Lilin yang bertuliskan angka 21 sudah habis terbakar.Krim putih mengalir ke meja, mengelilingi kotak hadiah yang terikat pita.Di atas kotak tersebut ada kartu ATM, yang diberikan oleh Sandi kepada Kania saat dia mulai tinggal di rumah Keluarga Buwono.Di bawah kartu tersebut ada kartu ucapan, dengan gambar kartun bertuliskan "Selamat Ulang Tahun" di pojok kiri atas, serta tulisan tangan yang familier.Kalimat di baris pertamanya saja sudah membuat Sandi menggertakkan giginya.Setelah membaca sisa kalimatnya, dia tertawa marah. "Oke, oke, oke!" katanya dengan nada yang sangat menakutkan."Usia 21 tahun, sudah pintar sekarang, bagus, bagus, bagus!"Begitu matanya tertuju pada kotak hadiah merah tersebut, sorot matanya memancarkan luapan emosi yang kuat.Dia mengambil hadiah pernikahan yang telah dipilih dan dibungkus dengan hati-hati oleh Kania, langsung melemparkannya ke kaca.Suara benturan yang keras membuat dekorasi di dinding pecah.Kotak hadiah itu hancur berantakan, dan isinya t
Zelandia?Jika dia ingat dengan benar, tantenya Kania memang sudah pindah ke Zelandia, 'kan?Tiba-tiba, telepon yang diterima di pesta dua minggu lalu muncul di benaknya.Teringat akan kecemasan yang sekilas terlihat di wajah Kania saat itu, Sandi mulai menduga-duga kebenarannya.Semalam penuh kekhawatiran dan kecemasan, keputusasaan dan rasa sakit, semuanya kini berubah menjadi kemarahan.Dia mengambil kartu kredit itu dan menggenggamnya erat, berjalan keluar dengan penuh kemarahan.Asisten yang mengikutinya bertanya dengan hati-hati."Pak Sandi, sekarang mau pergi kemana?"Sandi mendengus dengan wajah masam, mengucapkan satu kata dengan suara tercekat."Zelandia."Asisten langsung memesan tiket pesawat untuk keberangkatan terdekat.Selama dua belas jam perjalanan udara, Sandi tidak bisa memejamkan mata.Pikirannya kacau balau, berbagai gambar terus berputar di kepalanya. Perasaan campur aduk memenuhi hatinya.Saat bermain di taman hiburan bersama Kania yang baru berusia enam atau tuj
Saat asisten menemukan ponsel Kania di tempat sampah, wajah Sandi langsung berubah muram.Tidak ada yang lebih memahami kepribadian Kania selain dirinya.Jika Kania bilang ingin melepaskan sepenuhnya, maka dia pasti akan benar-benar melepaskan.Tak peduli apakah itu Sandi atau orang tuanya, tidak ada kesempatan lagi untuk memperbaikinya.Hati yang sebelumnya masih menyimpan sedikit harapan, kini benar-benar tenggelam dalam keheningan.Di bandara, orang-orang datang dan pergi. Beberapa berjalan bergandengan tangan, sementara yang lain melambaikan tangan untuk berpisah.Hanya dia yang berdiri sendirian di tengah keramaian, tidak tahu harus pergi ke mana.Kembali? Dia tidak rela.Menemui Kania? Dia takut mendengar langsung kata-kata penolakan itu.Tinggal atau pergi, bertemu atau tidak bertemu, semuanya menjadi dilema yang tidak bisa dia pilih.Asistennya yang tidak tahu apa yang ada di pikirannya, langsung menghubungi nomor yang diberikan oleh sekretaris."Halo? Apakah ini Bu Kemala? Sel
Ruang VIP itu hening sejenak, baru kemudian Sandi mengeluarkan suara berat."Mungkin di matamu dan orang luar, aku yang membesarkan Kania. Tapi bagiku, Kania yang menemaniku selama belasan tahun. Kamu juga tahu, orangtuaku sibuk dengan pekerjaan, kakakku lebih tua sepuluh tahun dariku, jadi aku tumbuh sendirian sejak kecil. Meskipun kebutuhan materiku tercukupi, aku selalu merasa kesepian.""Aku menyaksikan Kania tumbuh dewasa. Dia selalu sangat bergantung padaku, dan begitu cerdas serta menggemaskan. Setelah mengenalnya, aku merasa lebih ceria. Setelah kejadian tragis itu, aku merasa kasihan padanya dan memutuskan untuk tetap berada di sisinya. Dalam hatiku, Kania sudah seperti keluargaku."Mendengarkan pengakuan panjang lebar dari Sandi, Kemala pun merasa terharu."Benar, meskipun Kania memanggilmu Om, tanggung jawab yang kamu emban sebenarnya adalah tanggung jawab seorang ayah. Aku juga paham bahwa kalian sangat dekat, makanya selama ini aku nggak mengganggu kalian. Baru sebulan yan
Saat Kemala tiba di rumah, waktu sudah menunjukkan dini hari.Lampu di kamar Kania masih menyala, jadi dia mengetuk pintu.Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, menampakkan dua wajah."Ibu!""Tante."Melihat jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, dan putrinya yang biasanya langsung mengantuk setelah makan malam belum tidur, Kemala merasa aneh."Liana, kok belum tidur? Apa kamu mengganggu kakakmu istirahat?"Liana mengerucutkan bibirnya, membelalakkan matanya lebar-lebar, menunjukkan wajah polos."Kakak yang mau menunjukkan foto-fotonya waktu kecil, juga hasil gambarnya. Aku merasa gambar Kakak bagus sekali. Karena asyik melihat, aku lupa waktu."Mendengar kata-kata putrinya, Kemala pun tertarik dan bergabung dengan kelompok kecil itu untuk menikmati karya-karya Kania.Meski bukan ahli, hanya dengan sekali lihat, Kemala bisa melihat bakat luar biasa keponakannya dan berdecak kagum."Kania, kamu belajar menggambar sudah berapa tahun? Gambarmu bagus sekali. Pernah terpikir untuk b
Malam pertama di Zelandia, Kania tidur dengan sangat nyenyak.Saat dia bangun, sudah pukul sepuluh pagi. Sambil meregangkan badan dan menguap lebar, terdengar ketukan di pintu."Kakak, kamu sudah bangun? Ibu bikin pangsit, dan aku yang memasaknya untukmu. Cepat coba, ya!"Kania menjawab dan segera bersiap, lalu turun ke bawah.Baru saja duduk di meja makan, Liana sudah menyuapkan pangsit ke mulutnya dengan tatapan penuh harap.Bermaksud untuk menggoda adiknya, Kania sengaja mengernyitkan dahi sambil mengunyah. Wajah mungil Liana ikut berkerut.Melihat itu, Kania ingin tertawa. Dia langsung memeluk adiknya dan berkata penuh kekaguman."Liana yang masak? Wah, enak banget! Mulai sekarang, semua urusan pangsit Kakak serahkan ke kamu, ya!"Gadis kecil itu langsung tersenyum sumringah."Kalau begitu, semua pangsit buat Kakak aku yang bikin! Tapi, Kakak harus ajarkan aku menggambar, ya?"Permintaan kecil itu langsung disetujui Kania tanpa pikir panjang.Namun, begitu selesai sarapan, Liana la
Suara yang tidak asing itu membuat Kania langsung tertegun.Dia mengucek matanya dan akhirnya melihat jelas orang di depannya, lalu tanpa sadar memanggilnya."Om Sandi?"Mendengar panggilan itu dari mulutnya sekarang, Sandi merasa seluruh tubuhnya tidak nyaman."Kamu sudah kembali ke Keluarga Rusli, mulai sekarang jangan panggil aku Om Sandi!"Dari nada bicaranya, Kania bisa menilai kalau pria itu marah.Namun, dia tetap tidak mengerti kenapa Sandi tiba-tiba berkata seperti itu.Bukankah dulu, ketika orang tua Kania masih ada, dia juga memanggilnya Om Sandi?Kecuali pada saat usia 17 atau 18 tahun di masa remajanya, karena kesal setelah pengakuan cintanya ditolak, Kania memang beberapa kali langsung memanggil nama Sandi. Namun selebihnya, dia selalu memanggilnya Om Sandi.Kania tidak bisa memahaminya dan takut jika ini hanya kata-kata marah saja, jadi dia tidak berani membantah lagi."Om Sandi, tolong turunkan aku."Mendengar Kania masih memanggilnya seperti itu, wajah Sandi langsung m
Setelah mengganti pakaian basahnya, Kania sedang mencari alasan untuk pergi ketika tiba-tiba Liana berkata dia lapar.Sandi menggendongnya dan tanpa berkata apa-apa langsung menuju restoran.Kania hanya bisa mengikutinya dengan langkah kecil.Begitu mereka bertiga duduk, telepon Sandi langsung berdering.Dia mengambilnya, melihat sekilas, lalu langsung memutus panggilan.Dari sudut matanya, Kania melihat nama yang muncul di layar: Zita Kurnia.Saat itulah dia teringat sesuatu yang penting dan hendak bertanya, tetapi dering telepon itu kembali terdengar.Sandi langsung mengaktifkan mode pesawat.Rentetan aksinya yang begitu cepat membuat Kania terpaku melihatnya.Dua menit kemudian, ponsel Kania juga berdering, kali ini menunjukkan nomor internasional.Saat dia menekan tombol jawab, terdengar suara penuh kemarahan dan histeris dari seberang."Kania! Dasar perempuan licik dan murahan! Kamu bawa Sandi ke mana?""Dari mana kamu tahu nomor ini?"Karena duduk cukup dekat, Sandi mendengar set
Meskipun Keluarga Kurnia bukan dari kalangan pejabat atau pedagang kaya, mereka selalu dihormati di Jintara berkat warisan budaya literatur mereka yang sudah turun-temurun.Hingga generasi Zita, Keluarga Kurnia hanya memiliki satu anak perempuan, sehingga mereka membesarkannya dengan penuh perhatian, mencurahkan banyak sumber daya sejak kecil untuk memastikan masa depan cerah yang dapat mendukung keluarga.Untuk itu, Keluarga Kurnia secara khusus mengundang seorang maestro seni lukis tradisional yang paling terkenal di negeri ini untuk mendidik Zita sejak kecil. Dengan reputasi sebagai murid langsung dari Pak Jayadi, Zita berhasil menciptakan nama besar di dunia seni lukis meski usianya masih muda.Melalui Pak Jayadi pula Zita bisa mengenal Sandi.Ketika berita pertunangan mereka menyebar, Keluarga Kurnia sangat gembira, mengira inilah kesempatan untuk mencapai puncak kesuksesan.Namun, tidak sampai satu bulan kemudian, berita bahwa Zita diusir dari vila Keluarga Buwono menyebar luas d
Setelah upacara pembukaan selesai, Kania mengantar keluarga tantenya keluar dari kampus, lalu berbalik menuju fakultasnya.Baru saja sampai di gerbang, dia mendongak dan langsung bertemu dengan sepasang mata yang sangat tidak asing.Entah kenapa, setelah sepenuhnya melepaskan perasaan itu, setiap kali bertemu Sandi, dia selalu merasa seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah oleh orang tuanya.Rasanya persis seperti saat dia diam-diam memberikan kalung ibunya kepada temannya dan ketahuan.Apakah ini yang disebut wibawa dari seorang senior?Bertemu langsung seperti ini, dia tidak mungkin berpura-pura tidak melihatnya. Dengan gugup, dia maju untuk menyapa Sandi."Om, kenapa Om ke sini?"Melihat matanya yang menghindar, hati Sandi terasa sakit.Namun, dia menekan gejolak emosinya dan berpura-pura tenang."Aku datang untuk melihat upacara pembukaan."Kania mengangguk pelan tanpa berkata apa-apa lagi.Keduanya berjalan dalam diam, perlahan memasuki fakultas.Keheningan ini membuat Sand
Sejak mengetahui bahwa Nona Kania bukan kabur dari rumah melainkan pindah ke luar negeri, dahi pengurus rumah selalu berkerut.Dulu, saat Nona Kania masih di sini, jika mereka melakukan kesalahan, masih ada yang membela mereka.Selama Nona Kania yang bicara, kesalahan sebesar apa pun, Sandi pasti akan memaafkannya.Karena sekarang dia tidak ada, yang menderita adalah para pelayan di bawah Sandi.Entah kenapa, Sandi belakangan ini tidak hanya murung, tetapi juga gemar mencari kesalahan.Juru masak tidak memasak bubur pagi, Sandi langsung marah besar. Juru masak yang panik hanya bisa buru-buru memasak sambil menggerutu. "Nona Kania nggak ada, Pak Sandi sendiri juga nggak suka bubur. Wajar dong, kalau nggak dimasak?"Tukang kebun memangkas dua pohon di halaman, gajinya langsung dipotong dua bulan. Tukang kebun itu berpikir keras, tetapi tidak mengerti. Bukankah dua pohon itu ditanam oleh Nona Kania, yang sebelum pergi terus berpesan agar sering dipangkas supaya bisa tumbuh tinggi? Apa yan
Setelah tiba di Jintara, asisten yang pengunduran dirinya ditolak langsung datang menjemput Sandi dengan mobil.Setelah melewati peristiwa ini, asisten itu melihat banyak hal dengan lebih jelas. Sekarang dia bekerja dengan sungguh-sungguh, pikirannya hanya tertuju pada atasannya dan Nona yang pernah menyelamatkan nyawanya.Selama dua hari ini, ponselnya hampir tidak berhenti berdering karena masalah pernikahan yang dibatalkan. Namun, dia tetap tutup mulut, tidak mengungkapkan sepatah kata pun.Kini bosnya sudah kembali, beban dan tekanan yang dia pikul akhirnya bisa dilepaskan, membuat suasana hatinya jauh lebih baik.Satu-satunya masalah adalah suasana hati bosnya tampaknya tidak terlalu baik, sehingga dia menyampaikan laporan dengan nada yang sangat hati-hati."Pak Sandi, meskipun pernikahan telah dibatalkan, Nona Zita terus membuat keributan. Kemarin dia bahkan membawa barang-barangnya dan pindah ke vila, tinggal di kamar yang dulu dihuni oleh Nona Kania."Mendengar hal ini, Sandi l
Kemala tidak bicara, hanya memandanginya dengan tatapan tajam.Malam musim panas yang terik membuat Sandi berkeringat dingin di bawah tatapan itu.Sandi mengira Kemala tidak mendengarnya dengan jelas, dan saat hendak bertanya lagi, Kemala akhirnya berbicara."Kania bilang hari ini hari pernikahanmu. Kenapa kamu ada di Zelandia? Pengantin pria nggak perlu menghadiri pernikahan sendiri, ya?"Nada suaranya terdengar sangat tenang, tetapi kata-katanya mengguncang hati Sandi seperti badai besar.Di bawah tekanan dan aura kuatnya, akal sehat Sandi yang sempat hilang akhirnya kembali."Pernikahan dibatalkan.""Kenapa dibatalkan? Apa karena mau menemui Kania? Apa Om Buwono tahu soal ini?"Kemala tidak memberinya kesempatan untuk bernapas sama sekali. Rentetan pertanyaan itu seperti butiran mutiara yang jatuh ke piring keramik, menimbulkan suara gemerincing.Setelah beberapa menit hening, Sandi akhirnya memaksa dirinya memberikan jawaban."Dibatalkan sebelum aku datang. Ini nggak ada hubunganny
Setelah Kania membawa Liana pergi, Sandi duduk sendirian di ruang pribadi hingga langit gelap.Baru setelah pelayan masuk untuk membereskan meja dan dengan hormat mengatakan bahwa restoran akan tutup, dia membayar ganti rugi atas barang-barang yang rusak, lalu meninggalkan restoran itu dengan linglung.Dalam gelapnya malam, lampu jalan mulai menyala di mana-mana.Saat dia membuka ponselnya, ada lebih dari seratus panggilan tak terjawab dan 99+ pesan yang belum dibaca.Ada dari Zita, dari orang tuanya, dari teman-temannya, dan dari pembawa acara.Pembawa acara?Oh, benar. Hari ini adalah hari pernikahannya. Dia hampir lupa.Namun, ingat atau tidak, apa bedanya?Pernikahan ini pada dasarnya hanya pura-pura. Sebuah sandiwara yang diatur olehnya dan Zita untuk menghancurkan delusi Kania terhadap dirinya.Apa yang dia inginkan sudah didapatkan tanpa usaha berarti, jadi pernikahan ini tidak lagi diperlukan.Mengingat bagaimana selama dua bulan ini dia menahan rasa tidak nyaman, berpura-pura
Apakah kakak beradik itu bertemu dengan Sandi saat keluar hari ini? Pantas saja pulangnya sampai siang begini.Tatapan Kemala tampak agak terkejut, tak bisa menahan diri untuk bertanya lebih lanjut.Liana dengan penuh semangat menceritakan semua yang terjadi pagi itu.Awalnya, saat mendengar tentang insiden jatuh ke air, Kemala merasa ngeri dan takut, penuh dengan rasa was-was.Kemudian, saat berbicara tentang makan siang, Liana tidak ingat semua detailnya, hanya memilih satu dua kalimat yang dia ingat, menekankan ekspresi Sandi saat berbicara."Waktu Om Sandi bertanya pada Kakak apa dia nggak mau bertemu dengannya lagi, Om Sandi seperti mau menangis. Lalu, dia bicara tentang beda usia sepuluh tahun, nggak ada hubungan darah, dan semacamnya. Terakhir Kakak bilang semoga Om Sandi bahagia di pernikahannya, lalu Om Sandi langsung membalikkan meja. Seram banget!"Meski ini hanya ucapan polos seorang anak, kata-kata Liana sepenuhnya menyadarkan Kemala.Sebelumnya, dia selalu merasa ada yang
"Tapi, rasa saling benci ini sebenarnya nggak terlalu penting lagi. Lagi pula, kamu yang akan menghabiskan sisa hidup dengannya. Aku dan dia seumur hidup nggak akan pernah bertemu lagi."Setiap kata terasa seperti pisau tumpul yang mengiris di hati Sandi, membuatnya merasakan sakit hingga napasnya terasa berat.Matanya dipenuhi kesedihan yang tak berujung, suaranya mengandung rasa tidak rela yang samar-samar."Lalu aku? Apa kamu juga nggak mau bertemu lagi sama aku?""Mana mungkin?"Kalimat pertama seperti suntikan pereda nyeri, tetapi kalimat berikutnya langsung menyuntikkan racun ke dalamnya."Bagaimanapun, kamu sudah membesarkan aku. Saat tahun baru atau hari raya, ucapan hormat untuk orang yang dituakan nggak akan aku lupakan, Om."Saat mengucapkan ini, wajah Kania penuh rasa hormat.Tak peduli bagaimana Sandi mengamati atau menatapnya, dia tidak bisa lagi melihat rasa peduli ataupun suka di mata Kania.Kania telah sepenuhnya menganggap Sandi sebagai seorang sesepuh yang dihormati.
Setelah mengganti pakaian basahnya, Kania sedang mencari alasan untuk pergi ketika tiba-tiba Liana berkata dia lapar.Sandi menggendongnya dan tanpa berkata apa-apa langsung menuju restoran.Kania hanya bisa mengikutinya dengan langkah kecil.Begitu mereka bertiga duduk, telepon Sandi langsung berdering.Dia mengambilnya, melihat sekilas, lalu langsung memutus panggilan.Dari sudut matanya, Kania melihat nama yang muncul di layar: Zita Kurnia.Saat itulah dia teringat sesuatu yang penting dan hendak bertanya, tetapi dering telepon itu kembali terdengar.Sandi langsung mengaktifkan mode pesawat.Rentetan aksinya yang begitu cepat membuat Kania terpaku melihatnya.Dua menit kemudian, ponsel Kania juga berdering, kali ini menunjukkan nomor internasional.Saat dia menekan tombol jawab, terdengar suara penuh kemarahan dan histeris dari seberang."Kania! Dasar perempuan licik dan murahan! Kamu bawa Sandi ke mana?""Dari mana kamu tahu nomor ini?"Karena duduk cukup dekat, Sandi mendengar set