"Jangan bicara yang aneh-aneh. Nakal sekali, makin hari ucapanmu makin pedas saja!" Setelah berbicara, dia menepuk bokongku dengan tangannya. "Aku akan menghadiahimu sesuatu!" Aku tersenyum dan bersandar di pelukannya. "Aku lapar! Lagian, kamu tega melakukannya waktu aku sakit?" Harry mengamatiku sejenak dan bertanya, "Kamu benaran sakit, ya? Kok kamu nggak bawa Adele pulang?" "Adele sangat pandai menghibur Ayah dan Ibu. Terus, dia juga nggak mau pulang. Waktu aku pergi, dia sama sekali nggak melihatku. Lagian, ada banyak anak di rumah tetangga. Jadi, dia bermain dengan senang di sana. Biarkan saja dia tinggal lebih lama lagi!" jawabku. Sebenarnya, aku menempatkan Adele di rumah orang tuaku juga karena ingin mengurangi kekhawatiranku. Bagaimanapun, putriku adalah kelemahanku. "Oke, ikuti saja keinginanmu! Istirahatlah dulu, aku akan segera memasak!" bujuk Harry yang kemudian berjalan ke dapur setelah memelukku. Aku berbalik dan kembali ke kamar, lalu memasukkan semua barang-baran
Seperti yang kuduga, Harry tidak pulang malam ini. Sementara itu, aku juga terus membolak-balikkan tubuh di ranjang karena tidak bisa tidur. Pagi harinya, Fanny meneleponku untuk memberi tahu kabar yang baik. Katanya, Harry tertangkap basah Jasmine saat berselingkuh dengan Hana. Ketika mendengar kabar itu, perasaan di hatiku bercampur aduk. Aku tidak tahu diriku seharusnya merasa senang atau sedih. Meski semuanya berjalan lancar sesuai rencanaku, aku tidak merasa bahagia. Aku benar-benar tidak tahu apa pertanda dari keberhasilan ini. Setelah bersiap-siap, aku pergi ke perusahaan. Tentu saja, sosok Harry tidak terlihat. Fakta ini membuatku sadar kembali. Meski aku tidak membuat jebakan ini, Harry tetap akan makin menjauh dariku. Aku mengingatkan diriku bahwa waktu tidak bisa diulang. Aku harus terus berakting supaya upayaku sebelumnya tidak berakhir sia-sia. Dengan kata lain, aku tidak punya jalan mundur lagi. Aku segera menyuruh James untuk menelepon Harry. Sesuai instruksiku, Jame
Aku sendiri merasa kaget dengan pertanyaanku yang tidak bijaksana ini. Sementara itu, Harry tampak terkejut, tetapi segera menenangkan dirinya. "Kekasih Hana!"Aku tertegun sejenak karena tidak menyangka reaksi Harry begitu cepat. "Sayang, percayalah padaku, beri aku kesempatan lagi! Prioritas utama kita adalah memenangkan proyek Bright Celestial. Jangan melewatkan kesempatan yang bagus demi masalah ini. Kamu yang mendirikan Aurous Construction pasti ingin membuatnya berkembang! Aku tahu diriku salah, kamu jangan terbawa emosi!" Harry memelukku erat-erat dan berkata dengan lembut, "Maya, aku salah! Maaf!" Ucapannya membuatku terdiam. Harry memang sangat mengetahui kelemahanku. Beberapa saat kemudian, aku mendorong Harry menjauh, lalu keluar dari kantornya dengan pelan. Aku memperingatkan diriku untuk tetap sadar dan tidak boleh melakukan kesalahan apa pun. Sebab, sampai saat ini, Harry masih saja melindungi Jasmine. Setelah kembali ke kantor, aku memeriksa semua pencarian populer la
