Hari terus berganti, sudah 4 hari Reva tidak masuk kuliah dan sudah 4 hari pula Zidan di luar kota. Hari ini, Reva akan kembali kuliah, kakinya sudah sembuh dan bisa berjalan normal kembali seperti biasa.“Non, yakin kuliah hari ini? tanggung Non. Kenapa enggak Senin aja mulai kuliah lagi?” tanya Riri yang sedang menyiapkan bekal untuk Reva. Reva yang memintanya sendiri.“Enggak apa-apa Mbak. Saya udah sembuh kok, udah bisa jalan normal juga,” jawab Reva setelah meneguk air putihnya hingga habis.“Ya udah kalau gitu, tapi hati-hati ya Non.”“Iya, Mbak. Ya udah kalau gitu, saya berangkat.” Reva berdiri, menyimpan kotak bekal yang telah disiapkan Riri ke dalam tas totebagnya yang terbuat dari jeans.Riri ikut mengantar Reva sampai ke depan. “Hati-hati ya Non.”“Iya Mbak.” Reva pergi ke kampus menaiki motornya.Setibanya di kampus, Reva langsung menuju ruang kuliahnya yang berada di lantai 2. “Reva! sayangku! akhirnya kamu balik kuliah lagi!” seru Rosa yang langsung menghampiri Reva di
Tok tok tok! Tok tok tok!Sudah berkali-kali, Zidan mengetuk pintu namun tak ada satu pun orang yang membukakan pintu untuknya sampai ia sesekali menepuk lengan dan kakinya karena dikerubungi nyamuk.Tok tok tok!“Ke mana sih orang-orang.” Zidan mulai kesal namun orang rumah juga tidak bisa disalahkan mengingat ia baru tiba di rumah pukul setengah 4 pagi. Sudah pasti orang-orang masih terlelap sekarang.Zidan akhirnya mencoba menghubungi Riri dan akhirnya diangkat.“Halo! Tolong buka pintu, saya sudah di depan sekarang.”“Oh, Tuan Zidan. Maaf, saya tidak tahu, saya ketiduran.”“Ya, enggak apa-apa. Tapi sekarang tolong buka pintunya.”“Baik Tuan.”Tak lama setelah sambungan terputus, pintu rumah akhirnya dibuka dan Zidan bisa masuk.“Sekali lagi saya minta maaf Tuan.”“Ya, enggak apa-apa,” jawab Zidan lalu melewati Riri. Saat tiba di depan pintu kamar Reva, ia berhenti, meletakkan tangannya di gagang pintu dan menekannya perlahan, ternyata kamarnya tidak terkunci. Ia pun masuk, berja
Setelah semua orang pulang, Reva merasa kesepian lagi. Rumah kembali sepi dan anehnya suaminya, orang yang seharusnya ada saat perayaan ulang tahun istrinya malah belum menunjukkan tanda-tanda akan pulang. Jam telah menunjukkan pukul 9 malam, beberapa jam lagi sudah mau berganti hari.Ia menghela napas panjang, benar-benar sudah tidak ada harapan lagi. Ia beranjak dari sofa setelah mematikan tv, berniat untuk langsung tidur saja namun,Ting! Ting! Bel rumah berbunyi membuat Reva sontak menatap ke arah pintu depan. Kakinya tergerak melangkah ke depan.Ceklek! Ia bisa melihat suaminya sedang berdiri di hadapannya dengan kepala tertunduk dan tangan yang berada di dahinya.“Om, kamu kenapa? kamu baik-baik saja?"Zidan mendongak, matanya tampak sayu, pipinya merah seperti orang yang habis mabuk. “Aku baik-baik saja.” Zidan menerobos masuk, melangkah agak sempoyongan.“Kamu habis mabuk ya Om?” Zidan berbalik, menatap Reva lama lalu menggeleng. “Enggak. Aku enggak mabuk, aku cuma minum du
Zidan pulang sore hari ini. Hari ini tidak banyak kerjaan di perusahaan sehingga ia bisa pulang lebih cepat. Ting! Ting!Ceklek! Ketika Zidan masuk, ia bisa melihat Reva dan Riri sedang sibuk menggeledah ruang tamu. “Kalian lagi ngapain?” tanya Zidan.“Lagi nyari hardiskmu lah,” jawab Reva yang tampak ngos-ngosan, keringat tampak mengalir dari dahinya menetes hingga ke bawah. “Belum ketemu juga?” “Belum.” “Saya benar-benar tidak tahu Tuan, Non. Seingat saya, saya simpan hardisknya di laci meja nakas di kamar Tuan, tidak ada saya pindahkan lagi setelah itu,” ungkap Riri, Reva melirik Riri tidak percaya ketika ART itu menjelaskan pada Zidan. Bagaimana bisa Riri berkata seperti itu sementara Reva sama sekali tidak menyentuh hardisk itu, sudah pasti dia yang memindahkannya.“Terus kalian pikir hardisk itu punya kaki? Kalau di kamarku sudah tidak ada lagi, berarti di antara kalian berdua ada yang mindahin. Enggak mungkin ‘kan Pak Anton yang mindahin?"Reva semakin kesal ketika Zidan
“Oke. 1 kelompok terdiri dari dua orang ya. Ibu enggak mau 1 kelompok terdiri dari banyak orang karena kalau gitu pasti bakalan banyak yang enggak kerja. Ibu maunya semuanya bekerja jadi paham dengan tugasnya. Mengerti?” “Mengerti Bu!” “Oke. Sekarang Ibu akan bagi kelompoknya ya,” ucap sang dosen seraya memakai kacamatanya lalu menatap ke kertas absen.“Duh, kenapa enggak milih sendiri aja sih kelompoknya,” bisik Rosa ke Reva di sebelahnya. “Iya, enakkan milih sendiri. Tapi, ya udah lah.”“Di catat ya. Kelompok 1, Sinta dan Caca, kelompok 2 Rosa dan Nana."“Yes, kita barengan.” Rosa dan Nana berpegangan tangan sebentar, sementara Reva di tengah di antara mereka cemberut karena otomatis tidak sekelompok dengan salah satu temannya.“Kelompok 3, Gio dan Serli, kelompok 4 Brian dan Ali. Kelompok 6 Reva dan Kevin.”Mata Reva terbuka lebar ketika mendengar nama teman sekelompoknya lalu saling pandang dengan temannya yang berada di kiri dan kanannya. Setelah dosen membagi semua kelompok
“Enggak Tuan, sa-saya enggak apa-apa. Saya izin sebentar mau keluar. Permisi.” Tanpa persetujuan Zidan, Riri langsung menyelonong pergi bahkan dengan langkah terbirit-birit.Zidan berbalik, melihat Riri yang sudah tiba di depan pagar dengan dahi berkerut dan mata memicing. ‘Sepertinya ada yang tidak beres di sini.'Zidan bergegas masuk, memeriksa ke setiap ruangan termasuk kamar Reva. ‘Dia tidak ada di kamarnya. Apa dia belum pulang?’ Zidan memeriksa jam di tangannya yang telah menunjukkan pukul 4 lewat 15 menit. ‘Bukankah seharusnya dia sudah pulang sekarang?’ walaupun cuek dengan Reva, ia tetap mengetahui seluruh jadwal kuliah Reva.Setelah memeriksanya semua tempat di bawah, ia pun pergi ke lantai 2. “Astaga, Reva!” pekik Zidan ketika menemukan istrinya sudah tergeletak tak sadarkan diri di depan kamarnya. Ia memeriksa denyut nadi di tangan Reva dan ia masih bisa merasakannya, ia juga melihat ada lampu tidurnya di sebelah Reva, sepertinya alat itu yang digunakan pelaku sampai membu
“Reva, kamu bisa dengar Mama?” tanya Dina ketika Reva membuka matanya perlahan. Dina masih menggenggam erat tangan putrinya.Reva bisa melihat Mamanya samar-samar, mengedipkan matanya beberapa kali sampai penglihatannya jernih. “Mama,”Sudut bibir Dina terangkat, ia menciumi tangan anaknya beberapa kali. “Alhamdulillah, Reva. Mama senang sekali kamu akhirnya sadar. Bagaimana kabarmu nak?”“Aku cuma pusing sedikit Ma. Tapi,” Reva mengedarkan pandangannya ke sekitar. “Ini di mana Ma?”“Kamu di rumah sakit. Memangnya kamu enggak sadar pas dibawa ke sini?” Reva mengernyitkan dahinya, bola matanya bergerak-gerak, kembali mengingat kejadian yang terjadi padanya sebelum dirinya berakhir di rumah sakit. Seketika matanya membola setelah mengingat semuanya. “Mbak Riri. Ke mana Mbak Riri? Dia orang yang udah memukul kepalaku, Ma. Dia yang buat aku pingsan."Bibir Dina terbuka, “Hah, Riri? Maksud kamu, Riri, pembantu di rumah kamu itu?”“Iya Ma. Dia jahat. Dia yang udah mencelakai aku.” Dina so
“Pak, bisa tunggu di sini sebentar? saya cuma sebentar kok, nanti sama bapak lagi pulangnya,” ucap Rian setelah turun dari ojek. Mereka baru sampai ke rumah sakit pondok indah. “Oh iya bisa. Saya tunggu di sini ya.” “Oke Pak. Sebentar ya.” Rian memasang tudung jaketnya lalu bergegas memasuki area rumah sakit. Rian berlalu lalang di sekitaran IGD dan tak sengaja melihat Reva baru saja keluar dari IGD sambil dipapah dengan seorang pria yang Rian yakin itu adalah suaminya Reva. Ia juga bisa melihat ada dua wanita paruh baya yang salah satunya Rian ketahui adalah mamanya Reva. Ia sontak bersembunyi ke balik tembok ketika mereka melewati area tersebut. ‘Aku harus mengikuti mereka,’ batin Rian lalu mengikuti mereka diam-diam dengan jarak aman. Setelah Reva dan yang lainnya masuk ke mobil Zidan, Rian bergegas menemui ojeknya. “Pak, tolong ikuti mobil itu ya,” ucapnya seraya menunjuk mobil sedan hitam yang mulai bergerak meninggalkan area rumah sakit. “Oke Bang.” Setibanya