"Yakin mau nginep sini?" tanya Bella memastikan. Sebenarnya tak masalah jika Nala benar-benar mau menginap di sini, tapi, mengingat masa lalu keduanya agaknya tak mungkin keduanya menjadi dekat hanya karena telah berbagi cerita selama dipenerbangan.Yang ditanya pun langsung menoleh ke arah sumber suara. "Ya, sebulan.""Lama banget, tai." Meskipun mengomel, tapi Bella langsung menekan beberapa digit sebelum pintu apartmennya terbuka.Nala mengikuti langkah kaki perempuan di depannya ini, memasuki apartment yang terbilang cukup luas, apalagi hanya dihuni oleh satu orang.Saat memasuki apart Bella, pandangan mata Nala tak pernah berhenti berkeliling. Semuanya terlihat bersih dan rapi, dapat Nala tebak jika sosok Bella ini menyukai pekerjaannya, menjadi seorang model terkenal.Ahh, rupanya bakatnya ini sudah terbentuk dari lama. Netra cokelat Nala melihat beberapa potret saat Bella mengenakan pakaian sekolah, sepertinya tengah menjadi model cilik dari produk tas punggung. Wajahnya masih
"Eugh." Lenguh Nala sembari menggeliat pelan, kelopak matanya perlahan mulai terbuka, hingga warna putih langit-langit kamar menjadi yang pertama kali dilihatnya. Suara dengkuran halus dengan tangan besar yang melingkar di perutnya membuat Nala lekas menoleh ke arah sumber suara.Iya, itu adalah Bastian, suaminya. Tengah tertidur pulas menghadapnya, sementara tangan dan kakinya menumpang di tubuhnya, seperti tengah memeluk guling. Senyuman Nala langsung mengambang melihat pemandangan indah ini, ia menyingkirkan tangan dan kaki Bastian dengan perlahan, dilanjut dengan mengubah posisinya menjadi miring, berhadapan dengan sang suami."Suamiku ganteng banget." Jari telunjuk kecil itu tergerak untuk menyentuh kening Bastian, menyingkirkan anak rambut yang mengganggu pemandangannya. Berlanjut turun menyusuri pipi itu hingga akhirnya berhrnti pada rahang yang tampak menonjol tersebut, inilah salah satu daya pikat seorang Bastian.Tak cukup puas dengan itu, tangan Nala kembali menelusuri area
Entah sudah berapa banyak panggilan dan pesan dari Bastian yang Nala abaikan. Dirinya masih belum siap untuk bertemu dengan laki-laki itu, setidaknya Bastian harus menunggu sampai kepala Nala terasa dingin.Panas dan kesal melebur menjadi satu, Nala yang awalnya bodo amat dengan ponselnya yang terus berdering pun mulai risih. Suasana di dalam kamar pun mendadak tak lagi terasa enak, padahal ini sudah lebih baik dari pada sebelumnya. Tak ada lagi yang berantakan dan berdebu, seharian ini Nala benar-benar menyibukkan diri.Saat tangannya hampir menyentuh benda pipih tersebut, mendadak perut Nala keroncongan. Mengurungkan niatnya untuk mematikan ponsel, Nala lebih memilih untuk keluar dari kamar dengan membiarkan ponselnya terus berdering.Sunyi, itulah yang Nala rasakan setelah keluar dari kamarnya. Melangkahkan kaki mengikuti feeling-nya menuju dapur, pandangan mata Nala tak lepas dari segala macam perabot dan interior yang dilewatinya. Bella benar-benar pandai, pilihannya tampak bagus
