Mata Ganis dan Ramon saling bertemu. Keduanya bisa merasakan degup jantung yang sama-sama berdesir tak biasa.“Pelan-pelan saja!” seru Ramon membenahi letak skruk yang dipakai Ganis dan segera menjauhkan tubuhnya. Ganis hanya melengos sambil mengelus dadanya. Ia pun berjalan perlahan untuk membiasakan dirinya memakai skruk. Ia ingin membereskan alat-alat kebersihan yang masih ada di teras depan Bungalow. Ramon sendiri segera masuk ke kamarnya. Sungguh ia makin tak paham dengan perasaamya. Jelas ia tertarik dengan Ganis. Ia segera meraih laptonya. Ia akan bekerja dari rumah sampai Ganis sembuh total. Ia membawa laptopnya ke ruangan tengah dan mulai konsentrasi dengan pekerjaannya. Sesekali ia juga menghubungi asisten dan juga sekretarisnya.Dengan susah payah Ganis membawa alat kebersihan menuju ruang belakang. Ramon memperhatikan Ganis lewat ekor matanya. Untuk berjalan dari teras ke ruang belakang butuh perjuangan keras untuknya. Tapi ia tak bisa duduk diam begitu saja. Ia kemudian
Sofia tak bisa membiarkan Sebastian terus mengganggunya. Ia sudah memblokir nomornya. Rupanya pria itu tak putus asa. Sofia segera mendapatkan teror SMS lagi. Sofia pun mulai membiarkannya dan menahan diri untuk tak tak meneleponnya balik. Ia mengira Sebastian akan berhenti sampai di situ. Suatu sore saat baru saja pulang dari kantor ayahnya ia menerima seorang pria yang mengirimkan paket. Biasanya paket itu akan ditaruh di kotak khusus tempat pesanan tapi pria itu tetap menunggunya di luar pagar. Sofia merasa janggal. Ia sendiri jarang memesan barang. Pria itu memakai topi dan jaket. Sofia kemudian menghampirinya dengan perasaan was-was.“Sofia. tanda tangan di sini,” kata pria itu membuat Sofia langsung mengenali suaranya. Benar-benar nekat. Sebastian berani muncul di depan rumahnya langsung. Sebenarnya ia bisa meminta bantuan ayahnya mengusir pria itu dalam kehidupannya tapi ia masih tak mau ayahnya yang punya hubungan dengan jaringan mafia membunuh Sebastian. Bagaimanapun ia tak
Ramon hanya bisa menggelengkan kepala begitu melihat Ganis bersorak layaknya anak TK begitu mereka masuk taman hiburan. “Sungguh masa kecil kurang bahagia!” decak Ramon sambil mengikuti Ganis yang berlarian menghampiri sebuah karoussel yang sedang berputar. Ganis langsung menaiki salah satu kuda-kudaan. “Kak ayo naik!” ajaknya tersenyum cerah. Ramon menyadari senyum Ganis begitu menawan. Ramon masih tak bergeming dan hanya membalas lambaian tangan Ganis ketika karoussel itu mulai berjalan memutar. Ramon jadi teringat masa kecilnya. Karousell adalah sarana yang dari dulu sudah ada di belahan dunia manapun. Membawa kebahagiaan jutaan orang dan umumnya anak-anak. Tentu saja ia mengalami semua pengalaman masa kanak-kanak yang menyenangkan. Terutama sampai 10 tahun pertama hidupnya. Ganis muncul dan melabai pada Ramon. Ramon hanya tersenyum. “Ayo kak naik,” ajak Ganis lagi dengan wajah yang berubah masam. Tentu saja tubuh Ramon terlalu besar untuk ikut naik. Ramon hanya melambaikan
