Pesawat tiba pagi hari di bandara kota T, memakai jasa mobil bandara Abhygael dan Regan menuju ke hotel Sahid. Setelah mendapatkan kunci kamar masing-masing mereka berdua segera mandi dan beristirahat sebentar.Abhygael meminta Regan menemaninya ke mall untuk membeli beberapa kebutuhannya. Mereka janjian tidur dulu selama dua jam dan akan ke mall pada jam 10.00 pagi."Kita istrahat sebentar, badanku pegal semua, mungkin aku harus butuh di pijat biar bisa terlelap walau hanya sebentar," kata Regan saat Abhygael mengajaknya ke mall."Sore saja pijatnya, aku mau belanja beberapa keperluan," paksa Abhygael."Ntar lagi, lagian jam segini mall belum buka," kata Regan lalu segera keluar menuju ke kamarnya sendiri untuk tidur.Abhygael tak bisa tidur, dia sangat gelisah. Hatinya terlalu sakit membayangkan kenyataan yang akan dia temui nanti. Jika sudah begitu maka dia harus merelakan Leona, dia akan fokus membesarkan Abil seorang diri. Dia tak bisa menyalahkan Leona, karena semua kesalahan ber
Sejak kepulangannya dari Indonesia Timur, Abhygael tak banyak bicara. Bahkan ketika Regan ingin mengatakan yang sebenarnya dia bahkan tak perduli lagi. Dia menjadi sosok pria yang dingin tanpa ekspresi. Abhygael menghabiskan seluruh waktunya pada pekerjaan dan bermain bersama Abil. Putera menyadari perubahan anaknya tetapi dia tak menanyakan apapun. Selama itu tidak merugikan maka dia tak mempermasalahkannya.Regan ingin menceritakan semuanya pada Putera tapi dia takut, nantinya malah dia yang di salahkan. Akhirnya dia menghubungi guru Arafat untuk minta waktunya beberapa jam saja.Mereka bertemu di rumah Regan agar lebih leluasa untuk berbincang."Sejak kembali dari Indonesia Timur, aku jadi merasa sangat bersalah," Regan mengatakan apa yang mengganjal di hatinya.Guru Arafat hanya tersenyum simpul dan menepuk-nepuk bahu Regan."Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu, sebenarnya aku tahu semuanya tetapi aku ingin Abhygael memperjuangkan cintanya. Tapi kulihat dia tak ingin berjuang.""A
"Tuan menunggu anda di ruang perpustakaan." Maid menyampaikan pesan pada Julit saat dia menginjakkan kakinya di rumah itu.Dulu dia pernah tinggal di rumah ini, makanya tanpa di beritahu dia sudah tahu semua sudut rumah dan semua ruangan. Kecuali jika Putera telah merenovasinya. Tapi melihat struktur bangunannya yang tidak berubah, pastilah Putera tetap membiarkan kondisi rumah seperti semula.Julit masuk ke perpustakaan, dia menyalami mereka yang sedang duduk menunggunya. Putera tak pernah lepas dari guru spiritualnya. Saat ini mereka berempat menyambut kehadirannya. Karina dan Mutia hendak berdiri namun di cegah Julit."Tetaplah disini, aku ingin meminta pendapat kalian semua," cegahnya.Mutia dan Karina akhirnya memperbaiki cara duduknya kembali. Sebelum kedatangan Julit, mereka sedang membahas perkembangan proyek juga perubahan sikap Abhygael."Melihat wajahmu yang tegang seperti itu, sepertinya ada sesuatu yang penting," kata Putera."Iya kau benar, mungkin tidak begitu penting ba
Dalam pandangan Arafat, kondisi mak Mius saat ini sangat memprihatinkan. Hidup enggan matipun tak mau, mungkin ini gambaran yang bisa di berikan padanya. Semua yang hadir seakan terhanyut dengan keadaan. Sudah tidak memungkinkan bagi Mak Mius untuk di bawa ke Rumah Sakit, sekalipun di minta oleh Putera."Maukah kau memaafkan aku?" itulah kalimat terakhir yang terucap dari mulut mak Mius. Setelah itu matanya terpejam dan nafasnya tersengal-sengal. Untunglah kamarnya besar sehingga sepuluh orang tidak akan berdesakan di dalamnya. Isak tertahan dari Junet yang memegang kaki ibunya terdengar. Siapapun dia pasti bisa menyimpulkan jika kondisi mak Mius tak bisa tertolong lagi. Mereka yang tadinya masih berada di luar kini masuk ke dalam kamar. Tak ada yang bergerak, semua orang seakan terhipnotis dengan kondisi mak Mius yang diam tak bergerak. Sebagai dokter, Priska meraba nadi nenek mertuanya. Dia lalu menggeleng, namun kemudian Aditia menggandengnya ke luar dari kamar. Kemudian dia masu
Dalam pandangan Arafat, kondisi mak Mius saat ini sangat memprihatinkan. Hidup enggan matipun tak mau, mungkin ini gambaran yang bisa di berikan padanya. Semua yang hadir seakan terhanyut dengan keadaan. Sudah tidak memungkinkan bagi Mak Mius untuk di bawa ke Rumah Sakit, sekalipun di minta oleh Putera."Maukah kau memaafkan aku?" itulah kalimat terakhir yang terucap dari mulut mak Mius. Setelah itu matanya terpejam dan nafasnya tersengal-sengal. Untunglah kamarnya besar sehingga sepuluh orang tidak akan berdesakan di dalamnya. Isak tertahan dari Junet yang memegang kaki ibunya terdengar. Siapapun dia pasti bisa menyimpulkan jika kondisi mak Mius tak bisa tertolong lagi. Mereka yang tadinya masih berada di luar kini masuk ke dalam kamar. Tak ada yang bergerak, semua orang seakan terhipnotis dengan kondisi mak Mius yang diam tak bergerak. Sebagai dokter, Priska meraba nadi nenek mertuanya. Dia lalu menggeleng, namun kemudian Aditia menggandengnya ke luar dari kamar. Kemudian dia masu
Cuaca pagi ini sangat cerah, pesawat Garuda mendarat dengan sempurna sesuai jadwal. Dian sudah menunggu ibu Renata sekitar setengah jam yang lalu.Tak berapa lama, ibu Renata muncul di pintu kedatangan sambil menenteng sebuah kopor."Selamat datang di kota T bu," sapa Dian lalu meraih koper dari tangan ibu Renata."Apa kau sendiri saja? Siapa yang menemani Leona?" tanya ibu Renata sambil melihat ke kiri dan kanan."Aku dan sopir grab bu, Leona di temani Wildan dan Arini," jawab Dian lalu menuju ke parkiran di susul ibu Renata.Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk tiba lebih cepat di Rumah Sakit. Jalan di kota ini tak semacet kota Jakarta. Di kiri kanan jalan terdapat rumah-rumah penduduk dan beberapa sekolah dan rumah ibadah, juga pantai yang indah. Sopir grab mengemudikan mobilnya dengan perlahan sehingga ibu Renata masih bisa melihat pemandangan laut yang begitu tenang Begitu tiba di Rumah Sakit, Dian segera menuntun ibu Renata menuju ke ruangan VIP. Leona sedang duduk di atas ka
Sudah seminggu Abhygael uring-uringan, ada-ada saja hal yang membuatnya marah. Laporan yang disodorkan tanpa titik dan koma saja dia berang. Regan bahkan sempat jengkel dengan tingkah Abhygael akhir-akhir ini."Aku tak ingin ada kesalahan lagi," kata Abhygael dengan tegas."Siap bos!" jawab Regan dengan rahang mengeras menahan marah, sudah beberapa kali dia harus memperbaiki dokumen."Satu lagi, jangan izinkan siapapun masuk ke ruangan ini tanpa seizinku," ucap Abhygael tanpa menoleh sedikitpun pada Regan. Dia benar-benar memposisikan diri sebagai atasan.Regan benar-benar heran dengan bosnya, keningnya berkerut, lalu dia menggeleng-gelengkan kepalanya."Bukankah selama ini memang seperti itu bos," sanggah Regan.Abhygael mengabaikan sanggahan Regan, memang benar apa yang dikatakannya namun Abhygael merasa akan ada seseorang yang datang namun dia tak tahu siapa. Mungkin ini hanya perasaannya saja.Selama ini dia selalu bermimpi di datangi seorang gadis cantik, dia sangat ketakutan. Dia
Awalnya Abhygael enggan menghadiri acara selamatan yang diadakan sahabat ibunya di hotel berbintang lima itu. Namun kedatangan ibunya tadi pagi memintanya untuk ikut menghadirinya sebagai bentuk penghargaan terhadap sahabat. "Ibu Anita itu sahabat mama, tolong pikirkan kembali, mama tak ingin menyinggung perasaan mereka," begitu kata ibunya.Akhirnya malam ini Abhygael ke acara selamatan itu di temani Regan, dia datang tidak memakai pakaian formal seperti biasanya. Dia dan Regan memakai kemeja kotak-kotak yang senada dengan celana yang mereka kenakan."Lihatlah gadis itu, sepertinya dia terus menatapmu," bisik Regan."Dia gadis yang punya hajatan ini, tidak usah perduli kan. Toh kita sudah menghadiri acaranya," jawab Abhygael acuh tak acuh.Putera datang bersama Mutia, mereka menyalami pasangan pejabat itu dan anaknya.'Kenalkan ini Diandra, dia baru pulang dari Amerika," Ibu Anita memperkenalkan anaknya."Oh, anakmu cantik sekali," puji Mutia.Diandra tersipu malu mendengar pujian sa