Rasa khawatir yang sejak tadi rasakan Nala mendadak pudar kala membuka sebuah pesan yang baru saja masuk dalam ponselnya.(Pict.Sorry, Bastian lagi ada di sini nemenin gue. Lo sendiri dulu, ya malam ini.)Lemas, otot-ototnya mendadak terasa lemas, bahkan ponsel yang tadi dipegangnya pun terlepas dari genggaman tangannya. Dadanya mendadak terasa begitu sesak, nafasnya tak berjalan dengan baik, pandangan matanya pun sudah mulai buram.TesTiba-tiba saja air matanya jatuh begitu saja membasahi pipinya, bibirnya bergetar sebelum isakan tangisnya semakin kencang terdengar. Malam ini begitu sunyi dan sepi, angin masih terus berhembus hingga menjadikan temperatur suhu semakin rendah. "Jahat banget."Nala kalah, ia kalah dalam sebuah perang tak berdeklar ini. Lagi-lagi suaminya mengecewakannya, tanpa ragu berlari pada wanita lain dan meninggalkan dirinya sendiri di sini. Memberi peluk hangat pada perempuan sana dan membiarkan dirinya sendirian kedinginan di sini. Sekali lagi, ia kalah.***"
Akhirnya, Bastian bisa keluar dari apartmennya sendiri dengan usaha yang terbilang susah. Pasalnya, Alettha terus berniat menahannya di sana, usai sarapan, perempuan itu masih memintanya ini dan itu. Tentu saja Bastian sadar jika itu hanyalah alasan Alettha saja agar ia selalu ada di sampingnya, mungkin karena perempuan itu masih terlalu kesepian, hingga membutuhkan sosok teman lain. Namun, di rumah juga ada Nala, perempuan yang semalam tiba-tiba ia tinggalkan begitu saja.Perempuan itu baru melepasnya setelah sebuah janji lolos begitu saja dengan mudahnya dari bibirnya. "Nanti aku ke sini lagi." Entah akan betulan dipenuhi atau tidak, janji itu keluar begitu saja karena desakan dan tanpa pertimbangan.Dari semua pesan yang dikirimkan pada Nala, perempuan itu hanya membalas beberapa, singkat pula. Untuk membangun suasana sebelum nantinya meminta maaf, Bastian lebih dahulu menepikan mobilnya ke sebuah kedai yang terbilang lumayan ramai oleh anak muda terutama perempuan. Seblak, yah, Ba
Menjelang sore Nala berada di sini, sebuah cafe yang dahulu menjadi langganannya ketika masih duduk di bangku SMA. Segelas jus alpukat dan juga udang chrispy menjadi hidangan favoritnya, Oh jangan lupakan juga nasi mie aceh yang sudah lama tak silaturahmu di mulutnya.Sejak duduk di sini sekitar setengah jam yang lalu, ia hanya bisa mengumpat dua sejoli di depannya ini. Ingin marah, tapi dirinya sendiri juga yang mau ikut, niat yang tadinya ingin mencari udara segar berubah seperti tengah menghirup polusi kota."Udahlah, Nal. Jangan ngambek gitu, sih. Yang penting kan keluar dari rumah. Ambil aja sisi positifnya."Nala melepaskan sedotan yang tadi terjepit di mulunya, menyandarkan tubuhnya dengan kasar pada sandaran kursi sembari melipat kedua tangannya. "Halah, apaan. Himah aja nggak dapet apalagi yang lainnya."Mendadak perhatian Nala teralih pada ponselnya yang tiba-tiba menyala dan memperlihatkan sebuah notif pesan masuk. Tangan kecilnya langsung terulur meraih benda itu, membaca
