Embun pagi masih menghiasi dedaunan. Kicauan burung menyambut datangnya hari baru. Sementara Bia tertidur pulas di bawah selimut tebalnya. Suara ketukan pintu kamar memaksa Bia membuka mata.
"Apa sih pagi banget, matahari belum muncul juga," teriak Bia pada seorang dibalik pintu kamarnya."Keluar," terdengar suara Dafa dari balik pintu.Dengan wajah kusut, Bia beranjak dari tempat tidurnya untuk membuka pintu. Ia berjalan dengan mata pekat."Apa?" tanya Bia kesal.Dafa berdiri tegap di hadapan Bia. Ia menggelengkan kepala saat melihat gadis di depannya itu berbicara sambil menutup mata. "Siap-siap, kita ke tempat kemarin."Bia mengerutkan dahi. Ia tidak mengerti tempat apa yang Dafa maksud. "Tempat mana?""Pak Tiar meninggal," ucap Dafa dengan santai.Ucapan Dafa kali ini sontak membuat mata Bia terbuka lebar. Ia sangat terkejut mendengar bahwa pamannya yang kemarin berada dalam tahanan kini telah meninggal. "Serius?" tanyanya tak percaya.Dafa menghela nafas, "kita belum tau pasti ini bunuh diri atau pembunuhan berencana."Bia menutup pintu tanpa menjawab Dafa. Air matanya kini tak mampu lagi ditahan. Bia menangis dalam diam. Perasaannya bercampur aduk, sedih, kecewa, perasaan bersalah pun menyelimuti hatinya. Ia tak tahu lagi bagaimana harus berpura-pura di depan rekan-rekannya sementara hatinya bagai tersayat.Setelah menangis cukup lama, Bia pun berdiri tegap. Ia menyeka air matanya lalu memaksakan diri untuk tersenyum."Ini bukan salah Bia, dalang dari semua ini harus terungkap," ucap Bia pada dirinya sendiri. Ambisinya untuk menguak rahasia besar dalam keluarganya semakin meningkat. Ia bergegas untuk bersiap diri menuju tempat tahanan sang paman.***Bia dan Dafa tiba di tempat tahanan pak Tiar. Disana, Sandi dan Yoga telah datang lebih awal. Mereka duduk di sofa dengan wajah tegang."Pak Irwan dimana?" tanya Dafa pada Sandi dan Yoga."Di dalam," jawab Yoga dengan lemas. Sementara Sandi masih termenung."Ini pasti bukan kebetulan." Kini Sandi mengeluarkan suaranya. Ia begitu serius memikirkan tentang kematian pak Tiar yang dianggapnya tak wajar.Dafa pun mengangguk setuju, "pasti ada dalang utama dibalik semua ini," ucap Dafa.Bia hanya terdiam mendengar obrolan serius rekan-rekannya. Ia tidak mampu memikirkan apapun selain menunggu kepastian penyebab meninggalnya sang paman. Ia tampak begitu lelah untuk menerka-nerka. Dengan harapan, semua kejadian ini tidak ada hubungannya dengan orang yang paling ia sayangi di dunia ini, yaitu sang Oma.Setelah cukup lama menunggu, pak Irwan akhirnya keluar dari ruangan. Ia berjalan dengan kepala tertunduk."Gimana bos?" tanya Sandi sambil beranjak dari sofa. Tak luput, Yoga, Dafa, dan Bia ikut berdiri dengan kedatangan pak Irwan.Pak Irwan menghela nafas, "keluarga enggan untuk dilakukan otopsi," ucapnya.Suasana semakin tegang, tak luput, Bia juga merasakan ketegangan melebihi dari teman-temannya. Sebagai seorang yang termasuk keluarga pak Tiar, Bia menganggap wajar jika sang keluarga menolak untuk otopsi."Gimana kronologinya?" tanya Dafa mewakili rekan-rekannya yang juga nampak begitu penasaran."Pak Tiar meninggal dalam keadaan tertidur. Ia tidur setelah makan malam," jawab pak Irwan dengan wajah lesu. Terlihat jelas dari wajahnya bahwa ia begitu terkejut dengan meninggalnya sang tahanan."Siapa yang bawa makanan itu ke tahanan?" Dafa semakin penasaran.Pak Irwan terdiam cukup lama seakan berat untuk menjawab pertanyaan Dafa."Istrinya."Akhirnya pak Irwan membuka mulutnya. Ia memberitahukan rekan-rekannya bahwa istri pak Tiar lah yang membawakan makan malam. Sontak hal tersebut membuat semua terkejut, terutama Bia. Terlihat dari raut wajahnya ia tak menyangka bahwa bibinya lah yang meracuni sang paman."Masuk akal, istrinya kasi makan malam. Setelah suaminya meninggal, pihak keluarga enggan untuk dilakukan otopsi. Tanpa penyelidikan sudah jelas istrinya adalah tersangka utama," jawab Sandi. Kali ini suaranya cukup mewakilkan semua orang."Setuju," balas Yoga. Sementara Dafa hanya terdiam. Ia masih berpikir keras coba mendalami kasus kali ini sebelum akhirnya membuka suara."Gak setuju," ucapan Bia kali ini cukup untuk mencengangkan seluruh rekannya. "Seorang istri pasti mencintai suaminya dan ingin hidup bersama selamanya. Jadi gak mungkin istri pak Tiar pelakunya."Sandi pun mempertanyakan pendapat Bia, "terus kenapa sang istri menolak untuk otopsi?"
Bia mulai menyadari bahwa perkataannya telah membuat Dafa curiga. Ia pun berusaha untuk terlihat tenang."Mungkin. Aku pernah nonton berita di tv, ada yang tiba-tiba sesak setelah makan udang dan itu karena si pemakan alergi udang," jawab Bia dengan mengontrol dirinya agar tidak terlihat panik."Gimana bos? Kita selidiki kemana?" tanya Sandi pada pak Irwan.Pak Irwan pun menjawab dengan cepat, "berangkat sekarang menemui istri pak Tiar."Pak Irwan melangkahkan kaki dengan cepat, dibuntuti oleh Yoga, Sandi, dan Dafa. Sementara Bia masih diam di tempat dengan wajah cemas."Ayo, Bel," ajak Sandi yang kini berada 5 meter dari Bia.Bia tiba-tiba memegang kepalanya. "Aku gak ikut ya, San, kepala aku sakit. Mungkin gara-gara shock tadi." Bia berpura-pura sakit agar Sandi tak memaksanya ikut menemui istri pak Tiar yang tak lain adalah bibinya. Gadis itu cukup cerdik."Langsung pulang aja, istirahat." Dafa yang berada di depan Sandi nampaknya mendengar ucapan Bia. Ia pun meminta Bia agar pulan
Dafa beranjak dari sofa lalu pergi meninggalkan Bia yang masih ternganga mendengar perkataan pria berwajah dingin itu."Dia udah tau?" tanya Bia pada dirinya sendiri. Ia begitu bingung dengan kata yang terucap dari mulut Dafa. Apakah Dafa benar mengetahui bahwa wanita yang tinggal serumah dengannya bukan Bella melainkan Bia? Ataukah perkataan itu hanya persepsi Dafa semata?Bia memasuki kamar dengan wajah cemas. Ia tak ingin rahasianya terbongkar begitu cepat. Sudah larut malam dan Bia belum bisa tidur lagi. Matanya pun kembali segar, perkataan Dafa kini terngiang-ngiang di telinganya. Setelah cukup lama gelisah, gadis cerdik itu pun bereaksi. Bia menggeledah seluruh isi kamar Bella yang tak sempat ia cek sebelumnya. Entah apa yang dicarinya.Bia menemukan tumpukan struk di dalam laci meja rias. Ia melihat satu persatu isi struk belanja milik Bella."Mie instan? Kopi? Dari ratusan struk cuma isi mie instan sama kopi doang?" keluh Bia ketika meliha