Ganis tenggelam dan mulai kehilangan akal. Kelembutan bibir Ramon membuat tubuhnya lunglai seperti jelly. Ramon sangat senang akhirnya tak ada penolakan lagi. Mulanya bibir Ganis tak memberi tanggapan. Ramon sadar Ganis tak punya pengalaman dalam berciuman. Tangan Ramon membelai pipi Ganis dengan meraih pinggang gadis itu untuk merapat pada tubuhnya. Ia ingin Ganis merasa nyaman dan rileks. Ia menuntun bibir Gadis itu agar membuka dengan menggigitnya pelan. Tangan Ramon beralih pada tengkuk Ganis. Ganis meremat sisi kemeja Ramon merasakan gelayar yang mulai menjalar ke seluruh tubuh ketika lidah Ramon mulai masuk ke dalam mulutnya dan bergerak liar di sana. Ganis cepat belajar dan mulai merespon. Pautan bibir yang awalnya pelan lama-kelaman menjadi saling menuntut. Bunyi decah basah terdengar diantara debur ombak. Ramon menghentikan pautan mereka dan melihat Ganis tersenyum dan kemudian menunduk. Ramon membawa Ganis ke dalam pelukannya. Keduanya kemudian saling merapat untuk meredakan
Ramon menghentikan mobilnya di depan bungalow menjelang tengah malam. Sepanjang perjalanan tadi hanya kebisuan yang ada diantara dirinya dan Ganis.“Turunlah! Lekas istirahat. Sudah malam,” ujar Ramon dengan nada datar. Ganis yang sudah bisa menetralisir perasaannya hanya mengangguk dan membuka pintu mobil.“Maafkan aku. Aku sudah melewati batas,” ucap Ramon menatap Ganis singkat sebelum kemudian menutup pintu mobil.“Kakak mau kemana malam-malam begini?” tanya Ganis sedikit terkejut karena ternyata Ramon hanya berhenti untuk menurunkan dirinya saja.“Kau tak perlu tahu,” ucap Ramon dingin dan segera menghidupkan mesin mobilnya dan melajukanya meninggalkan Ganis yang sedikit termangu. Mungkin lebih baik memang Ramon tak menginap membayangkan apa yang bisa diperbuat pria itu kepadanya. Gadis itupun segera masuk ke dalam Bungalow.Sementara itu Ramon terus mengendarai mobilnya dengan hati rusuh. Hasratnya pada Ganis yang tak tersalurkan membuatnya frustasi. Ia sungguh tak habis pikir de
Ganis mundur beberapa langkah.“Bukan begitu kak,” seru Ganis sedikit terkesiap dan berusaha menghindari pandangan Ramon. Ramon segera melepaskan tangannya dan berlalu begitu saja. Ganis dapat bernafas lega. Setidaknya Ramon tak menciumnya secara tiba-tiba. Ganis melihat Ramon kini berdiri di dekat jendela dapur sambil melihat suasana di luar.“Ngapain lihat-lihat! cepetan bikinin aku sup jamurnya,” seru Ramon lagi sambil mulai bertelepon.“”Eh iya kak,” jawab Ganis masih belum terbiasa dengan perubahan sikap Ramon. Ganis pun langsung melesat ke dapur dan mulai membuka kulkas dan menyiapkan jamur dan bahan-bahanya. Untungnya saat belanja tadi Ganis sengaja membeli jamur agak banyak. Ia berharap memang Ramon akan segera mengunjungi bungalow dan makan sup jamur kesukaannya.Saat sibuk memasak Ganis mencuri-curi pandang dan juga dengar apa yang dilakukan Ramon. Wajah Ramon saat itu tersenyum kecil dengan nada berbisik. Pasti ia sedang bertelepon mesum dengan kak Sofia tunangannya. Enta
Sedang apa gadis itu sekarang. Tadi ia meninggalkan Ganis menangis di kamar mandinya. Ramon segera menelepon Pak Dirman.“Hallo Pak Dirman,”“Ya ada apa Pak Ramon?” jawab Pak Dirman yang baru saja sampai di rumah setelah mengantarkan Ganis bertemu temannya.“Aku ingin kau lihat Ganis di Bungalow. Sedang apa gadis itu. Kalau dia baik-baik saja laporkan padaku,” ucap Ramon mengkhawatirkan kondisi Ganis.“Maaf Pak Ramon saya baru saja mengantarkan Non Ganis pergi keluar menemui temannya,” ujar Pak Dirman sedikit takut karena langsung mengantarkan Ganis tanpa melapor dulu pada Ramon. “Kira-kira kau tahu siapa temannya dan mau pergi kemana mereka,” sahut Ramon kini mulai kesal. “Dia bertemu teman laki-lakinya. Mereka pergi naik motor entah kemana. Saya juga tak begitu paham,” jawab Pak Dirman sudah siap untuk diomeli lebih lanjut.“Kenapa kau tak mengikutinya? kenapa tak tanya kemana perginya dan juga jam pulangnya?” bentak Ramon entah kenapa menjadi panas mendengar Ganis pergi dengan co
