Amira di jemput oleh Nikil. Mereka berdua pergi ke rumah sakit bersama. juga saat pulang pun mereka bersama. Hingga hari-hari berikutnya. Mereka menjadi terbiasa.
"Mir. Aku sudah daftarkan kamu untuk priksa kandungan. Nanti sebelum makan siang. Kamu ke poly kandungan ya!" Titah Nikil pada Amira. "Iya Dok. Terimakasih." Jawab Amira. Seperti yang di perintahkan oleh Dokter Nikil. Sebelum makan siang. Amira memeriksakan kandungannya. Dan setelah itu. Dia kembali ke ruangan Dokter Nikil lagi. Dan di sana. Dokter tampan itu sudah menunggunya. "Bagaimana?" Tanya Nikil. "Maksud Dokter. Apanya?" Amira balik bertanya. "Bagaimana kandunganmu?" Nikil mengulangi pertanyaannya. "Oh. Baik Dok. bayi nya sehat." Jawab Amira. "Kalau begitu kamu makan dulu. Setelah itu minum obat. Sudah di ambilkan tadi obatnya?" Titah Nikil lagi. Amira tidak berani menolak. wanita itu selalu menurut perintah dari Dokter itu. Lagipula. Yang di perintahkannya. Itu demi kebaikan diri dan bayi dalam kandungannya. Dokter Nikil melayani pasiennya sendiri. Sedangkan Amira di belakang sedang makan siang. Hanya ada gorden saja. Sebagai pembatas antara ruang belakang dan tempat pemeriksaan. Setelah selesai makan dan minum obat. Amira kembali melanjutkan pekerjaannya sebagai asisten Dokter Nikil lagi. "Mir. Tolong ambilkan jarum suntik di lemari!" Titah Dokter Nikil. Amira menurut saja. Meskipun dia sedikit kebingungan. Karena baru pertama kali dia di minta untuk mengambilkan jarum suntik. "Ini Dok." Ucap Amira sambil menyerahkan barang yang di mintanya. "Terimakasih." Jawab Dokter itu. Sore hari. Seperti biasa. Mereka berdua pulang bersama. Tapi kali ini. Nikil mengajaknya pergi ke taman. "Kok kita ke sini Dok?" Tanya Amira. "Jam kerja sudah selesai. Jadi jangan panggil aku Dokter." Nikil bukannya menjawab pertanyaannya. Tapi malah melarang Amira memanggilnya Dokter. "Iya. Kenapa kita pergi ke sini?" Tanya Amira lagi. "Kamu butuh refresing. Buat ketenangan pikiranmu. Biar calon anakmu itu merasakan happy di dalam. Tapi maaf. Aku tidak bisa mengajakmu ke tempat yang lebih bagus. Bisa nya cuma di sini." Jawab Nikil. "Terimakasih Dok. Anda sangat perhatian pada calon anak saya." Ucap Amira. Wanita itu merasa senang karena ada orang yang begitu perhatian dengan calon anaknya nanti. Tapi masih ada kesedihan di hatinya. Karena ayah dari janin yang di kandungnya. Dia justru hilang entah kemana. Sampai hampir magrib. Mereka duduk di taman. Sambil melihat anak-anak bermain di tempat itu. Dan setelah taman itu mulai sepi. Barulah mereka berdua pulang. "Terimakasih ya Dok." Ucap Amira turun dari mobil. Setelah sampai di depan rumahnya. "Aku sudah bilang. Selain di rumah sakit. Jangan panggil aku Dokter." Ucap Nikil. "Iya. Mas Nikil." Amira meralat ucapannya. Meskipun dengan perasaan canggung. Amira masuk ke dalam rumah. Sedangkan Nikil berlalu meninggalkan kediaman asistennya. Amira masuk ke dalam kamar. Lalu duduk di pinggir ranjang tidurnya. Wanita itu menatap pada dinding di dekat pintu dan melihat fotonya bersama dengan sang suami. "Kamu di mana sekarang mas? Kamu tahu. Aku sedang mengandung anakmu. Sekarang sudah berusia tiga bulan." Amira berbicara pada foto di dinding kamar itu. Tak terasa. Air matanya jatuh membasahi pipinya yang lembut. Wanita itu mengingat saat terakhir bersama dengan suaminya. Saat itulah suaminya pamit pergi sebentar. Tapi nyatanya sampai sekarang belum kembali. Amira menangis hingga tertidur. Wanita itu belum bisa melupakan suaminya. Dan dia berjanji pada dirinya sendiri. Dia akan mencari suaminya sampai ketemu. Amira bangun kesiangan. Matanya juga bengkak karena menangis semalaman. Dan saat Nikil menjemputnya. Dia belum sempat sarapan. "Maaf Dok. Lama nunggu saya bukain pintunya." Ucap Amira saat membukakan pintu. "Tidak apa-apa. Belum terlambat ini." Jawab Nikil. Amira mengambil tas di kamarnya. Lalu keluar bersama dengan Nikil. Wanita itu tidak jadi membuat sarapan untuknya. Dan berangkat kerja dengan perut kosong. "Nih ambil dan makanlah!" Nikil memberikan kotak bekal makanannya pada Amira. "Tapi Dok. Inikan bekal makan siang Dokter." Amira menolak untuk menerima makanan itu. "Makanlah. Habis itu kamu minum obat. Jangan sampai telat makan dan minum obatnya!" Ucap Nikil. Amira menerimanya. Lalu makan bekal makan siang milik Dokter itu. Setelah Amira menghabiskan sekotak nasi goreng. Dan sudah minum obatnya. Dokter Nikil mengatakan sesuatu yang membuat Amira menangis. "Sudah?" Tanya Nikil. "Sudah Dok. Terimakasih." Jawab Amira. "Jangan biasakan pergi tanpa sarapan dulu. Jaga kesehatan bayi dalam kandunganmu itu." Ucap Nikil membuat Amira merasa terharu. "Iya Dok." Jawab Amira. "Dan satu lagi. Jangan menangis lama-lama. Apalagi sampai terbawa tidur. Itu tidak baik." Ucap Nikil lagi. Amira menatap Dokter tampan yang sedang menyetir di sebelahnya. Wanita itu merasa heran. Kenapa Dokter itu selalu tahu tentang keadaannya. "Dokter tahu dari mana?" Tanya Amira ingin tahu. "Matamu bengkak. Masih terlihat meskipun sudah di tutup oleh make up." Jawab Nikil. Amira merasa malu karena ketahuan menangis semalaman. Dan make up nya ternyata tidak bisa menutupi sempurna. "Satu lagi. Jangan memikirkan suamimu terus. Kalau bisa lupakan pria yang tidak bertanggung jawab itu. Kamu harus fokus pada kesehatan bayi dalam kandunganmu itu." Ucap Nikil dengan nada suara yang sepertinya tidak suka. Amira menangis. Wanita itu tidak terima dengan ucap Nikil. Tapi dia tidak berani membantah. Dia hanya memendam rasa kesal karena suaminya di katakan pria yang tidak bertanggung jawab.Hari ini Amira melakukan pekerjaan seperti biasa. Tanpa ada rasa mual saat pagi hari. Dan sampai pulang kerja. Wanita itu tetap merasa baik-baik saja. Nikil mengantarkan Amira pulang seperti biasa juga. Tapi kali ini. Pria itu mampir sebentar di kediaman asistennya itu. "Silakan duduk Dok. Mau minum apa?" Amira mempersilakan Dokter tampan itu untuk duduk di ruang tamunya. Dan juga menawarinya minuman. "Teh hangat saja kalau ada." Jawab Dokter Nikil. "Sebentar ya Dok!" Ucap Amira. Wanita itu menuju ke dapur. Lalu keluar membawakan minuman untuk tamunya. "Ini Dok. Silakan di minum! Maaf nunggu lama." Ucap Amira. "Tidak kok. Biasa saja." Jawab Nikil sambil menyeruput minumannya. "Rumah ini masih sama ya. Seperti saat pertama kali aku di minta datang ke sini." Ucap Nikil. Amira tidak merasa menyuruh Dokter itu ke rumahnya. Dia sendiri yang bersedia menjemput dan mengantarkannya pulang. "Maaf Dok. Saya tidak menyuruh Dokter untuk antar jemput saya. Itu kemauan Dok
Alisa duduk bersandar di atas kasur. Sambil menangis. Wanita itu mengatakan kalau dia tidak pernah membagi cintanya pada pria manapun. Dia berbicara sendiri seolah suaminya itu ada di depannya. Farel menyusul ke kamar. Lalu duduk di sebelah istri tercintanya itu. Dia minta maaf karena sudah membuatnya menangis. "Lisa. Mas minta maaf ya. Bercanda mas memang kelewatan. Mas tahu kalau mas ini adalah pria satu-satunya yang ada di hatimu." Ucap Farel. Alisa menatap pada suaminya yang berdiri di sebelahnya. "Bercanda?" Tanya Alisa. "Iya. Mas cuma bercanda. Hanya pengen menggodamu saja. Maaf ya sayang." Ucap Farel sambil memeluk istri tercintanya. "Tapi candaan mas itu keterlaluan. Mas tahu. Aku paling takut kalau orang yang aku cintai sudah tidak percaya lagi padaku. Karena itu aku selalu setia." Alisa menangis di pelukan suaminya. "Apa kamu mau maafin aku?" Tanya Farel. Alisa mengangguk dan tersenyum. Farel sangat mencintai Alisa. Dan senyuman istrinya itulah yang membuatny
"Oh ya? Aku juga mau pergi ke sana. Aku ada perlu sama Dokter Farel. Karena hari ini dia tidak datang. Ya terpaksa aku yang harus pergi ke rumahnya." Ucap Nikil berbohong. Tapi memang Dokter Farel tidak masuk hari ini. "Memangnya Dokter Farel tidak masuk hari ini?"Tanya Amira. "Tidak. Dia ijin dua hari." Jawab Nikil. "Oh. Pantesan aku tidak melihatnya sejak tadi." Ucap Amira. "Bagaimana kalau kita pergi ke sana bareng? Mumpung kita se tujuan." Nikil mengajak Amira. "Hmmm. Boleh deh." Amira menyetujui ajakannya. Sore hari. Saatnya mereka berdua pulang. Nikil menunggu Amira di tempat parkir. Sedangkan wanita itu perutnya merasa mulas. Jadi dia harus buang air dulu. "Maaf ya Dok. Jadi harus menunggu lama." Ucap Amira setelah sampai di mobil milik Nikil. "Tidak juga." Jawab Nikil. Nikil melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Mobil pria itu tidak mengarah ke rumah Alisa. Tapi ke tempat yang Amira sendiri belum pernah melewatinya. Amira tidak menyadari kalau kendaraa
Alisa dan Amira. Mereka berdua menyiapkan makan malam untuk bersama. Sedangkan Nikil asik mengobrol bersama dengan Farel. Membicarakan masalah pekerjaan di rumah sakit. Nikil minta saran dan pendapat sahabatnya itu. Apakah dia harus menolong atau menerima di tugaskan di Bali. Karena sejatinya pria itu sudah merasa nyaman bekerja dekat dengan tempat tinggalnya sendiri. "Menurut kamu bagaimana?" Tanya Nikil. 'Semua terserah kamu sendiri. Kalau kamu siap ya terima saja. Siapa tahu kamu nanti ketemu jodoh di sana." Jawab Farel. Pria itu malah menggodanya. "Kamu ini. Tau sendiri kan? Lima tahun aku belum bisa move on darinya. Apalagi sekarang dia sudah mulai dekat denganku. Aku tidak bisa meninggalkan dia sendirian." Ucap Nikil. "Iya sih. Sebenarnya aku senang kalian bisa dekat dan akrab. Tapi aku takut kalau nanti kamu kecewa lagi." Farel mengkhawatirkan nasib Nikil nantinya. "Mungkin aku harus merelakan lagi. Karena kebahagiaanku. Itu bisa melihatnya bahagia." Nikil berucap lagi
Pagi ini. Nikil datang ke rumah Alisa untuk menjemput Amira. Pria itu juga ikut sarapan bersama kedua pemilik rumah itu. Kemudian pergi berangkat ke rumah sakit bersama dengan Amira. Di perjalanan. Mereka mengobrol seperti biasa. Nikil juga memberanikan diri untuk mengatakan kalau dirinya di tugaskan ke Bali. Dan akan mengajak Amira ikut bersamanya. "Mir. Minggu depan aku harus pergi ke Bali." Ucap Nikil. Mendengar kata Bali. Amira kembali teringat akan suaminya yang hilang di Pulau Dewata itu. Air matanya menetes dan dalam diam wanita itu terisak-isak. "Kamu kenapa Mir? Aku tidak akan pergi sendiri. Aku akan mengajakmu pergi ke sana. Kamu jangan sedih!" Ucap Nikil. Pria itu mengira. Amira menangis karena tidak mau di tinggalkan olehnya. "Maksud Dokter. Aku ikut berlibur ke Bali bersama dengan Dokter?" Tanya Amira. "Bukan berlibur. Tapi aku di tugaskan di sana." Jawab Nikil. "Maaf Dok. Saya tidak bisa." Amira menolaknya. "Lalu siapa yang akan membantuku di sana?" Tanya
"Kenapa kamu tidur di sini?" Tanya Amira. "Ini kan kamarku. Aku mau istirahat. Memangnya kenapa?" Nikil balik bertanya. "Tadi kamu bilang. Ini kamarku." Protes Amira. "Iya memang. Tapi aku juga pilih kamar yang ini. Kita bareng sekamar saja ya!" Nikil mulai berani menggoda Amira. Pria itu merasa bebas karena wanita itu tinggal seatap bersamanya. "Jadi maksud kamu mau berbuat jahat denganku?" Amira menuduh pria di hadapannya itu akan berbuat jahat pada dirinya. "Tentu saja tidak. Aku hanya ingin menjagamu. Kalau kita sekamar. Aku bisa menjagamu setiap waktu." Jawab Nikil. "Tidak perlu. Aku pindah ke kamar yang lain saja." Amira menjawab sambil menyeret kopernya. Membawanya ke kamar sebelah. Wanita itu mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Karena seharian duduk di pesawat. Tubuhnya seperti pegal semua. Pagi hari. Amira bangun lalu membersihkan dirinya. Kemudian pergi ke dapur. Wanita itu berniat untuk membuat masakan. Tapi saat melewati ruang makan. Di meja sudah tersa
"Iwa. Apa tuan sudah makan?" Tanya Amira. "Sudah nyonya. Baru saja piringnya saya bawa ke dapur." Jawab Iwa Kadek. Amira makan malam sendirian. Rasanya ada yang berbeda. Sikap Nikil yang mendiamkannya. Membuat dirinya kembali merasa bersalah. Setelah selesai makan. Amira meminta tolong pada Iwa Kadek untuk membereskan meja makan. Dia tidak berani pergi ke dapur sendiri. Karena Nikil sudah melarangnya. "Iwa. Tolong beresin meja makan ya! Saya sudah selesai." Titah Amira. "Iya nyonya. Ini memang sudah tugas saya." Jawab Iwa Kadek. Amira bangkit dari duduknya. Hendak pergi menuju ke kamarnya. Tapi di panggil oleh asisten rumah tangganya. "Tunggu nyonya!" Ucap Iwa Kadek. "Ada apa Iwa?" Amira berbalik menghadap pada wanita paruh baya itu lalu balik bertanya. "Tadi tuan menyuruh saya memberikan ini buat nyonya." Ucap Iwa Kadek sambil memberikan kotak kecil berwarna merah. "Apa ini Iwa?" Tanya Amira. "Saya tidak tahu. Tapi tadi tuan berpesan. Besok sudah mulai bekerja."
"Terimakasih sudah membuatku semangat lagi. Kalau begitu. Sebagai ucapan terimakasihnya. Aku ajak kamu jalan-jalan dan makan malam di luar.' Ucap Nikil. "Jalan-jalan?" Tanya Amira. "Iya. Kamu mau kan?" Amira tidak menjawab. Tapi wanita itu menunduk. Dan Nikil menganggap bahwa Amira setuju dengan ajakannya. "Kalau begitu kamu istirahat dulu. Nanti malam kita pergi." Ucap Nikil. Kemudian pria itu pergi menuju ke kamarnya. Saatnya pergi untuk jalan-jalan. Nikil sudah siap dengan kaos biru lengan pendek dan celana jeans panjang berwarna biru juga. Serta jaket dengan warna senada. Amira masih duduk berdiam diri di kamarnya. Wanita itu pergi jalan-jalan di luar sana. Takut kejadian yang serupa terjadi pada Nikil. Dia takut jika nanti Nikil juga akan pergi meninggalkan. "Kamu belum siap?" Tanya Nikil saat melihat Amira masih berpakaian yang tadi. "Bagaimana kalau kita makan di rumah saja?" Tanya Amira. "Kenapa? Kamu sakit?" Nikil balik bertanya. "Tidak. Tapi aku takut."
Ting tong. Bel pintu rumah berbunyi. Narendra dan Nikil sedang duduk di ruang tengah. Sedangkan Savitri dan Amira membantu Art nya memasak di dapur. "Bi. Tolong bukain pintu! Kayaknya ada tamu." Teriak Narendra sambil asik nonton TV. Begitupun juga Nikil. Dia tidak mau bangkit untuk membuka pintu. Karena tidak mau meninggalkan siaran berita tentang politik. Savitri yang mendengar teriakkan suaminya. Wanita itu melarang Mbok Asih. Art nya yang hendak keluar untuk membukakan pintu. Tapi dia malah menyuruh Amira. "Gak usah mbok! Lanjutin saja masaknya. Biar Amira saja yang membukakan pintu." Ucap Savitri pada Mbok Asih. "Iya nyonya." Jawab Mbok Asih. "Mira. Tolong kamu yang bukain pintu! Sekalian. Setelah itu kamu mandi ya! Biar ini semua mama sama Mbok Asih yang kelarin." Titah Savitri pada Amira. "Iya ma." Jawab Amira. Kemudian wanita itu keluar dari dapur dan menuju ke pintu depan. Saat pintu di buka. Seorang pria dan wanita berpenampilan mewah. Mereka berdua membawa
Narendra melihat Amira berada di belakang Nikil. Wanita itu terlihat lebih cantik dari saat pertama kali bertemu waktu itu. Saat sedang hamil dulu. "Kamu?" Tanya Narendra pada Amira. Pria itu lupa dengan nama wanita itu. "Dia Humaira." Jawab Nikil. "Humaira? Bukankah dia asistenmu? Namanya A, Siapa sih aku lupa." Ucap Savitri. "Dia Amira Humaira. Mahasiswi tercantik di kampus tempat Nikil belajar." Ucap Nikil sambil melirik Amira. Amira bingung dengan apa yang di maksud oleh Nikil. Wanita itu tidak merasa dirinya masih sebagai mahasiswi. Dia sudah bekerja dan sudah menikah. Menjadi seorang ibu rumah tangga. "Oh. Jadi ini orangnya. Yang sudah membuat anakku pindah haluan." Ucap Savitri. Membuat Amira makin bingung dengan yang keluarga ini bicarakan. "Maksud tante apa ya?" Amira bertanya. Wanita itu penasaran dengan apa yang di ucapkan oleh Savitri. "Sudahlah ma! Biarkan Amira istirahat dulu. Ayok Mir! Silakan duduk!" Nikil mempersilakan pada Amira untuk duduk. Tapi wani
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Tanya Nikil. Amira tersadar dari lamunannya. Wanita itu juga baru sadar kalau dirinya sudah menatap wajah pria di hadapannya tanpa berkedip. "Terimakasih. Kamu sudah peduli denganku." Jawab Amira. "Aku akan selalu peduli padamu. Karena aku mencintaimu." Ucap Nikil membuat Amira tersenyum. Wanita itu yakin bahwa Nikil serius mencintai dirinya. "Jangan berbuat seperti tadi lagi! Aku takut. Takut kehilanganmu untuk kedua kalinya." Bisik Nikil di telinga Amira. Kemudian pria itu mencium leher jenjang wanita itu. Membuatnya merasa geli dan terpancing hasrat. "Jangan menciumiku di situ!" Amira menyuruh Nikil untuk menghentikan ciumannya. Dia takut kalau sampai dirinya terbawa hasrat kemudian melakukan hal yang belum seharusnya. "Kenapa? Kamu tidak suka?" Tanya Nikil. Amira menggeleng bukan karena tidak suka. Justru karena dia sangat menikmatinya dan merasakan ciuman yang selama ini dia rindukan. "Kenapa?" Tanya Nikil lagi. "Aku takut ki
Sudah lebih dari sebulan. Nikil tidak pernah lagi pergi ke rumah sakit untuk bekerja. Pria itu tidak lagi bertugas sebagai Dokter di sana. Dan Amira baru menyadari hal itu. Saat sedang sarapan bersama. Amira bertanya pada Nikil. Tenang pekerjaan mereka berdua di rumah sakit. "Oh ya mas. Kapan kita ke rumah sakit lagi?" Tanyanya. Sekarang Amira sudah memanggil Nikil dengan sebutan mas. "Kamu sedang sakit? Apa yang kamu rasakan? Biar aku periksa." Nikil tidak menjawab pertanyaan Amira. Dia malah panik. Mengira wanita itu sedang sakit. "Tidak. Aku tidak sedang sakit. Tapi kamu kan seorang Dokter. Kamu bekerja di rumah sakit. Sepertinya sudah lama kita tidak bekerja." Amira menjelaskan maksud pertanyaannya. "Oh. Aku kira kamu sakit." Ucap Nikil. Kemudian pria itu melanjutkan menyuapkan makanan ke mulutnya. Amira merasa kesal karena pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban. Wanita itu kembali bertanya hal yang sama. "Mas." Panggil Amira. "Iya sayang. Ada apa?" Jawab Nikil.
"Iwa. Apa nyonya belum bangun?" Tanya Nikil pada Iwa Kadek. "Sudah tuan. Tadi yang masak semua ini juga nyonya." Jawab Iwa Kadek. "Tuan di suruh makan duluan saja. Nanti nyonya akan makan sendiri katanya." Ucap Iwa Kadek lagi. "Sekarang nyonya ada di mana?" Tanya Nikil. "Ada di kamar. Tadi bilangnya mau istirahat sebentar." Jawab Iwa Kadek lagi. Nikil mengira kalau Amira sedang sakit. Pria itu tidak jadi makan. Tapi malah kembali ke kamarnya. Kemudian keluar lagi dengan membawa perlengkapan dokternya. Nikil mengetuk pintu kamar Amira dan memanggilnya. Berkali-kali dia memanggil. Tapi tidak ada suara sahutan dari dalam. Pria itu menjadi panik. Takut Amira kenapa-napa. "Mira. Mir. Buka pintunya Mir! Kamu baik-baik saja kan?" Teriak Nikil. Pria itu berusaha mendobrak pintunya. Tapi saat dia akan mendobrak. Amira membuka pintu itu dan akhirnya. Dia malah menabrak Amira. Lalu terdorong dan terjatuh. Nikil menindih tubuh Amira. Wanita itu meringis kesakitan. Karena tertimp
"Siapa yang datang Iwa?" Tanya Amira dan Nikil bersamaan. "Namanya Shella dan calon suaminya." Jawab Iwa Kadek. "Oh iya. Suruh mereka masuk!" Titah Amira. Nikil masuk ke kamarnya. Pria itu mau mandi dulu. Karena merasa badannya bau amis karena setelah mencuci udang tadi. Amira ke ruang tamu. Menyambut kedatangan temannya itu. Wanita itu terlihat sangat bahagia bertemu dengannya. "Shella. Apa kabar?" Ucap Amira sambil memeluknya. "Kabarku baik. Kamu sendiri gimana?" Tanya Sella. "Seperti yang kamu lihat." Jawab Amira. "Kamu nampak lebih baik di banding saat terakhir kita bertemu." Ucap Sella. "Oh ya?" Ucap Amira. "Iya. Beneran." Jawab Shella. "Kenalin. Ini Nandito. Calon suamiku." Shella memperkenalkan calon suaminya pada Amira. Setelah saling berkenalan. Mereka duduk di sofa. Kemudian Nikil datang. Pria itu sudah mandi dan mengganti baju santai yang lain. "Ada tamu rupanya." Ucap Nikil. "Iya mas. Ini temanku namanya Shella. Dan ini Nandito. Calon suaminya."
"Sekarang kita ke tempat ikan. Aku mau belanja ikan juga." Ucap Amira. Lagi-lagi wanita itu menarik tangan Nikil. "Kan sudah beli daging." Protes Nikil. "Aku pengen masak yang banyak." Jawab Amira. Nikil menurut saja saat tangannya di tarik oleh wanita pujaan hatinya. Pria itu merasa senang. Tapi tetap berpura-pura tidak suka. "Ayo mas. Bayar lagi. Semua cuma seratus ribu." Ucap Amira lagi. "Seratus ribu? Ikan apa itu?" Tanya Nikil pura-pura tidak tahu. "Ini udang dan ini cumi. Aku tidak jadi beli ikan." Jawab Amira tanpa merasa bersalah. "Sekarang aku mau beli sayuran." Ucap Amira lagi. Wanita itu memberikan belanjaannya pada Nikil. Kemudian menuju ke tempat sayuran. Setelah semua belanjaannya di rasa cukup. Amira langsung meminta untuk pulang. Wanita itu sangat merasa puas. Dan mereka pun pulang ke rumah. Sampai di rumah. Amira meminta tolong pada Iwa Made untuk membawakan belanjaannya ke dalam. Sedangkan Nikil melenggang masuk ke dalam rumah tanpa membawa satu
Pagi ini mereka berdua sarapan pagi bersama seperti biasa. Tapi perasaan di antara keduanya tidak seperti biasanya. Mereka merasakan hal yang sama. Nikil merasa sangat bahagia. Karena Amira berubah menjadi perhatian dan memanggil dirinya dengan sebutan mas. Sedangkan Amira merasa lebih tenang hatinya. Karena tidak lagi terbebani oleh perasaannya pada Amar. Wanita itu sudah ikhlas untuk melepaskannya. "Tumben sekali kamu seperti ini? Ada angin apa yang membuat kamu jadi perhatian padaku?" Tanya Nikil. "Tidak juga. Aku tidak perhatian padamu. Aku melakukan hal yang seperti biasanya." Jawab Amira Nikil berfikir sejenak. Memang benar apa yang di katakan oleh wanita di depannya itu. Dia melakukan hal yang seperti biasanya. "Kamu memang melakukan hal yang sama. Tapi aku merasa ada yang berbeda denganmu." Ucap Nikil. "Itu cuma perasaanmu saja." Ucap Amira. "Mungkin juga sih. Tapi aku lebih suka kamu yang seperti ini." Ucap Nikil lagi. Setelah itu makan. Nikil duduk di teras
"Sepertinya saya tidak mungkin bisa membeli barang semahal itu. Maaf Pak Nicolas. Kami permisi dulu." Ucap Nikil menutupi sikap Amira yang mulai labil. "Oh iya silahkan!" Jawab Nicolas. Nikil merangungkul punggung Amira. Dan mengajaknya pulang. Mereka berdua berjalan menuju ke tempat parkir. Kemudian langsung masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil. Amira duduk sambil menangis. Wanita itu meratapi kesedihannya. Sakit rasanya saat mendengar suaminya sendiri mengatakan bersama dengan seorang istri. Bahkan dia tidak mengenalinya bahwa wanita yang di hadapannya adalah istrinya sendiri. "Kalau kamu masih ingin menangis. Menangislah sepuasnya. Biar kamu bisa lebih baik." Ucap Nikil. Amira berhenti menangis. Wanita itu menatap pria di sampingnya dengan sinis. Dia sangat kesal mendengar ucapannya barusan. "Kenapa menatapku seperti itu? Apa aku salah? Kalau begitu aku minta maaf." Ucap Nikil lagi. "Kamu memang pria yang aneh. Pantas saja sampai sekarang belum punya istri." Jawab Ami