Ternyata di sini hujannya tak begitu deras, juga tak terdengar adanya suara petir atau apapun itu. Sepertinya Alettha memang hanya sengaja memancing Bastian untuk datang ke sini. Parasit."Makasih, Bas." Nala tersenyum senang menerima semangkuk mie yang masih mengeluarkan asap tebal, setelahnya Bastian ikut mendudukkan bokong di sampingnya. "hmmm, baunya enak banget."Bastian terkekeh pelan, tangannya pun langsung tergerak untuk mengacak-acak pelan puncak kepala istrinya. "Kamu makannya banyak banget, nanti jadi mampir ke tempat tadi nggak? Beli bakso.""Sebenernya aku tuh udah feeling kalau bakalan habis. Tadi aku mau minta langsung mampir aja pengennya, tapi nggak jadi.""Ya sudah, besok sebelum berangkat kita mampir dulu beli baksonya sebentar, ya?" Nala menganggukkan kepala setuju, perhatiannya kini telah teralihkan kala sumpitnya berhasil menjepit mie tersebut dan segera memakannya.Loh, kok malah seperti ini? Disini kok malah dirinya yang jadi obat nyamuk? Padahal tadi Alettha s
"Harusnya ada yang aku omongil lagi. Biar dia sadar.""Udah, Nal-- kamu nggak lihat gimana dia udah marah banget sama kamu?" Bastian langsung memasangkan sabuk pengaman untuk Nala, mengecup sekilas bibir itu agar sang puan lekas diam.Ah, padahal cuma hal kecil seperti ini, namun berhasil membuat perut Nala dipenuhi oleh kupu-kupu yang beterbangan. Buru-buru ia memalingkan wajahnya ke samping, tak sudi jika Bastian sampai melihat wajahnya yang memerah.Telat, Bastian sudah melihatnya walaupun hanya beberapa detik. Ia memainkan lidahnya di dinding mulut karena terlalu gemas. Menyalakan mesin mobil lalu melajukannya dengan kecepatan sedang, meninggalkan lokasi awal.Masih hujan, tapi tidak selebat tadi. Jarak yang lumayan jauh ternyata memberikan curah hujan yang berbeda. Untung saja tadi ia berhasil mengendalikan diri, memposisikan dirinya dengan benar dengan bantuan alam semesta.Andai saja tadi hujan lebat dengan disertai petir, tentu saja ia tak akan tega membiarkan Alettha sendiria
Kesadaran Nala masih begitu tipis, namun ia dipaksa naik dari alam bawah sadarnya begitu mendengar suara bisikan. Nihil, tetap saja beberapa detik kemudian alam bawah sadar serta mimipi indahnya kembali menyeretnya.Terlalu banyak makan hingga membuatnya tidur kurang dari tengah malam tanpa sempat mengganti pakaiannya, bahkan melupakan rutinitas malamnya untuk menaburkan skincare rutin malamnya.Ada sesuatu yang membungkus lengannya, hingga akhirnya merasakan tubuhnya terangkat. Samar-samar ia mendengar seseorang bicara, sampai akhirnya semua pendengaran itu lenyap kala sesuatu terasa menenangkannya, membuatnya kembali jatih sejatuh-jatuhnya dalam dunia mimpi."Nala, bangun." Tepukan pelan pada permukaan pipinya membuat Nala mengerutkan keningnya, terusik selama beberapa saat sebelum kembali lelap. "hei ... bangun dulu, nanti tidur lagi kalau udah di pesawat."Hah? Sebentar. Suara itu berhasil menembus alam bawah sadar Nala, hingga kemudian ia merasakan tepukan di pipinya terjadi lagi
Entah kapan Bastian mempersiapkan semua ini dengan baik, Nala sendiri tak tau akan hal itu. Keduanya dijemput oleh seorang laki-laki paruh baya dengan senyuman manis, menampakkan gigi putihnya. Ahh, kulitnya tuh eksotis, hitam-hitam manis, sungguh Nala senang sekali melihatnya. Ada aura tersendiri yang memancar dari laki-laki itu.Perjalanan diiringi dengan percakapan ringan yang tentu saja didominasi oleh Bastian dan laki-laki yang baru Nala ketahui namanya Pak Damar. Dari mana suaminya mengenal laki-laki ini? Kok kelihatan akrab sekali?Perjalanan itu harus terhenti sejenak karena perut Nala berontak ingin segera diisi sesuatu, sebuah restoran yang ditemui di pinggir jalan menjadi objek pemberhentian. Aneka olahan Seafood menjadi menu yang dipilih Nala, seperti biasa, dua laki-laki itu juga manut, menuruti si Tuan Putri."Ohh, jadi dulu Pak Damar merantau di Jakarta juga?" Pertanyaan Nala terlontar setelah berhasil menelan habis makanan dalam mulutnya.Restoran ini memang berada di
