Aku menjawab panggilan telepon dari Jasmine. Dia tetap bersikap arogan saat berbicara, "Ada yang mau aku bicarakan denganmu! Kita ketemu sebentar!""Kenapa tadi kamu nggak bilang waktu di rumah?" tanyaku."Ini masalah antara aku dan kamu, jadi aku nggak mau mereka mendengarnya. Kita ketemu di Bar Arandall!" sahut Jasmine.Sebelum aku menjawab, Jasmine sudah mengakhiri panggilan teleponnya. Aku memegang ponsel sambil merenung, entah apa yang direncanakan Jasmine. Aku penasaran dengan hal apa yang dia tutupi dari keluarganya.Saat memikirkan hal ini, aku langsung bangun dan melihat jam. Sekarang sudah hampir siang, jadi bar belum beroperasi sepenuhnya. Aku berpikir sejenak, lalu memutuskan untuk memakai celana jeans, kaos, dan sepatu hak datar berwarna putih agar lebih aman.Ketika dalam perjalanan, aku menelepon Fanny untuk berjaga-jaga. Namun, kebetulan Fanny pergi ke Kota Linde. Jadi, aku hanya bisa mengurungkan niatku.Aku menggenggam ponselku dengan erat untuk beberapa saat, lalu me
Jasmine tersenyum licik saat berbicara, jadi aku yakin pasti ada yang tidak beres dengan ucapannya. Aku tidak menanggapi pertanyaan Jasmine, aku berkata, "Aku merasa nggak ada yang aneh kalau datang ke sini. Kamu bicara terus terang saja, jangan berbelit-belit. Di sini nggak ada keluargamu."Jasmine tersenyum sinis dan berkomentar, "Haha. Kak Maya, kamu itu selalu bersikap angkuh, membosankan sekali. Kak Harry nggak suka dengan sikapmu ini, dia bilang kamu itu selalu berlagak seperti seorang putri. Sebenarnya, kamu sangat monoton, bahkan kamu sangat kaku saat bermanja-manja."Aku benar-benar kesal melihat sikap Jasmine, lalu aku menimpali, "Jasmine, aku nggak pernah bertemu dengan orang yang nggak tahu malu sepertimu!"Jasmine menyahut, "Maya, nggak usah berlagak menjadi senior, bukannya selama ini kamu begitu sabar? Apa kamu nggak menemukan kondom di saku Kak Harry? Aku nggak percaya kamu nggak kaget atau sedih waktu melihat barang itu, Kak Harry bilang kalian nggak pernah pakai itu."
Sikap Jasmine membuatku muak, tapi aku terpaksa harus bertahan. Jasmine adalah wanita yang licik, aku tidak bisa tenang. "Rahasia? Wanita nggak tahu malu sepertimu punya rahasia?""Maya, jangan cuma berani bicara. Kamu adalah wanita yang cerdas, aku telah mengirimkan banyak foto yang bagus, tapi kamu sama sekali nggak marah. Kamu sabar banget dan bersikap seolah nggak terjadi apa-apa di depan kakakku, kamu pasti nggak rela meninggalkannya, ya?" Jasmine menatapku sambil menyesap anggurnya dan tersenyum provokatif.Rasanya emosiku malu meledak, tetapi aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi wanita iblis ini."Ayo, temani aku minum. Kamu perlu melepas penat." Jasmine membujukku. Namun melihat aku yang tidak bergeming, Jasmine malah tersenyum puas. "Kamu takut padaku? Tenang saja, kamu nggak lihat aku juga meminum anggur dari botol ini? Ngapain takut?"Jasmine menatapku dengan sinis, tetapi aku tetap diam saja. "Baiklah, terserah kamu."Kemudian Jasmine mendekatiku, lalu berkata dengan la
Aku berusaha meloloskan diri, tetapi ketiga pria ini menahanku. Aku berjuang mati-matian dengan menggerakkan tangan dan kakiku, hanya saja tenagaku tidak sebanding. Sebuah tangan besar mendekat dan merobek pakaianku. "Srek ...."Seiring suara robekan pakaian, aku berteriak makin keras. Tubuhku bergetar ketakutan, aku berusaha keras untuk melepaskan diri. "Pergi, tolong ...."Aku meratap putus asa, aku mulai kehilangan tenaga untuk memberontak. Para pria ini tidak memedulikanku, mereka tetap berusaha melecehkanku.Sebuah tangan tangan yang lebar membuka kancing celanaku dan melepaskannya."Bugh!" Terdengar dentuman pintu yang keras. Aku yakin pasti ada orang yang datang, aku mengerahkan semua tenagaku yang tersisa untuk berteriak, "Tolong ... tolong aku ....""Prang!" Pintu yang didobrak mengakibatkan seisi kamar bergetar. Aku berusaha melepaskan tangan pria yang memegangku. "Lepaskan aku .... Tolong ...."Sesaat pintu terbuka, tampak dua sosok gelap yang masuk dan memukul pria yang mel
Setelah diinfus, saat aku dan Taufan hendak pulang, Fanny masuk ke dalam bangsalku dengan berapi-api. "Maya, ada ...."Begitu melihat Taufan yang berada di bangsalku, Fanny tersentak dan menelan kembali semua kata-katanya. Fanny tercengang menatap Taufan, raut wajahnya terlihat sangat aneh.Aku tahu apa yang dipikirkan Fanny, aku pun bergegas mengalihkan perhatiannya. "Fanny, kamu sudah pulang?""Fanny meneleponmu saat kamu pingsan, dia khawatir sama keadaanmu. Aku menceritakan kepadanya semua yang terjadi," jawab Taufan."Ka-kamu .... Ternyata kamu yang menjawab teleponku?" Fanny menunjuk Taufan sambil bertanya dengan penasaran, "Kamu siapa?"Aku bergegas mengenalkan Taufan kepada Fanny dan mereka pun berjabat tangan. Fanny bertanya saat melihat jas yang aku kenakan, "Kamu memakai jasnya Taufan?"Aku mengangguk sambil tersipu malu. Kemudian aku kembali menatap Taufan dan berkata, "Biar Fanny yang mengantarku pulang."Taufan mengangguk, lalu berpesan beberapa hal dan pergi meninggalkan
Harry memiliki firasat buruk, pasti ada sesuatu yang akan terjadi. Dia menatapku dengan dingin sambil bertanya, "Maya, apa yang ingin kamu lakukan? Berhenti membuat keributan!"Aku membalas tatapan Harry tanpa rasa takut. "Aku membuat keributan? Tunggu sampai Jasmine datang, biar kita lihat siapa yang membuat keributan."Melihat sikapku yang keras kepala, Harry pun bertanya kepada Fanny, "Apa yang terjadi?"Fanny merangkul lenganku sambil melayangkan tatapan jijik kepada Harry. "Kamu tanya aku? Aku mesti tanya siapa? Tunggu dan tanyakan pada adik kesayanganmu datang."Suasana di dalam ruangan terasa canggung, semua orang tahu tujuan kedatanganku tidaklah bersahabat.Tak berapa lama, Jasmine datang sambil jalan berlenggak-lenggok, suasana hatinya tampak bagus. Namun sesaat membuka pintu ruangan dan melihat orang-orang yang berkumpul, Jasmine tersentak, lalu menatapku dan bertanya, "Maya, kamu mau ngapain? Ada apa ini?"Melihat Jasmine yang bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, rasanya
Aku harus menahan James, ini adalah momen yang penting.Aku tidak menahan para petinggi yang lain demi menyelamatkan diri sendiri. Ini bukan saat yang tepat untuk mendesak Jasmine. Sebaliknya, aku ingin membuat Jasmine mundur dan mengalah.Tidak disangka, selanjutnya malah Jack yang buka suara. "Ada masalah apa sampai dibawa ke kantor? Ini tempat bekerja, mari bicarakan di rumah."Sebagai kepala keluarga, Jack menegur tindakan Maya yang dianggap kurang ajar. "Makin lama makin tidak tahu sopan santun."Meskipun tidak sungkan membalas teguran Jack, aku masih memanggilnya dengan sopan. "Ayah lagi menegur aku? Sebentar lagi Ayah lihat sendiri siapa yang tidak tahu sopan santun. Ayah harus melihat dan mendengarkan baik-baik, biar tahu siapa yang perlu diajari tata krama.""Maya, jaga sikapmu!" Harry marah melihat sikapku. Sejak dinikahi Harry, aku tidak pernah berbicara seperti ini kepada anggota Keluarga Sinjaya. Mereka sudah terbiasa dengan sikapku yang lemah lembut.Aku bangkit berdiri.
Raut wajah Harry terlihat masam saat mendengar jawaban Jasmine. Sorotan matanya tampak galak. "Apa lagi yang mau kamu katakan?""Apa yang mau aku katakan? Aku rasa kamu dan Jasmine tahu apa yang ingin kukatakan." Aku membalas tatapan Harry tanpa takut. "Cepat atau lambat, kebusukan kalian bakal ketahuan. Kamu nggak perlu kaget, ini namanya konsekuensi.'Aku tidak menyangka, Jasmine masih berada di tempat saat Taufan membawaku pergi.Giana memahami kode yang aku berikan, dia menatapku sambil bertanya, "Maya, jangan sungkan-sungkan, apakah dia membuatmu marah? Aduh, kamu ini, anak nakal ....""Apa-apaan kamu? Kenapa malah menyalahkan anakmu sendiri?" Jack memarahi istrinya. "Kita belum tahu apa yang terjadi, jangan asal memarahi anakmu. Harusnya kamu di rumah saja, tidak perlu ikut."Aku tersenyum sinis mendengar ucapan Jack. Tampaknya Jack telah dibutakan.Selama ini Jack selalu memanjakan putrinya. Jika Jack tidak memanjakan putrinya, Jasmine tidak mungkin tumbuh sebagai wanita yang so
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Kemudian, aku menyalakan mobil dan perlahan-lahan meninggalkan jalan kecil itu. Dari persimpangan di depan, aku kembali ke jalan utama. Pada saat ini, kemacetan sudah agak mendingan. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.Ibuku langsung merasa lega begitu melihatku sudah sampai di rumah. Dia buru-buru mulai memasak makanan. Jarang sekali aku bisa makan bersama mereka di rumah seperti ini.Begitu mendengar jika aku ingin makan di rumah, kedua orang tuaku langsung menunggu kepulanganku. Ibuku mengatakan, makanan yang paling enak adalah makanan yang baru dimasak.Setelah makan malam, aku menelepon Fanny dan bertanya apakah dia sedang ada di rumah. Fanny mengatakan jika dirinya baru saja sampai di rumah. Oleh karena itu, aku mengajak Adele jalan-jalan dan pergi menemui Fanny.Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Fanny. Begitu melihatku, Fanny langsung menanyakan tentang Taufan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.Fanny mengatakan, akhi
Entah kenapa, pada saat itu, punggungku terasa dingin dan merinding. Aku merasa ngeri saat memikirkannya. Bayangkan saja, manusia yang masih hidup dan baik-baik saja ditabrak mobil hingga tewas saat dalam perjalanan menemui diriku. Mungkinkah semua ini hanya kebetulan belaka?Selain itu, dia hanya ingin menyampaikan informasi mengenai Taufan kepadaku. Hanya sebuah informasi. Akan tetapi, apakah semua itu harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya? Bagaimana mungkin orang yang begitu lembut itu sekarang dibilang sudah meninggal …Semua ini makin membuatku mengerti jika situasinya tidaklah sesederhana itu.Melihat Danny yang buru-buru pergi, makin aku memikirkannya, makin aku merasa jika ada yang tidak beres. Kenapa polisi tidak menanyakan apa pun mengenai Taufan kepadaku? Bukankah itu adalah pertanyaan yang paling penting? Apakah mungkin bagi mereka untuk mengabaikan pertanyaan sepenting itu?Selain itu, jika sudah dipastikan bahwa sopir mobil karavan kecil itu mabuk dan Bastian meningg
Yang datang ke kantorku adalah dua petugas berseragam polisi.Hal ini membuatku agak terkejut dan bingung. Apa yang menyebabkan polisi mendatangiku di kantor?Aku mempersilakan mereka untuk duduk dan menatap mereka. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan sangat serius, “Bolehkah aku bertanya padamu? Apa kamu kenal Bastian Luzman?”“Siapa?” Aku agak bingung dan langsung menyangkalnya. “Aku nggak kenal.”Petugas polisi itu langsung menatapku dengan tajam. Jelas, dia tidak percaya dengan jawabanku. Kemudian, dia melirik rekannya dan berkata, “Mana fotonya?”Polisi satunya buru-buru mengeluarkan foto dari tas kerja yang dipegangnya dan menyerahkannya kepadaku. “Perhatikan baik-baik orang yang ada di foto ini.”Aku menerima foto tersebut dengan kedua tanganku dan melihat orang yang ada di foto itu. Dia adalah seorang pria. Wajahnya terlihat cukup tampan. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang masih berusia sekitar 20 tahun.Aku menggelengkan kepalaku dan berkata dengan tegas,
Orang yang meneleponku itu adalah seorang pria asing. Dia memintaku untuk menemuinya seorang diri. Pria itu mengatakan bahwa dia punya informasi mengenai Taufan.Aku menanyakan siapa dirinya. Namun, pria itu langsung menutup teleponnya. Akan tetapi, dia mengirimkan pesan kepadaku, berupa sebuah alamat. Sepertinya, alamat tersebut merupakan lokasi di mana kami akan bertemu nanti.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil tasku dan turun ke bawah.Setelah mengatur navigasi, aku langsung menuju ke tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Hatiku merasa cemas. Dalam beberapa hari terakhir, inilah pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang memberitahuku bahwa dia memiliki informasi mengenai Taufan.Aku bahkan tidak memikirkan apakah informasinya itu benar atau salah. Sekalipun salah, aku tetap ingin mendengar apa yang ingin dia katakan. Setidaknya, itu lebih baik daripada aku tidak tahu apa-apa.Dalam beberapa hari terakhir, kecelakaan mobil yang menimpa Taufan seakan-akan tidak perna
Hatiku langsung berdebar kencang saat melihat nama yang muncul di layar ponselku adalah nama Luna.“Luna, kalau kamu mau bicara omong kosong, sebaiknya hentikan saja. Aku sedang malas berurusan denganmu.” Aku mengangkat telepon dan langsung berkata kepada Luna. “Informasi mengenai Taufan, kalian mau mengatakannya atau nggak, aku pasti akan tetap mengetahuinya.”“Hahaha … Kak Maya, kayaknya kamu benar-benar cemas.” Luna terlihat aneh saat mengetahui kecemasanku. Sikapnya begitu menyenangkan. “Kayaknya Kakak marah besar.”“Kayaknya kamu lagi nggak ada kerjaan ya?” Setelah berkata seperti itu, aku langsung menutup teleponnya. Aku tahu betul. Makin aku memedulikannya, Luna akan makin menjadi-jadi.Benar saja. Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku menahan diri dan baru mengangkatnya setelah berdering beberapa kali. “Jangan menguji kesabaranku.”“Hahaha … Kak Maya, aku cuma ingin memberitahumu kalau dia baik-baik saja. Sungguh.” Nada bicara Luna menyiratkan jika dia bersukacita atas musi
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung