangannya dengan kasar. Tak lupa bu Tri juga mencengkeram erat pergelangan tangan Sari hingga wanita itu meringis kesakitan."Buat apa kamu masuk ke kamar ini, wanita gila?!" bentak bu Tri tepat di depan wajah Sari.Kia yang ketakutan langsung memeluk tubuh sang ayah yang kini sudah terduduk. Lian masih sesekali meringis sebab lukanya yang memang terasa nyeri."Bu, Ibu salah paham," ucap Lian mencoba memberi pengertian pada ibunya."Jadi ini pilihan kamu, Mas? Kamu mau pernikahan kita batal, iya?"Ternyata, bu Tri tak datang sendirian ke rumah Lian. Di belakangnya, ada Hesti yang kini menatap nyalang pada Lian dan Sari secara bergantian."Jangan, Hesti! Ibu yakin, ini semua pasti gara-gara wanita gila ini. Pasti Sari yang sudah menghasut Lian agar me
"Sekarang, Kia cerita sama Ibu. Tante Hesti itu jahat gimana sama Kia?" Sari ingin tahu lebih dalam tentang sifat asli Hesti di depan Kia.Mungkin, jika di depan orang dewasa, Hesti akan menjaga sikap. Tapi, di depan anak-anak, biasanya seseorang akan terlihat sifat aslinya."Tante Hesti suka marahin Kia kalau Kia pakai bajunya gak bagus. Katanya Kia kaya Ibu, kampungan. Terus, kalau lagi makan sama-sama ayah, Kia gak boleh minta makanan yang Kia suka. Pokoknya, harus nurut sama tante Hesti. Apalagi kalau gak ada ayah, Kia pernah dicubit gara-gara Kia gak mau habisin makanan Kia."Sari menghela napas berat. Ia tak pernah membayangkan Jika anaknya akan diperlakukan secara kasar oleh orang lain.Selama dalam asuhannya, Sari sebisa mungkin untuk tidak berteriak di depan anaknya. Tapi, justru orang lain yang melakukannya."Ibu, memangnya bener ya, kalau tante Hesti mau jadi ibunya Kia?"Pertanyaan yang sulit untuk Sari jawab. Setahunya, Lian dan Hesti memang sudah merencanakan pernikahan.