Marco menceritakan hal-hal yang dia lakukan pada hari tewasnya Raymond.“Dari chat di grup WA, ada berita kalau Raymond di rumah sakit, tapi sudah meninggal. Waktu itu saya kira Raymond mendadak sakit, atau kena serangan jantung. Keluarga Raymond minta jenazahnya diautopsi. Saya dan beberapa rekan mendatangi rumah Raymond, sampai malam menunggu kedatangan jenazahnya.”“Kapan Anda tahu, kalau Raymond tewas karena keracunan?”“Mungkin besoknya. Ada rekaman video di grup WA Adventure, isinya pernyataan dari orang tua Raymond, katanya autopsi sudah selesai dan sudah ada hasilnya. Penyebab kematian Raymond karena keracunan arsenik. Menurut dokter, arsenik itu ada dalam makanan yang paling akhir masuk ke lambung Raymond, yaitu jus alpukat.”“Apakah Anda sempat berpikir, tentang jus alpukat yang Anda pesan?”“Iya, saya teringat jus alpukat saya yang ditukar dengan jus mengkudu. Waktu di homebase, saya tidak kepikiran, dikemanakan jus alpukatnya? Tapi saat mendengar hasil autopsi, saya kaget
Ipda. Binsar tak bisa menerima asumsi seperti itu. “Bagaimana kalau jus alpukat itu salah sasaran, bukan diminum oleh Raymond, tapi malah diminum oleh orang lain. Marco kan, nggak bisa mengendalikan hal itu?” Iptu. Ekky masih memaparkan pemikirannya. “Nggak ada anggota Adventure yang berani ngerjain Marco, kecuali Raymond yang kentara tidak suka pada Marco. Sejak awal Marco sudah menduga, kalau ada orang yang berani iseng pada makanannya, orang itu pasti Raymond!” Ekky lanjut berujar, “Saya kira, saat Marco berada di tenda es buah dan tenda bakso, dia selalu memandang ke luar tenda. Menurut Marco, dia melihat apakah dosen walinya sudah datang, atau belum. Padahal mungkin saja Marco lagi mengintai Raymond, sudah datang atau belum, sudah masuk ke homebase atau belum. Saat dilihatnya Raymond datang ke kampus, dia buru-buru pesan jus alpukat itu." Inspektur Ekky masih berasumsi. "Untuk mengaburkan penyelidikan polisi kelak, dia masuk ke tenda bakso, karena dilihatnya dua orang mant
Raymond berdiri di depan forum. “Rekan-rekan, saya akan beritahu siapa sesungguhnya orang yang selama ini memimpin kita! Dia gagal berangkat ke Jayawijaya karena hasil tes urinenya positif mengandung narkoba! Dia bilang sama kalian semua, kalau dia cuti, padahal dia kena skorsing akibat kasus narkoba itu! Tadinya mau di DO, tapi Rektor kita segan sama bokapnya, makanya hukuman buat dia cuma skorsing satu semester! Nah, apa kalian masih mau dipimpin oleh Marco?!”Tak ada yang menjawab, semua mata menatap ke arah Marco. Kemudian Marco berdiri, lalu menghampiri Raymond. Tiba-tiba Marco mencengkeram kerah baju Raymond, lalu menyeretnya keluar ruangan. Di teras homebase, Marco menghempaskan tubuh Raymond ke climbing wall. “Nggak ada orang yang tahu soal hasil tes urine itu…!” desis Marco di dekat kuping Raymond. “Bokap gua sudah wanti-wanti sama rektor supaya jangan ada yang tahu kalau gue kena skorsing! Lantas bagaimana lo bisa tahu, hah?!”“Ha ha ha… karena gue nggak lolos seleksi ke Ja
