Beberapa pengunjung Pink Flower Salon and Bridal yang sedang menunggu giliran, menoleh ke arah Maryam yang tiba-tiba saja membuka pintu salon itu.“Permisi.” Maryam memasuki salon. Dia menatap orang-orang yang sedang duduk di sebuah ruangan seperti lobi, karena di situ tampak seperti ruang tamu, dengan meja resepsionis.Para customer salon itu tampak tak peduli pada orang yang baru datang, mereka kembali pada aktivitas awal mereka, main hape.“Ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis.“Ehm, di sini… potong rambut sama perempuan, kan?” tanya Maryam.“Bisa Mbak, tapi… saat dipotong nanti mungkin rambutnya dilihat sama banyak orang juga, cewek cowok. Nggak ada ruang khusus buat muslimah.” tutur resepsionis itu.Maryam tidak berminat memotong rambutnya, dia cuma penasaran, betulkah orang yang sekilas dilihatnya masuk ke salon itu, adalah Marco? Atau cuma mirip? Namun, setelah disusul masuk ke dalam salon, ternyata Maryam tidak melihat sosok Marco di antara orang-orang yang sedang dudu
“Perampokan atau pembunuhan?” “Perampokan disertai dengan pembunuhan!” Ipda. Binsar berusaha menjelaskan kepada komandannya di Satuan Reskrim, seorang perwira menengah berpangkat AKBP. Hari itu Binsar baru saja mendatangi sebuah bridal yang berlokasi di Jl. Riau, yang tadi malam disatroni perampok. Bahkan ada korban jiwa.Binsar memberikan laporan lisan kepada atasannya. “Tadi pagi sekitar pukul 09:00, seorang satpam yang biasa bertugas di Pink Flower Bridal and Salon, membuka rolling door bridal itu. Biasanya office boy yang membuka rolling door. Tapi hingga jam 09:00, rolling door masih juga tertutup. Akhirnya satpam membukanya dengan kunci cadangan. Dia lalu mencari si office boy, dipikirnya sakit.” “Saat tiba di kamar yang biasa ditempati oleh office boy, satpam itu menemukan office boy dalam kondisi tergeletak di tempat tidur, dengan lidah terjulur, dan bekas jeratan tali di leher. Satpam itu segera menelepon pemilik bridal, lalu menelepon polisi. Setelah polisi datang, offic
Jenazah Sobar, office boy di Pink Flower Bridal and Salon, sudah dibawa oleh keluarganya untuk dimakamkan di kampung halamannya. Sementara polisi memanggil beberapa orang ke Markas Polrestabes Bandung untuk dimintai keterangan seputar kasus perampokan disertai pembunuhan itu. Jalan Riau adalah ruas jalan yang cukup panjang. Para penyidik meneliti lokasi TKP di Jalan Riau, dari berbagai sudut pandang. Juga meneliti rekaman dari beberapa CCTV milik Dinas Perhubungan yang terpasang di ruas Jalan Riau. Rekaman CCTV cukup buram karena pada malam kejadian, Jalan Riau diguyur hujan deras, walau tidak lama. Ketika hujan deras itu, ada kilat menyambar sebatang pohon di Jalan Riau, sehingga mematahkan dahan besar dari pohon itu. Dahan besar tersebut cukup tinggi, saat hendak jatuh sang dahan membawa serta kabel listrik yang melintang di dekatnya. Kabel listrik putus, sehingga memutuskan aliran listrik di kawasan itu selama hampir lima jam. Teknisi PLN berhasil memperbaiki, dan listrik kemba
