“Kamu kenapa?” tanya Harry “Kecapekan? Gimana kalau kamu tiduran saja sebentar. Aku nggak balik ke kantor lagi, deh. Biar aku yang jagain Adele main.”“Iya, mungkin aku terlalu cape. Kalau begitu titip Adele, ya. Aku mau tidur sebentar. Jangan lupa kasih makan juga, di dapur sudah nggak ada apa-apa!”“Oh, oke! Kamu tidur saja sana, kamu bangun nanti aku ajak kalian berdua pergi makan di luar!”Lantas, aku pun masuk ke kamar tidur dan berbaring di atas kasur, dengan napas yang tidak beraturan dan air mata berlinang. Tampaknya memang ada sesuatu dengan dua kunci itu, makanya Harry buru-buru pulang untuk mengambil kuncinya kembali. Dia pulang sama sekali bukan karena mengkhawatirkan Adele.Yang namanya pria kalau sudah selingkuh, hati nuraninya pasti sudah menghilang entah ke mana. Bisa saja kunci itu adalah kunci untuk mengakses rumah selingkuhannya. Spontan aku langsung terpikir tentang Fanny. Pekerjaannya sedang sangat maju selama dua tahun ini dan dia tidak lagi tinggal bersama denga
James adalah supervisor di bagian marketing perusahaanku. Begitu melihat kedatangan kami, dengan antusiasnya dia bermain dengan Adele sambil memesankan makanan untuk kami. Bergabungnya James di perusahaan bisa dibilang menggantikan posisiku dulu.Awalnya akulah yang merekrut James, dan dia terus bekerja di bawahku selama satu tahun lebih. Divisi marketing saat itu hanya diisi oleh lima orang. James yang baru saja lulus kuliah memiliki beberapa ide segar dan memang berbakat di bidang ini. Dia punya kemampuan berbicara yang bahkan mampu membuat orang mati hidup kembali.Setelah aku mulai mengandung, James-lah yang menggantikan posisiku sebagai kepala divisi, dan dia juga mendapat didikan langsung dari Harry. Sekarang, bisa dikatakan dia adalah tangan kanannya Harry.Sepertinya James sudah langganan di restoran ini. Ketika melihat kami datang, dia langsung mencari manajer restoran ini dan memesankan ruangan khusus.Jasmine juga tampaknya cukup akrab dengan James. Saat sedang memesan makan
Suaranya terdengar aneh seperti diseret-seret, dan terdengar mirip dengan ….Saat aku membuka pintu bilik untuk keluar, aku mendengar suara seorang pria yang berkata, “Akhirnya dapat juga kamu, aku kangen banget!”Aku sontak tercengang karena itu adalah suaranya James. Aku pun menarik kembali tanganku dan tidak jadi keluar. Tak disangka-sangka ternyata James cukup berani juga. Padahal dia sudah punya istri yang luar biasa, tapi dia masih saja menyeleweng. Sepertinya yang namanya lelaki itu memang tidak pernah beres.“Jangan dekat-dekat! Kalau kamu kangen aku, kenapa kamu masih mikirin orang lain? Tadi di depan kamu ramah begitu, tapi kenapa kamu nggak pernah sebaik itu sama aku? Masih bilang aku penting di hatimu pula! Cih, kenapa aku baru sadar sekarang kalau kamu itu cuma mulutnya yang manis!”“Mana ada, kamu saja yang jago godain orang lain …. Sini, kucium … aku ….”Suara James terdengar sangat keras dan lantang, membuatku yang mendengarnya saja jadi malu.“Tadi itu bosku, mana mung
“Kak Maya jangan nggak tahu diri, ya! Kamu masih nggak sadar betapa baiknya kakakku ke kamu? Kamu bisa hidup santai setiap hari tanpa kerja itu berkat kakakku yang banting tulang kerja keras sendirian di luar sana. Punya hak apa kamu ngomong begitu?”“Lho, kenapa malah jadi kamu yang sewot? Sejak kapan kamu boleh ikut campur kalau aku lagi ngomong sama Harry?” balasku.“Aku ….”“Aku apa?! Memangnya kenapa kalau aku nggak kerja? Kayaknya kamu sendiri juga tersinggung dibilang pengangguran, ya? Pantas saja kamu bangga banget setiap hari datang ke kantor untuk ngerasain kayak apa rasanya jadi ibu bos. Pasti enak, ya?”Aku menatap lurus Jasmine dengan sorot mataku yang tajam. Tampaknya selama ini aku terlalu baik sampai Jasmine berani kurang ajar padaku.“Kakak kamu banting tulang sendirian? Coba tanya dia apa dia berani ngomong begitu ke aku? Aku yang ke sana kemari menemani klien minum sampai lambungku berdarah. Nggak tahu kamu? Atau memang kamu sekeluarga nggak ada yang tahu? Kakakmu s
Adele sudah tertidur sebelum kami sampai di rumah. Begitu mobil terparkir dengan baik, Harry turun dan menggendong Adele masuk ke dalam kamar tidurnya. Aku juga langsung mandi sehabis menyelimuti Adele.Tiba-tiba ponsel Harry berbunyi, spontan aku melirik sekilas sebelum bunyi itu terhenti. Namun aku tahu Harry tidak mungkin mengangkat telepon itu di hadapanku. Aku mengambil baju tidur dan ponselku masuk ke dalam kamar mandi. Aku menyalakan air dan diam-diam mengintip ke luar melalui celah pintu. Sambil memperhatikan suara di luar, benar saja, aku dapat mendengar suara Harry yang sedang berbicara dengan suara lirih.Aku langsung menghubungi nomor Fanny, tapi yang kudapat adalah nada sibuk. Benar dugaanku, sepertinya Harry sedang berbicara dengannya. Aku langsung naik pitam sampai tanganku gemetaran. Di bawah pengaruh amarah itu aku mandi dan langsung keluar dari kamar mandi. Harry yang mendengar suara dari dalam kamar mandi langsung menutup panggilan dan pergi ke balkon berpura-pura si
Kami berdua sama-sama terkejut dengan telepon yang datang secara mendadak itu. Bola mata Harry mendadak menciut, sedangkan bola mataku justru makin tajam. Aku terus mengamatinya dan berkata, “Angkat!”Tubuh Harry membatu dan hanya berdiam diri di tempat.“Harry, kalau kamu masih punya hati nurani, cepat angkat teleponnya tepat di depan mukaku. Aku kasih kamu kesempatan terakhir! Dulu aku pikir kalaupun semua cowok yang ada di dunia ini selingkuh, kamu bakal tetap setiap. Kamu benar-benar sudah bikin aku kecewa!”Akhirnya aku melepaskan kata-kata yang paling tidak ingin kuutarakan. Aku tak pernah berpikir bahwa hubungan di antara kami berdua bisa sampai ke tahap ini. Seketika mengatakannya, air mataku bercucuran bagaikan air hujan dan ikut menangis bersama Adele.Akibat ancaman dariku, Harry pun perlahan mengangkat teleponnya. Nada dering ponsel terus berbunyi makin nyaring, sungguh berbanding terbalik dengan suasana di rumah ini. Aku melihat Harry masih saja terdiam membatu dan menatap
Aku melihat ponselku yang masih terus berbunyi. Entah harus bagaimana aku menggambarkan perasaanku saat ini. Waktunya benar-benar pas, ketika Harry baru pergi, dia langsung menelepon. Apa lagi yang perlu dijelaskan? Harry pasti melapor kepadanya begitu dia pergi.“Halo, Fanny!”“Kamu lagi apa? Adele sudah baikan?” tanya Fanny dengan suasana hati yang terdengar bahagia.Bagaimana tidak bahagia? Aku terus ribut dengan Harry, dan sudah pasti dialah yang paling diuntungkan.“Hari ini lagi santai kamu? Tumben banget pagi-pagi sudah telepon!” ledekku.“Gini-gini aku juga masih manusia, bukan robot. Aku juga butuh waktu untuk istirahat! Mau makan? Aku traktir.”“Aku mau menemani Adele main di rumah saja!” jawabku.“Oh? … baguslah kalau begitu. Tapi ajak Adele keluar, dong. Aku juga mau ketemu sama dia. Waktu itu kamu lagi bete, jadi aku nggak berani lama-lama!”Aku pun berpikir sejenak. Ini kesempatan yang sempurna. Berhubung dia yang begitu proaktif, rasanya aku yang menyia-nyiakan keramahan
Setelah berkeliling, aku dikecewakan oleh fakta bahwa aku tidak menemukan sandal pria sepasang pun. Aku jadi curiga mungkinkah dia sudah melakukan persiapan sebelumnya. Jika tidak, mana mungkin dia butuh waktu dua jam sebelum menjemput aku dan Adele. Dua jam itu sudah lebih dari cukup untuk menyembunyikan semuanya.Mungkin Fanny menyadari aku sedang melamun, jadi dia menawarkan makanan kecil untuk aku dan Adele. Fanny juga menyalakan tayangan kartun untuk Adele, lalu duduk di samping dan mengamatiku. Tatapannya membuatku sungguh merasa tidak nyaman.“Cerita saja!” katanya sambil menepuk punggungku.“Cerita apa?” tanyaku dengan penuh waspada.“Coba cerita apa yang lagi kamu pikirin sekarang,” kata Fanny seperti sedang menggiringku.Dalam hati aku tertawa sinis dan nada bicaraku jadi terdengar dingin, “Memangnya aku lagi mikir apa? Apa, sih, maksud kamu?”“Kamu temani Adele main dulu, ya. Aku mau masak yang enak untuk kalian!”Setelah itu Fanny melepas jaketnya, mengganti pakaian dan mas
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Kemudian, aku menyalakan mobil dan perlahan-lahan meninggalkan jalan kecil itu. Dari persimpangan di depan, aku kembali ke jalan utama. Pada saat ini, kemacetan sudah agak mendingan. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.Ibuku langsung merasa lega begitu melihatku sudah sampai di rumah. Dia buru-buru mulai memasak makanan. Jarang sekali aku bisa makan bersama mereka di rumah seperti ini.Begitu mendengar jika aku ingin makan di rumah, kedua orang tuaku langsung menunggu kepulanganku. Ibuku mengatakan, makanan yang paling enak adalah makanan yang baru dimasak.Setelah makan malam, aku menelepon Fanny dan bertanya apakah dia sedang ada di rumah. Fanny mengatakan jika dirinya baru saja sampai di rumah. Oleh karena itu, aku mengajak Adele jalan-jalan dan pergi menemui Fanny.Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Fanny. Begitu melihatku, Fanny langsung menanyakan tentang Taufan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.Fanny mengatakan, akhi
Entah kenapa, pada saat itu, punggungku terasa dingin dan merinding. Aku merasa ngeri saat memikirkannya. Bayangkan saja, manusia yang masih hidup dan baik-baik saja ditabrak mobil hingga tewas saat dalam perjalanan menemui diriku. Mungkinkah semua ini hanya kebetulan belaka?Selain itu, dia hanya ingin menyampaikan informasi mengenai Taufan kepadaku. Hanya sebuah informasi. Akan tetapi, apakah semua itu harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya? Bagaimana mungkin orang yang begitu lembut itu sekarang dibilang sudah meninggal …Semua ini makin membuatku mengerti jika situasinya tidaklah sesederhana itu.Melihat Danny yang buru-buru pergi, makin aku memikirkannya, makin aku merasa jika ada yang tidak beres. Kenapa polisi tidak menanyakan apa pun mengenai Taufan kepadaku? Bukankah itu adalah pertanyaan yang paling penting? Apakah mungkin bagi mereka untuk mengabaikan pertanyaan sepenting itu?Selain itu, jika sudah dipastikan bahwa sopir mobil karavan kecil itu mabuk dan Bastian meningg
Yang datang ke kantorku adalah dua petugas berseragam polisi.Hal ini membuatku agak terkejut dan bingung. Apa yang menyebabkan polisi mendatangiku di kantor?Aku mempersilakan mereka untuk duduk dan menatap mereka. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan sangat serius, “Bolehkah aku bertanya padamu? Apa kamu kenal Bastian Luzman?”“Siapa?” Aku agak bingung dan langsung menyangkalnya. “Aku nggak kenal.”Petugas polisi itu langsung menatapku dengan tajam. Jelas, dia tidak percaya dengan jawabanku. Kemudian, dia melirik rekannya dan berkata, “Mana fotonya?”Polisi satunya buru-buru mengeluarkan foto dari tas kerja yang dipegangnya dan menyerahkannya kepadaku. “Perhatikan baik-baik orang yang ada di foto ini.”Aku menerima foto tersebut dengan kedua tanganku dan melihat orang yang ada di foto itu. Dia adalah seorang pria. Wajahnya terlihat cukup tampan. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang masih berusia sekitar 20 tahun.Aku menggelengkan kepalaku dan berkata dengan tegas,
Orang yang meneleponku itu adalah seorang pria asing. Dia memintaku untuk menemuinya seorang diri. Pria itu mengatakan bahwa dia punya informasi mengenai Taufan.Aku menanyakan siapa dirinya. Namun, pria itu langsung menutup teleponnya. Akan tetapi, dia mengirimkan pesan kepadaku, berupa sebuah alamat. Sepertinya, alamat tersebut merupakan lokasi di mana kami akan bertemu nanti.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil tasku dan turun ke bawah.Setelah mengatur navigasi, aku langsung menuju ke tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Hatiku merasa cemas. Dalam beberapa hari terakhir, inilah pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang memberitahuku bahwa dia memiliki informasi mengenai Taufan.Aku bahkan tidak memikirkan apakah informasinya itu benar atau salah. Sekalipun salah, aku tetap ingin mendengar apa yang ingin dia katakan. Setidaknya, itu lebih baik daripada aku tidak tahu apa-apa.Dalam beberapa hari terakhir, kecelakaan mobil yang menimpa Taufan seakan-akan tidak perna
Hatiku langsung berdebar kencang saat melihat nama yang muncul di layar ponselku adalah nama Luna.“Luna, kalau kamu mau bicara omong kosong, sebaiknya hentikan saja. Aku sedang malas berurusan denganmu.” Aku mengangkat telepon dan langsung berkata kepada Luna. “Informasi mengenai Taufan, kalian mau mengatakannya atau nggak, aku pasti akan tetap mengetahuinya.”“Hahaha … Kak Maya, kayaknya kamu benar-benar cemas.” Luna terlihat aneh saat mengetahui kecemasanku. Sikapnya begitu menyenangkan. “Kayaknya Kakak marah besar.”“Kayaknya kamu lagi nggak ada kerjaan ya?” Setelah berkata seperti itu, aku langsung menutup teleponnya. Aku tahu betul. Makin aku memedulikannya, Luna akan makin menjadi-jadi.Benar saja. Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku menahan diri dan baru mengangkatnya setelah berdering beberapa kali. “Jangan menguji kesabaranku.”“Hahaha … Kak Maya, aku cuma ingin memberitahumu kalau dia baik-baik saja. Sungguh.” Nada bicara Luna menyiratkan jika dia bersukacita atas musi
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung