Hembusan angin yang masuk melalui celah jendela mampu membuat anak rambut Nala menari-nari di hadapan Bastian. Namun, sama sekali tak bisa membuat keduanya menghentikan aktivitas yang sudah berlangsung selama kurang dari lima menit ini.Tangan Bastian pun tak lagi bisa tinggal diam, bergerak gelisah meraba setiap inci tubuh Nala sementara ciuman keduanya masih tertaut. Suara decapan khas menjadi pengisi suara di ruangan ini.Sampai pada akhirnya ciuman itu harus terlepas kala Nala memukul dada Bastian dengan kepalan tangannya, menciptakan benang saliva diantara keduanya yang pada akhirnya terputus oleh sapuan tangan Bastian."Akh!"Belum sempat nafas Nala kembali normal, ia langsung dibuat terkejut kala Bastian membanting tubuhnya di ranjang, lalu menindih tubuhnya dan melayangkan ciuman pada ceruk lehernya."Eugh." Lenguh Nala kala tangan besar Bastian meremas gundukan sintal miliknya, membuatnya membusungkan dada dan bergerak gelisah.Seolah ingin mempersingkat waktu, Bastian langsu
Nala sudah berbaring tepat di bawah kendali Bastian, tubuh mungil itu terus bergerak gelisah ketika di bawah sana Bastian terus memasukkan dan mengeluarkan jarinya. Basah, hangat, ketat, itulah yang Bastian rasakan."M-mas. Eughhh." Dada Nala membusung, membuat Bastian mendaratkan bibirnya pada dada sintal tersebut, mengecupnya berkali-kali dan meninggalkan jejak kepemilikan di sana. Bibirnya mendarat tepat pada puncak dada Nala, memainkan benda cokelat itu dengan lidah gigitan gemas. "aahhh." Nala mendorong kepala Bastian dengan gelisah.Sial! Rangsangan pada dada dan miliknya di bawah sana benar-benar membuat Nala melayang. Ada rasa aneh yang baru didapatkannya beberapa kali ini atas ajaran Bastian. Rasanya jiwa Nala melayang tinggi, menertawakan raganya yang terus menggeliat bagai cacing kepanasan."M-mas aku mau kel-lu-arghhh.""Iya, sayang, keluarin aja," balas Bastian usai melepaskan bibirnya dari puncak dada Nala. Ia juga merasakan bagaimana dinding vagina Nala berkedut kuat hi
"Okay, makasih banyak. Bonus gue transfer."Tut!Panggilan pun berakhir, Bastian menatap lurus ke arah langit yang tampak cerah. Jutaan bintang bertabur di sana, menemani si raja malam. Dihisapnya kuat-kuat rokok yang terjepit diantara jari telunjuk dan jempolnya, menghembuskan asap rokok tersebut dengan perlahan sebelum putung rokok tersebut dimatikan di atas asbak.Ada senyuman yang menggambarkan kebahagiaan tersendiri untuk Bastian, dirinya berhasil memerawani Nala. Iya, dia berhasil menjalankan tugasnya sebagai suami dengan sempurna, akhirnya ia berani mengambil keputusan besar itu."Setelah ini Mas janji sama kamu, Nala. Mas bakalan berjuang lebih keras buat masukin kamu sepenuhnya di hati Mas." Bastian menyentuh dadanya sendiri, menepuknya pelan. "hati ini cuma boleh diisi dan dipenuhi sama kamu, sayang. Cuma kamu."Merasa sudah puas menghirup udara segar, Bastian pun memutuskan untuk kembali masuk ke dalam villa. Tak lupa ia juga mematikan semua lampu yang dirasa tak perlu diny