Maryam bicara pada Marco, “Anggota yunior itu bilang ke aku kalau kamu berantem sama Raymond. Mereka jadi merasa nggak nyaman, terus minta aku ngomong sama kamu, supaya kamu dan Raymond bisa akur lagi.” Marco menoleh ke arah homebase, banyak yunior sedang ngumpul. “Mau-maunya ya, kamu disuruh sama brondong-brondong itu!” “Ah capek deh Marco, ngomong sama kamu suka bikin stres!” “Masak sih?” Marco malah ketawa, “Tapi kamu suka, kan?” Maryam tetap pasang wajah serius. “Begini saja Marco … kalau besok lusa Raymond datang ke kampus, kamu akan membiarkannya kuliah dengan tenang?” Marco juga akhirnya serius. “Kalau Raymond mau datang ke kampus, ya datang aja. Mau kuliah, ya kuliah aja. Aku nggak ada urusan!” “Bener nih, nggak ada urusan?” desak Maryam. Marco diam saja. Setelah itu, Marco kelihatan lebih tenang. Malah dia berjanji pada seluruh anggota Adventure, tidak akan lagi membawa organisasi ke dalam konflik fisik, baik dengan sesama anggota, juga dengan pihak lain. Setelah
Para anggota UKM Adventure ibarat anak ayam kehilangan induk, dan sarang, karena komandan mereka tewas, dan komandan lamanya ditahan polisi. Homebase disegel dengan police line. Setiap orang yang melewati homebase itu merasakan sebentuk kemuraman di lingkungan kampus. Tak ada orang berkumpul di teras homebase, tak ada suara obrolan dan ketawa ngakak, tak ada suara musik. Tak ada juga yang mau latihan memanjat climbing wall, padahal climbing wall tidak diberi police line. Yang ada cuma sepi. Maryam sudah kembali ke Bandung. Dari info di grup WA mahasiswa, dia sudah tahu soal penahanan Marco sebagai tersangka. Maryam datang ke kampus buat konsultasi skripsi dengan dosen. Dia tertegun saat melewati homebase, menatap pintu yang tertutup rapat, padahal biasanya pintu itu selalu terbuka lebar untuk siapa saja. Maryam teringat tahun-tahun telah lewat, dia pernah beberapa kali berdiam cukup lama dalam homebase untuk memasak. Dua kali Maryam dan rekan-rekannya memasak di homebase, untuk acar
Cepi menelepon seorang satpam yang bekerja di rumah Marco. Cepi memang sudah mengenal para satpam yang bekerja di rumah keluarga Marco, karena dia sering menginap di rumah itu. Saat ini Cepi sedang memantau kondisi Marco.“Gimana hasil pertemuan Big Bos dengan pengacaranya?” tanya Cepi. Yang dia maksud dengan Big Bos adalah Ardianto Wiratama, ayahnya Marco. Untuk Marco, kata sandinya adalah Bos Junior. Sedangkan untuk polisi, mereka pakai kata sandi Ladusing, mengambil nama Inspektur Ladu Singh dalam film kartun anak-anak. “Yang saya dengar, Big Bos belum bisa mengupayakan penangguhan penahanan untuk anaknya.”“Kenapa?” Cepi heran. “Kalau anak pengusaha tajir tidak bisa keluar dari tahanan dengan jaminan bapaknya, gimana dengan anak kere?”“Nggak tahu Kang. Tapi saya sempat nguping obrolan Big Bos dengan pengacaranya, katanya Bos Junior tidak menyangkal semua tuduhan yang dialamatkan padanya! Satu-satunya yang dia sangkal, adalah saat Ladusing menanyakan apakah dia punya hubungan pri
“Silakan pesan apa saja yang kalian inginkan!” ujar Windy. “Aku yang traktir, karena aku yang ngundang kalian ke sini.” Tiga orang mahasiswi duduk di sebuah rumah makan yang jauh dari kampus Universitas Taruma. Suasana rumah makan itu sudah agak sepi pada pukul dua siang. Jam makan siang sudah terlewat. Windy sengaja mencari suasana sepi untuk bicara, di tempat yang cukup jauh dari orang-orang yang mengenal mereka. Sebenarnya yang diundang oleh Windy hanya Maryam, tapi Windy tahu jika Maryam merasa curiga dengan undangannya, maka Windy mempersilakan Maryam membawa teman. Maryam mengajak Nining, sahabatnya.Pesanan makanan telah dihidangkan. Windy mempersilakan kedua seniornya untuk makan. Maryam dan Nining makan mi ayam, sementara Windi makan siomay saus kacang dan minum jus jeruk.“Kita akan bicara dulu soal Raymond.” Windy menatap Maryam. “Aku ada di homebase waktu kejadian yang menimpa Raymond.” “Jadi apa sebetulnya tujuan kamu ngundang saya ke sini?” tanya Maryam.“Tentang kejad
“Silakan pesan apa saja yang kalian inginkan!” ujar Windy. “Aku yang traktir, karena aku yang ngundang kalian ke sini.” Tiga orang mahasiswi duduk di sebuah rumah makan yang jauh dari kampus Universitas Taruma. Suasana rumah makan itu sudah agak sepi pada pukul dua siang. Jam makan siang sudah terlewat. Windy sengaja mencari suasana sepi untuk bicara, di tempat yang cukup jauh dari orang-orang yang mengenal mereka. Sebenarnya yang diundang oleh Windy hanya Maryam, tapi Windy tahu jika Maryam merasa curiga dengan undangannya, maka Windy mempersilakan Maryam membawa teman. Maryam mengajak Nining, sahabatnya.Pesanan makanan telah dihidangkan. Windy mempersilakan kedua seniornya untuk makan. Maryam dan Nining makan mi ayam, sementara Windi makan siomay saus kacang dan minum jus jeruk.“Kita akan bicara dulu soal Raymond.” Windy menatap Maryam. “Aku ada di homebase waktu kejadian yang menimpa Raymond.” “Jadi apa sebetulnya tujuan kamu ngundang saya ke sini?” tanya Maryam.“Tentang kejad
Maryam sedang belajar stock opname di outlet BSM, saat ponsel milik Wati bernyanyi. Wati menyuruh Maryam melanjutkan pengecekan barang, sementara dia menjawab panggilan dari ponsel.“Lo harus tegas! Ini demi masa depan lo sendiri!” Itu sekelumit ucapan Wati yang tertangkap oleh telinga Maryam. “Lo mau status lo terus saja nggak jelas?”Maryam berpindah ke bak obralan, lalu kembali menghitung. Rumit, karena pakaian yang masuk katagori obralan biasanya teraduk-aduk dalam wadahnya. Padahal pakaian-pakaian itu berasal dari pemasok yang berbeda-beda, dan tentu saja mempunyai kode yang berbeda. Dengan telaten, Maryam melipati baju-baju itu, ditumpuk berdasarkan kode pemasoknya, supaya lebih mudah dihitung.Wati masih bicara via ponsel. “Kalau cara yang lo tempuh kemarin itu ternyata nggak juga berhasil membuat dia bereaksi sesuai keinginan lo, maka menurut gue sih, lo harus menguji dia! Supaya lo tahu, apa artinya diri lo buat dia!”Maryam berpikir, mungkin Wati dan temannya itu lagi berdis
Maryam sudah pernah datang ke rumah keluarga Marco. Usai Maryam diwisuda, papanya Marco yang mengundang Maryam beserta orang tuanya untuk makan siang di rumahnya. Marco menjemput Maryam sekeluarga dari lokasi wisuda. Saat itu ibunya berbisik, bahwa rumah mereka di Cirebon masih lebih kecil daripada dapur di rumah keluarga Marco.Rumah Maryam dihuni oleh enam orang, jika semua berkumpul. Sedangkan rumah Marco yang gede banget itu, lebih sering dihuni sama pembantu dan satpam. Kedua orang tua Marco sering bepergian untuk urusan bisnis. Kedua orang kakak Marco sudah berkeluarga, dan punya rumah sendiri. Adik Marco kuliah di luar negeri. Sedangkan Marco, lebih sering avonturir ke gunung, atau tidur di homebase pencinta alam di kampus. Katanya malas di rumah, sepi banget.Dulu Maryam tidak percaya, kok, punya rumah tapi jarang dihuni? Setelah melihat situasi rumah Marco, barulah dia bisa maklum, kenapa Marco malas pulang ke rumahnya sendiri. Itu juga sebabnya, Marco memutuskan untuk menik
Marco bicara pada Maryam, “Aku lagi naik motor, berpapasan dengan motornya Hanif di lampu merah Jl. Pasirkaliki. Aku lihat ada cewek di boncengan motornya. Entah Hanif nggak melihat aku, entah pura-pura nggak melihat. Saat aku belok mau terus ke Jl. Sukajadi, dia belok ke restoran fast food.” “Cewek itu pasti Latifa, adiknya.” Maryam tidak mau suudzon terhadap rekannya di organisasi dakwah kampus.“Latifa kan, pakai jilbab. Nah, cewek yang dibonceng si Hanif itu nggak pake jilbab. Gebetannya yang baru, mungkin. Istrinya baru beberapa hari meninggal karena kecelakaan lalu lintas, dia sudah membonceng cewek. Setia banget si Hanif ya?” Ucapan Marco terdengar sinis.“Ah, kayaknya nggak mungkin Hanif boncengan motor dengan perempuan bukan muhrim. Cewek itu pasti kerabatnya.”“Ah, mungkin aja! Laki-laki lajang mah di mana-mana juga nyaris sama, kalau ada cewek yang mau nyangkut, ya digaet juga!”“Apakah kamu juga seperti itu?” Maryam cemberut.“Seperti apa? Maksudmu boncengan motor dengan
season 2 Maryam berjalan ke luar dari ruang Admik sambil mengepit map berisi ijasah. Tiga minggu setelah wisuda, Maryam kembali ke kampus, tujuannya untuk melegalisasi foto copy ijazahnya. Dia akan melamar kerja. Hari itu dia sudah menyerahkan beberapa lembar copy ijazah ke petugas Admik. Nanti petugas Admik yang akan mendata nama alumni, lantas mengirimkan copy ijazah ke meja dekan.Maryam menuju markas para aktivis dakwah kampus, yaitu sebuah ruangan kecil di samping masjid kampus. Beberapa mahasiswi berjilbab memberinya selamat atas kelulusannya sebagai Sarjana Pendidikan. Maryam tertegun saat membaca tulisan pada sebuah kertas yang tertempel di papan tulis. Isinya pemberitahuan meninggalnya seorang alumni.“Nabila meninggal? Innalillahi… kasihan Hanif, padahal mereka baru menikah….” Maryam mengusap matanya yang berkaca-kaca. "Kabar itu sudah disebar di grup WA. Apakah Kak Maryam baru tahu?""Iya. Mungkin saya luput membaca kabar itu di grup WA." jawab Maryam dengan rasa sesal.
Marco masuk ke homebase, lalu meletakkan bungkusan plastik besar di atas meja. “Berat juga nih barang.” gumam Marco. “Apaan tuh?” tanya Cepi seraya menghampiri bungkusan itu, hendak membuka, namun tangan Marco menahannya. Cepi hanya bisa meraba-raba plastik pembungkus, untuk mencari tahu benda apa yang dibungkus itu. Cepi terbelalak saat jarinya merasakan ada beberapa berkas tebal yang masing-masing disampul hard cover. “Ini skripsi?” Cepi menatap Marco. “Lo sudah bikin skripsi?!” Nada suaranya mulai panik. “Katanya lo mau barengan nyusun skripsi dengan gue, terus kita wisuda bareng tahun depan!” “Ya gimana dong? Gue pingin cepat kelar kuliah.” jawab Marco. “Lo nggak bilang-bilang kapan nyusunnya, tahu-tahu skripsi lo udah jadi! Kalau begini, gue yang paling telat, dan … gue nggak ada teman lagi dong! Gimana neeeh?” Marco memandang isi homebase. Beberapa foto masih terpajang. Diambilnya foto Raymond, dengan syal miliknya, dibersihkannya pigura dan kaca foto itu dari debu yang
“Teriak aja, mudah-mudahan dia bisa dengar!” seru Silvi tak sabar. Gaung teriakan menyuruh Marco segera turun, memantul di dinding-dinding tebing. Karena terlalu banyak yang berteriak, gema suaranya jadi tidak karuan. “Andri, lo kan climber juga!” Silvi mendorong salah seorang saudara sepupunya. “Lekas lo manjat, susul Marco! Bilangin supaya dia lekas turun!” “Gue ngeri Vi….” “Ngeri?! Tapi lo sering bilang kalau lo itu climber andalan kampus lo? Dan lo nggak pernah gentar kalau disuruh memanjat?” “Maksud gue… nggak gentar memanjat climbing wall… gue belum pernah manjat tebing betulan….” “Kalau cuma manjat climbing wall, bocah SD juga bisa!” rutuk Silvi. Jarak yang ditempuh Marco sudah terlalu tinggi, dan sepertinya Marco tidak bisa mendengar teriakan dari bawah. Dia terus saja merayap naik. Lajunya terhenti oleh sebuah roof (tonjolan tebing yang mirip atap). Dia memasang beberapa anchor pada roof itu. Setelah tambatan itu dirasanya kuat, dia segera menaikkan lagi tubuhnya hing