Pemilik Pink Flower Bridal and Salon adalah seorang wanita muda, cantik, dan tinggi semampai. Bernama Lyla Lisnasari, usianya 25 tahun. Saat datang ke Mapolrestabes Bandung, dia tampak bingung, tertekan, dan sedih. “Apakah bridal dan salon itu milik Anda, atau milik seseorang dan Anda cuma mengelolanya saja?” tanya penyidik utama untuk kasus pembunuhan di bridal, yaitu Iptu. Ekky Wahyudi. “Tentu saja milik saya sepenuhnya!” jawab Lyla. “Saya dapat warisan dari kerabat saya. Ada seorang bibi saya yang wafat dalam kondisi tidak punya anak, dan suaminya juga sudah lama meninggal. Beliau meninggalkan wasiat supaya hartanya dibagi-bagikan kepada beberapa orang keponakannya. Warisan bagian saya, lalu saya jadikan modal usaha.”Lyla lanjut bertutur, “Mula-mula saya buka salon kecil. Saya punya banyak pelanggan yang mempercayai saya. Mereka memberi banyak order sebagai MUA, dan memberi saran untuk pengembangan usaha perangkat pernikahan dan wedding organizer. Saya pinjam uang pada beberapa
Kemungkinan seperti yang dipaparkan oleh Lyla memang ada, dan wajar, pikir Inspektur Ekky. Namun, sebagai reserse, dia tidak mau kalah bicara oleh orang yang sedang diinterogasinya.“Anda memperlihatkan sikap yang tidak suka kepada Pak Jacob, padahal beliau itu tetangga Anda yang tokonya paling dekat dengan lokasi usaha Anda.”“Justru Pak Jacob yang sepertinya tidak suka sama saya! Mungkin karena dia gagal dapat komisi, temannya kan, batal mengontrak lokasi itu, karena pemiliknya lebih memilih saya untuk menyewa tempatnya.”Ekky manggut-manggut, lalu melihat catatannya. “Kami sudah menanyai beberapa orang, tentang aktivitas Anda pada hari Rabu. Anda datang ke bridal itu pada pukul 10:00. Lalu pergi dari bridal, pada pukul 16:00, betul begitu?”“Ya.”“Setelah pukul 16:00 itu, Anda ada dimana?”“Saya pulang ke apartemen saya.”“Anak buah saya sudah mengecek ke apartemen tempat Anda tinggal. Sebetulnya Anda tinggal sendirian, kan? Ternyata sudah seminggu ini, orang tua Anda datang, dan m
“Assalamualaikum, Ukhti Maryam, senang bertemu denganmu lagi.” Maryam menjawab salam dari Hanif yang berdiri di teras kantor Fakultas Kependidikan, tempat Maryam baru saja mengambil berkas transkrip nilainya. “Senang ya, begitu lulus, Ukhti bisa langsung mendapat pekerjaan, di tempat yang cocok buat Ukhti, sehingga bisa tetap berbusana muslimah dengan benar.” “Ya, alhamdulillah, ada teman yang memberi info soal lowongan kerja di butik itu.” jawab Maryam. Teman yang dia maksud tentu saja Marco. Namun, dalam pikiran Hanif, teman yang dimaksud oleh Maryam itu adalah seorang muslimah, rekan Maryam di kampus, atau mungkin di pengajian. Karena butik identik dengan wanita, yang ngasi info pasti seorang wanita. Maryam bicara lagi, “Saya mau ke tempat kerja. Tadi pagi minta izinnya cuma untuk beberapa jam saja. Permisi ya Akhi Hanif.” “Kantormu di butik Jalan Dago itu, kan? Saya juga mau ke Jalan Dago, ada klien yang harus saya temui di sana. Mau bareng, Ukhti? Saya naik mobil nggak send
“Maryam….”“Ya?” Maryam menoleh ke arah Marco, setelah beberapa langkah berjalan.“Sini, aku harus ngomong sesuatu….”Maryam kembali menghampiri Marco yang masih berdiri di teras homebase.“Ehm… gimana cara ngomongnya ya?” Marco berpikir sebentar. “Pokoknya begini Maryam, kalau besok lusa ada kejadian yang berkaitan denganku … yang mungkin bakal membuat kamu bingung, sedih, kecewa… aku mohon, kamu harus tetap percaya padaku, tidak meragukan aku sedikitpun, ya?”“Ada kejadian apa sih, Bang?” Tiba-tiba Maryam merasa ada firasat buruk.“Apapun itu, kuharap kamu tidak terpengaruh, dan tetap percaya padaku.”“Bagaimana aku bisa mengantisipasi apa yang bakal terjadi, kalau kamu nggak mau bilang, ada masalah apa sebenarnya?”“Saat ini aku belum bisa bilang apa-apa Maryam….”“Jadi gimana dong?” Maryam makin bingung.“Kamu harus tetap percaya padaku, dan tidak berubah pikiran dengan rencana kita, itu saja yang aku minta.”Maryam cuma bisa mengangguk-angguk, tapi tidak mengerti. Lalu dia pamit
Maryam kaget saat membuka pintu kamar kosnya yang barusan diketuk. Hanif berdiri di teras kamarnya. “Akhi, saya sudah membaca suratmu. Saya betul-betul minta maaf….” “Saya sudah tahu, dari Latifa. Tidak perlu merasa bersalah, Ukhti. Saya datang ke sini cuma ingin membuktikan sebuah dugaan. Kamu akan menikah dengan Marco, kan?” “Kenapa Akhi menduga begitu?” “Kamu bilang sudah dilamar oleh seseorang, adikku pikir itu cuma dalihmu untuk menolak saya. Tapi saya percaya dengan ucapanmu, dan saya tidak bisa memperkirakan laki-laki lain, kecuali Marco, dia kan, yang selama ini selalu mendekati kamu?” Akhirnya Maryam mengangguk. “Kapan kalian akan menikah?” “Insya Allah bulan depan. Tapi berita ini jangan dulu disebarkan pada orang lain.” “Takut batal?” Hanif menatap Maryam. “Kamu merasa sudah mantap, Ukhti? Apapun yang terjadi, kamu akan tetap menikah dengan dia?” “Insya Allah.” Hanif mengambil beberapa lembar kertas dari dalam plastik yang sejak tadi dijinjingnya. “Saya berlangg
Cynthia memperkirakan, jika Maryam kena kasus hukum di Cirebon, maka Maryam tidak akan kembali ke Bandung dalam waktu dekat. Lantas siapa yang akan datang menolong Maryam? Cynthia yakin jika Hanif yang kelak akan datang untuk membantu advokasi bagi Maryam. Kebersamaan Maryam dan Hanif selama proses hukum, akan membuat mereka dekat. Kalaupun misalnya Maryam kena pidana, dan harus dihukum, Cynthia mengira Maryam hanya akan kena hukuman percobaan selama satu tahun, atau paling lama satu tahun enam bulan. Maryam tidak akan dipenjara, tapi akan masuk panti rehabilitasi korban narkoba. Selama menjalani rehabilitasi, Maryam akan semakin dekat dengan Hanif, dan akhirnya Marco akan terlupakan. Maryam akan memilih Hanif. Begitulah rencana Cynthia. “Maaf kalau nanti kamu bakal sedikit susah, Maryam. Aku bikin rekayasa kasus hukum buat kamu, supaya kamu bisa lebih dekat lagi dengan Hanif. Aku sudah dapat banyak info tentang dirimu, dari teman-teman dekatmu. Hanya Hanif yang bisa bikin Mar
Niar mengenal Cynthia ketika suatu hari Cynthia datang ke rumah kos tempat Niar tinggal. Cynthia melihat Niar keluar dari salah satu kamar, bersama dengan teman sekamarnya. Lantas Cynthia mengikuti Niar yang pergi bekerja di sebuah supermarket. Kemudian Cynthia mengajak Niar bicara, yang intinya meminta kerjasama Niar untuk membuat Maryam meninggalkan rumah kos itu. Kalau Maryam tidak mau hengkang, maka Niar diminta mencari tahu kapan Maryam akan pulang kampung, karena Cynthia ingin menitipkan sesuatu supaya dibawa oleh Maryam ke kampungnya.Ketika itu Niar ingin tahu, apa alasan Cynthia ingin membuat Maryam pergi dari rumah kos itu, bahkan sebenarnya Cynthia ingin Maryam pergi dari Bandung. Cynthia bilang bahwa Maryam adalah pelakor bagi hubungan antara Sabrina dan Marco. Cynthia bilang bahwa Sabrina adalah kerabatnya, yang sudah bertunangan dengan Marco, dan pernikahan mereka sudah dipersiapkan. Akan tetapi Marco malah lebih sering ngurusin Maryam, lebih peduli pada Maryam, ketimb
“Cepat habisin makannya Teteh, kayaknya banyak pembeli.”Omongan Nanang menyadarkan Maryam dari lamunan tentang hari di mana dia bersikap tidak peduli saat Marco meneleponnya dan bicara soal wisuda. Rasanya sesak sekali di dada, saat harus bersikap masa bodoh terhadap hari wisuda Marco. Hari di mana Marco seharusnya merasa bahagia karena akhirnya dia berhasil menyelesaikan studi.Maryam menghabiskan kupat tahu di piringnya, lantas meninggalkan bangku yang sejak tadi didudukinya. Nanang sudah membayar, lantas mengajak kakaknya berjalan kaki ke sebuah taman kecil di tepi sebuah jalan raya. Maryam dan adiknya duduk di bangku taman. Maryam sudah bercerita pada adiknya, soal TKIT Bunga Bangsa yang tidak lagi beroperasi. Soal pemberhentiannya dari pekerjaan di bimbel.“Sekarang ini Teteh jadi pengangguran, Nang.”“Oh, kalau begitu kebetulan Teh ….”“Kebetulan apa?”“Bapak nyuruh kita pulang ke Cirebon, Teh Irma mau nikah.”Irma adalah saudara sebapak, ibunya Irma adalah istri pertama bapakn
Nanang bicara lagi pada kakaknya, “Yang tempo hari nolongin Teteh waktu pingsan di dalam kamar kos, Bang Marco kan? Teteh sudah akur lagi kan, sama Bang Marco?”Seandainya benar begitu, pikir Maryam. Benaknya mengembara ke hari yang telah lalu, ketika dia sudah sembuh dan kembali masuk kerja di TKIT Bunga Bangsa. Saat itu belum ada keputusan bahwa TK bakal berhenti beroperasi. Ketika jam istirahat, satpam memberitahu Maryam bahwa ada seorang gadis yang datang untuk menemui Maryam. Gadis itu menunggu di pos satpam. Maryam merasa pernah melihat gadis itu.“Nama saya Cynthia, saya adik tingkatmu di Universitas Taruma.” Gadis itu menyalami Maryam.“Ada perlu apa, ya?”“Kita ngobrol sebentar di rumah makan itu, ya Mbak? Saya belum makan siang, biar sekalian saya yang traktir Mbak Maryam.”“Saya sudah makan.”“Tapi saya pengin bicara penting dengan Mbak Maryam, kayaknya nggak nyaman kalau sambil berdiri begini.”Akhirnya Maryam setuju untuk mengobrol di rumah makan depan TK. Gadis itu makan
Dengan berjalan kaki, Maryam kembali ke tempat kosnya. Sore itu seperti sore sebelumnya, jalanan padat oleh kendaraan dari para pegawai yang pulang kerja. Di trotoar, para pedagang yang biasa berjualan malam, mulai menyiapkan lapak dagangannya. Maryam mampir ke warung tenda penjual soto Lamongan. Dia beli soto ayam dengan bihun untuk dibawa pulang sebagai makan malam.Tiba di tempat kos, Maryam disambut dengan lambaian tangan pemilik kos.“Ada apa, Bu?” Maryam menghampiri wanita itu, yang sedang duduk di teras rumahnya. Dari teras rumahnya itu dia bisa memantau semua pintu kamar kos miliknya, makanya jika menunggu anak kosnya datang, dia akan duduk di situ.“Begini Maryam, bulan ini kan, tinggal dua hari lagi. Nah, ibu pengin kepastian, bulan depan kamu masih tinggal di sini, atau mau pindah? Soalnya sudah ada yang nanyain kamar kosong di sini, katanya pengin kos di sini awal bulan depan. Kalau kamu masih mau di sini, bisa ya, sekarang ini kamu bayar kos untuk bulan depan? Besok dibay
Dua hari kemudian Marco mendapat balasan email dari sebuah perusahaan. Dia pernah melamar via email ke perusahaan transportasi udara yang lokasi kerjanya di wilayah timur Indonesia. Keluarganya tidak punya hubungan kerja dengan perusahaan tersebut, namun mungkin saja pemilik perusahaan mengenal papanya, karena sama-sama pengusaha transportasi. Lazimnya para pengusaha itu berserikat dalam sebuah organisasi, dan ada pertemuan berkala antaranggota. Buat Marco, cukup sulit menemukan perusahaan yang ownernya sama sekali tidak mengenal papanya. Marco tetap berharap dia diterima bukan karena melihat siapa orang tuanya, tapi karena dirinya yang dinilai mampu menempati posisi yang dilamarnya.Berangkat ke ibu kota, Marco memilih naik mobil travel. Dia menginap di rumah kerabatnya. Keesokan harinya, kerabatnya itu mengantar Marco ke lokasi wawancara kerja, yaitu sebuah gedung besar di pusat ibu kota. Salah satu bagian dari gedung itu adalah kantor cabang perusahaan transportasi udara. Marco du