Setelah menikmati sesi berendam dan sekalian mandi pagi, Nala merasa tubuhnya jauh lebih segar. Nyeri dan ngilu pada area kewanitaannya pun berkurang banyak."Mas." Bastian menoleh ke arah sumber suara, di mana Nala yang tengah menurunkan bagian bawah dress yang tadinya sempat terlipat. "kok yang dibawa baju-baju ginian, sih? Harusnya kayak yang biasa aku pakai aja.""Iya, maaf. Tadinya mau bawa itu, tapi terlalu makan tempat karena jadi banyak yang musti dibawa."Mau marah dan ngomel bagaimana juga, tidak akan membuat dress yang ada di koper berubah menjadi kaos dan celana jeans kesukaannya. Terlalu membuang tenaga, Nala pun hanya mengangguk pasrah. Kakinya melangkah menuju balkon kamar, menjelang pagi, udara masih begitu dingin.Senyumannya terbit kala netra cokelatnya menangkap bintang kejora yang ada di bagian barat, bintang itu bersinar paling terang. Hanya ia yang masih tetap tinggal bersama dengan bulan, kala jutaan bintang-bintang telah menghilang dari langit.Nala tersentak k
Tepat sekali! Satu bidikan yang pas menangkap potret Bastian mencium bibir Nala dengan latar keindahan sunrise di pantai.Beberapa detik ciuman itu bertahan, karena Nala tak memberi balasan akan ciuman tersebut, Bastian pun berinisiatif untuk melepaskannya. Belum benar-benar terlepas, Nala langsung mengalungkan tangannya pada leher sang suami. Memutar kepalanya ke kiri dan mulai menyesap bibir tipis Bastian, memberikan lumatan-lumatan serta gigitan gemas di sana.Tentu saja Bastian senang bukan main, senyumnya terbit disela-sela ciuman kali ini. Kameranya langsung ia lepaskan dari genggaman tangan, beralih menahan tengkuk sang istri untuk memperdalam ciumannya.Kepala keduanya berputar ke kiri dan kanan guna mencari titik kenikmatan yang pas. Jika dipikir-pikir adegan kali ini mirip dengan scene dalam drakor atau film romantis lainnya.Beradu bibir dengan background suasana pantai di pagi hari dan soundtrack suara gemuruh ombak yang terus datang dan pergi ditambah kicauan burung yang
"Mas, kamu yakin kita pulang sekarang? Kita baru sampai kemarin, loh?"Tanpa menghentikan kegiatannya yang tengah memasukkan semua pakaian ke dalam kopernya, Bastian berkata, "Iya, nanti kita liburan lagi. Mas beneran harus pulang, Teta sakit dan kamu tau sendiri kan dia nggak punya siapa-siapa lagi selain Mas? Jadi, kita pulang dulu, ya."Nala mengerjabkan matanya pelan. Suaminya ini terlalu perduli dengan orang lain lantaran orang itu adalah masa lalunya atau memang sifat asli Bastian yang juga begini kepada orang lain. "Dia udah gede, Mas. Dia bisa pergi ke dokter sendiri. Ngapain Mas yang repot kayak gini, sih? Mas masih cinta ya sama dia?"Berhubung dengan kegiatan berkemasnya yang sudah selesai, Bastian pun menegakkan kembali tubuhnya dan menghadap Nala. "Dia tetep perempuan, Nala. Kamu bisa nggak sih jangan tanya yang aneh-aneh dulu, nggak tepat waktunya. Sekarang ayo, kita pulang." Bastian langsung menarik tangan Nala dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya telah bers
Saja menginjakkan kakinya di Jakarta, Bastian langsung sibuk merogoh ponselnya, menghubungi seseorang yang menjadi alasan utamanya untuk kembali ke ibu kota."Iya, Bas?"Suara lemah dari seorang di seberang sana langsung menyapa rungu Bastian, kakinya masih sibuk melangkah dengan pandangan lurus ke depan, sebelum menoleh ke sana ke mari guna mencari taksi. "Kamu di mana? Gue udah pulang ke Jakarta, parah nggak sakitnya?""Masih sama kayak dulu, Bas. Sakit banget.""Tunggu, gue jalan ke sana."Benda pipih itu kembali di kantongi, ketika pandangan matanya berhasil menemukan taksi kosong di pinggir jalan. Tanpa menunggu lama lagi ia pun masuk ke dalam."Pak apartmen Bulan."Laki-laki paruh baya yang telah duduk di kursi kemudi itupun lekas menganggukkan kepalanya, sebelum menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang.Sepanjang perjalanan, kaki Bastian terus bergerak gelisah. Jujur, hatinya tak tenang dengan pikiran terus tertuju pada Teta. Rahangnya beberapa
Ada akhirnya Nala memustuskan untuk pulang keesokan harinya. Tentu saja liburan kali ini tak lagi menarik untuknya, bahkan selepas kepulangan Bastian saja Nala terus menangis di dalam kamar. Kini, pada akhirnya Nala sudah berada dalam kondisi tak lagi ingin menangis, sudah lelah rasanya dan tentu saja karena pasokan air matanya telah habis."Makasih, Pak.""Sama-sama, titip salam buat Bastian, ya, kok pulang nggak bilang-bilang dulu." Nala hanya tersenyum menanggapinya.Setelahnya Nala pun melangkahkan kaki meninggalkan laki-laki itu, sebentar lagi penerbangannya akan segera tiba. Tentu saja Nala tak ingin kejadian di Bali waktu itu terulang lagi, apalagi saat ini mood-nya jauh lebih buruk dari pada saat itu.Setelah mendudukkan bokongnya di kursi pesawat, Nala pun langsung memejamkan matanya, berharap kantuknya akan segera datang agar otaknya kembali bisa beristirahat. Semoga selamat sampai tujuan."Elo?"Belum sampai satu menit Nala memejamkan matanya, rungunya mendengar suara yang
Tiga tahun kemudian"Mas, gendongg." Rengek Saluna, bocah yang hampir menginjak usia pendidikan pertama itu merengek pada sang kakak, tangannya terbentang luas meminta agar segera digendong.Bastian dan Nala yang sama-sama menuruni anak tangga dan melihat tingkah putrinya itu hanya menggelengkan kepala. Kedekatan antara Adimas dan Saluna sudah bisa diibaratkan seperti lem, saling menempel, meskipun lebih tepatnya Saluna yang selalu ingin ikut dengan kakaknya.Merogoh ponselnya dalam saku celana, Nala pun mengambil potret buah hatinya itu. Dimana Saluna yang masih merentangkan tangannya, sementara Adimas sengaja menggoda adiknya. "Adek, kan udah gede. Berat kalau digendong, kasihan Mas-nya.""Aaaa. Adek mau digendong Mas." Tak terima ditegur begitu saja, bocah kecil ini melipat kedua tangannya di depan dada, persis seperti orang yang tengah merajuk. "Mas," panggil Saluna pada Adimas dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.Runtuh sudah pertahanan Adimas dalam misi mengganggu sang adi
Sesuai rencana, hari ini keluarga kecil Bastian dan Nala mengadakan liburan singkat. Dufan, adalah tempat yang dipilih keluarga kecil ini.Sepanjang perjalanan, Adimas kecil yang duduk di belakang lebih banyak diam, bahkan hanya sesekali saja menimpali pertanyaan yang Nala atau Bastian lontarkan, mungkin karena masih belum nyaman."Mas, nanti mau naik apa?" tanya Nala yang langsung menoleh ke belakang, terlihat antusias sekali mengajak bicara anak laki-lakinya ini.Si kecil yang tadinya fokus memandang ke arah luar jendela pun lekas menoleh ke arah Nala. "Terserah aja, Ma. Adek mau main apa?""Adek nanti naik yang puter-puter aja sama Mama. Nanti Mas main sama Papa, ya. Seneng-seneng, biasanya Mas kalau sama papa Garren naik apa?""Biasanya naik bumcars, Ma.""Oke. Nanti naik sama Papa." Sahut Bastian yang membuat percakapan ini berakhir.Sesampainya di lokasi tujuan, dengan sigap Bastian menggandeng tangan kecil Adimas disisi kanannya, sementara tangan kirinya dikenakan untuk menyang