Marco meletakkan dompet miliknya di pangkuan Rosna. “Uang itu buat ongkos kalian semua pulang. Tapi kalau masih kurang, kamu bisa ambil uang pakai kartu ATM.” Marco menyebut beberapa angka yang jadi nomor pin kartu ATM-nya.“Bang, gimana kalau aku khilaf, lantas merampok isi rekeningmu?!” ucap Rosna.Marco malah tertawa. “Uang di rekeningku paling juga tinggal duajuta. Sebagian besar uang sudah aku transfer ke rekening mamaku. Nanti jika aku bisa pulang dengan selamat, aku minta lagi uang itu ke mamaku.” Marco menatap Rosna. “Tapi kalaupun kamu khilaf mengambil uang di rekeningku, aku ikhlas. Aku anggap saja uangku diminta sama adikku, jadi nggak apa-apa, Rosna.”“Nggak Bang, aku hanya bercanda. Hmmm, apakah… orang tua Abang tahu soal perjalanan ini?”“Mereka pikir… aku lagi naik gunung, seperti biasanya.” Marco lantas pamit, mau mengecek peralatan panjat tebing yang dibawanya.Rosna membuka dompet Marco, mengamati isinya. Ada KTP, KTM, KTA dari UKM Adventure, lalu beberapa buah pas
Ibarat orang gila, Marco berteriak-teriak panik, membangunkan semua orang yang masih meringkuk dalam tenda ataupun sleeping bag. Beberapa menit kemudian belasan climber itu sudah berpencar di sepanjang kaki tebing lawe, sambil menengadah ke atas, memandang lewat teropong. “Itu dia! Tonny naik di jalur yang belum pernah dipanjat!” Semua climber berkumpul di bawah salah satu dinding. Mereka menengadah, menahan napas, menyaksikan Tonny yang merayap naik, berusaha melewati sebuah tonjolan tebing. Jaraknya dengan tanah sudah cukup tinggi, mungkin lebih dari 50 m. Tampaknya Tonny memanjat sejak matahari mulai terbit. “Aku akan susul dia!” Marco memasang harness pada tubuhnya, lalu mencantolkan beberapa buah karabiner pada harness, membawa beberapa buah piton dan martil khusus buat manjat tebing. Tak lupa dia membawa sebotol air minum, lalu sekantong tepung magnesium karbonat untuk melumuri tangan jika licin oleh keringat. Terakhir dikenakannya helm khusus buat manjat tebing. Tambang ker
Marco sudah terlebih dahulu mengajukan izin tertulis kepada aparat setempat, izin untuk camping. Beberapa orang sepupu Silvi yang ikut serta, rupanya sudah terbiasa avonturir. Mereka membawa dua buah tenda, dan mendirikannya dengan cekatan. Sedangkan Marco tetap tak ingin bergabung. Dia membangun bivak di bawah pohon, beratapkan ponco yang dibawanya. Keluarga Silvi duduk berkumpul mengelilingi api unggun, sambil makan malam, dan ngobrol. Sementara Marco duduk sendirian di bawah pohon. Dia membaca Al Quran kecil berikut tafsir, dengan penerangan senter. Rosna ikut duduk makan malam bersama keluarga Silvi. Hingga Rosna melangkah memasuki tenda khusus perempuan, untuk tidur, dia masih melihat Marco duduk membaca. Hingga beberapa saat Rosna belum bisa memejamkan mata, soalnya di dalam tenda itu tidak nyaman. Rosna tidak kebagian tempat di atas kasur lantai yang digelar dalam tenda. Rosna juga tidak kebagian matras. Sedangkan alas tenda tipis. Rosna memang pakai jaket, tapi punggungn