Karena gorden ditutup dan lampu tidak dinyalakan membuat suasana dalam kamar tampak remang-remang, membuat dua anak manusia yang terbaring di bawah gelungan selimut semakin nyenyak dalam tidurnya.Posisi keduanya seperti janin yang meringkuk, dengan Bastian memeluk Nala dari belakang, menempelkan tubuh keduanya sedekat mungkin.Sayup-sayup Bastian mendengar suara rintihan hujan, membuatnya sedikit membalikkan tubuh dan melihat dari jendela yang tak sepenuhnya tertutup bahwa hujan memang turun."Hujan, ya?""He'em. Udah bangun?"Pertanyaan itu diabaikan Nala, pandangannya langsung beralih pada ponselnya yang tertindih lengannya. Meraihnya dan melihat jam yang telah menunjukkan pukul lima sore, ternyata keduanya tidur dalam durasi yang terbilang lama.Nala merubah posisinya menjadi menghadap suaminya, keduanya bertatapan selama beberapa detik sebelum Bastian yang mengulurkan tangan, menarik tubuh Nala agar lebih dekat dengannya."Tadi Mas lihat di dapur udah disiapin bahan makanan sama
"I-ini Mas yakin? Nanti malah ilfeel, loh?" Sekali lagi Nala bertanya, berharap kali ini suaminya berubah pikiran. Padahal biasanya ia tak tau malu, namun kali ini urat malunya seperti tersambung kembali.Yang ditanya pun menoleh ke arah sumber suara, menghela nafas jengah sebelum kembali berucap, "Yakin. Nggak ada Mas ilfeel kayak gitu.""Ini tempiknya lagi banyak bulunya, loh?""Nggak masalah, semua bentuk tempik udah Mas lihat. Ayo." Bastian menarik pelan tangan Nala, mengarahkan perempuan itu untuk masuk ke dalam kamar mandi. Awalnya memang Nala menahan bobot tubuhnya agar tak terbawa arus Bastian, namun tetap saja akhirnya Bastian bisa membawanya dengan mudah.Kamar mandi dalam kamar ini terbilang cukup luas, meskipun tak seluar kamar mandi di rumah. Di sana ada bath up berukuran besar yang menghadap langsung ke alam terbuka jika tirai kayu dibuka, menyenangkan sekali ketika berendam, tapi mata juga dimanjakan dengan pemandangan alam yang indah ini.Tubuh Nala didudukkan dengan p
Hembusan angin yang masuk melalui celah jendela mampu membuat anak rambut Nala menari-nari di hadapan Bastian. Namun, sama sekali tak bisa membuat keduanya menghentikan aktivitas yang sudah berlangsung selama kurang dari lima menit ini.Tangan Bastian pun tak lagi bisa tinggal diam, bergerak gelisah meraba setiap inci tubuh Nala sementara ciuman keduanya masih tertaut. Suara decapan khas menjadi pengisi suara di ruangan ini.Sampai pada akhirnya ciuman itu harus terlepas kala Nala memukul dada Bastian dengan kepalan tangannya, menciptakan benang saliva diantara keduanya yang pada akhirnya terputus oleh sapuan tangan Bastian."Akh!"Belum sempat nafas Nala kembali normal, ia langsung dibuat terkejut kala Bastian membanting tubuhnya di ranjang, lalu menindih tubuhnya dan melayangkan ciuman pada ceruk lehernya."Eugh." Lenguh Nala kala tangan besar Bastian meremas gundukan sintal miliknya, membuatnya membusungkan dada dan bergerak gelisah.Seolah ingin mempersingkat waktu, Bastian langsu
Nala sudah berbaring tepat di bawah kendali Bastian, tubuh mungil itu terus bergerak gelisah ketika di bawah sana Bastian terus memasukkan dan mengeluarkan jarinya. Basah, hangat, ketat, itulah yang Bastian rasakan."M-mas. Eughhh." Dada Nala membusung, membuat Bastian mendaratkan bibirnya pada dada sintal tersebut, mengecupnya berkali-kali dan meninggalkan jejak kepemilikan di sana. Bibirnya mendarat tepat pada puncak dada Nala, memainkan benda cokelat itu dengan lidah gigitan gemas. "aahhh." Nala mendorong kepala Bastian dengan gelisah.Sial! Rangsangan pada dada dan miliknya di bawah sana benar-benar membuat Nala melayang. Ada rasa aneh yang baru didapatkannya beberapa kali ini atas ajaran Bastian. Rasanya jiwa Nala melayang tinggi, menertawakan raganya yang terus menggeliat bagai cacing kepanasan."M-mas aku mau kel-lu-arghhh.""Iya, sayang, keluarin aja," balas Bastian usai melepaskan bibirnya dari puncak dada Nala. Ia juga merasakan bagaimana dinding vagina Nala berkedut kuat hi