"Jadi, Kak Rafi udah putus sama Vivi?" Dina membelalakkan kedua matanya, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tak menyangkal, Dewa pun menganggukkan kepalanya. "untung aja kemarin nggak jadi gue labrak, tau gitu gue yang malu."Argi meletakkan mangkuk kosong bekas mie miliknya yang sudah habis, berganti meraih segelas jus dan menyedotnya kuat-kuat hingga menimbulkan suara sruputan besar. "Inimah info yang Nala tunggu-tunggu, sayang banget udah basi ya, Nal.""Yak, betul." Nala menganggukkan kepalanya antusias. "giliran gue udah nikah aja baru putus, fuck lah.""Kenapa nggak suka sama Dewa aja?" Dina melirik ke arah Dewa yang sejak tadi terus tersenyum menatap Nala. "padahal dia yang paling kelihatan effort-nya. Ketimbang Kak Rafi yang jangankan lihat lo, Nal. Lirik aja kagak sudi."Mak jleb. Tapi yang dikatakan Dina barusan adalah kebenaran, selama periode menyukai Kak Rafi, laki-laki itu sama sekali tak meliriknya. Hanya menganggapnya sebagai teman adiknya tanpa embel-e
Tubuh Nala masih terdiam di tempatnya, meskipun pandangannya tak beralih dari laki-laki yang tampak terburu-buru menuju mobilnya. Bahkan, Bastian langsung masuk ke dalam mobil begitu saja tanpa ada niatan menoleh ke arahnya kembali.Mau ke mana? Pertanyaan itu terus berputar dalam otak Nala. Seiring mobil hitam itu kian menjauh darinya, semakin pula ia menerka-nerka apa yang membuat Bastian begitu terburu-buru seperti dikejar anjing."Apa ada yang urgent, 'ya?" gumamnya sebelum membalikkan tubuhnya kala mobil itu tak lagi terjangkau oleh pandangan matanya.Seketika saja sepi menerpa jiwa raga Nala. Mendadak dunia terasa senyap, ia bagaikan hidup seorang diri di dunia yang luas ini. Kenapa orang-orang selalu pergi tanpa berpamitan padanya? Diawali dengan Papa, Mama, lalu sekarang suaminya. Apa kehadirannya tidak penting?Suara detak jarum jam seakan mengiringi setiap langkah Nala dalam menaiki satu per satu anak tangga. Begitu langkah kakinya sampai di depan kamar, Nala berhenti untuk
Nala merintih kala tanpa sengaja kakinya tersandung oleh kakinya sendiri hingga jatuh tersungkur. Lututnya terasa ngilu karena terbentur dengan kerasnya lantai. Langkah selanjutnya begitu lambat karena rasa perihnya, sampai akhirnya ia sampai di depan ruang rawat mamanya.CeklekkSeorang suster keluar dari dalam kamar mamanya dengan catatan di tangannya. Begitu pandangan mata keduanya bertemu, suster itupun tersenyum padanya. "Selamat malam.""Malam, Sus." Nala menganggukkan kepala seraya menggeser posisi tubuhnya agar suster tersebut bisa berjalan melewatinya. Begitu Suster tersebut telah pergi, Nala pun bergegas masuk ke dalam kamar rawat mamanya.Aroma khas obat-obatan dan alat-alat seakan langsung menyambut kedatangan Nala, mungkin karena ia jarak mengunjungi Mamanya, membuat Nala masih belum biasa dengan suasana ini.Begitu sepi, pasti selama ini mamanya kesepian berbaring seorang diri di sini. Wanita itu masih terlihat nyaman berbaring di ranjang dengan berbagai alat bantu yang
"Eugh." Nala mengerjabkan matanya beberapa kali kala tidurnya terusik dengan tepukan pada pipinya.Dina yang berada di sampingnya lekas meraih beberapa barang miliknya. "Udah sampai, bangun."Masih dalam kondisi belum sepenuhnya sadar kala Dina menarik tangannya di samping Dewa. Rasa lelah yang dirasakannya benar-benar membuat tubuhnya tak bertenaga. Lemah sekali.BrakkkTubuh Nala kembali terhempas saat baru saja masuk ke dalam taksi. Entah bagaimana barangnya, yang pasti Nala yakin kopernya sudah diurus oleh temannya yang lain, setidaknya itulah yang tertanam di otaknya. Tak sampai tiga menit, Nala sudah kembali tertidur pulas di dalam taksi."Kebo banget ini anak."Dewa yang duduk di kursi depan pun terkekeh mendengar keluhan Dina, apalagi saat melihat kepala Nala yang kerap kali tergelincir di pundak Dina meskipun sudah beberapa kali dipindahkan, pasti berat. "Cepek banget kayaknya."Samar-samar Nala merasakan guncangan ditubuhnya, sedikit mengganggu, namun tak sampai membangunkan
Kini, keempatnya tengah menikmati makanan di luar, bertemakan out door yang membuat mereka bisa menghirup secara langsung segarnya udara Bali. Yah, rencana hanya sekedar rencana, yang semula ingin jalan-jalan sekitaran hotel sembari mencari makanan di pinggir jalan harus terhempas oleh rasa malas dan lelah."Jadi, tadi ke laut?" tanya Dewa disela-sela kunyahannya. Nala pun menganggukkan kepalanya membenarkan, sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya. "lain kali jangan sendiri, lah. Takut hilang, gue.""Aman, kok. Lagi pula nggak ada juga tuh yang minat culik gue." Benda pipih itu diletakkan di sampingnya, pandangannya beralih pada dua temannya itu. "besok, rencananya mau ke mana? Harusnya cari hotel deket pantai, biar bisa ke sana malem-malem.""Kalau ke pantainya deket, sih. Tapi, ya itu, Nal, ke tempat lainnya susah. Jauh, ini udah paling strategis, nggak jauh-jauh amat dari lokasi yang lain."Dewa yang sejak tadi hanya diam kar
"Enak." Argi mengangguk-angguk menikmati sajian lezat ayam betutu yang dipesannya. Ah, rasanya benar-benar mantap."Lo dikasi makan nasi kucing juga mau-mau aja, Gi." Sahut Dewa. Senyumannya terlihat semakin cerah, tampak tak menunjukkan bekas luka yang diterimanya tempo hari. Mungkin efek dari kegiatannya dengan Argi semalaman."Sini, cerita sama gue. Kita mabuk berdua sampe mampus. Luapin semua kesedihan lo, besok kita happy-happy, hilangin muka kusut lo itu, Dina sama Nala udah effort banget nurutin kemauan lo ke sini.""Iya. Sedihnya dihabisin malam ini sambil mabuk, besok kita seneng-seneng bareng."Di menit selanjutnya, Argi dan Dewa duduk berdua bersandarkan pinggiran ranjang. Dinding kaca yang menjadi penghalang, membuat keduanya mendapatkan view yang tampak indah dimalam hari. Agaknya, empat sekawan ini benar-benar paling suka dengan pemandangan alam.Sesuai perintah Argi--Dewa mulai mengutarakan semua keluh kesah yang melanda hatinya, termasuk kebingungannya saat papanya mem
"Aaaaa-njeng!" Saking terkejutnya Nala hingga membuat ponsel dalam genggaman tangannya terlempar begitu saja saat ia mencoba bangkit dari posisi berbaringnya.Dina yang berbaring di samping pun ikut terkejut. "APA. Ada apa!" Kepalanya menoleh ke sana ke mari, mencari objek yang membuat temannya terkaget-kaget, namun ia tak menemukan apapun yang berpotensi mengagetkan. "kenapa? Kenapa teriak?"Nala yang berhasil meraih ponselnya dari hamparan pasir itupun lekas menunjukkan layar ponselnya yang menampakkan nama kontak Bastian. "Dia call.""Babhi! Gue udah kaget, jantung gue turun ke dengkul, gue kira apaan. Jancok!""Ya, maaf." Ditunjukkannya deretan gigi putih miliknya, agak tak enak hati melihat wajah kesal Dina. "gimana? Langsung angkat aja kali, ya?"Saat jari jempolnya hendak menggeser icon berwarna hijau pada layar ponselnya, pergerakannya terhenti oleh sentuhan tangan Dina pada pergelangan tangannya. Pandangan mata Nala pun beralih pada sahabatnya yang tengah menggeleng pelan. "J
