Ruangan begitu hening. Desir angin malam masuk melewati celah jendela, tak terasa menyentuh kulit Bia. Sekujur tubuh Bia menjadi kaku, ia bahkan tak berani untuk sekedar mengedipkan mata.
Dafa berjalan mendekati Bia. "Bianca Lariza. Nama panggilannya Bia. Keponakan dari almarhum pak Tiar. Cucu dari Dahlia Rani, pemilik perusahaan kopi yang cukup besar. Berpura-pura menjadi Bella. Sementara Bella dimakamkan atas nama Bia. Apa tujuannya?"Dafa berhenti tepat di hadapan Bia. Sementara itu Bia masih terdiam kaku, ia tak memiliki keberanian untuk menatap langsung mata pria yang telah mengetahui rahasianya itu."Kenapa diam padahal punya sejuta pertanyaan di kepala?" tanya Dafa menekan Bia agar berbicara padanya.Bia menghela nafas. Diamnya tak akan merubah kenyataan bahwa Dafa telah mengetahui siapa dirinya. "Udah tau, kenapa selama ini diam aja?" tanya Bia perlahan melirik ke arah Dafa.Dafa tersenyum, "penasaran aja, sejauh mana Bia bisa beBia membuat semua orang terkejut. Emosinya tak mampu lagi ia redam. Walau Bia memiliki pemikiran yang sama dengan Sandi, namun hatinya tetap sakit. Ia tak mampu menerima jika orang yang paling menyayanginya adalah sosok wanita tua yang jahat."Kenapa bukan?" tanya Dafa sambil memutar kursi mengarahkannya pada meja Bia. Bia memandang Dafa dengan mata yang sedikit memerah."Kayanya kita jangan berprasangka dulu deh," ucap Yoga menengahi.Sandi mengangguk, "ya, semoga aja bukan."Bia perlahan mengontrol emosinya. Matanya pun jernih kembali. Menarik nafas lalu mengeluarkannya secara perlahan.***"Bia yang awalnya menjalankan peran dengan sangat baik, kenapa sekarang mendadak ceroboh?" tanya Dafa. Di dalam ruangan hanya tersisa Dafa dan Bia. Sementara Sandi dan Yoga pergi untuk makan siang.Bia melirik ke arah Dafa yang memandanginya sedari tadi, "menurut kamu apa mungkin Oma pelakunya?" tanyanya."Mungkin," jawab D
Bia terdiam mendengar ucapan Dafa. Ia teringat bahwa besok adalah hari Jum'at, hari dimana Dafa akan berlibur dan menemani kekasihnya."Nemenin Selly?" Meski telah mengetahuinya, Bia tetap ingin memastikan bahwa pria di dekatnya itu akan meninggalkannya sendirian dirumah untuk bersama sang kekasih.Dafa mengangkat tubuhnya. Kini ia duduk berhadapan dengan Bia. "Gak takut sendirian?""Kan udah pernah," jawab Bia ketus, nampak tidak rela jika Dafa harus meninggalkannya sendirian.Dafa mengangguk pelan, "apa mau ikut?" tanyanya."Gila! Ngapain ngikutin orang yang mau pacaran. Mau jadi nyamuk? Ogah." Dafa berhasil memancing emosi Bia. Namun, hanya beberapa saat, Bia kembali berbicara pelan. Kali ini, nampak begitu serius. "Tapi kenapa sih, harus nemenin Selly tiap hari Jum'at? Emang dia tinggal dimana? Orang tuanya kemana?" tanya Bia mencaritahu lebih dalam tentang Selly.Dafa terdiam. Ia menyenderkan bahunya pada sofa. Seakan begitu berat untuk menjawab pertanyaan Bia. "Rumit." Satu kata
Bia membuka mata dengan perlahan. Suasana yang begitu sunyi tanpa ada seorang pun di sekitarnya. Terdengar di balik pintu, suara nyaring hak sepatu bolak-balik dari arah satu ke arah yang lain. Bia kini berada di salah satu ruangan rumah sakit swasta di Bogor."Krekk."Tiba-tiba beberapa orang masuk ke ruangan Bia. Bia tidak terkejut, ia merasa pusing yang begitu hebat di kepalanya dan tak berani untuk bangun."Pasien sudah sadar, " ucap seorang dokter kepada kedua orang yang datang bersamanya."Bella, gimana keadaan kamu?" tanya seseorang yang terlihat 20 tahun lebih tua dari Bia."Bella siapa?" Bia tampak kebingungan."Ya kamu lah siapa lagi," jawab seorang yang lain. Kali ini terlihat laki-laki yang mungkin usianya sedikit lebih tua dari Bia. Entah dari mana lelaki tampan nan mempesona ini datang."Kamu siapa?" tanya Bia lagi semakin kebingungan.Melihat Bia yang tampak linglung, kedua orang yang datang bersama dokter itu pun saling memandang
Cahaya mentari belum bersinar sempurna, namun Dafa sudah pergi meninggalkan rumah. Ia mengenakan celana hitam senada dengan kaos serta jaket yang melindunginya dari dinginnya pagi. Tak luput, topi hitam di kepala menutup rambut klimisnya. Ia melangkah dengan cepat sambil memakan sepotong roti yang ia beli di toko dekat rumah. Setelah sekitar 10 menit berjalan kaki, sampailah Dafa pada sebuah bangunan yang tampak dari luar seperti sebuah kantor. Dafa memasuki pintu dengan penuh semangat. Rupanya di sini lah tempat Dafa bekerja."Pagi, Daf," sapa salah satu teman kerja Dafa yang duduk di meja paling depan. Di atas meja pun terpampang papan namanya 'Yoga Andityo'.Dafa hanya melambaikan tangan membalas sapaan temannya sambil berlalu menuju mejanya."Pagi, Daf," sapa teman Dafa yang lain. 'Sandika Rama' adalah nama yang tertempel di akrilik di atas mejanya.Sama seperti sebelumnya, Dafa hanya membalas dengan lambaian tangan. Ia pun duduk di meja seberang Sandi. Di m
Bia berada di sebuah mall besar di Jakarta. Kini, penampilannya pun berubah, ia tampak seperti Bia asli, bukan Bella. Mengenakan dress selutut berwarna putih, topi putih, sepatu putih, serta masker hitam yang menutupi wajahnya. Sambil menenteng banyak belanjaan, ia berjalan dengan suka ria. Di tangannya, ia menggenggam sebuah ponsel yang baru saja ia beli menggunakan uang Bella."Banyak duit juga si Bella," ucapnya. "Huh, sayang banget dia harus meninggal di usia muda. Tapi tenang aja Bel, gue akan cari tau kebenaran tentang elo," lanjutnya seakan Bella berada di depan matanya.Sambil berjalan, Bia menghubungi seseorang dengan ponsel baru miliknya."Halo, Di, lo dimana?" tanya Bia pada seseorang yang diteleponnya."Oke, gue kesana sekarang," ucap Bia lalu mematikan telepon. Ia pun berjalan menuju lantai 3 mall.Sampai lah Bia di cafe lantai 3. Ia melihat sekeliling, pandangannya terhenti ketika melihat sosok pria berjaket cokelat tengah duduk sambil melambai
Kantor nampak hening, Dafa dan Sandi sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tidak ada suara yang terdengar selain suara keyboard komputer Sandi serta kertas yang bergesekan di meja Dafa. Sementara itu, Bia hanya termenung, ia nampak jenuh.Dafa beranjak dari kursi dan pergi ke belakang, tempat toilet kantor. Bia pun menggunakan kesempatan untuk bertanya-tanya pada Sandi."Sandi." Bia mulai memanggil Sandi dengan suara pelan."Kamu ingat siapa aku, Bel?" tanya Sandi yang sontak terkejut mendengar Bia memanggil namanya.Bia menunjuk akrilik yang terpampang nama Sandi. Sandi pun kecewa, "iya, kan ada papan nama ya, kirain kamu udah ingat," ucap Sandi melemas."Oh iya, aku liat semua pada sibuk. Emang banyak kerjaan?" tanya Bia lanjut. Bia dan Sandi mengobrol dalam kejauhan. Meja mereka berjarak sekitar 5 meter."Iya lah, Bel. Kita gak pernah gak ada kerjaan," jawab Sandi yang kini kembali fokus pada komputer di hadapannya."Oh ..." Bia mengangguk-angguk. "Ter
Bia, Dafa, dan Sandi berhasil membawa buronan yang merupakan komplotan NJ ke kantor polisi. Di sana, pak Irwan dan Yoga telah menunggu untuk melakukan interogasi. Sebelum interogasi dimulai, buronan bertemu dengan NJ yang baru saja keluar dari ruang interogasi. Mereka saling bertatapan dan melempar senyum. Entah apa arti dari senyuman mereka."Silahkan masuk," ucap Yoga sembari mengulurkan tangan ke arah ruangan interogasi. Buronan itu pun masuk dengan tersenyum tenang. Dengan tangan di borgol, ia duduk di kursi dan berhadapan langsung dengan pak Irwan yang di dampingi Yoga. Sementara Dafa, Sandi, dan Bia menunggu di luar."Bahtiar Pratama," ucap pak Irwan menyebut nama sang buronan. "Nama panggilan Bapak Tiar, CEO di perusahaan e-commerce."Pria bernama Tiar itu tetap dengan wajah tenang walau tengah di interogasi."Kasus apa yang membuat wakil kepala Bareskrim turun langsung untuk menginterogasi?" tanya pak Tiar.Pak Irwan tersenyum. "Jika bukan kasus berat ken
Waktu menunjukkan pukul 06.45. Kantor nampak sepi, hanya ada Sandi yang tengah sibuk dengan komputernya. Jaket di tubuhnya pun tak sempat ia lepas. Pria bermata sipit dengan tubuh berisi itu nampak begitu serius dengan pekerjaannya."Pagi," sapa seorang yang muncul dari pintu masuk, dia adalah Bia. Wanita itu kali ini berpakaian cantik dengan rambut lurus yang terikat. Memakai sedikit eyeshadow, dengan bibir merah merona. Jeans pendek dengan atasan kaos berwarna putih bersih."Pagi, Bella. Cantik banget hari ini," goda Sandi yang melihat Bia berdiri tegap di pintu masuk. Hanya melirik sebentar, Sandi kembali fokus pada komputer. Anehnya, walau begitu cantik, Bia tak mampu menarik perhatian Sandi. Hal itu membuat Bia melipat bibirnya."Kenapa?" tanya Sandi menghentikan pekerjaannya lalu fokus pada Bia yang masih berdiri tegap."Cantik, kan? Kok kamu kaya biasa aja. Ngomong doang cantik tapi gak diliat," ucap Bia ketus sembari berjalan melewati Sandi, ia pergi men
Bia terdiam mendengar ucapan Dafa. Ia teringat bahwa besok adalah hari Jum'at, hari dimana Dafa akan berlibur dan menemani kekasihnya."Nemenin Selly?" Meski telah mengetahuinya, Bia tetap ingin memastikan bahwa pria di dekatnya itu akan meninggalkannya sendirian dirumah untuk bersama sang kekasih.Dafa mengangkat tubuhnya. Kini ia duduk berhadapan dengan Bia. "Gak takut sendirian?""Kan udah pernah," jawab Bia ketus, nampak tidak rela jika Dafa harus meninggalkannya sendirian.Dafa mengangguk pelan, "apa mau ikut?" tanyanya."Gila! Ngapain ngikutin orang yang mau pacaran. Mau jadi nyamuk? Ogah." Dafa berhasil memancing emosi Bia. Namun, hanya beberapa saat, Bia kembali berbicara pelan. Kali ini, nampak begitu serius. "Tapi kenapa sih, harus nemenin Selly tiap hari Jum'at? Emang dia tinggal dimana? Orang tuanya kemana?" tanya Bia mencaritahu lebih dalam tentang Selly.Dafa terdiam. Ia menyenderkan bahunya pada sofa. Seakan begitu berat untuk menjawab pertanyaan Bia. "Rumit." Satu kata
Bia membuat semua orang terkejut. Emosinya tak mampu lagi ia redam. Walau Bia memiliki pemikiran yang sama dengan Sandi, namun hatinya tetap sakit. Ia tak mampu menerima jika orang yang paling menyayanginya adalah sosok wanita tua yang jahat."Kenapa bukan?" tanya Dafa sambil memutar kursi mengarahkannya pada meja Bia. Bia memandang Dafa dengan mata yang sedikit memerah."Kayanya kita jangan berprasangka dulu deh," ucap Yoga menengahi.Sandi mengangguk, "ya, semoga aja bukan."Bia perlahan mengontrol emosinya. Matanya pun jernih kembali. Menarik nafas lalu mengeluarkannya secara perlahan.***"Bia yang awalnya menjalankan peran dengan sangat baik, kenapa sekarang mendadak ceroboh?" tanya Dafa. Di dalam ruangan hanya tersisa Dafa dan Bia. Sementara Sandi dan Yoga pergi untuk makan siang.Bia melirik ke arah Dafa yang memandanginya sedari tadi, "menurut kamu apa mungkin Oma pelakunya?" tanyanya."Mungkin," jawab D
Ruangan begitu hening. Desir angin malam masuk melewati celah jendela, tak terasa menyentuh kulit Bia. Sekujur tubuh Bia menjadi kaku, ia bahkan tak berani untuk sekedar mengedipkan mata.Dafa berjalan mendekati Bia. "Bianca Lariza. Nama panggilannya Bia. Keponakan dari almarhum pak Tiar. Cucu dari Dahlia Rani, pemilik perusahaan kopi yang cukup besar. Berpura-pura menjadi Bella. Sementara Bella dimakamkan atas nama Bia. Apa tujuannya?"Dafa berhenti tepat di hadapan Bia. Sementara itu Bia masih terdiam kaku, ia tak memiliki keberanian untuk menatap langsung mata pria yang telah mengetahui rahasianya itu."Kenapa diam padahal punya sejuta pertanyaan di kepala?" tanya Dafa menekan Bia agar berbicara padanya.Bia menghela nafas. Diamnya tak akan merubah kenyataan bahwa Dafa telah mengetahui siapa dirinya. "Udah tau, kenapa selama ini diam aja?" tanya Bia perlahan melirik ke arah Dafa. Dafa tersenyum, "penasaran aja, sejauh mana Bia bisa be
Perlahan genggaman tangan itu melonggar. Bia mengambil kesempatan itu untuk melepaskan tangannya. Ia pergi meninggalkan Dafa yang masih tercengang mendengar perkataannya. Tanpa sadar, air mata Bia terjatuh seiring dengan tetesan darah di tangannya. Tangan yang semula berada di genggaman Dafa itu kini terluka akibat jam tangan di pergelangan tangan Bia yang ikut tergenggam oleh Dafa.Di luar, Bia berpapasan dengan Sandi dan Yoga yang kini tengah kembali dengan membawa botol minuman bersamanya."Kamu kenapa, Bel?" tanya Sandi ketika melihat Bia berjalan sambil menangis. Bia tidak memperhatikan Sandi, ia berlari meninggalkan kantor."Tangannya berdarah," ucap Yoga saat melihat tangan Bia."Serius? Ayo masuk," balas Sandi dan segera memasuki ruangan.Sandi dan Yoga kembali ke meja masing-masing. Ruangan begitu hening. Baik Sandi maupun Yoga tak berani bersuara. Mereka hanya menatap satu sama lain. Sementara Dafa masih berdiri di dekat tembok
Bia berjalan memasuki kantor dengan wajah tertunduk lesu. Sedari tadi ia berpikir siapa orang di dalam rumah Oma yang berhubungan dengan Bella?"Makan dulu, Daf, keburu dingin." Suara seorang wanita terdengar begitu asing di telinga Bia. Bia pun mengangkat wajahnya. Ia melihat seorang wanita berada di sebelah Dafa. Duduk berdekatan tanpa sekat. Wanita itu membawakan sarapan untuk Dafa.Sementara itu, Yoga dan Sandi saling berpandangan. Mereka merasa canggung dengan situasi saat ini."Hai, Bel," menyadari kehadiran Bia, wanita dengan kulit putih itu mulai menyapa dengan senyuman.Dafa tampak membeku, ia tidak bergerak sedikit pun. Suasana yang memang cukup canggung, terutama untuk Dafa.Bia membalas senyuman wanita di dekat Dafa itu, "Hai," balasnya. Bia berjalan mendekati meja Dafa. Ia menarik kursi plastik di meja Sandi dan memindahkannya tepat di sebelah Dafa. Hal itu membuat Dafa semakin merasa sesak.Melihat Bia duduk dekat d
Dafa beranjak dari sofa lalu pergi meninggalkan Bia yang masih ternganga mendengar perkataan pria berwajah dingin itu."Dia udah tau?" tanya Bia pada dirinya sendiri. Ia begitu bingung dengan kata yang terucap dari mulut Dafa. Apakah Dafa benar mengetahui bahwa wanita yang tinggal serumah dengannya bukan Bella melainkan Bia? Ataukah perkataan itu hanya persepsi Dafa semata?Bia memasuki kamar dengan wajah cemas. Ia tak ingin rahasianya terbongkar begitu cepat. Sudah larut malam dan Bia belum bisa tidur lagi. Matanya pun kembali segar, perkataan Dafa kini terngiang-ngiang di telinganya. Setelah cukup lama gelisah, gadis cerdik itu pun bereaksi. Bia menggeledah seluruh isi kamar Bella yang tak sempat ia cek sebelumnya. Entah apa yang dicarinya.Bia menemukan tumpukan struk di dalam laci meja rias. Ia melihat satu persatu isi struk belanja milik Bella."Mie instan? Kopi? Dari ratusan struk cuma isi mie instan sama kopi doang?" keluh Bia ketika meliha
Bia mulai menyadari bahwa perkataannya telah membuat Dafa curiga. Ia pun berusaha untuk terlihat tenang."Mungkin. Aku pernah nonton berita di tv, ada yang tiba-tiba sesak setelah makan udang dan itu karena si pemakan alergi udang," jawab Bia dengan mengontrol dirinya agar tidak terlihat panik."Gimana bos? Kita selidiki kemana?" tanya Sandi pada pak Irwan.Pak Irwan pun menjawab dengan cepat, "berangkat sekarang menemui istri pak Tiar."Pak Irwan melangkahkan kaki dengan cepat, dibuntuti oleh Yoga, Sandi, dan Dafa. Sementara Bia masih diam di tempat dengan wajah cemas."Ayo, Bel," ajak Sandi yang kini berada 5 meter dari Bia.Bia tiba-tiba memegang kepalanya. "Aku gak ikut ya, San, kepala aku sakit. Mungkin gara-gara shock tadi." Bia berpura-pura sakit agar Sandi tak memaksanya ikut menemui istri pak Tiar yang tak lain adalah bibinya. Gadis itu cukup cerdik."Langsung pulang aja, istirahat." Dafa yang berada di depan Sandi nampaknya mendengar ucapan Bia. Ia pun meminta Bia agar pulan
"Istrinya."Akhirnya pak Irwan membuka mulutnya. Ia memberitahukan rekan-rekannya bahwa istri pak Tiar lah yang membawakan makan malam. Sontak hal tersebut membuat semua terkejut, terutama Bia. Terlihat dari raut wajahnya ia tak menyangka bahwa bibinya lah yang meracuni sang paman."Masuk akal, istrinya kasi makan malam. Setelah suaminya meninggal, pihak keluarga enggan untuk dilakukan otopsi. Tanpa penyelidikan sudah jelas istrinya adalah tersangka utama," jawab Sandi. Kali ini suaranya cukup mewakilkan semua orang."Setuju," balas Yoga. Sementara Dafa hanya terdiam. Ia masih berpikir keras coba mendalami kasus kali ini sebelum akhirnya membuka suara."Gak setuju," ucapan Bia kali ini cukup untuk mencengangkan seluruh rekannya. "Seorang istri pasti mencintai suaminya dan ingin hidup bersama selamanya. Jadi gak mungkin istri pak Tiar pelakunya."Sandi pun mempertanyakan pendapat Bia, "terus kenapa sang istri menolak untuk otopsi?"
Embun pagi masih menghiasi dedaunan. Kicauan burung menyambut datangnya hari baru. Sementara Bia tertidur pulas di bawah selimut tebalnya. Suara ketukan pintu kamar memaksa Bia membuka mata."Apa sih pagi banget, matahari belum muncul juga," teriak Bia pada seorang dibalik pintu kamarnya."Keluar," terdengar suara Dafa dari balik pintu.Dengan wajah kusut, Bia beranjak dari tempat tidurnya untuk membuka pintu. Ia berjalan dengan mata pekat."Apa?" tanya Bia kesal.Dafa berdiri tegap di hadapan Bia. Ia menggelengkan kepala saat melihat gadis di depannya itu berbicara sambil menutup mata. "Siap-siap, kita ke tempat kemarin."Bia mengerutkan dahi. Ia tidak mengerti tempat apa yang Dafa maksud. "Tempat mana?""Pak Tiar meninggal," ucap Dafa dengan santai.Ucapan Dafa kali ini sontak membuat mata Bia terbuka lebar. Ia sangat terkejut mendengar bahwa pamannya yang kemarin berada dalam tahanan kini telah meninggal. "Se