Fani sedang membuatkan sarapan untuk suaminya tercinta. Rambutnya basah tergerai, baju kaos kebesaran dengan celana pendek sepaha serta apron bergambar hello kitty, menemaninya di dapur pagi ini. Terlalu fokus memasak, Fani tak menyadari kehadiran Tiyan di belakangnya. Lengan Tiyan memeluk pinggul Fani."Astaghfirulloh,kaget Ade Mas!" Fani terpekik sambil mengurut dadanya."Masak apa sih sayang? Sampe ga tau ada suami di dekatnya?" bisik Tiyan mesra.Fani berbalik, menatap senang wajah suaminya yang segar habis mandi."Masak nasi digoreng, Masku," jawab Fani sambil mengedipkan sebelah matanya, lalu berbalik lagi mengaduk nasi dipenggorengan."Seksi banget sih lagi masaknya, Mas jadi... pengen lagi," bisiknya sambil mengecup pundak istrinya, tangannya sudah melancong ke tubuh bagian atas istrinya. Fani hanya mendesah pasrah, alu mematikan kompor dengan kesadaran yang sudah setengah ambyar.Panci, telenan, kompor dan penghuni dapur lainnya menjadi saksi betapa panasnya udara pagi ini, m
Munos berkeringat dingin, semakin dia yakin bahwa Fani yang dia cari adalah Fani yang dibicarakan Pade Warmo. Tapi dia harus memastikannya."Ehh, kita jadi membicarakan istri orang jadinya, maafin saya Pak," ucap Munos berpura-pura sungkan."Ga papa, Pak, saya maklumin, bapak lagi kangen sama istri di Jakarta ya?" tanya Pakde Warmo."Ehh..iya, Pak," jawab Munos kikuk.Di pusat perbelanjaan kota Malang, Tiyan mengajak Fani masuk ke area pakaian dalam wanita."Mas, mau ngapain ke sini?"tanya Fani heran."Pakaian dalam Ade masih bagus semua Mas, masih baru lagi," lanjut Fani."Mulai sekarang Mas mau kamu tidur pake baju tidur kayak kemarin, apa namanya yaa...itu yang seksi menerawang ada rendanya." Mata Tiyan membayangkan tubuh Fani yang memakainya."Maksud Mas, Ade tidurnya pake lingerie?" mata Fani melotot tak percaya.Tiyan mengangguk pasti."Mbak, carikan lingerie yang seksi yang paling bagus." pinta Tiyan pada pelayan toko.Pelayan toko memberikan empat set lingerie bewarna ungu, hi
Sepulang dari menguntit kediaman Fani dan Tiyan, Munos tak bisa memejamkan mata, pikirannya melayang, mengingat kembali wajah manis Fani yang berbalut hijab, tubuh mantan istrinya itu terlihat lebih berisi dan lebih segar."Ah, kenapa gue jadi kepikiran Fani terus, ck, seandainya waktu bisa diulang, gue pasti udah punya anak kembar yang lucu-lucu, dan bundanya yang semok begitu, Ya...nasib, apa bisa dia jadi milik gue lagi?""Waduh, baru begini doang ponakan gue udah puyeng, lhaa...lhaaa..." Mata Munos terbelalak, menatap ke arah pukul enam, sudah hampir setahun ponakannya tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan, tapi baru kepikiran wajah Fani aja, ponakan langsung tersadar dari mati surinya."Alhamdulillah ya Allah akhirnya," ucap Munos penuh sukur diikuti dengan senyum gembira."Baiklah, besok gue uji coba," gumam Munos dengan senyum mesumnya.Dua hari berlalu, Munos belum sempat melakukan test drive untuk ponakannya. Pembangunan kos-kosan membuat waktunya banyak tersita. Tiyan jug