Hari ini Bastian sudah kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Bastian sengaja memberi jeda untuk Adimas beradaptasi di rumah ini terlebih dahulu beberapa hari sebelum membiarkan anak kecil itu kembali beraktivitas di sekolah.Dibandingkan kemarin, hari ini Adimas lebih banyak makan. Mungkin lebih merasa nyaman berada di sini perlahan-lahan, meskipun tak jarang juga bocah kecil ini ragu-ragu bersuara atau lebih memilih memendam diri.Seperti saat ini, saat Nala tengah sibuk mengecek Saluna. Adimas kecil yang berada di samping tampak seperti ingin mrnawarkan bantuan, tapi tak berani bersuara."Mas Dimas, boleh minta tolong, nggak?""Boleh." Langsung saja anak kecil itu membalasnya dengan penuh semangat.Tak dapat Nala menyembunyikan senyuman tipisnya, terlebih dahulu ia mengusap sayang puncak kepala anak laki-lakinya. "Tolong ambilin pempers adek di sana, Mas." Nala menunjuk pada pojok ruangan. Dengan cepat Adimas langsung beranjak dari posisi duduknya dan setengah berlari menuju area
"Ren, lo pasti bisa, Ren. Percaya sama gue." Bastian mencengkeram pelan punggung tangan Garren. Mayakinkan laki-laki itu jika semuanya akan baik-baik saja.""Huwaaa. Pa, Papa ayo besok main, Pa. Pengen main bola." Suara isakan tangis terselip dalam rengekan anak laki-laki berusia sekitar lima tahun itu. Matanya memerah dengan air mata yang terus membasahi pipi tembamnya, ingusnya bahkan sudah meleber ke area pipi. "ayo, Pa, bangun. Kita pulang, nggak suka di sini." Tangan kecil itu terus berusaha mengguncang tubuh besar yang tengah berbaring di depannya ini.Bangunan rumah sakit menjadi tempat di mana do'a tulus sering dilangitkan dengan sepenuh hati, bahkan lebih tulus dan dalam dari pada di rumah ibadah sekalipun.Nala sendiri tak dapat menahan bendungan air matanya melihat anak kecil bernama Adimas itu terus merengek. Menarik tangan papanya, seakan ingin cepat membawa laki-laki itu pergi dari tempat ini.Melihat bagaimana reaksi anak semata wayangnya membuat Garren tertawa pelan, t
Sentuhan terakhir, Nala menambahkan bando manis untuk putri kecilnya. Disambut dengan gelak tawa dan tubuh mungil itu yang meronta-ronta, terlihat senang sekali."Nah, anak Mama udah cantik banget." Tak rela jika harus melewatkannya begitu saja, Nala langsung mencium wajah putrinya bertubi-tubi, gemas sekali rasanya. Tangannya langsung terulur untuk meraih kasar ponselnya di atas nakas, setiap momen harus diabadikan. Nala mengambil beberapa gambar mengemaskan Saluna, sebelum membawa gadis itu dalam gendongannya, mengajak foto bersama.Puas dengan banyak gambar yang berhasil diambilnya, Nala pun langsung meraih tas dan membawa putrinya pergi. Baru saja Dewa mengatakan sudah hampir sampai, Dina tak bisa menjemputnya karena berangkat bersama Argi. Terlalu mutar jauh jika menjemputnya terlebih dahulu.Timingnya pas sekali. Baru saja Nala selesai dengan menutup pintu, mobil putih itu berhenti tepat di depan rumahnya. Dengan senyuman lebar, Nala yang menggendong Saluna menghadap depan itupu
"Mbrrr hik hik hik.""Loh! Kok nyembur." Nala pura-pura kaget, melihat putri kecilnya yang menyemburkan air susu dimulutnya. Bukannya takut, gadis mungil ini justru tertawa lebar menunjukkan gusi lucunya sembari bertepuk tangan. Mamanya terlihat menggemaskan di matanya."Abmrrrr."Nala meletkkan putri kecilnya di atas ranjang, tak lupa memberikan mainan gigit-gigitan padanya. Langsung saja Saluna memainkannya, menggigit-gigitnya. Tak terasa gadis kecil ini akan segera memasuki fase pertumbuhan gigi.Tak berselang lama Bastian pun datang dengan handuk kecil di kepalanya, menggosok-gosoknya agar rambut basahnya lekas mengering.Melihat buah hatinya berbaring riang di atas ranjang membuat Bastian langsung melompat menyusul putrinya, melemparkan asal handuk kecil yang tadi dikenakannya. Tanpa permisi laki-laki beranak satu itupun langsung mencium wajah putri kecilnya bertubi-tubi. "Ih anak papa lagi apa, emesnya. Emesnya anak Papa. Mwah mwah mwah.""Hek hek." Bibir Saluna langsung mengeru