Hujan masih turun membasahi bumi, namun sedikit lebih baik karena petir tak lagi menyambar. Hujan kembali tenang tanpa membawa ketakutan bagi si manusia takut petir.Entah apa yang Nala pikirkan, belum genap dua puluh menit Nala berubah pikiran. Tiba-tiba saja ia menyetujui ajakan Bastian yang Nala yakin seharusnya sudah tak berlaku."Hp kamu, Mas." Nala menoleh ke arah laki-laki yang masih berusaha fokus pada jalanan di depannya. Tak terlalu laju, karena sadar jalanan masih licin dan ditambah jarak pandang yang terbatas. Antisipasi agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan."Biarin aja."Nala bukan tak tau siapa yang terus-terusan menghubungi suaminya. Ingin sekali rasanya ia meraih benda pipih itu dan berkata "Iyaa, ini masih dijalan, Cok!" Ah, tapi itu hanya bisa Nala lakukan dalam angan-angan saja. Menurutnya sudah lebih dari cukup Bastian lebih memilih tinggal dengannya, menenangkan dirinya dan mengeluarkan sejuta kata maaf. Entah bagaimana reaksi Alettha nanti saat Bastian da
Ternyata di sini hujannya tak begitu deras, juga tak terdengar adanya suara petir atau apapun itu. Sepertinya Alettha memang hanya sengaja memancing Bastian untuk datang ke sini. Parasit."Makasih, Bas." Nala tersenyum senang menerima semangkuk mie yang masih mengeluarkan asap tebal, setelahnya Bastian ikut mendudukkan bokong di sampingnya. "hmmm, baunya enak banget."Bastian terkekeh pelan, tangannya pun langsung tergerak untuk mengacak-acak pelan puncak kepala istrinya. "Kamu makannya banyak banget, nanti jadi mampir ke tempat tadi nggak? Beli bakso.""Sebenernya aku tuh udah feeling kalau bakalan habis. Tadi aku mau minta langsung mampir aja pengennya, tapi nggak jadi.""Ya sudah, besok sebelum berangkat kita mampir dulu beli baksonya sebentar, ya?" Nala menganggukkan kepala setuju, perhatiannya kini telah teralihkan kala sumpitnya berhasil menjepit mie tersebut dan segera memakannya.Loh, kok malah seperti ini? Disini kok malah dirinya yang jadi obat nyamuk? Padahal tadi Alettha s
"Harusnya ada yang aku omongil lagi. Biar dia sadar.""Udah, Nal-- kamu nggak lihat gimana dia udah marah banget sama kamu?" Bastian langsung memasangkan sabuk pengaman untuk Nala, mengecup sekilas bibir itu agar sang puan lekas diam.Ah, padahal cuma hal kecil seperti ini, namun berhasil membuat perut Nala dipenuhi oleh kupu-kupu yang beterbangan. Buru-buru ia memalingkan wajahnya ke samping, tak sudi jika Bastian sampai melihat wajahnya yang memerah.Telat, Bastian sudah melihatnya walaupun hanya beberapa detik. Ia memainkan lidahnya di dinding mulut karena terlalu gemas. Menyalakan mesin mobil lalu melajukannya dengan kecepatan sedang, meninggalkan lokasi awal.Masih hujan, tapi tidak selebat tadi. Jarak yang lumayan jauh ternyata memberikan curah hujan yang berbeda. Untung saja tadi ia berhasil mengendalikan diri, memposisikan dirinya dengan benar dengan bantuan alam semesta.Andai saja tadi hujan lebat dengan disertai petir, tentu saja ia tak akan tega membiarkan Alettha sendiria
Kesadaran Nala masih begitu tipis, namun ia dipaksa naik dari alam bawah sadarnya begitu mendengar suara bisikan. Nihil, tetap saja beberapa detik kemudian alam bawah sadar serta mimipi indahnya kembali menyeretnya.Terlalu banyak makan hingga membuatnya tidur kurang dari tengah malam tanpa sempat mengganti pakaiannya, bahkan melupakan rutinitas malamnya untuk menaburkan skincare rutin malamnya.Ada sesuatu yang membungkus lengannya, hingga akhirnya merasakan tubuhnya terangkat. Samar-samar ia mendengar seseorang bicara, sampai akhirnya semua pendengaran itu lenyap kala sesuatu terasa menenangkannya, membuatnya kembali jatih sejatuh-jatuhnya dalam dunia mimpi."Nala, bangun." Tepukan pelan pada permukaan pipinya membuat Nala mengerutkan keningnya, terusik selama beberapa saat sebelum kembali lelap. "hei ... bangun dulu, nanti tidur lagi kalau udah di pesawat."Hah? Sebentar. Suara itu berhasil menembus alam bawah sadar Nala, hingga kemudian ia merasakan tepukan di pipinya terjadi lagi
Entah kapan Bastian mempersiapkan semua ini dengan baik, Nala sendiri tak tau akan hal itu. Keduanya dijemput oleh seorang laki-laki paruh baya dengan senyuman manis, menampakkan gigi putihnya. Ahh, kulitnya tuh eksotis, hitam-hitam manis, sungguh Nala senang sekali melihatnya. Ada aura tersendiri yang memancar dari laki-laki itu.Perjalanan diiringi dengan percakapan ringan yang tentu saja didominasi oleh Bastian dan laki-laki yang baru Nala ketahui namanya Pak Damar. Dari mana suaminya mengenal laki-laki ini? Kok kelihatan akrab sekali?Perjalanan itu harus terhenti sejenak karena perut Nala berontak ingin segera diisi sesuatu, sebuah restoran yang ditemui di pinggir jalan menjadi objek pemberhentian. Aneka olahan Seafood menjadi menu yang dipilih Nala, seperti biasa, dua laki-laki itu juga manut, menuruti si Tuan Putri."Ohh, jadi dulu Pak Damar merantau di Jakarta juga?" Pertanyaan Nala terlontar setelah berhasil menelan habis makanan dalam mulutnya.Restoran ini memang berada di
Tiga tahun kemudian"Mas, gendongg." Rengek Saluna, bocah yang hampir menginjak usia pendidikan pertama itu merengek pada sang kakak, tangannya terbentang luas meminta agar segera digendong.Bastian dan Nala yang sama-sama menuruni anak tangga dan melihat tingkah putrinya itu hanya menggelengkan kepala. Kedekatan antara Adimas dan Saluna sudah bisa diibaratkan seperti lem, saling menempel, meskipun lebih tepatnya Saluna yang selalu ingin ikut dengan kakaknya.Merogoh ponselnya dalam saku celana, Nala pun mengambil potret buah hatinya itu. Dimana Saluna yang masih merentangkan tangannya, sementara Adimas sengaja menggoda adiknya. "Adek, kan udah gede. Berat kalau digendong, kasihan Mas-nya.""Aaaa. Adek mau digendong Mas." Tak terima ditegur begitu saja, bocah kecil ini melipat kedua tangannya di depan dada, persis seperti orang yang tengah merajuk. "Mas," panggil Saluna pada Adimas dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.Runtuh sudah pertahanan Adimas dalam misi mengganggu sang adi
Sesuai rencana, hari ini keluarga kecil Bastian dan Nala mengadakan liburan singkat. Dufan, adalah tempat yang dipilih keluarga kecil ini.Sepanjang perjalanan, Adimas kecil yang duduk di belakang lebih banyak diam, bahkan hanya sesekali saja menimpali pertanyaan yang Nala atau Bastian lontarkan, mungkin karena masih belum nyaman."Mas, nanti mau naik apa?" tanya Nala yang langsung menoleh ke belakang, terlihat antusias sekali mengajak bicara anak laki-lakinya ini.Si kecil yang tadinya fokus memandang ke arah luar jendela pun lekas menoleh ke arah Nala. "Terserah aja, Ma. Adek mau main apa?""Adek nanti naik yang puter-puter aja sama Mama. Nanti Mas main sama Papa, ya. Seneng-seneng, biasanya Mas kalau sama papa Garren naik apa?""Biasanya naik bumcars, Ma.""Oke. Nanti naik sama Papa." Sahut Bastian yang membuat percakapan ini berakhir.Sesampainya di lokasi tujuan, dengan sigap Bastian menggandeng tangan kecil Adimas disisi kanannya, sementara tangan kirinya dikenakan untuk menyang
Hari ini Bastian sudah kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Bastian sengaja memberi jeda untuk Adimas beradaptasi di rumah ini terlebih dahulu beberapa hari sebelum membiarkan anak kecil itu kembali beraktivitas di sekolah.Dibandingkan kemarin, hari ini Adimas lebih banyak makan. Mungkin lebih merasa nyaman berada di sini perlahan-lahan, meskipun tak jarang juga bocah kecil ini ragu-ragu bersuara atau lebih memilih memendam diri.Seperti saat ini, saat Nala tengah sibuk mengecek Saluna. Adimas kecil yang berada di samping tampak seperti ingin mrnawarkan bantuan, tapi tak berani bersuara."Mas Dimas, boleh minta tolong, nggak?""Boleh." Langsung saja anak kecil itu membalasnya dengan penuh semangat.Tak dapat Nala menyembunyikan senyuman tipisnya, terlebih dahulu ia mengusap sayang puncak kepala anak laki-lakinya. "Tolong ambilin pempers adek di sana, Mas." Nala menunjuk pada pojok ruangan. Dengan cepat Adimas langsung beranjak dari posisi duduknya dan setengah berlari menuju area
"Ren, lo pasti bisa, Ren. Percaya sama gue." Bastian mencengkeram pelan punggung tangan Garren. Mayakinkan laki-laki itu jika semuanya akan baik-baik saja.""Huwaaa. Pa, Papa ayo besok main, Pa. Pengen main bola." Suara isakan tangis terselip dalam rengekan anak laki-laki berusia sekitar lima tahun itu. Matanya memerah dengan air mata yang terus membasahi pipi tembamnya, ingusnya bahkan sudah meleber ke area pipi. "ayo, Pa, bangun. Kita pulang, nggak suka di sini." Tangan kecil itu terus berusaha mengguncang tubuh besar yang tengah berbaring di depannya ini.Bangunan rumah sakit menjadi tempat di mana do'a tulus sering dilangitkan dengan sepenuh hati, bahkan lebih tulus dan dalam dari pada di rumah ibadah sekalipun.Nala sendiri tak dapat menahan bendungan air matanya melihat anak kecil bernama Adimas itu terus merengek. Menarik tangan papanya, seakan ingin cepat membawa laki-laki itu pergi dari tempat ini.Melihat bagaimana reaksi anak semata wayangnya membuat Garren tertawa pelan, t
Sentuhan terakhir, Nala menambahkan bando manis untuk putri kecilnya. Disambut dengan gelak tawa dan tubuh mungil itu yang meronta-ronta, terlihat senang sekali."Nah, anak Mama udah cantik banget." Tak rela jika harus melewatkannya begitu saja, Nala langsung mencium wajah putrinya bertubi-tubi, gemas sekali rasanya. Tangannya langsung terulur untuk meraih kasar ponselnya di atas nakas, setiap momen harus diabadikan. Nala mengambil beberapa gambar mengemaskan Saluna, sebelum membawa gadis itu dalam gendongannya, mengajak foto bersama.Puas dengan banyak gambar yang berhasil diambilnya, Nala pun langsung meraih tas dan membawa putrinya pergi. Baru saja Dewa mengatakan sudah hampir sampai, Dina tak bisa menjemputnya karena berangkat bersama Argi. Terlalu mutar jauh jika menjemputnya terlebih dahulu.Timingnya pas sekali. Baru saja Nala selesai dengan menutup pintu, mobil putih itu berhenti tepat di depan rumahnya. Dengan senyuman lebar, Nala yang menggendong Saluna menghadap depan itupu
"Mbrrr hik hik hik.""Loh! Kok nyembur." Nala pura-pura kaget, melihat putri kecilnya yang menyemburkan air susu dimulutnya. Bukannya takut, gadis mungil ini justru tertawa lebar menunjukkan gusi lucunya sembari bertepuk tangan. Mamanya terlihat menggemaskan di matanya."Abmrrrr."Nala meletkkan putri kecilnya di atas ranjang, tak lupa memberikan mainan gigit-gigitan padanya. Langsung saja Saluna memainkannya, menggigit-gigitnya. Tak terasa gadis kecil ini akan segera memasuki fase pertumbuhan gigi.Tak berselang lama Bastian pun datang dengan handuk kecil di kepalanya, menggosok-gosoknya agar rambut basahnya lekas mengering.Melihat buah hatinya berbaring riang di atas ranjang membuat Bastian langsung melompat menyusul putrinya, melemparkan asal handuk kecil yang tadi dikenakannya. Tanpa permisi laki-laki beranak satu itupun langsung mencium wajah putri kecilnya bertubi-tubi. "Ih anak papa lagi apa, emesnya. Emesnya anak Papa. Mwah mwah mwah.""Hek hek." Bibir Saluna langsung mengeru