Fani mengurung diri dalam kamar, semua pintu di dalam rumah dikunci, Fani menggigil ketakutan. Wajah bengis Munos kala menyiksanya di ranjang, wajah Munos saat mendorongnya hingga jatuh berguling, semua hadir lagi di kepalanya. Fani menangis tersedu dan tak ada seorang pun menenangkannya, Tiyan suaminya masih di lokasi proyek, tempat di mana Munos juga berada. Fani melupakan suatu hal, nama Munos adalah Munos Karim."Kenapa kamu harus hadir lagi di hidup aku, malah begitu dekat, kenapa ya Allah? " isaknya, hingga waktu menjelang sore.Tiyan beberapa kali menelepon Fani, namun ia abaikan. Melihat ponselnya berdering pun, Fani takut, Munoslah yang menghubungi, jadi dia tak ingin melihatnya. Tiyan sangat khawatir, tepat pukul lima sore, Tiyan langsung pamit pulang pada Munos dan juga Pakde Warmo.Tuk!Tuk!"Sayaaang, buka pintunya!"Tak ada jawaban dari dalam rumah.Tuk!Tuk!Mata Tiyan menyapu sekitar teras, ada sepatu sandal yang dipakai Fani saat ke proyek tadi. Itu menandakan bahwa F
I love u, Fani.I love you too husbandSetiap kalimat yang terujar dari mulut Fani dan suaminya, serta pacuan nafas keduanya, semua itu terekam di dalam ingatan Munos. "Cukup! kamu akan segera kembali menjadi milikku Fani, dengan cara apapun!" geram Munos dalam hati lalu meninggalkan rumah Fani dengan perasaan terbakar cemburu.Pagi pun menyambut mereka dengan udara yang cukup dingin, Fani susah payah membuka matanya, mereka kesiangan sholat shubuh karena baru tidur pukul setengah tiga pagi. "Sayaaang..." Fani membangunkan Tiyan."Eehhmm, udah shubuh ya De? "tanya Tiyan malas-malasan tanpa membuka mata."Sarapan aja udah telat, Yang," ucap Fani sambil terkekeh."Astagfirulloh." Tiyan lompat dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi.Pukul setengah sepuluh Fani sudah duduk di meja makan menyiapkan roti bakar yang baru saja dibuatnya untuk sarapan suaminya. Tiyan makan dengan cepat, dia sudah sangat terlambat untuk ke proyek."Hati-hati sayang, ingat pesan Ade ya, jangan terlalu deka
Di sinilah Fani dan Tiyan sekarang, di dalam pesawat kelas bisnis dari Malang menuju Jakarta. Tiyan dan Fani yang belum pernah naik pesawat sama sekali, merasa sedikit aneh, namun mereka menyembunyikan kekhawatirannya. Munos yang duduk di kursi penumpang samping mereka memperhatikannya dengan senyum kecil."Ade masih takut?" bisik Tiyan pada Fani."Ndak Mas, Ade sudah ga papa, cuma ade ga suka tatapan Munos yang tajam seperti itu!" Fani sekilas melirik Munos tatapan mereka beradu. Fani membuang pandangan kepada suaminya."Yah, cuma mandang tak apa De, mungkin Pak Munos masih ada rasa sama ade,"ucap Tiyan menggoda."Ih, ogah amit-amit, kalau ga karena mama Sundari sakit, ade juga ga mau ke Jakarta Mas, terlalu banyak luka di Jakarta," sahut Fani sendu. "Ya sudah masih ada waktu setengah jam lagi sebelum sampai De, sebaiknya kita istirahat," ucap Tiyan sambil mengusap kepala Fani dari balik khimarnya. Tak semenit pun terlewat dari pandangan Munos, bagaimana cara Tiyan begitu manis mem
"Ya Allah, ternyata benar ini kamu Nak, wanginya sama, wangi minyak kayu putih. Terimakasih ya Allah, di sisa usiaku yang tak lama lagi, Engkau kembalikan menantuku," isak Bu Sundari, air matanya deras mengalir, pelukannya begitu erat kepada Fani. Pak Karim yang menyaksikan ikut meneteskan air mata, begitu juga Munos dan Tiyan, mereka terharu. Begitu besar kerinduan dan cinta Bu Sundari kepada Fani, wanita yang pernah menjadi menantunya. Bu Sundari merenggangkan pelukannya, menatap Fani dengan seksama, menyentuh lembut pipi Fani. "Ya Allah cantiknya menantuku," puji Bu Sundari menatap Fani dengan berbinar. Khimar yang dipakai Fani sangat pas di wajahnya.Fani tersenyum lalu menunduk malu, pandangannya beralih kepada Pak Karim. "Pa," panggil Fani, lalu menghampiri Pak Karim dan mencium punggung tangannya. Pak Karim balas mengusap lembut kepala Fani."Itu siapa?" tanya Bu Sundari tiba-tiba, saat melihat Tiyan berdiri di samping Munos."Itu..mmm..suami Fani, Ma," ucap Fani ragu, takut
Bau obat-obatan dan disinfektan begitu menyengat, menyadarkan Fani dari pingsannya. Tampak Munos sedang duduk di kursi samping ranjang Fani, sambil menutup mata. Tampak luka dipelipisnya yang dibalut perban dan sedikit lebam biru di tulang pipinya.Fani menatap sekeliling dengan tatapan layu."Pak," panggilnya lirih."Pak," panggilnya lagi, membuat Munos terbangun dari tidurnya."Eh..kamu sudah sadar, Fan? Alhamdulillah," ucap Munos lega."Mana suami saya?" "Mmmhh...masih di ICU. " "Saya mau ke sana!" "Kamu masih lemah, Fan." "Tidak, bawa aku ke sana!" Fani mencoba duduk dan menurunkan kedua kakinya dari atas ranjang."Sssssttt..." Fani merintih memegang perutnya."Hati-hati, Fan!" Munos mencoba memegang lengan Fani."Lepas! Saya bisa sendiri," ucap Fani ketus sambil menepis tangan Munos. Dengan tertatih sambil memegang perut, Fani mencoba meraih pegangan pintu ruang perawatan."Ssstt..aaahhh." Fani berjongkok menahan nyeri pada perutnya.Munos dengan sigap menghampiri dan membant
Pertemuan mengharu-biru antara si Mbok, Fani, dan Munos pun tidak terelakkan. Ditambah melihat cucunya tumbuh sehat, montok, dan tampan; Abi; cucu satu-satunya yang diurus Munos dan Fani dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Bu Darsih tidak bisa menahan air mata kerinduan sekaligus haru. Bu Sundari pun sama terharunya dengan anak menantunya. Bagi Bu Sundari, ibu dari Tiyan adalah keluarga, bukan orang lain. Bu Sundari tidak akan pernah bisa membalas kebaikan almarhum Tiyan dan ibunya yang sudah mau menerima Fani dahulu apa adanya. "Mbah jangan nangis," kata Abi yang kini sudah di pangkuan Bu Darsih. "Mbah nangis bukan karena sedih, tapi karena senang ketemu Abi dan adik kembar. Duh, pipi Abi kayak bakpao coklat. Makannya apa, Nak?" Bu Darsih mencium gemas pipi cucunya. "Minum susunya kuat sekali, Mbak. Ya ampun, nyedot botol terus, padahal udah mau sekolah." Bu Sundari menjawab sambil tersenyum. "Pantas saja pipinya gembul. Perutnya juga ndut. Aduh, Mbah senang sekali lihat
Bu Darsih sudah sampai di Stasiun Gambir pukul delapan pagi. Perjalanan dari Malang menuju Jakarta memang memakan waktu kurang lebih tiga belas jam dengan kereta api. Semalam Bu Darsih berangkat dari Stasiun Malang Kota Lama pukul tujuh malam. Dengan dibantu jasa dua porter, Bu Darsih menurunkan semua barang bawaannya sampai di pintu keluar. Masing-masing porter diberikan uang tujuh puluh lima ribu rupiah oleh wanita itu, sengaja ia lebihkan karena porter stasiun yang mengangkut barangnya mungkin seumuran suaminya. Tidak tega ia memberikan pas ataupun menawar dengan harga sangat rendah, karena ia teringat akan suaminya yang juga bekerja hanya sebagai buruh. "Bu." Gadis berwajah manis menepuk pundak Bu Darsih dengan riang. "Ya ampun, kamu bikin kaget Ibu saja. Udah lama nunggu?""Nggak, Bu, baru sepuluh menit. Ibu udah sarapan belum?" tanya Hesti. "Belum.""Sama, Hesti juga belum, emang sengaja nunggu Ibu, biar ditraktir." Gadis itu menggandeng tangan Bu Darsih, lalu membawanya ke
"Mama tadi bilang, Fani harus cukup istirahat. Jika si Kembar tidur, maka Fani juga harus tidur. Gak usah pedulikan bayi tua yang suka iseng gangguin. Biarkan ia berpuasa selama empat puluh hari, itu juga kalau beruntung. Bisa saja jadi buntung, saat nifasnya kamu menjadi enam puluh hari, ha ha ha.... "Bu Sundari berbalik badan dengan cepat. Ia tergelak dan tidak sanggup melihat wajah Munos yang pastinya sangat kesal dengan ocehan tidak jelasnya. "Mama mau lihat Abi dulu di kamarnya!" Seru Bu Sundari setelah kedua kakinya berada di luar kamar. Setelah pintu kamar tertutup rapat. Munos menghampiri Fani yang tengah memangku Fathia yang sudah pulas. Wajah Fathia sangat mirip dengan Munos, begitu juga Ibrahim. Tidak ada sedikit pun mengambil wajahnya yang biasa-biasa saja. Wajah anak kembarnya sedikit ke timur tengahan, persis bapak mereka. Lelaki itu duduk di samping Fani sambil memperhatikan wajah Fathia yang terlelap. "MasyaAllah, anak Bapak Munos kenapa cakep semua?" pria itu me
Kabar Fani yang sudah melahirkan sampai juga ke telinga si Mbok di kampung. Wanita paruh baya; ibu dari Tiyan. Si Mbok mendapatkan kabar itu dari orang tua Fani yang masih berhubungan baik dengan ibunya Tiyan itu. Bukan main senangnya si Mbok mendengar kabar Fani melahirkan anak kembar. Si Mbok bahkan pergi ke pemakaman Tiyan untuk menceritakan kabar gembira ini di pusara putra satu-satunya. Ia mengatakan akan pergi ke Jakarta untuk menjenguk Fani dan bayi kembarnya. "Bu, sudah, jangan nangis terus. Ini sudah bertahun-tahun berlalu, Ibu masih saja menangis saat di pusara Tiyan. Kasihan Tiyan, Bu. Ikhlaskan ya." "Iya, Pak, saya hanya terharu saja." Wanita yang biasa dipanggil si Mbok oleh Fani dan Tiyan itu bernama asli Darsih. Semenjak Fani kembali ke Jakarta dan menikah dengan Munos, Bu Darsih tinggal sendiri di kampung. Ditemani keponakannya. Namun setahun lalu, Bu Darsih yang masih berusia empat puluh delapan tahun ini dijodohkan dengan seorang duda anak tiga, untuk menemani ha
Fani merapikan mukenanya setelah selesai sholat isya, malam ini suaminya lembur kemudian ia mengambil ponsel, melihat pesan masuk, apakah ada dari suaminya? Ternyata Munos baru saja mengirim pesan bahwa Munos baru akan pulang dari kantor, dan menanyakan pada Fani, mau dibelikan apa untuk oleh-oleh saat pulang.[Mau bapak saja.][Hahahaha..awas ya, Buu]Fani terkekeh membaca balasan pesan suaminya. Kehamilan ketiga ini dirasanya sangat berbeda. Tanpa ngidam berlebihan dan mual muntah juga yang biasa saja. Hanya seluruh tubuhnya, seakan tak rela jika berjauhan lama dengan suaminya. Kalau kata reader mah, bucin. Aah..ntah dari mana dimulainya perasaan bahagia ini, yang jelas dikehamilan ketiga ini, Fani merasa dipenuhi cinta dari kedua mertuanya, dari orangtuanya,khususnya sang suami yang bersiap siaga kapan pun mengabulkan keinginan dirinya. Fani tengah menemani Abi bermain lempar tangkap bola. Usia Abi yang sudah memasuki enam belas bulan, dan kandungan Fani sudah menginjak empat bula
Wanita itu menggelengkan kepala dengan air mata yang bercucuran dengan sangat deras. Saat melihat celah lalai lelaki di depannya, Fani bermaksud berlari turun dari ranjang, tetapi dengan cepat Munos mencekal tangan Fani dan menghempaskannya kembali ke atas ranjang.Secepat itu juga Munos menindih tubuh lemah Fani dengan tubuh besarnya. Wanita itu semakin kalang-kabut ketakutan. Terus saja ia memukul badan Munos dengan kedua tangannya. Ingin sekali ia menendang lelaki bajungan ini, tetapi tidak bisa karena kedua kakinya terkunci.“Aku sangat menginginkanmu, Risti. Ayo, kita membuat anak,” bisik Munos yang sudah mencium leher Fani dengan rakus.“Pak, saya Fani, bukan Risti, tolong jangan apa-apakan saya,” rintih Fani penuh permohonan, tetapi sayang. Munos sudah gelap mata dan dengan garangnya ia merobek pakaian Fani, hingga menyisakan bra saja dan rok. Dengan gemas Munos mulai mencicipi tubuh wanita yang kesadarannya hampir hilang.“Jangan, Pak. Jangan!” terjadilah hal menyedihkan di
Fani menjadi salah satu karyawan yang sangat beruntung. Dari delapan orang pelamar yang ditraining, Fani diterima sebagai karyawan kontrak. Ada tiga orang yang terpilih. Yaitu dirinya, Samuel, dan juga Seli. Fani betugas di bagian resepsionis dan dua teman lainnya di bagian yang lain. Semakin hari, semakin baik Fani belajar menjadi seorang resepsionis yang professional dan cekatan. Dia juga semakin mahir berdandan dengan make up tipis, tetapi tetap anggun dengan sanggul cantik setiap harinya. Tutur bahasanya juga semakin halus, berikut kemampuan bahasa Inggrisnya. Saat ini Fani memilih kembali ngekos di dekat hotel. Hanya perlu berjalan kaki sepuluh menit dari rumah kosnya menuju hotel. Walau biaaya kos cukup tinggi karena berada di pusat kota, tetapi itu lebih baik daripada ia harus pulang pergi. Jika dapat shift malam, maka akan sangat kerepotan jadinya.Seperti malam ini, ia kebagian jaga dari pukul delapan malam sampai pukul tujuh pagi. Ritme kerja yang baru ia lakoni ini, mema
Fani mengembuskan napas lega. Membuka mulutnya begitu lebar, agar mendapat asupan oksigen yang cukup banyak. Bukannya simpati, Ratih, Andra, dan Mas Rahman malah menertawakannya saat ditegur tadi.“Awas loh, Fan. Kamu udah ditandai. Sayang aja Pak Munos udah mau nikah. Kalau tidak, kamu bisa mencoba menggodanya,” ujar Mbak Ratih sambil terkekeh geli.“Ish, walau saya jelek. Pak Munos bukan tipe saya, Mbak. Saya sukanya tipe lelaki lemah lembut, kayak tempe mondoan,” balas Fani dengan tawa renyahnya.Tepat pukul delapan malam, ia sudah kembali lagi berada di atas motor ojek online. Sepanjang jalan, ia terus saja memikirkan hari pertama bekerja yang sungguh sangat luar biasa. Semoga training sepekan yang ia ikuti ini bisa memberikan hasil yang baik untuknya dan juga keluarganya.Tak sabar rasanya menunggu esok. Hari kedua mencoba tutorial make up yang sudah diajarkan Mbak Andra padanya. Tiba di rumah lampu ruang depan sudah padam. Itu tandanya bapak, ibu, dan adiknya sudah tidur. Su
Fani berdiri dengan sangat tegang di samping resepsionis senior yang berjaga saat ini. Semua kejadian di awal pagi tadi, sukses membuatnya tak bersemangat dan sangat canggung saat diwawancara tadi. Namun, dia harus mencoba berhusnudzon, bahwa hal seperti tadi hanyalah sebuah ujian sebelum ia benar-benar terjun bekerja di sini. Satu hal yang harus selalu ia ingat, bahwa jangan sampai ia mengulangi kesalahan yang sama. Tidak boleh ceroboh dan satu lagi yang harus ia ingat. Lelaki yang memarahinya di depan hotel dan yang ia tabrak tubuhnya tadi pagi adalah bos pemilik hotel yang bernama Munos karim. Semoga lelaki itu tidak mengingat wajahnya. Fani bermonolog sambil memandang lalu-lalang orang yang keluar masuk hotel.“Fani, senyumnya jangan kaku, seperti menahan buang air. Kenapa jadi seperti ngeden gitu senyumnya?” tegur Ratih;resepsionis yang berdiri di sampingnya.“Eh, iya Mbak Ratih. Saya akan coba tersenyum manis,” jawab Fani dengan tak enak hati.“Nih, anggap saja tamu yang ber