Semesta malam ini seakan-akan memanjakan Nala. Semua yang Nala suka beradu menjadi satu pada malam terakhir di tanah Bali ini. Langit tampak begitu cerah dengan bulan sabit dan hamparan bintang yang bertabur di langit. Rungunya dimanjakan dengan suara drburan ombak yang kian datang dan pergi.Disinilah Nala saat ini, duduk di atas hamparan pasir pantai dengan pencahayaan remang-remang karena posisinya cukup jauh dari keramaian.Teman-temannya yang lain membentuk aliansi lain di ujung sana, sengaja memberinya kesempatan untuk berbicara dengan diri sendiri. Senyuman indah Nala terukir menghiasi wajah cantiknya, gigi putihnya yang tersusun rapi itupun terlihat sempurna."Tuhan, makasih banyak udah nyiptain pantai sama bintang. Cantik banget."Tangannya tergerak untuk meraba area lehernya, di mana ada sebuah kalung dengan liontin bintang dari Bastian. Semua yang berbau bintang selalu memiliki tempat tersendiri untuk Nala."Ini malam terakhir di sini, besok musti balik. Dinikmati aja sebel
Tiga tahun kemudian"Mas, gendongg." Rengek Saluna, bocah yang hampir menginjak usia pendidikan pertama itu merengek pada sang kakak, tangannya terbentang luas meminta agar segera digendong.Bastian dan Nala yang sama-sama menuruni anak tangga dan melihat tingkah putrinya itu hanya menggelengkan kepala. Kedekatan antara Adimas dan Saluna sudah bisa diibaratkan seperti lem, saling menempel, meskipun lebih tepatnya Saluna yang selalu ingin ikut dengan kakaknya.Merogoh ponselnya dalam saku celana, Nala pun mengambil potret buah hatinya itu. Dimana Saluna yang masih merentangkan tangannya, sementara Adimas sengaja menggoda adiknya. "Adek, kan udah gede. Berat kalau digendong, kasihan Mas-nya.""Aaaa. Adek mau digendong Mas." Tak terima ditegur begitu saja, bocah kecil ini melipat kedua tangannya di depan dada, persis seperti orang yang tengah merajuk. "Mas," panggil Saluna pada Adimas dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.Runtuh sudah pertahanan Adimas dalam misi mengganggu sang adi
Sesuai rencana, hari ini keluarga kecil Bastian dan Nala mengadakan liburan singkat. Dufan, adalah tempat yang dipilih keluarga kecil ini.Sepanjang perjalanan, Adimas kecil yang duduk di belakang lebih banyak diam, bahkan hanya sesekali saja menimpali pertanyaan yang Nala atau Bastian lontarkan, mungkin karena masih belum nyaman."Mas, nanti mau naik apa?" tanya Nala yang langsung menoleh ke belakang, terlihat antusias sekali mengajak bicara anak laki-lakinya ini.Si kecil yang tadinya fokus memandang ke arah luar jendela pun lekas menoleh ke arah Nala. "Terserah aja, Ma. Adek mau main apa?""Adek nanti naik yang puter-puter aja sama Mama. Nanti Mas main sama Papa, ya. Seneng-seneng, biasanya Mas kalau sama papa Garren naik apa?""Biasanya naik bumcars, Ma.""Oke. Nanti naik sama Papa." Sahut Bastian yang membuat percakapan ini berakhir.Sesampainya di lokasi tujuan, dengan sigap Bastian menggandeng tangan kecil Adimas disisi kanannya, sementara tangan kirinya dikenakan untuk menyang
Hari ini Bastian sudah kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Bastian sengaja memberi jeda untuk Adimas beradaptasi di rumah ini terlebih dahulu beberapa hari sebelum membiarkan anak kecil itu kembali beraktivitas di sekolah.Dibandingkan kemarin, hari ini Adimas lebih banyak makan. Mungkin lebih merasa nyaman berada di sini perlahan-lahan, meskipun tak jarang juga bocah kecil ini ragu-ragu bersuara atau lebih memilih memendam diri.Seperti saat ini, saat Nala tengah sibuk mengecek Saluna. Adimas kecil yang berada di samping tampak seperti ingin mrnawarkan bantuan, tapi tak berani bersuara."Mas Dimas, boleh minta tolong, nggak?""Boleh." Langsung saja anak kecil itu membalasnya dengan penuh semangat.Tak dapat Nala menyembunyikan senyuman tipisnya, terlebih dahulu ia mengusap sayang puncak kepala anak laki-lakinya. "Tolong ambilin pempers adek di sana, Mas." Nala menunjuk pada pojok ruangan. Dengan cepat Adimas langsung beranjak dari posisi duduknya dan setengah berlari menuju area
"Ren, lo pasti bisa, Ren. Percaya sama gue." Bastian mencengkeram pelan punggung tangan Garren. Mayakinkan laki-laki itu jika semuanya akan baik-baik saja.""Huwaaa. Pa, Papa ayo besok main, Pa. Pengen main bola." Suara isakan tangis terselip dalam rengekan anak laki-laki berusia sekitar lima tahun itu. Matanya memerah dengan air mata yang terus membasahi pipi tembamnya, ingusnya bahkan sudah meleber ke area pipi. "ayo, Pa, bangun. Kita pulang, nggak suka di sini." Tangan kecil itu terus berusaha mengguncang tubuh besar yang tengah berbaring di depannya ini.Bangunan rumah sakit menjadi tempat di mana do'a tulus sering dilangitkan dengan sepenuh hati, bahkan lebih tulus dan dalam dari pada di rumah ibadah sekalipun.Nala sendiri tak dapat menahan bendungan air matanya melihat anak kecil bernama Adimas itu terus merengek. Menarik tangan papanya, seakan ingin cepat membawa laki-laki itu pergi dari tempat ini.Melihat bagaimana reaksi anak semata wayangnya membuat Garren tertawa pelan, t
Sentuhan terakhir, Nala menambahkan bando manis untuk putri kecilnya. Disambut dengan gelak tawa dan tubuh mungil itu yang meronta-ronta, terlihat senang sekali."Nah, anak Mama udah cantik banget." Tak rela jika harus melewatkannya begitu saja, Nala langsung mencium wajah putrinya bertubi-tubi, gemas sekali rasanya. Tangannya langsung terulur untuk meraih kasar ponselnya di atas nakas, setiap momen harus diabadikan. Nala mengambil beberapa gambar mengemaskan Saluna, sebelum membawa gadis itu dalam gendongannya, mengajak foto bersama.Puas dengan banyak gambar yang berhasil diambilnya, Nala pun langsung meraih tas dan membawa putrinya pergi. Baru saja Dewa mengatakan sudah hampir sampai, Dina tak bisa menjemputnya karena berangkat bersama Argi. Terlalu mutar jauh jika menjemputnya terlebih dahulu.Timingnya pas sekali. Baru saja Nala selesai dengan menutup pintu, mobil putih itu berhenti tepat di depan rumahnya. Dengan senyuman lebar, Nala yang menggendong Saluna menghadap depan itupu
"Mbrrr hik hik hik.""Loh! Kok nyembur." Nala pura-pura kaget, melihat putri kecilnya yang menyemburkan air susu dimulutnya. Bukannya takut, gadis mungil ini justru tertawa lebar menunjukkan gusi lucunya sembari bertepuk tangan. Mamanya terlihat menggemaskan di matanya."Abmrrrr."Nala meletkkan putri kecilnya di atas ranjang, tak lupa memberikan mainan gigit-gigitan padanya. Langsung saja Saluna memainkannya, menggigit-gigitnya. Tak terasa gadis kecil ini akan segera memasuki fase pertumbuhan gigi.Tak berselang lama Bastian pun datang dengan handuk kecil di kepalanya, menggosok-gosoknya agar rambut basahnya lekas mengering.Melihat buah hatinya berbaring riang di atas ranjang membuat Bastian langsung melompat menyusul putrinya, melemparkan asal handuk kecil yang tadi dikenakannya. Tanpa permisi laki-laki beranak satu itupun langsung mencium wajah putri kecilnya bertubi-tubi. "Ih anak papa lagi apa, emesnya. Emesnya anak Papa. Mwah mwah mwah.""Hek hek." Bibir Saluna langsung mengeru
"Akhhh. Mas!" Pekik Nala yang merasakan sakit teramat, tangannya dengan ringan langsung menjambak surai tebal Bastian.Sakit, tapi Bastian sadar yang dirasakannya saat ini tak lebih sakit dari yang tengah dirasakan sang istri dalam memperjuangkan kelahiran buah hati yang diprediksi berjenis kelamin perempuan ini."Sayang, kamu pasti kuat. Sebentar lagi Adek bayi lahir, Sayang. Kita bisa lihat dia yang selama ini nendang-nendang terus." Berbagai kata penyemangat selalu Bastian lontarkan. Tangannya pun tak pernah lepas menggenggam tangan kecil istrinya."Oekkk ... oekkk ... Oekkk."Setelah penantian panjang mulai dari kontraksi, pembukaan, hingga proses lahiran yang begitu menyakitkan untuk Nala. Akhirnya suara tangisan menggelengar buah hatinya pun terdengar. Baik Bastian maupun Nala sendiri pada akhirnya bisa bernafas lega. Bukan hanya Nala saja yang bermandikan peluh, melainkan Bastian juga. Laki-laki ini tak kalah takutnya, dalam hatinya pun tak henti-hentinya merapalkan do'a untuk
Kurang lebih dua tahun ini Bastian benar-benar berada di samping Nala selalu, ia tak lagi mengambil project, hanya mengandalkan hasil dari studio miliknya. Tak terlalu banyak memang, tapi masih lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama ini.Entah berapa banyak Bastian menahan diri dan sesak selama ini, kala Nala sama sekali tak memberinya kepastian. Bahkan beberapa kali Nala berniat mengakhiri hidup, itulah titik paling menyakitkan dihidup Bastian. Sehancur itulah mental Nala. Beruntung, sedikit demi sedikit mental Nala mulai kembali pulih, meskipun masih belum menjadi Nala sepenuhnya."Hati-hati, Sayang." Bastian menyodorkan secangkir cokelat hangat yang langsung diterima oleh Nala.Mendudukkan bokongnya di samping sang puan, keduanya sama-sama menikmati suasana malam hari ini. Angin berhembus cukup kuat hingga membuat rambut keduanya tergerak-gerak, mengikuti arah pandang Nala, Bastian menyandarkan tubuhny pada sandaran kursi."Bagus banget ya bintangnya, banyak. Kesukaan
"Sayang." Bastian menatap nanar perempuan yang kini tengah duduk di kursi panjang dengan pandangan kosong, tak tau apa yang tengah menjadi objek penglihatannya.Sakit? Tentu saja hati Bastian terasa dicabik-cabik melihat kondisi istrinya yang seperti itu. Saat ini Nala lebih terlihat seperti raga tanpa jiwa, entah kemana menghilangnya jiwa itu.Tepukan pelan pada bahunya langsung membuat Bastian menoleh ke samping, terkejut melihat seseorang di sampingnya, buru-buru tangannya tergerak untuk menghapus bulir air matanya. Kemudian terkekeh pelan, tak ingin suasana menjadi canggung."Nggak apa, masih banyak waktu. Mbak Nala pasti bisa sembuh, perlahan-lahan.""Apa istriku masih bisa sembuh?" tanyanya mengingat hingga saat ini Nala masih sering bungkam, enggan mengatakan aapapun. Bahkan, beberapa kali perempuan itu juga menangis dalam diam, memukul-mukul kepalanya sendiri. Terlalu berisik, katanya.Dengan mantap laki-laki disamping itupun menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Lagi pula ini