"Akhhh. Mas!" Pekik Nala yang merasakan sakit teramat, tangannya dengan ringan langsung menjambak surai tebal Bastian.Sakit, tapi Bastian sadar yang dirasakannya saat ini tak lebih sakit dari yang tengah dirasakan sang istri dalam memperjuangkan kelahiran buah hati yang diprediksi berjenis kelamin perempuan ini."Sayang, kamu pasti kuat. Sebentar lagi Adek bayi lahir, Sayang. Kita bisa lihat dia yang selama ini nendang-nendang terus." Berbagai kata penyemangat selalu Bastian lontarkan. Tangannya pun tak pernah lepas menggenggam tangan kecil istrinya."Oekkk ... oekkk ... Oekkk."Setelah penantian panjang mulai dari kontraksi, pembukaan, hingga proses lahiran yang begitu menyakitkan untuk Nala. Akhirnya suara tangisan menggelengar buah hatinya pun terdengar. Baik Bastian maupun Nala sendiri pada akhirnya bisa bernafas lega. Bukan hanya Nala saja yang bermandikan peluh, melainkan Bastian juga. Laki-laki ini tak kalah takutnya, dalam hatinya pun tak henti-hentinya merapalkan do'a untuk
Kurang lebih dua tahun ini Bastian benar-benar berada di samping Nala selalu, ia tak lagi mengambil project, hanya mengandalkan hasil dari studio miliknya. Tak terlalu banyak memang, tapi masih lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama ini.Entah berapa banyak Bastian menahan diri dan sesak selama ini, kala Nala sama sekali tak memberinya kepastian. Bahkan beberapa kali Nala berniat mengakhiri hidup, itulah titik paling menyakitkan dihidup Bastian. Sehancur itulah mental Nala. Beruntung, sedikit demi sedikit mental Nala mulai kembali pulih, meskipun masih belum menjadi Nala sepenuhnya."Hati-hati, Sayang." Bastian menyodorkan secangkir cokelat hangat yang langsung diterima oleh Nala.Mendudukkan bokongnya di samping sang puan, keduanya sama-sama menikmati suasana malam hari ini. Angin berhembus cukup kuat hingga membuat rambut keduanya tergerak-gerak, mengikuti arah pandang Nala, Bastian menyandarkan tubuhny pada sandaran kursi."Bagus banget ya bintangnya, banyak. Kesukaan
"Sayang." Bastian menatap nanar perempuan yang kini tengah duduk di kursi panjang dengan pandangan kosong, tak tau apa yang tengah menjadi objek penglihatannya.Sakit? Tentu saja hati Bastian terasa dicabik-cabik melihat kondisi istrinya yang seperti itu. Saat ini Nala lebih terlihat seperti raga tanpa jiwa, entah kemana menghilangnya jiwa itu.Tepukan pelan pada bahunya langsung membuat Bastian menoleh ke samping, terkejut melihat seseorang di sampingnya, buru-buru tangannya tergerak untuk menghapus bulir air matanya. Kemudian terkekeh pelan, tak ingin suasana menjadi canggung."Nggak apa, masih banyak waktu. Mbak Nala pasti bisa sembuh, perlahan-lahan.""Apa istriku masih bisa sembuh?" tanyanya mengingat hingga saat ini Nala masih sering bungkam, enggan mengatakan aapapun. Bahkan, beberapa kali perempuan itu juga menangis dalam diam, memukul-mukul kepalanya sendiri. Terlalu berisik, katanya.Dengan mantap laki-laki disamping itupun menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Lagi pula ini