Harry melontarkan dua kata, lalu tiba-tiba berhenti karena merasa ragu. Aku pun melanjutkan pekerjaanku. Aku tidak akan berinisiatif untuk membahas tentang beberapa hal. Bagaimanapun, aku adalah korbannya. Tentu tidak logis jika aku yang memberinya saran.Tepat pada saat ini, terdengar suara ketukan pintu. Kami pun sama-sama terkejut. Kemudian, Harry berjalan ke arah pintu dan membukanya. Bahkan, aku sendiri pun tidak menyangka bahwa orang yang datang adalah Fanny.Fanny langsung berjalan masuk, lalu menutup pintu dengan sekuat tenaga. Dia langsung berseru ke arah suamiku, "Harry, kamu benar-benar berengsek! Memangnya apa kelebihanmu? Hah?"Harry tahu bahwa Fanny memang selalu menggebu-gebu. Sifat sahabatku ini memang sangat lugas. Apalagi, Harry juga tahu bahwa Fanny sangat dekat denganku. Itu sebabnya, dia sama sekali tidak terkejut dengan sikap Fanny. Sebaliknya, pria itu langsung menunduk. Dia menunjukkan sikap yang sangat tulus ketika melakukan kesalahan."Bukannya aku pernah meng
Setelah makanan yang dipesan tiba, Fanny memanggil kami untuk makan, seolah-olah dia adalah tuan rumah."Ayo, cepat. Sebesar apa pun masalahnya, kalian tetap harus mengisi perut dulu agar memiliki energi untuk menyelesaikannya. Maya, lihatlah dirimu. Kita baru berapa hari nggak bertemu, tapi kamu langsung kurus bagaikan tiang listrik," ucap Fanny yang tidak tega melihatku. Sementara itu, Harry diam-diam menatapku dan mengambilkan lauk.Fanny berkata, "Harry, kamu harus segera mencari cara untuk menghentikan kerugian kalian. Kalau seperti ini terus, bukan hanya Maya yang dirugikan, tapi perusahaan kalian juga akan terkena imbas. Bagaimanapun, bisnis tetap harus jalan."Usai berkata demikian, Fanny lanjut menyerang titik lemah Harry dengan menambahkan, "Biasanya, bisnis pasti akan terdampak kalau terjadi hal seperti ini. Kamu dan Maya sudah membangun Aurous Construction dengan susah payah. Apalagi, aku juga melihat semua prosesnya."Harry akhirnya tidak tahan lagi. Dia memandangku secara
Fanny menatapku, sementara aku juga memandangnya. Kemudian, kita saling memberikan kode lewat tatapan. Fanny berusaha meleraikan kami dengan berkata, "Maya, kamu jangan marah lagi. Karena sudah seperti ini, kalian harus melewati kesulitan bersama."Sementara itu, aku langsung berlari ke toilet dengan mata yang memerah. Kemudian, aku mengeluarkan ponselku untuk mengirim pesan WA kepada James, lalu keluar dari toilet setelahnya. Begitu keluar, aku langsung bertanya, "Jadi, apa yang harus kulakukan? Katakan saja. Aku ... sudah nggak peduli lagi." Air mataku kembali mengalir dan ekspresiku terlihat sangat sedih.Tiba-tiba, ponsel Harry berbunyi. Dia bergegas melihatnya dan buru-buru mengangkat. Entah apa yang dikatakan di telepon, tetapi wajah suamiku tiba-tiba memucat. Tak lama kemudian, dia berkata dengan nada dingin, "Baiklah!"Usai menutup telepon, Harry menundukkan kepala dengan ekspresi tertekan. Fanny diam-diam memberikan tatapan tajam kepadaku, sementara aku merespons dengan mengan
"Bruk!" Jasmine mendorong pintu kantorku dengan keras dan bergegas masuk. Dia berteriak padaku dengan kesal, "Maya, kamu enak sekali, ya. Beraninya kamu berpura-pura menjadi bos di sini! Kamu nggak layak!"Aku duduk di kursi dan memandang Jasmine dengan tenang. James segera masuk dan maju untuk membujuk, "Nona, apa yang Anda lakukan? Kalau ada masalah, selesaikan saja di rumah. Ada begitu banyak orang yang sedang menonton di sini! Pengaruhnya kurang baik!" "Pengaruh apaan? Kenapa harus peduli dengan hal itu waktu bicara dengannya? Dia nggak layak dihormati olehku!" timpal Jasmine dengan mulut yang pedas. Melalui jendela kaca, aku samar-samar melihat orang di luar kantor yang berdiri dan melihat ke sini. Aku pun berkata pada James, "Biarkan mereka pulang kerja lebih awal sekarang, segera!" James bergegas keluar dan membubarkan staf yang sedang menonton. Para staf berberes dengan lambat dan meninggalkan kantor dengan enggan. Sebelumnya, jangankan dua jam lebih awal, mereka pasti akan