Kali ini Ganis tak mau lagi terlena oleh ciuman Ramon. Ia cukup waspada untuk tidak larut sebelum ada kepastian hubungan seperti apa yang akan mereka jalani nanti.“Kak tolong hentikan!” bujuk Ganis menghindari pagutan Ramon ke arah lehernya.“Bukannya kau ingin melayaniku. Kau mencintaiku dari dulu bukan?” ucap Ramon membelai pipi Ganis lembut.“Darimana kakak tahu?” seru Ganis melebarkan matanya. Ramon memeluk Ganis hangat. Ganis tak bisa menolaknya. Sangat nyaman sekali.“Aku melihat tanda Love di foto bersama Marco. Aneh kenapa kau malah menyukaiku daripada Marco sendiri,” seru Ramon menyusupkan wajahnya ke bahu gadis itu. Ganis menggeleng pelan. Ia nggak menyangka Ramon telah tahu perasaannya jauh sebelum tadi pagi ia mengakuinya secara langsung pada pria itu. “Tidakkah kita bisa menjalani ini apa adanya saja dulu. Butuh waktu juga untukku menjelaskan pada Sofia tentang apa yang terjadi,” ujar Ramon kini menatap mata hitam pekat milik Ganis. Ganis tersenyum kecil. Ini sungguh me
Seperti kilatan mimpi upacara pernikahan berlangsung singkat dan mengundang haru. Pestanya di halaman panti, tamunya semua anak panti dan juga penduduk sekitarnya. Bagi Ganis ini sudah lebih dari cukup. Ia sempat mengira Ramon akan memberikannya pesta bak miliarder di ballroom hotel dengan tamu ribuan mengingat status Ramon. Alih-alih pria itu memberinya pesta yang intimate dan membuatnya meneteskan air mata. Tak ada pendeta yang ada Ramon mengundang petugas catatan sipil untuk memberikan surat nikah untuk ditandatangani. Mungkin Ramon ingin menghormatinya karena dirinya secara identitas juga beragama islam. Tak sampai di situ karena di negara ini tak diizinkan ada pernikahan beda agama Ramon mengganti agamanya menjadi islam di atas kertas.Ganis tahu semua mata yang hadir mendoakan kebahagiaan mereka begitu tulus. Bu Panca berulang kali mengusap matanya dengan sapu tangan. Beberapa pegawai panti ikut terharu. Lain halnya para anak. Mereka menyanyikan lagu wedding penuh semangat denga
Setelah perjalanan yang lumayan membosankan terbang dari Barcelona ke Indonesia pagi itu Ganis sampai kembali di tanah air. Ia menghembuskan nafas dalam sambil menyeret kopernya menuju peron bandara. Kali ini ia akan benar-benar pulang. Setelah sekian lama merantau ke luar negeri.Ia tersenyum tatkala ia tak melihat seorang pun menjemputnya. Biasanya bibi Sunnah dan juga Givani yang akan menyambutnya. Ia tak tahu harus bersyukur atau tidak. Ternyata Ramon tak menjemputnya dan juga Givani. Mereka juga tak menghubunginya. Belum selesai rasa keheranannya tiba tiba seorang pria berbadan tegap menghampirinya"Anda harus ikut kami.Anda Ganis, bukan?" "Ya benar. Anda siapa kok saya harus menuruti anda?" tanya Ganis sama sekali tak bergeming dari posisinya."Saya suruhan pak Ramon," ucap pria itu membungkuk hormat dan meraih koper Ganis. Ganis mendesah pelan dan mengikuti kemana pria itu.Ganis tak banyak bertanya meskipun pria itu membawanya ke daerah yang sama sekali tak dikenalnya. Mungk