Sungguh, Bastian ingin sekali membelah dirinya menjadi dua bagian. Baru saja ia mendapatkan kabar jika Nala sudah pulang, membuat Bastian buru-buru pulang ke rumah agar bisa langsung meminta maaf dan bicara berdua dengan Nala.Sepanjang perjalanan pulang tadi, Bastian terus merapalkan kata maaf agar saat di depan Nala nanti dirinya tak kaku lagi. Namun, sesampainya di rumah ia malah tak mendapati siapapun di dalam sana, rumahnya dalam kondisi yang sama seperti saat terkahir ditinggalkan.Puluhan panggilan yang dilakukannya tak kunjung mendapatkan jawaban, bahkan berapa banyak pesan yang dikirimnya juga tak kunjung mendapatkan repon dari Nala. Sungguh, ini benar-benar membuatnya gila, di mana Nala sekarang ini? Perempuan itu menjadi tanggungjawabnya, tapi ia malah tak tau sama sekali keberadaan perempuan itu."Nala, ayo angkat. Mas mohon."Masih dengan harapan Nala mau berbaik hati mengangkat panggilannya, meskipun sudah hampir putus asa Bastkan dibuatnya. Tubuhnya selalu gelisah, bahk
"Nghh--"Berat, itulah yang Bastian rasakan pada kepalanya. Mengerjabkan matanya pelan sembari merubah posisinya menjadi duduk, Bastian memukul kepalanya sendiri menggunakan kepalan tangannya. Menggelengkannya beberapa kali, berharap agar rasa pening yang dirasakannya segera luruh."Agh--sakit."Kaku, tubuh Bastian terasa kaku dan tegang. Diusaknya matanya menggunakan kedua telapak tangannya, sebelum diguyarkannya ke belakang rambutnya yang sudah menjuntai panjang.Netranya yang masih terasa berat itu berkeliling, ini asing untuknya, bukan kamarnya macam biasa. Butuh beberapa detik Bagi Bastian untuk menyadari dimana dirinya saat ini."Ah."Bastian terkejut bukan main mendengar suara barusan, pandangannya langsung teralih ke samping yang juga diiringi oleh pergerakan dari sisi sampingnya.Eh, kok ada perempuan lain? Bastian hampir berteriak saat melihat tubuh telanjang perempuan itu, sampai netranya tanpa sengaja menangkap presensi dirinya yang juga tanpa pakaian. Ah, Bastian teringat
TakkSendok yang sejak tadi dipegang Alettha itupun langsung jatuh begitu mendengar ucapan Bastian barusan. Tanpa permisi laki-laki di depannya itu terlihat buram di matanya, mulutnya yang audah terbuka itupun juga tampak kesusahan membuka suara."Gue harap lo ngertiin posisi gue, ya, Ta.""B-bas?" Akhirnya kata itu berhasil keluar dari mulut Alettha setelah susah payah melewati laringnya yang terasa menyempit. "a-apa?""Sorry, Ta. Gue harap lo ngerti dan hargai keputusan gue." Bastian pun langsung bangkit dari posisinya. Air mata perempuan adalah kelemahannya, melihat Alettha yang hampir menangis membuat pertahannya mulai runtuh. Oleh sebab itu, sebelum semuanya benar-benar runtuh, akan lebih baik jika dirinya segera pergi dari sini."L-lo jahat." Ucapan Alettha barusan berhasil mengalihkan atensi Bastian. Lihat, air mata Alettha sudah turun, membuat dadanya terasa sesak. "gue ada satu permintaan, Bas."Kening Bastian berkerut mendengar kalimat terakhir Alettha yang terdengar menarik
"Kenapa?"Bastian menenggak minuman yang ada di tangannya hingga menyisakan setengahnya saja. "Ahhh." Diletakkannya kembali benda dengan pinggiran berembun tersebut ke atas meja, sebelum pandangannya beralih pada laki-laki di sampingnya ini. "mau curhat."David pun menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, tak lupa juga menaikkan satu kakinya agar lebih nyaman. "Paan?""Gue udah akhiri hubungan gue sama Teta."Yang diajak bicara pun terkekeh pelan, agak lucu temannya ini. "Emangnya ada hubungan apaan kalian selama ini? Lo selingkuh?""Nggak ada, ngawur! Lo paham maksud gue."Inilah hari yang ditunggu-tunggu oleh David, Bastian, dan juga Nala, di mana Bastian akhirnya memperjelas batasan hubungannya dengan Alettha. Meskipun termasuk telat sekali, tapi akhirnya David merasa senang oleh keberanian temannya itu."Ya, baguslah. Terus apa lagi?"Bastian menghela nafasnya panjang, sebelum menghembuskannya perlahan. "Gue mau ngomong sama Nala yang sebenarnya, soal alasan kenapa gue nikahin d
Seminggu kemudianSudah dua hari Bastian disibukkan dengan pekerjaannya, sekarang sudah memasuki musim orang nikah dan juga acara mahasiswa yang tengah melangsungkan wisuda, belum lagi Bastian dan rekan-rekan sering ditawari job di sekolah-sekolah. Tentu saja tawaran-tawaran ini tak akan ditolak.Teman-teman Bastian yang lain termasuk David sudah dalam kondisi yang bugar, mungkin efek dari liburan yang diberikan seminggu yang lalu. Berbeda dari Bastian yang tampak kusut, tak ada liburan yang berarti untuknya. Sejak hari itu Bastian hanya mengurung diri di rumah, setia berada di samping ponselnya agar saat Nala menghubunginya, ia bisa langsung siap.Perihal Alettha, perempuan itu juga banyak menghubungi Bastian, hanya saja tak diperdulikan lagi oleh Bastian. Hari-harinya dipenuhi dengan harapan kabar dari Nala."Bas, besok sampai seminggu ke depan ada jadwal buat photoshoot produk baru si Berry. Rancangan dia lagi naik daun, diselingi juga sama beberapa produk skincare, make-up, sama p
Tiga tahun kemudian"Mas, gendongg." Rengek Saluna, bocah yang hampir menginjak usia pendidikan pertama itu merengek pada sang kakak, tangannya terbentang luas meminta agar segera digendong.Bastian dan Nala yang sama-sama menuruni anak tangga dan melihat tingkah putrinya itu hanya menggelengkan kepala. Kedekatan antara Adimas dan Saluna sudah bisa diibaratkan seperti lem, saling menempel, meskipun lebih tepatnya Saluna yang selalu ingin ikut dengan kakaknya.Merogoh ponselnya dalam saku celana, Nala pun mengambil potret buah hatinya itu. Dimana Saluna yang masih merentangkan tangannya, sementara Adimas sengaja menggoda adiknya. "Adek, kan udah gede. Berat kalau digendong, kasihan Mas-nya.""Aaaa. Adek mau digendong Mas." Tak terima ditegur begitu saja, bocah kecil ini melipat kedua tangannya di depan dada, persis seperti orang yang tengah merajuk. "Mas," panggil Saluna pada Adimas dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.Runtuh sudah pertahanan Adimas dalam misi mengganggu sang adi
Sesuai rencana, hari ini keluarga kecil Bastian dan Nala mengadakan liburan singkat. Dufan, adalah tempat yang dipilih keluarga kecil ini.Sepanjang perjalanan, Adimas kecil yang duduk di belakang lebih banyak diam, bahkan hanya sesekali saja menimpali pertanyaan yang Nala atau Bastian lontarkan, mungkin karena masih belum nyaman."Mas, nanti mau naik apa?" tanya Nala yang langsung menoleh ke belakang, terlihat antusias sekali mengajak bicara anak laki-lakinya ini.Si kecil yang tadinya fokus memandang ke arah luar jendela pun lekas menoleh ke arah Nala. "Terserah aja, Ma. Adek mau main apa?""Adek nanti naik yang puter-puter aja sama Mama. Nanti Mas main sama Papa, ya. Seneng-seneng, biasanya Mas kalau sama papa Garren naik apa?""Biasanya naik bumcars, Ma.""Oke. Nanti naik sama Papa." Sahut Bastian yang membuat percakapan ini berakhir.Sesampainya di lokasi tujuan, dengan sigap Bastian menggandeng tangan kecil Adimas disisi kanannya, sementara tangan kirinya dikenakan untuk menyang
Hari ini Bastian sudah kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Bastian sengaja memberi jeda untuk Adimas beradaptasi di rumah ini terlebih dahulu beberapa hari sebelum membiarkan anak kecil itu kembali beraktivitas di sekolah.Dibandingkan kemarin, hari ini Adimas lebih banyak makan. Mungkin lebih merasa nyaman berada di sini perlahan-lahan, meskipun tak jarang juga bocah kecil ini ragu-ragu bersuara atau lebih memilih memendam diri.Seperti saat ini, saat Nala tengah sibuk mengecek Saluna. Adimas kecil yang berada di samping tampak seperti ingin mrnawarkan bantuan, tapi tak berani bersuara."Mas Dimas, boleh minta tolong, nggak?""Boleh." Langsung saja anak kecil itu membalasnya dengan penuh semangat.Tak dapat Nala menyembunyikan senyuman tipisnya, terlebih dahulu ia mengusap sayang puncak kepala anak laki-lakinya. "Tolong ambilin pempers adek di sana, Mas." Nala menunjuk pada pojok ruangan. Dengan cepat Adimas langsung beranjak dari posisi duduknya dan setengah berlari menuju area
"Ren, lo pasti bisa, Ren. Percaya sama gue." Bastian mencengkeram pelan punggung tangan Garren. Mayakinkan laki-laki itu jika semuanya akan baik-baik saja.""Huwaaa. Pa, Papa ayo besok main, Pa. Pengen main bola." Suara isakan tangis terselip dalam rengekan anak laki-laki berusia sekitar lima tahun itu. Matanya memerah dengan air mata yang terus membasahi pipi tembamnya, ingusnya bahkan sudah meleber ke area pipi. "ayo, Pa, bangun. Kita pulang, nggak suka di sini." Tangan kecil itu terus berusaha mengguncang tubuh besar yang tengah berbaring di depannya ini.Bangunan rumah sakit menjadi tempat di mana do'a tulus sering dilangitkan dengan sepenuh hati, bahkan lebih tulus dan dalam dari pada di rumah ibadah sekalipun.Nala sendiri tak dapat menahan bendungan air matanya melihat anak kecil bernama Adimas itu terus merengek. Menarik tangan papanya, seakan ingin cepat membawa laki-laki itu pergi dari tempat ini.Melihat bagaimana reaksi anak semata wayangnya membuat Garren tertawa pelan, t
Sentuhan terakhir, Nala menambahkan bando manis untuk putri kecilnya. Disambut dengan gelak tawa dan tubuh mungil itu yang meronta-ronta, terlihat senang sekali."Nah, anak Mama udah cantik banget." Tak rela jika harus melewatkannya begitu saja, Nala langsung mencium wajah putrinya bertubi-tubi, gemas sekali rasanya. Tangannya langsung terulur untuk meraih kasar ponselnya di atas nakas, setiap momen harus diabadikan. Nala mengambil beberapa gambar mengemaskan Saluna, sebelum membawa gadis itu dalam gendongannya, mengajak foto bersama.Puas dengan banyak gambar yang berhasil diambilnya, Nala pun langsung meraih tas dan membawa putrinya pergi. Baru saja Dewa mengatakan sudah hampir sampai, Dina tak bisa menjemputnya karena berangkat bersama Argi. Terlalu mutar jauh jika menjemputnya terlebih dahulu.Timingnya pas sekali. Baru saja Nala selesai dengan menutup pintu, mobil putih itu berhenti tepat di depan rumahnya. Dengan senyuman lebar, Nala yang menggendong Saluna menghadap depan itupu
"Mbrrr hik hik hik.""Loh! Kok nyembur." Nala pura-pura kaget, melihat putri kecilnya yang menyemburkan air susu dimulutnya. Bukannya takut, gadis mungil ini justru tertawa lebar menunjukkan gusi lucunya sembari bertepuk tangan. Mamanya terlihat menggemaskan di matanya."Abmrrrr."Nala meletkkan putri kecilnya di atas ranjang, tak lupa memberikan mainan gigit-gigitan padanya. Langsung saja Saluna memainkannya, menggigit-gigitnya. Tak terasa gadis kecil ini akan segera memasuki fase pertumbuhan gigi.Tak berselang lama Bastian pun datang dengan handuk kecil di kepalanya, menggosok-gosoknya agar rambut basahnya lekas mengering.Melihat buah hatinya berbaring riang di atas ranjang membuat Bastian langsung melompat menyusul putrinya, melemparkan asal handuk kecil yang tadi dikenakannya. Tanpa permisi laki-laki beranak satu itupun langsung mencium wajah putri kecilnya bertubi-tubi. "Ih anak papa lagi apa, emesnya. Emesnya anak Papa. Mwah mwah mwah.""Hek hek." Bibir Saluna langsung mengeru
"Akhhh. Mas!" Pekik Nala yang merasakan sakit teramat, tangannya dengan ringan langsung menjambak surai tebal Bastian.Sakit, tapi Bastian sadar yang dirasakannya saat ini tak lebih sakit dari yang tengah dirasakan sang istri dalam memperjuangkan kelahiran buah hati yang diprediksi berjenis kelamin perempuan ini."Sayang, kamu pasti kuat. Sebentar lagi Adek bayi lahir, Sayang. Kita bisa lihat dia yang selama ini nendang-nendang terus." Berbagai kata penyemangat selalu Bastian lontarkan. Tangannya pun tak pernah lepas menggenggam tangan kecil istrinya."Oekkk ... oekkk ... Oekkk."Setelah penantian panjang mulai dari kontraksi, pembukaan, hingga proses lahiran yang begitu menyakitkan untuk Nala. Akhirnya suara tangisan menggelengar buah hatinya pun terdengar. Baik Bastian maupun Nala sendiri pada akhirnya bisa bernafas lega. Bukan hanya Nala saja yang bermandikan peluh, melainkan Bastian juga. Laki-laki ini tak kalah takutnya, dalam hatinya pun tak henti-hentinya merapalkan do'a untuk
Kurang lebih dua tahun ini Bastian benar-benar berada di samping Nala selalu, ia tak lagi mengambil project, hanya mengandalkan hasil dari studio miliknya. Tak terlalu banyak memang, tapi masih lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama ini.Entah berapa banyak Bastian menahan diri dan sesak selama ini, kala Nala sama sekali tak memberinya kepastian. Bahkan beberapa kali Nala berniat mengakhiri hidup, itulah titik paling menyakitkan dihidup Bastian. Sehancur itulah mental Nala. Beruntung, sedikit demi sedikit mental Nala mulai kembali pulih, meskipun masih belum menjadi Nala sepenuhnya."Hati-hati, Sayang." Bastian menyodorkan secangkir cokelat hangat yang langsung diterima oleh Nala.Mendudukkan bokongnya di samping sang puan, keduanya sama-sama menikmati suasana malam hari ini. Angin berhembus cukup kuat hingga membuat rambut keduanya tergerak-gerak, mengikuti arah pandang Nala, Bastian menyandarkan tubuhny pada sandaran kursi."Bagus banget ya bintangnya, banyak. Kesukaan
"Sayang." Bastian menatap nanar perempuan yang kini tengah duduk di kursi panjang dengan pandangan kosong, tak tau apa yang tengah menjadi objek penglihatannya.Sakit? Tentu saja hati Bastian terasa dicabik-cabik melihat kondisi istrinya yang seperti itu. Saat ini Nala lebih terlihat seperti raga tanpa jiwa, entah kemana menghilangnya jiwa itu.Tepukan pelan pada bahunya langsung membuat Bastian menoleh ke samping, terkejut melihat seseorang di sampingnya, buru-buru tangannya tergerak untuk menghapus bulir air matanya. Kemudian terkekeh pelan, tak ingin suasana menjadi canggung."Nggak apa, masih banyak waktu. Mbak Nala pasti bisa sembuh, perlahan-lahan.""Apa istriku masih bisa sembuh?" tanyanya mengingat hingga saat ini Nala masih sering bungkam, enggan mengatakan aapapun. Bahkan, beberapa kali perempuan itu juga menangis dalam diam, memukul-mukul kepalanya sendiri. Terlalu berisik, katanya.Dengan mantap laki-laki disamping itupun menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Lagi pula ini