Bia berjalan memasuki kantor dengan wajah tertunduk lesu. Sedari tadi ia berpikir siapa orang di dalam rumah Oma yang berhubungan dengan Bella?"Makan dulu, Daf, keburu dingin." Suara seorang wanita terdengar begitu asing di telinga Bia. Bia pun mengangkat wajahnya. Ia melihat seorang wanita berada di sebelah Dafa. Duduk berdekatan tanpa sekat. Wanita itu membawakan sarapan untuk Dafa.Sementara itu, Yoga dan Sandi saling berpandangan. Mereka merasa canggung dengan situasi saat ini."Hai, Bel," menyadari kehadiran Bia, wanita dengan kulit putih itu mulai menyapa dengan senyuman.Dafa tampak membeku, ia tidak bergerak sedikit pun. Suasana yang memang cukup canggung, terutama untuk Dafa.Bia membalas senyuman wanita di dekat Dafa itu, "Hai," balasnya. Bia berjalan mendekati meja Dafa. Ia menarik kursi plastik di meja Sandi dan memindahkannya tepat di sebelah Dafa. Hal itu membuat Dafa semakin merasa sesak.Melihat Bia duduk dekat d
Perlahan genggaman tangan itu melonggar. Bia mengambil kesempatan itu untuk melepaskan tangannya. Ia pergi meninggalkan Dafa yang masih tercengang mendengar perkataannya. Tanpa sadar, air mata Bia terjatuh seiring dengan tetesan darah di tangannya. Tangan yang semula berada di genggaman Dafa itu kini terluka akibat jam tangan di pergelangan tangan Bia yang ikut tergenggam oleh Dafa.Di luar, Bia berpapasan dengan Sandi dan Yoga yang kini tengah kembali dengan membawa botol minuman bersamanya."Kamu kenapa, Bel?" tanya Sandi ketika melihat Bia berjalan sambil menangis. Bia tidak memperhatikan Sandi, ia berlari meninggalkan kantor."Tangannya berdarah," ucap Yoga saat melihat tangan Bia."Serius? Ayo masuk," balas Sandi dan segera memasuki ruangan.Sandi dan Yoga kembali ke meja masing-masing. Ruangan begitu hening. Baik Sandi maupun Yoga tak berani bersuara. Mereka hanya menatap satu sama lain. Sementara Dafa masih berdiri di dekat tembok
Ruangan begitu hening. Desir angin malam masuk melewati celah jendela, tak terasa menyentuh kulit Bia. Sekujur tubuh Bia menjadi kaku, ia bahkan tak berani untuk sekedar mengedipkan mata.Dafa berjalan mendekati Bia. "Bianca Lariza. Nama panggilannya Bia. Keponakan dari almarhum pak Tiar. Cucu dari Dahlia Rani, pemilik perusahaan kopi yang cukup besar. Berpura-pura menjadi Bella. Sementara Bella dimakamkan atas nama Bia. Apa tujuannya?"Dafa berhenti tepat di hadapan Bia. Sementara itu Bia masih terdiam kaku, ia tak memiliki keberanian untuk menatap langsung mata pria yang telah mengetahui rahasianya itu."Kenapa diam padahal punya sejuta pertanyaan di kepala?" tanya Dafa menekan Bia agar berbicara padanya.Bia menghela nafas. Diamnya tak akan merubah kenyataan bahwa Dafa telah mengetahui siapa dirinya. "Udah tau, kenapa selama ini diam aja?" tanya Bia perlahan melirik ke arah Dafa. Dafa tersenyum, "penasaran aja, sejauh mana Bia bisa be
Bia membuat semua orang terkejut. Emosinya tak mampu lagi ia redam. Walau Bia memiliki pemikiran yang sama dengan Sandi, namun hatinya tetap sakit. Ia tak mampu menerima jika orang yang paling menyayanginya adalah sosok wanita tua yang jahat."Kenapa bukan?" tanya Dafa sambil memutar kursi mengarahkannya pada meja Bia. Bia memandang Dafa dengan mata yang sedikit memerah."Kayanya kita jangan berprasangka dulu deh," ucap Yoga menengahi.Sandi mengangguk, "ya, semoga aja bukan."Bia perlahan mengontrol emosinya. Matanya pun jernih kembali. Menarik nafas lalu mengeluarkannya secara perlahan.***"Bia yang awalnya menjalankan peran dengan sangat baik, kenapa sekarang mendadak ceroboh?" tanya Dafa. Di dalam ruangan hanya tersisa Dafa dan Bia. Sementara Sandi dan Yoga pergi untuk makan siang.Bia melirik ke arah Dafa yang memandanginya sedari tadi, "menurut kamu apa mungkin Oma pelakunya?" tanyanya."Mungkin," jawab D
Bia terdiam mendengar ucapan Dafa. Ia teringat bahwa besok adalah hari Jum'at, hari dimana Dafa akan berlibur dan menemani kekasihnya."Nemenin Selly?" Meski telah mengetahuinya, Bia tetap ingin memastikan bahwa pria di dekatnya itu akan meninggalkannya sendirian dirumah untuk bersama sang kekasih.Dafa mengangkat tubuhnya. Kini ia duduk berhadapan dengan Bia. "Gak takut sendirian?""Kan udah pernah," jawab Bia ketus, nampak tidak rela jika Dafa harus meninggalkannya sendirian.Dafa mengangguk pelan, "apa mau ikut?" tanyanya."Gila! Ngapain ngikutin orang yang mau pacaran. Mau jadi nyamuk? Ogah." Dafa berhasil memancing emosi Bia. Namun, hanya beberapa saat, Bia kembali berbicara pelan. Kali ini, nampak begitu serius. "Tapi kenapa sih, harus nemenin Selly tiap hari Jum'at? Emang dia tinggal dimana? Orang tuanya kemana?" tanya Bia mencaritahu lebih dalam tentang Selly.Dafa terdiam. Ia menyenderkan bahunya pada sofa. Seakan begitu berat untuk menjawab pertanyaan Bia. "Rumit." Satu kata
Bia terdiam mendengar ucapan Dafa. Ia teringat bahwa besok adalah hari Jum'at, hari dimana Dafa akan berlibur dan menemani kekasihnya."Nemenin Selly?" Meski telah mengetahuinya, Bia tetap ingin memastikan bahwa pria di dekatnya itu akan meninggalkannya sendirian dirumah untuk bersama sang kekasih.Dafa mengangkat tubuhnya. Kini ia duduk berhadapan dengan Bia. "Gak takut sendirian?""Kan udah pernah," jawab Bia ketus, nampak tidak rela jika Dafa harus meninggalkannya sendirian.Dafa mengangguk pelan, "apa mau ikut?" tanyanya."Gila! Ngapain ngikutin orang yang mau pacaran. Mau jadi nyamuk? Ogah." Dafa berhasil memancing emosi Bia. Namun, hanya beberapa saat, Bia kembali berbicara pelan. Kali ini, nampak begitu serius. "Tapi kenapa sih, harus nemenin Selly tiap hari Jum'at? Emang dia tinggal dimana? Orang tuanya kemana?" tanya Bia mencaritahu lebih dalam tentang Selly.Dafa terdiam. Ia menyenderkan bahunya pada sofa. Seakan begitu berat untuk menjawab pertanyaan Bia. "Rumit." Satu kata
Bia membuat semua orang terkejut. Emosinya tak mampu lagi ia redam. Walau Bia memiliki pemikiran yang sama dengan Sandi, namun hatinya tetap sakit. Ia tak mampu menerima jika orang yang paling menyayanginya adalah sosok wanita tua yang jahat."Kenapa bukan?" tanya Dafa sambil memutar kursi mengarahkannya pada meja Bia. Bia memandang Dafa dengan mata yang sedikit memerah."Kayanya kita jangan berprasangka dulu deh," ucap Yoga menengahi.Sandi mengangguk, "ya, semoga aja bukan."Bia perlahan mengontrol emosinya. Matanya pun jernih kembali. Menarik nafas lalu mengeluarkannya secara perlahan.***"Bia yang awalnya menjalankan peran dengan sangat baik, kenapa sekarang mendadak ceroboh?" tanya Dafa. Di dalam ruangan hanya tersisa Dafa dan Bia. Sementara Sandi dan Yoga pergi untuk makan siang.Bia melirik ke arah Dafa yang memandanginya sedari tadi, "menurut kamu apa mungkin Oma pelakunya?" tanyanya."Mungkin," jawab D
Ruangan begitu hening. Desir angin malam masuk melewati celah jendela, tak terasa menyentuh kulit Bia. Sekujur tubuh Bia menjadi kaku, ia bahkan tak berani untuk sekedar mengedipkan mata.Dafa berjalan mendekati Bia. "Bianca Lariza. Nama panggilannya Bia. Keponakan dari almarhum pak Tiar. Cucu dari Dahlia Rani, pemilik perusahaan kopi yang cukup besar. Berpura-pura menjadi Bella. Sementara Bella dimakamkan atas nama Bia. Apa tujuannya?"Dafa berhenti tepat di hadapan Bia. Sementara itu Bia masih terdiam kaku, ia tak memiliki keberanian untuk menatap langsung mata pria yang telah mengetahui rahasianya itu."Kenapa diam padahal punya sejuta pertanyaan di kepala?" tanya Dafa menekan Bia agar berbicara padanya.Bia menghela nafas. Diamnya tak akan merubah kenyataan bahwa Dafa telah mengetahui siapa dirinya. "Udah tau, kenapa selama ini diam aja?" tanya Bia perlahan melirik ke arah Dafa. Dafa tersenyum, "penasaran aja, sejauh mana Bia bisa be
Perlahan genggaman tangan itu melonggar. Bia mengambil kesempatan itu untuk melepaskan tangannya. Ia pergi meninggalkan Dafa yang masih tercengang mendengar perkataannya. Tanpa sadar, air mata Bia terjatuh seiring dengan tetesan darah di tangannya. Tangan yang semula berada di genggaman Dafa itu kini terluka akibat jam tangan di pergelangan tangan Bia yang ikut tergenggam oleh Dafa.Di luar, Bia berpapasan dengan Sandi dan Yoga yang kini tengah kembali dengan membawa botol minuman bersamanya."Kamu kenapa, Bel?" tanya Sandi ketika melihat Bia berjalan sambil menangis. Bia tidak memperhatikan Sandi, ia berlari meninggalkan kantor."Tangannya berdarah," ucap Yoga saat melihat tangan Bia."Serius? Ayo masuk," balas Sandi dan segera memasuki ruangan.Sandi dan Yoga kembali ke meja masing-masing. Ruangan begitu hening. Baik Sandi maupun Yoga tak berani bersuara. Mereka hanya menatap satu sama lain. Sementara Dafa masih berdiri di dekat tembok
Bia berjalan memasuki kantor dengan wajah tertunduk lesu. Sedari tadi ia berpikir siapa orang di dalam rumah Oma yang berhubungan dengan Bella?"Makan dulu, Daf, keburu dingin." Suara seorang wanita terdengar begitu asing di telinga Bia. Bia pun mengangkat wajahnya. Ia melihat seorang wanita berada di sebelah Dafa. Duduk berdekatan tanpa sekat. Wanita itu membawakan sarapan untuk Dafa.Sementara itu, Yoga dan Sandi saling berpandangan. Mereka merasa canggung dengan situasi saat ini."Hai, Bel," menyadari kehadiran Bia, wanita dengan kulit putih itu mulai menyapa dengan senyuman.Dafa tampak membeku, ia tidak bergerak sedikit pun. Suasana yang memang cukup canggung, terutama untuk Dafa.Bia membalas senyuman wanita di dekat Dafa itu, "Hai," balasnya. Bia berjalan mendekati meja Dafa. Ia menarik kursi plastik di meja Sandi dan memindahkannya tepat di sebelah Dafa. Hal itu membuat Dafa semakin merasa sesak.Melihat Bia duduk dekat d
Dafa beranjak dari sofa lalu pergi meninggalkan Bia yang masih ternganga mendengar perkataan pria berwajah dingin itu."Dia udah tau?" tanya Bia pada dirinya sendiri. Ia begitu bingung dengan kata yang terucap dari mulut Dafa. Apakah Dafa benar mengetahui bahwa wanita yang tinggal serumah dengannya bukan Bella melainkan Bia? Ataukah perkataan itu hanya persepsi Dafa semata?Bia memasuki kamar dengan wajah cemas. Ia tak ingin rahasianya terbongkar begitu cepat. Sudah larut malam dan Bia belum bisa tidur lagi. Matanya pun kembali segar, perkataan Dafa kini terngiang-ngiang di telinganya. Setelah cukup lama gelisah, gadis cerdik itu pun bereaksi. Bia menggeledah seluruh isi kamar Bella yang tak sempat ia cek sebelumnya. Entah apa yang dicarinya.Bia menemukan tumpukan struk di dalam laci meja rias. Ia melihat satu persatu isi struk belanja milik Bella."Mie instan? Kopi? Dari ratusan struk cuma isi mie instan sama kopi doang?" keluh Bia ketika meliha
Bia mulai menyadari bahwa perkataannya telah membuat Dafa curiga. Ia pun berusaha untuk terlihat tenang."Mungkin. Aku pernah nonton berita di tv, ada yang tiba-tiba sesak setelah makan udang dan itu karena si pemakan alergi udang," jawab Bia dengan mengontrol dirinya agar tidak terlihat panik."Gimana bos? Kita selidiki kemana?" tanya Sandi pada pak Irwan.Pak Irwan pun menjawab dengan cepat, "berangkat sekarang menemui istri pak Tiar."Pak Irwan melangkahkan kaki dengan cepat, dibuntuti oleh Yoga, Sandi, dan Dafa. Sementara Bia masih diam di tempat dengan wajah cemas."Ayo, Bel," ajak Sandi yang kini berada 5 meter dari Bia.Bia tiba-tiba memegang kepalanya. "Aku gak ikut ya, San, kepala aku sakit. Mungkin gara-gara shock tadi." Bia berpura-pura sakit agar Sandi tak memaksanya ikut menemui istri pak Tiar yang tak lain adalah bibinya. Gadis itu cukup cerdik."Langsung pulang aja, istirahat." Dafa yang berada di depan Sandi nampaknya mendengar ucapan Bia. Ia pun meminta Bia agar pulan
"Istrinya."Akhirnya pak Irwan membuka mulutnya. Ia memberitahukan rekan-rekannya bahwa istri pak Tiar lah yang membawakan makan malam. Sontak hal tersebut membuat semua terkejut, terutama Bia. Terlihat dari raut wajahnya ia tak menyangka bahwa bibinya lah yang meracuni sang paman."Masuk akal, istrinya kasi makan malam. Setelah suaminya meninggal, pihak keluarga enggan untuk dilakukan otopsi. Tanpa penyelidikan sudah jelas istrinya adalah tersangka utama," jawab Sandi. Kali ini suaranya cukup mewakilkan semua orang."Setuju," balas Yoga. Sementara Dafa hanya terdiam. Ia masih berpikir keras coba mendalami kasus kali ini sebelum akhirnya membuka suara."Gak setuju," ucapan Bia kali ini cukup untuk mencengangkan seluruh rekannya. "Seorang istri pasti mencintai suaminya dan ingin hidup bersama selamanya. Jadi gak mungkin istri pak Tiar pelakunya."Sandi pun mempertanyakan pendapat Bia, "terus kenapa sang istri menolak untuk otopsi?"
Embun pagi masih menghiasi dedaunan. Kicauan burung menyambut datangnya hari baru. Sementara Bia tertidur pulas di bawah selimut tebalnya. Suara ketukan pintu kamar memaksa Bia membuka mata."Apa sih pagi banget, matahari belum muncul juga," teriak Bia pada seorang dibalik pintu kamarnya."Keluar," terdengar suara Dafa dari balik pintu.Dengan wajah kusut, Bia beranjak dari tempat tidurnya untuk membuka pintu. Ia berjalan dengan mata pekat."Apa?" tanya Bia kesal.Dafa berdiri tegap di hadapan Bia. Ia menggelengkan kepala saat melihat gadis di depannya itu berbicara sambil menutup mata. "Siap-siap, kita ke tempat kemarin."Bia mengerutkan dahi. Ia tidak mengerti tempat apa yang Dafa maksud. "Tempat mana?""Pak Tiar meninggal," ucap Dafa dengan santai.Ucapan Dafa kali ini sontak membuat mata Bia terbuka lebar. Ia sangat terkejut mendengar bahwa pamannya yang kemarin berada dalam tahanan kini telah meninggal. "Se