Terdengar suara panggilan dari pengeras suara. Mereka harus segera naik pesawat. "Kita bisa menundanya besok," kata Ramon masih menggenggam tangan Ganis. Givani tersenyum jahil pada Ganis."Tak perlu Ayah. Salah sendiri kakak tiba-tiba mau ikut," serunya membuat Ganis tak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi Givani. "Ok. Aku bisa menyusul kalian besok. Aku juga harus membereskan pekerjaanku sekalian aku ingin ziarah ke makam bi Sunnah. Jadi sekarang berangkatlah anak centil," ucap Ganis gemas. "Ku tunggu Nis," ucap Ramon seolah begitu berat melepaskan tangan Ganis."Ayah, jangan lebay ah," decak Givani berjalan lebih dahulu. Mereka pun berciuman sebentar dan melambaikan tangan. Ramon segera di dorong oleh perawat dan Raffi.Hari itu setelah Ganis pamit pada rekan kerja dan atasannya ia mengunjungi makan bibi Sunnah dengan ditemani Shawn dan juga bibi Merry."Aku ingin memindahkan makamnya ke Indonesia sebenarnya," kata Ganis ketika mereka dalam perjalanan pulang."Kalau kau
Ramon menatap muram cincin berlian di tangannya. Detik demi detik berlalu. "Ramon," suara Ganis akhirnya terdengar. Ramon melihat wajah Ganis yang tampak ragu. "Bagaimana Nis?" tanya pria itu kini semangatnya mulai mengendur. "Cincinnya sangat bagus dan aku senang kakak melamarku. Tapi untuk menikah aku butuh waktu lagi. Kau tahu pekerjaanku," seru Ganis tercekat. Hatinya kini sedang bergulat hebat. "Tak apa. Aku akan menunggu. 7 tahun masih ditambah lagi beberapa tahun juga tak apa. Asal pada akhirnya kau bersamaku. Tapi apakah Givani bisa menunggu dan memahaminya," ujar Ramon perlahan meraih tangan Ganis yang menggenggam erat sisi kemejanya. Ganis tak punya kekuatan untuk menarik tangannya dan menolak saat Ramon mengecup punggung tangannya dan menatapnya dalam. Dalam sekejap mata cincin berlian itu kini sudah melingkar indah di jarinya. Air mata Ganis luruh. Ramon segara menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. "Kau milikku. Dari dulu Nis," bisik Ramon di telinga Ga
Ganis merasa cepat atau lambat memang ia harus segera memutuskan. "Aku akan pikirkan. Aku akan segera mandi. Waktunya untuk bekerja," seru Ganis kemudian dengan cepat mengancingkan baju Ramon. Ramon hanya mengangguk tak mau terlalu menekan Ganis. Saat Ganis selesai membersihkan diri rupanya Givani, Shawn dan juga bibi Merry sudah datang termasuk juga asisten Ramon. "Kak kata Ayah besok aku akan pulang. Aku juga harus sekolah. Kakak ikut kan? Sekarang sudah tidak ada lagi ibu," tukas Givani dengan wajah sedihnya. Ganis menjadi tak enak."Kakak tidak bisa untuk langsung berhenti bekerja sayang. Beri kakak waktu " seru Ganis sambil mengelus rambut putrinya. Ramon memandang Givani"Vani jangan desak ibumu," seru Ramon tegas. Givani pun mundur dan kembali ke dekat Ramon. Ia pun terdiam dan tak banyak bicara lagi. Suasana hangat menjadi sedikit tegang."Ayo kita sarapan di kantin. Biar Shawn membawa Ramon ke toilet dulu," kata bibi Merrymengajak Ganis dan juga Givani. Setelah sarapan
Ciuman itu berlangsung pelan dan intens. Pikiran Ganis kosong Telapak tangan Ramon mengelus pinggang dan punggungnya pelan. Ganis tak bisa menutupi perasaannya lagi. Senikmat ini bersama dengan orang benar-benar dicintai. Saat keduanya tengah tenggelam saling menghisap dan melumat, sebuah suara langsung menghentikan mereka. "Astaga! Apa kalian sudah tak bisa menahannya sama sekali Pintu ini terbuka. Bagaimana kalau ada perawat masuk," seru Shawn yang harus kembali untuk mengambil tasnya yang tertinggal. Keduanya perlahan saling menjauhkan diri. Rasanya Ganis ingin menghilang saja saking malunya. Seperti perempuan tak berhati saja. "Kau kembali," ucap Ganis dengan risih. Ramon sendiri tampak santai dengan menyentuh bibirnya dengan jemarinya. Shawn menahan perasaannya untuk tidak menonjok kakaknya itu. "Ada yang ketinggalan. Nis apa kau sudah makan?" tawar Shawn yang sengaja mengajaknya karena ingin berbicara dengannya. "Belum. Ayo pergi makan," ajak Ganis buru-buru bera
"Sebaiknya kau harus membiasakan diri dengan perawat. Aku tak bisa terus-terusan merawatmu. Aku juga harus bekerja. Aku masih pegawai magang. Jadi tak bisa sembarangan libur," ucap Ganis berusaha mengendalikan dirinya dengan melepas baju Ramon dengan cepat. Walhasil Ramon mengernyit kesakitan. Pergerakan sedikit saja sudah berefek pada otot kaki dan tangannya yang sedang di gips. "Kau mau menyiksaku!" ucap Ramon dengan wajah keras."Kau mengada-ngada. Pakai sendiri saja kalau bisa," seru Ganis menyodorkan pakaian ganti dan beranjak duduk di sofa sambil mulai menyalakan TV. Ramon tak bergeming sedikitpun. Malah dengan tangan kanannya yang sehat ia meraih ponselnya dan segera berbicara dengan bawahannya tentang semua pekerjaannya yang semuanya harus terbengkalai. Ramon menghubungi asistennya dan juga sekretarisnya Mara. Ia meminta Mara untuk mengatasi semua pekerjaannya selama ia belum bisa kembali ke Indonesia. Sementara asistennya Raffi ia perintahkan untuk segera terbang ke Spanyol
Ganis pergi menuju bangsal dimana Ramon di rawat. Dengan kekayaannya sungguh Ramon tak membutuhkan dirinya. Ia hanya perlu memancing Ramon untuk mengusirnya sehingga ia bisa menghindar dari keharusan untuk menungguinya. Dengan begitu Givani tak lagi bisa menyudutkannya agar mau merawat Ramon.Sesampai di depan bangsal ia sedikit terpana melihat beberapa orang berjas hitam layaknya pengawal sedang mondar-mandir di dekat pintu kamar. Apakah orang orang ini adalah pengawal dan suruhan Ramon pikir Ganis memutuskan untuk segera masuk saja. Bayangan seorang pasien yang kesepian dan menyedihkan seperti bayangan Givani tak terjadi pada Ramon. Ganis melihat Ramon kini dikelilingi beberapa orang. Ganis tak asing dengan mereka.Mereka adalah Sir Ferguso beserta keluarganya. Perlahan Ganis mundur untuk berbalik. Tapi wanita cantik sang pengantin baru yang merupakan anak Sir Ferguso memergokinya."Hai, kau darimana? Bukankah kau seharusnya ada di samping kekasihmu saat ini?" ucap wanita itu denga
Seorang dokter keluar dari ruang operasi. Shawn yang mewakili sebagai keluarga mengikuti dokter masuk ke ruangan dokter. Ganis yang baru saja tiba berusaha mencegah Givani untuk ikut masuk ke dalam ruangan. "Dia Ayahku. Aku juga berhak tahu keadaanya," sahut Givani tak bisa menahan perasaannya."Aku tahu kamu sangat menyayangi Ayah. Apa dokter akan mau menceritakan semuanya pada anak umur 7 tahun? tentu saja tidak. Meskipun mungkin kau cukup pintar. Tetap saja kau tak bisa menandatangi persetujuan atas tindakan dokter," seru Ganis kini menjadi tak sabar. Givani menghempaskan tubuhnya di sofa depan ruang ICU."Aku harap setelah ini kakak segera saja melanjutkan acara pernikahan kakak dengan Shawn," seru Givani dengan wajah tertekuk. "Bagaimana bisa kau mengatakan itu. Sementara bibi Sunnah baru saja meninggal," seru Ganis mengelus dada menahan emosinya. Ganis menatap wajah Givani yang mengeras. Ganis pun perlahan berjalan menuju ruang dokter. Ia tak ingin memperpanjang perdebatan l