Ganis mencium pipi Givani berulangkali sebelum memeluknya erat. Mereka sedang berada di bandara. Hari ini Ganis akan terbang ke Jepang untuk jadi teknisi bengkel motor. "Kakak kenapa aku nggak boleh ikut," rajuk Givani tidak mau ditinggal. "Sayang kakak mau bekerja, bukan untuk main," bujuk bi Sunnah. "Kakak janji akan segera video call. Givani baik- baik saja sama ibu. Harus nurut dan belajar yang baik," kata Ganis membelai rambut kecoklatan gadis kecil itu."Janji ya, jangan bohong," kata Givani sambil mempermainkan kepangan rambutnya. Ganis hanya tersenyum dan memeluk kembali Givani singkat. Kali ini ia harus kuat. Ia harus meninggalkan Givani demi masa depan mereka kelak.Waktu hampir habis. Ganis menyerahkan Givani pada bi Sunnah. Kini giliran Ganis memeluk bi Sunnah dan bergegas menyeret kopernya berjalan menuju boarding pass. Ia sempat mendengar tangis Givani. Ia memejamkan mata menguatkan batin.Dalam pesawat Ganis menatap langit melalui jendela pesawat dengan perasaan pilu
Ramon segera bergegas menuju mobilnya setelah selesai mengadakan konferensi pers. "Aku yakin dengan mensponsori acara olahraga ini maka produk kita akan semakin dikenal," ucap Soraya asisten Ramon yang tentu saja terus mengikuti Ramon kemanapun pergi. Soraya adalah keponakan Mara yang baru saja lulus. Mara mengajukan Soraya untuk jadi asistennya karena Mara sendiri tak akan bisa mengikuti mobilitas Ramon yang sangat sibuk mengingat usianya yang kian bertambah. "Kau seantusias itu," kata Ramon melonggarkan dasinya. Soraya mengangguk dengan senyum optimisnya. Ramon menangkap senyum itu dan kembali teringat Ganis. Soraya adalah gadis muda berusia sama dengan Ganis. Seharusnya Ganis bisa hidup seperti Soraya dan gadis lainnya. Rasa sesal dan rasa bersalah kembali menderanya. "Soraya hari ini kau bisa bebas melewatkan akhir pekanmu," ucap Ramon singkat. Ia berharap Soraya akan bisa menikmati hari liburnya dan sejenak melupakan urusan pekerjaan. "Bapak sendiri apakah juga akan bekerja?"
Ganis sedang melakukan video call dengan Givani dan Bi Sunnah. "Kak kata ibu aku mau sekolah," ujar gadis kecil itu sambil makan donat kesukaanya. "Ya Vani harus sekolah," ucap Ganis tersenyum. Bi Sunnah tampak di belakang Givani tak ingin ikut berbincang. Ia ingin memberi kesempatan keduanya untuk saling bercakap. "Aku melihat Sherli pergi ke sekolah. Apakah semua anak harus pergi ke sekolah kak? Kata ibu kalau sekolah aku nggak boleh bangun siang lagi," tukas gadis kecil itu terlihat cemberut. "Ya karena Sekolah ada aturannya sayang. Percayalah nanti Vani pasti menyukai sekolah," sahut Ganis paham dengan kegusaran Givani. "Kak aku nggak mau sekolah kalau nggak diantar kakak," rajuk Givani manja pada Ganis. "Tentu saja di hari pertama kau sekolah aku akan minta ijin untuk pulang khusus untuk mengantar Vani," janji Ganis berpikir untuk berupaya pulang. Kebetulan ia sama sekali tak pernah mengambil hak cutinya selama bekerja. Givani langsung meloncat kegirangan. "Betul Ya, kaka
Ramon memutuskan untuk menjadi orang tua asuh bagi anak-anak yatim di tempat Marco dulu. Ia sedikit merasa terlambat karena baru melakukanya sekarang. Hari ini dengan Soraya yang terus mengikutinya ia datang ke panti."Soraya data semua anak-anak ini dan semua kebutuhannya untuk pindah sekolah di sekolah internasional. Kamu bisa berkoordinasi dengan Bu Panca ibu Panti ini," ujar Ramon melenggang masuk ke tempat anak-anak bermain."Pak tunggu! yang benar saja semua anak ini mau bapak tanggung sekolahnya. Sekolah Internasional?" ujar Soraya."Memang kenapa?" ujar Ramon mulai sibuk melempar bola pada salah satu anak laki-laki. Soraya menjilat bibir sensualnya."Ini akan lebih dari 20 orang mungkin," serunya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan."Tak apa. Kekayaanku tak akan pernah habis untuk mereka. Mereka investasi masa depanku," kata Ramon tanpa ragu. Soraya mendengus."Apa bapak tidak ingin menikah dan punya anak sendiri yang banyak?" tanya Soraya yang kini kian putus asa
Ganis mengepalkan tangannya dan menatap kepala sekolah."Saya yakin akan mampu membayarnya sampai Givani lulus. Saya akan melakukan apa saja," jawab Ganis penuh keyakinan. Wanita berkaca mata itu pun tersenyum."Sungguh saya terkesan dengan tekadmu. Saya akan terima adikmu menjadi siswa disini. Silahkan melakukan pembayarannya," kata kepala sekolah itu mengulurkan tangannya. Ganis berdiri dan menyambut tangan wanita itu."Saya ingin yang terbaik untuk adik saya," seru Ganis membungkuk sopan dan melangkah keluar. Bi Sunnah dan juga Givani tak ia temukan di tempatnya tadi. Pasti mereka berada di lobby ruangan depan.********Ramon berjalan dengan tergesa menuju mobilnya. Ia sambil menerima sebuah panggilan dari jauh. Segera ia menghempaskan tubuhnya ke jok belakang mobilnya."Jalan ke panti asuhan," kata Ramon pada sopirnya. Mobil itu pun melaju menembus keramaian pagi kota. "Tobias aku telah menyetujui proyek wisatamu itu. Aku ingin sekali pulang tapi kau telah menghancurkan mansionk
"Kau baik-baik saja?" tanya Ramon tersadar dari pesona mata hazel gadis kecil itu. Mata gadis itu berkedip sesaat."Matamu mirip denganku. Apakah kita berjodoh?" ucap gadis kecil itu masih terkesima.Bi Sunnah dengan tergopoh-gopoh muncul dari dalam ruangan."Givani jangan lari-larian," teriaknya ketika akhirnya mendapati Givani yang tadi sempat menghilang. "Dia menabrakku," seru Gisel masih kesal."Maafkan anakku. Givani ayo minta maaf," perintah bi Sunnah. Givani menggaruk lehernya tersenyum. "Baiklah. Aku minta maaf," ucapnya tersenyum pada gadis berkulit coklat dan berambut pendek itu. Senyum ramah Givani membuat Gisel tak marah lagi. "Wah kalian bisa berkenalan dan berteman," sahut Bu Panca mengedipkan matanya pada kedua gadis kecil itu."Maaf kadang Givani sulit untuk bisa duduk tenang," kata Bi Sunnah lega bisa menemukan Givani dengan segera. "Nah Givani setelah meminta maaf kalian ucapkan nama kalian," seru Bu Panca menatap kedua gadis kecil itu bergantian. Ia berharap den
Sepanjang liburannya Ganis melakukan banyak kegiatan bersama Givani. Sepanjang hari banyak pengalaman baru dan kedekatan yang kian membuat Ganis makin sulit untuk kembali meninggalkan putrinya. Sampai pada hari di mana ia harus memkasakan dirinya untuk kembali bekerja dan kembali ke Jepang. Ganis berangkat di hari di mana Givani akan masuk sekolah di hari pertamanya. "Kakak harus sering VC Givani," rengek Givani dengan mata berkaca-kaca. Givani sudah berada di halaman gedung sekolahnya bersama Bi Sunnah. Ganis berusaha menyembunyikan perasaan sedihnya."Ya kakak akan menghubungi Givani. Kalau kakak ada tanggungan pekerjaan. Givani bikin aja videonya. Nanti pas kakak udah santai kakak akan melihatnya dan membalasnya. OK?" ucap Ganis mengayunkan tangannya untuk tos. Givani membalasnya tanpa semangat."Aku sekolah dulu. Kakak selamat jalan," ucap Givani kemudian memalingkan wajah dan berlari masuk ke dalam gedung sambil melambaikan tangan."Dada Vani. Baik-baik ya," seru Ganis terharu.
Givani dengan semangat membuka bungkusan itu. Setelah hampir sebulan menunggu akhirnya Ganis bisa membelikannya sebuah ponsel baru. Bi Sunnah hanya tersenyum melihat kegembiraan Givani."Mulai sekarang Ibu bisa menggunakan ponsel yang lama. Ponsel ini aku yang pakai," ujar Givani tersenyum makin lebar ketika bisa mengeluarkan ponselnya dari kotaknya dan mendapatinya berwarna magenta yang sangat cantik."Vani tapi ingat kakak bilang apa? ada waktunya. Nggak boleh main hp lebih dari satu jam sehari," ucap Bi Sunnah memperingatkan."Tentu saja ibu. Tapi di hari libur boleh, kan?" tanya Givani dengan matanya yang indah melebar kian manis. Bi sunnah sulit menolak kalau Givani sudah menampilkan Puppy eyes nya. Bi Sunnah sudah merasa begitu tua untuk bisa mengaktifkan ponsel baru. Dengam bantuan Ganis melalui Video call ponsel itupun bisa digunakan."Kakak makash ya," ujar Givani mencium ponselnya yang akan ia jaga sepenuh hati. Ganis hanya tersenyum tipis. Sebenarnya Givani belum saatnya p
Seperti kilatan mimpi upacara pernikahan berlangsung singkat dan mengundang haru. Pestanya di halaman panti, tamunya semua anak panti dan juga penduduk sekitarnya. Bagi Ganis ini sudah lebih dari cukup. Ia sempat mengira Ramon akan memberikannya pesta bak miliarder di ballroom hotel dengan tamu ribuan mengingat status Ramon. Alih-alih pria itu memberinya pesta yang intimate dan membuatnya meneteskan air mata. Tak ada pendeta yang ada Ramon mengundang petugas catatan sipil untuk memberikan surat nikah untuk ditandatangani. Mungkin Ramon ingin menghormatinya karena dirinya secara identitas juga beragama islam. Tak sampai di situ karena di negara ini tak diizinkan ada pernikahan beda agama Ramon mengganti agamanya menjadi islam di atas kertas.Ganis tahu semua mata yang hadir mendoakan kebahagiaan mereka begitu tulus. Bu Panca berulang kali mengusap matanya dengan sapu tangan. Beberapa pegawai panti ikut terharu. Lain halnya para anak. Mereka menyanyikan lagu wedding penuh semangat denga
Setelah perjalanan yang lumayan membosankan terbang dari Barcelona ke Indonesia pagi itu Ganis sampai kembali di tanah air. Ia menghembuskan nafas dalam sambil menyeret kopernya menuju peron bandara. Kali ini ia akan benar-benar pulang. Setelah sekian lama merantau ke luar negeri.Ia tersenyum tatkala ia tak melihat seorang pun menjemputnya. Biasanya bibi Sunnah dan juga Givani yang akan menyambutnya. Ia tak tahu harus bersyukur atau tidak. Ternyata Ramon tak menjemputnya dan juga Givani. Mereka juga tak menghubunginya. Belum selesai rasa keheranannya tiba tiba seorang pria berbadan tegap menghampirinya"Anda harus ikut kami.Anda Ganis, bukan?" "Ya benar. Anda siapa kok saya harus menuruti anda?" tanya Ganis sama sekali tak bergeming dari posisinya."Saya suruhan pak Ramon," ucap pria itu membungkuk hormat dan meraih koper Ganis. Ganis mendesah pelan dan mengikuti kemana pria itu.Ganis tak banyak bertanya meskipun pria itu membawanya ke daerah yang sama sekali tak dikenalnya. Mungk
Terdengar suara panggilan dari pengeras suara. Mereka harus segera naik pesawat. "Kita bisa menundanya besok," kata Ramon masih menggenggam tangan Ganis. Givani tersenyum jahil pada Ganis."Tak perlu Ayah. Salah sendiri kakak tiba-tiba mau ikut," serunya membuat Ganis tak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi Givani. "Ok. Aku bisa menyusul kalian besok. Aku juga harus membereskan pekerjaanku sekalian aku ingin ziarah ke makam bi Sunnah. Jadi sekarang berangkatlah anak centil," ucap Ganis gemas. "Ku tunggu Nis," ucap Ramon seolah begitu berat melepaskan tangan Ganis."Ayah, jangan lebay ah," decak Givani berjalan lebih dahulu. Mereka pun berciuman sebentar dan melambaikan tangan. Ramon segera di dorong oleh perawat dan Raffi.Hari itu setelah Ganis pamit pada rekan kerja dan atasannya ia mengunjungi makan bibi Sunnah dengan ditemani Shawn dan juga bibi Merry."Aku ingin memindahkan makamnya ke Indonesia sebenarnya," kata Ganis ketika mereka dalam perjalanan pulang."Kalau kau
Ramon menatap muram cincin berlian di tangannya. Detik demi detik berlalu. "Ramon," suara Ganis akhirnya terdengar. Ramon melihat wajah Ganis yang tampak ragu. "Bagaimana Nis?" tanya pria itu kini semangatnya mulai mengendur. "Cincinnya sangat bagus dan aku senang kakak melamarku. Tapi untuk menikah aku butuh waktu lagi. Kau tahu pekerjaanku," seru Ganis tercekat. Hatinya kini sedang bergulat hebat. "Tak apa. Aku akan menunggu. 7 tahun masih ditambah lagi beberapa tahun juga tak apa. Asal pada akhirnya kau bersamaku. Tapi apakah Givani bisa menunggu dan memahaminya," ujar Ramon perlahan meraih tangan Ganis yang menggenggam erat sisi kemejanya. Ganis tak punya kekuatan untuk menarik tangannya dan menolak saat Ramon mengecup punggung tangannya dan menatapnya dalam. Dalam sekejap mata cincin berlian itu kini sudah melingkar indah di jarinya. Air mata Ganis luruh. Ramon segara menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. "Kau milikku. Dari dulu Nis," bisik Ramon di telinga Ga
Ganis merasa cepat atau lambat memang ia harus segera memutuskan. "Aku akan pikirkan. Aku akan segera mandi. Waktunya untuk bekerja," seru Ganis kemudian dengan cepat mengancingkan baju Ramon. Ramon hanya mengangguk tak mau terlalu menekan Ganis. Saat Ganis selesai membersihkan diri rupanya Givani, Shawn dan juga bibi Merry sudah datang termasuk juga asisten Ramon. "Kak kata Ayah besok aku akan pulang. Aku juga harus sekolah. Kakak ikut kan? Sekarang sudah tidak ada lagi ibu," tukas Givani dengan wajah sedihnya. Ganis menjadi tak enak."Kakak tidak bisa untuk langsung berhenti bekerja sayang. Beri kakak waktu " seru Ganis sambil mengelus rambut putrinya. Ramon memandang Givani"Vani jangan desak ibumu," seru Ramon tegas. Givani pun mundur dan kembali ke dekat Ramon. Ia pun terdiam dan tak banyak bicara lagi. Suasana hangat menjadi sedikit tegang."Ayo kita sarapan di kantin. Biar Shawn membawa Ramon ke toilet dulu," kata bibi Merrymengajak Ganis dan juga Givani. Setelah sarapan
Ciuman itu berlangsung pelan dan intens. Pikiran Ganis kosong Telapak tangan Ramon mengelus pinggang dan punggungnya pelan. Ganis tak bisa menutupi perasaannya lagi. Senikmat ini bersama dengan orang benar-benar dicintai. Saat keduanya tengah tenggelam saling menghisap dan melumat, sebuah suara langsung menghentikan mereka. "Astaga! Apa kalian sudah tak bisa menahannya sama sekali Pintu ini terbuka. Bagaimana kalau ada perawat masuk," seru Shawn yang harus kembali untuk mengambil tasnya yang tertinggal. Keduanya perlahan saling menjauhkan diri. Rasanya Ganis ingin menghilang saja saking malunya. Seperti perempuan tak berhati saja. "Kau kembali," ucap Ganis dengan risih. Ramon sendiri tampak santai dengan menyentuh bibirnya dengan jemarinya. Shawn menahan perasaannya untuk tidak menonjok kakaknya itu. "Ada yang ketinggalan. Nis apa kau sudah makan?" tawar Shawn yang sengaja mengajaknya karena ingin berbicara dengannya. "Belum. Ayo pergi makan," ajak Ganis buru-buru bera
"Sebaiknya kau harus membiasakan diri dengan perawat. Aku tak bisa terus-terusan merawatmu. Aku juga harus bekerja. Aku masih pegawai magang. Jadi tak bisa sembarangan libur," ucap Ganis berusaha mengendalikan dirinya dengan melepas baju Ramon dengan cepat. Walhasil Ramon mengernyit kesakitan. Pergerakan sedikit saja sudah berefek pada otot kaki dan tangannya yang sedang di gips. "Kau mau menyiksaku!" ucap Ramon dengan wajah keras."Kau mengada-ngada. Pakai sendiri saja kalau bisa," seru Ganis menyodorkan pakaian ganti dan beranjak duduk di sofa sambil mulai menyalakan TV. Ramon tak bergeming sedikitpun. Malah dengan tangan kanannya yang sehat ia meraih ponselnya dan segera berbicara dengan bawahannya tentang semua pekerjaannya yang semuanya harus terbengkalai. Ramon menghubungi asistennya dan juga sekretarisnya Mara. Ia meminta Mara untuk mengatasi semua pekerjaannya selama ia belum bisa kembali ke Indonesia. Sementara asistennya Raffi ia perintahkan untuk segera terbang ke Spanyol
Ganis pergi menuju bangsal dimana Ramon di rawat. Dengan kekayaannya sungguh Ramon tak membutuhkan dirinya. Ia hanya perlu memancing Ramon untuk mengusirnya sehingga ia bisa menghindar dari keharusan untuk menungguinya. Dengan begitu Givani tak lagi bisa menyudutkannya agar mau merawat Ramon.Sesampai di depan bangsal ia sedikit terpana melihat beberapa orang berjas hitam layaknya pengawal sedang mondar-mandir di dekat pintu kamar. Apakah orang orang ini adalah pengawal dan suruhan Ramon pikir Ganis memutuskan untuk segera masuk saja. Bayangan seorang pasien yang kesepian dan menyedihkan seperti bayangan Givani tak terjadi pada Ramon. Ganis melihat Ramon kini dikelilingi beberapa orang. Ganis tak asing dengan mereka.Mereka adalah Sir Ferguso beserta keluarganya. Perlahan Ganis mundur untuk berbalik. Tapi wanita cantik sang pengantin baru yang merupakan anak Sir Ferguso memergokinya."Hai, kau darimana? Bukankah kau seharusnya ada di samping kekasihmu saat ini?" ucap wanita itu denga
Seorang dokter keluar dari ruang operasi. Shawn yang mewakili sebagai keluarga mengikuti dokter masuk ke ruangan dokter. Ganis yang baru saja tiba berusaha mencegah Givani untuk ikut masuk ke dalam ruangan. "Dia Ayahku. Aku juga berhak tahu keadaanya," sahut Givani tak bisa menahan perasaannya."Aku tahu kamu sangat menyayangi Ayah. Apa dokter akan mau menceritakan semuanya pada anak umur 7 tahun? tentu saja tidak. Meskipun mungkin kau cukup pintar. Tetap saja kau tak bisa menandatangi persetujuan atas tindakan dokter," seru Ganis kini menjadi tak sabar. Givani menghempaskan tubuhnya di sofa depan ruang ICU."Aku harap setelah ini kakak segera saja melanjutkan acara pernikahan kakak dengan Shawn," seru Givani dengan wajah tertekuk. "Bagaimana bisa kau mengatakan itu. Sementara bibi Sunnah baru saja meninggal," seru Ganis mengelus dada menahan emosinya. Ganis menatap wajah Givani yang mengeras. Ganis pun perlahan berjalan menuju ruang dokter. Ia tak ingin memperpanjang perdebatan l