"Akhhh. Mas!" Pekik Nala yang merasakan sakit teramat, tangannya dengan ringan langsung menjambak surai tebal Bastian.Sakit, tapi Bastian sadar yang dirasakannya saat ini tak lebih sakit dari yang tengah dirasakan sang istri dalam memperjuangkan kelahiran buah hati yang diprediksi berjenis kelamin perempuan ini."Sayang, kamu pasti kuat. Sebentar lagi Adek bayi lahir, Sayang. Kita bisa lihat dia yang selama ini nendang-nendang terus." Berbagai kata penyemangat selalu Bastian lontarkan. Tangannya pun tak pernah lepas menggenggam tangan kecil istrinya."Oekkk ... oekkk ... Oekkk."Setelah penantian panjang mulai dari kontraksi, pembukaan, hingga proses lahiran yang begitu menyakitkan untuk Nala. Akhirnya suara tangisan menggelengar buah hatinya pun terdengar. Baik Bastian maupun Nala sendiri pada akhirnya bisa bernafas lega. Bukan hanya Nala saja yang bermandikan peluh, melainkan Bastian juga. Laki-laki ini tak kalah takutnya, dalam hatinya pun tak henti-hentinya merapalkan do'a untuk
Kurang lebih dua tahun ini Bastian benar-benar berada di samping Nala selalu, ia tak lagi mengambil project, hanya mengandalkan hasil dari studio miliknya. Tak terlalu banyak memang, tapi masih lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama ini.Entah berapa banyak Bastian menahan diri dan sesak selama ini, kala Nala sama sekali tak memberinya kepastian. Bahkan beberapa kali Nala berniat mengakhiri hidup, itulah titik paling menyakitkan dihidup Bastian. Sehancur itulah mental Nala. Beruntung, sedikit demi sedikit mental Nala mulai kembali pulih, meskipun masih belum menjadi Nala sepenuhnya."Hati-hati, Sayang." Bastian menyodorkan secangkir cokelat hangat yang langsung diterima oleh Nala.Mendudukkan bokongnya di samping sang puan, keduanya sama-sama menikmati suasana malam hari ini. Angin berhembus cukup kuat hingga membuat rambut keduanya tergerak-gerak, mengikuti arah pandang Nala, Bastian menyandarkan tubuhny pada sandaran kursi."Bagus banget ya bintangnya, banyak. Kesukaan
"Sayang." Bastian menatap nanar perempuan yang kini tengah duduk di kursi panjang dengan pandangan kosong, tak tau apa yang tengah menjadi objek penglihatannya.Sakit? Tentu saja hati Bastian terasa dicabik-cabik melihat kondisi istrinya yang seperti itu. Saat ini Nala lebih terlihat seperti raga tanpa jiwa, entah kemana menghilangnya jiwa itu.Tepukan pelan pada bahunya langsung membuat Bastian menoleh ke samping, terkejut melihat seseorang di sampingnya, buru-buru tangannya tergerak untuk menghapus bulir air matanya. Kemudian terkekeh pelan, tak ingin suasana menjadi canggung."Nggak apa, masih banyak waktu. Mbak Nala pasti bisa sembuh, perlahan-lahan.""Apa istriku masih bisa sembuh?" tanyanya mengingat hingga saat ini Nala masih sering bungkam, enggan mengatakan aapapun. Bahkan, beberapa kali perempuan itu juga menangis dalam diam, memukul-mukul kepalanya sendiri. Terlalu berisik, katanya.Dengan mantap laki-laki disamping itupun menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Lagi pula ini