Sementara itu, di kamarnya, Sabrina sedang menelepon seorang teman dekatnya. Temannya itu bernama Cynthia, adalah adik tingkat Marco di kampus Universitas Taruma Bandung. Sebagai adik tingkat, tentu saja Cynthia tahu siapa Marco dan Maryam, walau tidak saling mengenal. Sabrina bicara, “Maryam itu kerja di sebuah TK, entah jadi guru, atau jadi staf administrasi. Tapi aku lihat berita, TK itu bermasalah, ada kasus keracunan massal.” “Aku juga menyimak kasus itu. Pelakunya sudah ditangkap, tapi kayaknya kasus itu berimbas ke reputasi TK itu. Aku punya kerabat yang tinggal di kompleks perumahan tempat TK itu berada. Orang-orang kompleks itu sudah nggak percaya lagi buat mendaftarkan anaknya di TK itu. kayaknya TK itu sudah nggak laku, mungkin bakal tutup.” “Cyn, apakah Maryam masih kos di dekat kompleks perumahan itu?” “Ya, masih. Eh, aku punya kenalan di tempat kos Maryam. Aku dapat info kalau Maryam pernah sakit cukup parah, dan ternyata Marco yang membawa Maryam ke rumah sakit. Te
Marco tiba di rumah Sabrina, disambut dengan senyum merekah keluarga itu.“Kirain Abang mau lama naik gunungnya, ternyata sudah balik ke Bandung.” ucap Sabrina, “Memangnya Abang ke gunung mana, untuk merayakan wisuda?”“Yang dekat aja.”Sabrina mengira, gunung yang dimaksud Marco itu Gunung Gede, yang biasa didaki oleh banyak orang karena jalur pendakian yang relatif mudah. Sementara Marco merasa tidak perlu menjelaskan lebih jauh tentang kegiatannya selepas acara wisuda.“Rin, aku ingin bicara serius denganmu.”“Mamahku sudah menyiapkan makan malam, sebaiknya kita makan dulu, nanti baru kita ngobrol. Yuk Bang, kita makan!”“Tapi aku sudah makan, tadi di rumah.” Marco berusaha mengelak, padahal sebenarnya dia belum makan malam.“Ayolah makan dulu, Marco! Sudah lama kita nggak makan bareng.” Ayahnya Sabrina masuk ke ruang tamu, dan mengajak Marco ke ruang makan.Sebenarnya makan malam itu lezat, namun Marco hanya makan sedikit. Usai makan, dia kembali ke ruang tamu. Makanan pencuci mul
Bab 164. Prioritas HidupMarco masih berada di Gunung Tangkuban Parahu. Dia sedang duduk di bangku sebuah warung, sembari minum bandrek. Dia menatap keramaian di sekitarnya; orang-orang yang sedang berfoto dengan latar kawah, beberapa ekor kuda yang berjalan dengan penumpang di punggungnya, para pedagang asong, jejeran warung yang menjual makanan dan suvenir, jejeran mobil di tempat parkir, pengunjung datang dan pergi.Sembari menggerogoti jagung rebus, Marco memikirkan pekerjaan yang ingin dilakoninya. Sudah ada beberapa tawaran yang disodorkan kepadanya, oleh papanya, kakeknya, rekan bisnis papanya, teman sesama climber, semua masih dia pertimbangkan, mana yang paling diinginkannya.Marco teringat pada Sabrina. Dia teringat saat terakhir kali datang ke rumah Sabrina, saat dirinya membeberkan rencana hidupnya yang ingin bekerja di luar Pulau Jawa. Ketika itu Sabrina memperlihatkan sikap tidak setuju dengan rencana hidup Marco. Alasannya karena Sabrina merasa berat jika jauh dari ora