"Sudah, diam!" teriak Harry padaku lagi. "Benar saja, kamu memihak padanya. Kamu sungguh kakak yang baik. Tiap hari, kamu memeluknya dan membiarkan segala urusanmu dicampuri olehnya. Kok aku merasa dia bukan adikmu? Kalau dilihat dari situasi ini, kayaknya dia barulah istrimu. Kamu selalu menuruti perkataannya!" "Maya … apa yang kamu sedang bicarakan? Kamu nggak punya rasa tanggung jawab, ya? Kamu nggak bisa mempertimbangkan kepentingan umum?" Raut wajah Harry berubah drastis. Dia mendorongku menjauh hingga membuatku limbung. James pun berseru kaget dan langsung memapahku. "Kak Maya …." Aku berusaha menjaga keseimbanganku dan menatap lurus ke arah Harry. "Kak, kamu sudah melihat sikapnya, 'kan? Dia sama sekali nggak mementingkan keluarganya sendiri. Waktu terjadi masalah, dia cuma memikirkan dirinya saja. Pernahkah dia peduli dengan urusanmu?" Jasmine yang berdiri di belakang Harry terus memanas-manasi keadaan. "Maya, ingatlah, Aurous Construction adalah perusahaan Keluarga Sinjay
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Kemudian, aku menyalakan mobil dan perlahan-lahan meninggalkan jalan kecil itu. Dari persimpangan di depan, aku kembali ke jalan utama. Pada saat ini, kemacetan sudah agak mendingan. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.Ibuku langsung merasa lega begitu melihatku sudah sampai di rumah. Dia buru-buru mulai memasak makanan. Jarang sekali aku bisa makan bersama mereka di rumah seperti ini.Begitu mendengar jika aku ingin makan di rumah, kedua orang tuaku langsung menunggu kepulanganku. Ibuku mengatakan, makanan yang paling enak adalah makanan yang baru dimasak.Setelah makan malam, aku menelepon Fanny dan bertanya apakah dia sedang ada di rumah. Fanny mengatakan jika dirinya baru saja sampai di rumah. Oleh karena itu, aku mengajak Adele jalan-jalan dan pergi menemui Fanny.Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Fanny. Begitu melihatku, Fanny langsung menanyakan tentang Taufan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.Fanny mengatakan, akhi
Entah kenapa, pada saat itu, punggungku terasa dingin dan merinding. Aku merasa ngeri saat memikirkannya. Bayangkan saja, manusia yang masih hidup dan baik-baik saja ditabrak mobil hingga tewas saat dalam perjalanan menemui diriku. Mungkinkah semua ini hanya kebetulan belaka?Selain itu, dia hanya ingin menyampaikan informasi mengenai Taufan kepadaku. Hanya sebuah informasi. Akan tetapi, apakah semua itu harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya? Bagaimana mungkin orang yang begitu lembut itu sekarang dibilang sudah meninggal …Semua ini makin membuatku mengerti jika situasinya tidaklah sesederhana itu.Melihat Danny yang buru-buru pergi, makin aku memikirkannya, makin aku merasa jika ada yang tidak beres. Kenapa polisi tidak menanyakan apa pun mengenai Taufan kepadaku? Bukankah itu adalah pertanyaan yang paling penting? Apakah mungkin bagi mereka untuk mengabaikan pertanyaan sepenting itu?Selain itu, jika sudah dipastikan bahwa sopir mobil karavan kecil itu mabuk dan Bastian meningg
Yang datang ke kantorku adalah dua petugas berseragam polisi.Hal ini membuatku agak terkejut dan bingung. Apa yang menyebabkan polisi mendatangiku di kantor?Aku mempersilakan mereka untuk duduk dan menatap mereka. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan sangat serius, “Bolehkah aku bertanya padamu? Apa kamu kenal Bastian Luzman?”“Siapa?” Aku agak bingung dan langsung menyangkalnya. “Aku nggak kenal.”Petugas polisi itu langsung menatapku dengan tajam. Jelas, dia tidak percaya dengan jawabanku. Kemudian, dia melirik rekannya dan berkata, “Mana fotonya?”Polisi satunya buru-buru mengeluarkan foto dari tas kerja yang dipegangnya dan menyerahkannya kepadaku. “Perhatikan baik-baik orang yang ada di foto ini.”Aku menerima foto tersebut dengan kedua tanganku dan melihat orang yang ada di foto itu. Dia adalah seorang pria. Wajahnya terlihat cukup tampan. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang masih berusia sekitar 20 tahun.Aku menggelengkan kepalaku dan berkata dengan tegas,
Orang yang meneleponku itu adalah seorang pria asing. Dia memintaku untuk menemuinya seorang diri. Pria itu mengatakan bahwa dia punya informasi mengenai Taufan.Aku menanyakan siapa dirinya. Namun, pria itu langsung menutup teleponnya. Akan tetapi, dia mengirimkan pesan kepadaku, berupa sebuah alamat. Sepertinya, alamat tersebut merupakan lokasi di mana kami akan bertemu nanti.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil tasku dan turun ke bawah.Setelah mengatur navigasi, aku langsung menuju ke tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Hatiku merasa cemas. Dalam beberapa hari terakhir, inilah pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang memberitahuku bahwa dia memiliki informasi mengenai Taufan.Aku bahkan tidak memikirkan apakah informasinya itu benar atau salah. Sekalipun salah, aku tetap ingin mendengar apa yang ingin dia katakan. Setidaknya, itu lebih baik daripada aku tidak tahu apa-apa.Dalam beberapa hari terakhir, kecelakaan mobil yang menimpa Taufan seakan-akan tidak perna
Hatiku langsung berdebar kencang saat melihat nama yang muncul di layar ponselku adalah nama Luna.“Luna, kalau kamu mau bicara omong kosong, sebaiknya hentikan saja. Aku sedang malas berurusan denganmu.” Aku mengangkat telepon dan langsung berkata kepada Luna. “Informasi mengenai Taufan, kalian mau mengatakannya atau nggak, aku pasti akan tetap mengetahuinya.”“Hahaha … Kak Maya, kayaknya kamu benar-benar cemas.” Luna terlihat aneh saat mengetahui kecemasanku. Sikapnya begitu menyenangkan. “Kayaknya Kakak marah besar.”“Kayaknya kamu lagi nggak ada kerjaan ya?” Setelah berkata seperti itu, aku langsung menutup teleponnya. Aku tahu betul. Makin aku memedulikannya, Luna akan makin menjadi-jadi.Benar saja. Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku menahan diri dan baru mengangkatnya setelah berdering beberapa kali. “Jangan menguji kesabaranku.”“Hahaha … Kak Maya, aku cuma ingin memberitahumu kalau dia baik-baik saja. Sungguh.” Nada bicara Luna menyiratkan jika dia bersukacita atas musi
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung