"Eugh." Nala mengerjabkan matanya beberapa kali kala tidurnya terusik dengan tepukan pada pipinya.Dina yang berada di sampingnya lekas meraih beberapa barang miliknya. "Udah sampai, bangun."Masih dalam kondisi belum sepenuhnya sadar kala Dina menarik tangannya di samping Dewa. Rasa lelah yang dirasakannya benar-benar membuat tubuhnya tak bertenaga. Lemah sekali.BrakkkTubuh Nala kembali terhempas saat baru saja masuk ke dalam taksi. Entah bagaimana barangnya, yang pasti Nala yakin kopernya sudah diurus oleh temannya yang lain, setidaknya itulah yang tertanam di otaknya. Tak sampai tiga menit, Nala sudah kembali tertidur pulas di dalam taksi."Kebo banget ini anak."Dewa yang duduk di kursi depan pun terkekeh mendengar keluhan Dina, apalagi saat melihat kepala Nala yang kerap kali tergelincir di pundak Dina meskipun sudah beberapa kali dipindahkan, pasti berat. "Cepek banget kayaknya."Samar-samar Nala merasakan guncangan ditubuhnya, sedikit mengganggu, namun tak sampai membangunkan
Kini, keempatnya tengah menikmati makanan di luar, bertemakan out door yang membuat mereka bisa menghirup secara langsung segarnya udara Bali. Yah, rencana hanya sekedar rencana, yang semula ingin jalan-jalan sekitaran hotel sembari mencari makanan di pinggir jalan harus terhempas oleh rasa malas dan lelah."Jadi, tadi ke laut?" tanya Dewa disela-sela kunyahannya. Nala pun menganggukkan kepalanya membenarkan, sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya. "lain kali jangan sendiri, lah. Takut hilang, gue.""Aman, kok. Lagi pula nggak ada juga tuh yang minat culik gue." Benda pipih itu diletakkan di sampingnya, pandangannya beralih pada dua temannya itu. "besok, rencananya mau ke mana? Harusnya cari hotel deket pantai, biar bisa ke sana malem-malem.""Kalau ke pantainya deket, sih. Tapi, ya itu, Nal, ke tempat lainnya susah. Jauh, ini udah paling strategis, nggak jauh-jauh amat dari lokasi yang lain."Dewa yang sejak tadi hanya diam kar
"Enak." Argi mengangguk-angguk menikmati sajian lezat ayam betutu yang dipesannya. Ah, rasanya benar-benar mantap."Lo dikasi makan nasi kucing juga mau-mau aja, Gi." Sahut Dewa. Senyumannya terlihat semakin cerah, tampak tak menunjukkan bekas luka yang diterimanya tempo hari. Mungkin efek dari kegiatannya dengan Argi semalaman."Sini, cerita sama gue. Kita mabuk berdua sampe mampus. Luapin semua kesedihan lo, besok kita happy-happy, hilangin muka kusut lo itu, Dina sama Nala udah effort banget nurutin kemauan lo ke sini.""Iya. Sedihnya dihabisin malam ini sambil mabuk, besok kita seneng-seneng bareng."Di menit selanjutnya, Argi dan Dewa duduk berdua bersandarkan pinggiran ranjang. Dinding kaca yang menjadi penghalang, membuat keduanya mendapatkan view yang tampak indah dimalam hari. Agaknya, empat sekawan ini benar-benar paling suka dengan pemandangan alam.Sesuai perintah Argi--Dewa mulai mengutarakan semua keluh kesah yang melanda hatinya, termasuk kebingungannya saat papanya mem
"Aaaaa-njeng!" Saking terkejutnya Nala hingga membuat ponsel dalam genggaman tangannya terlempar begitu saja saat ia mencoba bangkit dari posisi berbaringnya.Dina yang berbaring di samping pun ikut terkejut. "APA. Ada apa!" Kepalanya menoleh ke sana ke mari, mencari objek yang membuat temannya terkaget-kaget, namun ia tak menemukan apapun yang berpotensi mengagetkan. "kenapa? Kenapa teriak?"Nala yang berhasil meraih ponselnya dari hamparan pasir itupun lekas menunjukkan layar ponselnya yang menampakkan nama kontak Bastian. "Dia call.""Babhi! Gue udah kaget, jantung gue turun ke dengkul, gue kira apaan. Jancok!""Ya, maaf." Ditunjukkannya deretan gigi putih miliknya, agak tak enak hati melihat wajah kesal Dina. "gimana? Langsung angkat aja kali, ya?"Saat jari jempolnya hendak menggeser icon berwarna hijau pada layar ponselnya, pergerakannya terhenti oleh sentuhan tangan Dina pada pergelangan tangannya. Pandangan mata Nala pun beralih pada sahabatnya yang tengah menggeleng pelan. "J
Semesta malam ini seakan-akan memanjakan Nala. Semua yang Nala suka beradu menjadi satu pada malam terakhir di tanah Bali ini. Langit tampak begitu cerah dengan bulan sabit dan hamparan bintang yang bertabur di langit. Rungunya dimanjakan dengan suara drburan ombak yang kian datang dan pergi.Disinilah Nala saat ini, duduk di atas hamparan pasir pantai dengan pencahayaan remang-remang karena posisinya cukup jauh dari keramaian.Teman-temannya yang lain membentuk aliansi lain di ujung sana, sengaja memberinya kesempatan untuk berbicara dengan diri sendiri. Senyuman indah Nala terukir menghiasi wajah cantiknya, gigi putihnya yang tersusun rapi itupun terlihat sempurna."Tuhan, makasih banyak udah nyiptain pantai sama bintang. Cantik banget."Tangannya tergerak untuk meraba area lehernya, di mana ada sebuah kalung dengan liontin bintang dari Bastian. Semua yang berbau bintang selalu memiliki tempat tersendiri untuk Nala."Ini malam terakhir di sini, besok musti balik. Dinikmati aja sebel
Jam lima pagi Nala baru berkemas, padahal kurang dari satu jam lagi rombongannya harua berangkat. Sengaja berangkat lebih pagi untuk menghindari macet, takut jika telat sampai ke bandara setelah mengalami insiden ban Taksi bocor kemarin.Salah memang, semalam ia dan Dina tak langsung tidur usai sampai di hotel, malahan keduanya memilih untuk minum-minum bir kembali sampai kembung. Bayangkan jika semalam keduanya memilih untuk minum alkohol, sudah dipastikan jam segini masih tepar di lantai atau sembarang tempat dengan posisi tak karuan.Tepat saat Nala selesai dengan mengemas barang-barang bawaannya, Dina keluar dari kamar mandi dengan handuk kimono membalut tubuhnya. Aroma wangi sampo dan sabun yang menguar membuat Nala bergegas meninggalkan kopernya, ia ingin segera mandi."Lo udah selesai kemas-kemasnya?" tanya Dina kala Nala masih berada di depannya, belum sempat melewati tubuhnya."Udah semuanya. Dewa sama Argi udah bangun belum, ya? Jangan-jangan masih molor."Waduh, bisa jadi j
Menjelang maghrib Nala baru menginjakkan kaki di rumah, kakinya terasa lemas sekali, bahkan menarik kopernya pun seperti tanpa tenaga. Saking tidak fokusnya Nala sampai-sampai ia tak menyadari akan kehadiran seseorang yang menyoroti setiap langkah kakinya."Baru pulang?"Suara bariton yang beberapa hari ini tidak didengar Nala membuatnya menghentikan langkah kaki, menoleh ke arah sumber suara. Laki-laki itu menyandarkan lengan kirinya pada tembok. Sepertinya Bastian sudah berada di rumah sejak tadi, lihatlah sekarang dia hanya memakai celana pendek selutut dengan kaos oblong rumahan."Hmm." Pada akhirnya Nala hanya membalasnya dengan deheman. Kepalanya terasa penuh dan lelah tubuh karena perjalanan membuatnya tak berniat membuang energi lagi. Jelas-jelas ia terlihat baru pulang, kenapa masih bertanya, sih?Sedangkan Bastian yang sudah dilanda gelisah sejak mengetahui istrinya pergi berlibur tanpa izin darinya itupun tak puas dengan jawaban Nala. Buru-buru ia mencekal lengan itu kala N
"Om nggak lagi nyewa cewek buat dibawa nge-room, 'kan?"Pupil mata Bastian membesar kala mendengar tuduhan Nala barusan, harusnya semakin ke sini ia harus semakin terbiasa dengan Nala yang seperti ini. Diletakkannya nampan yang berisi dua mangkuk bubur ayam itu di atas nakas, sebelum Bastian mendudukkan bokongnya di pinggir ranjang.Takk"Akh!" Nala memekik kaget kala keningnya tiba-tiba disentil oleh Bastian. "sakit, Om!"Bukannya merasa bersalah atas ulahnya, Bastian justru terkekeh pelan. "Kamu ini kalau sama saya pikirannya jelek terus.""Wajar sih digituin, muka Om cocok," papar Nala. "udah! Sekarang jelasin semuanya dari awal sampai akhir." Nala merubah posisinya menjadi menghadap sepenuhnya pada Bastian."Waktu itu saya dihubungin sama temen saya, kaget banget. Jadi, langsung buru-buru ke Paris."Kening Nala berkerut mendengarnya. Kenapa ceritanya secepat kereta bawah tanah, sih? Kan nggak detail. "Wuss, stop!" Nala membungkam mulut Bastian dengan tangan kecilnya, bahkan telapa