Fanny mengangguk, dia buru-buru mengeluarkan ponsel untuk menghubungi asistennya dan memintanya untuk mengirimkan wartawan ke rumah ini.Setelah Fanny menyimpan ponselnya, aku memintanya untuk membantuku berbaring di lantai. "Lepaskan aku, taruh saja di lantai. Cepat, foto! Foto!"Fanny memapahku sampai ke lantai satu, lalu terpaksa meletakkanku di atas lantai dan mengeluarkan ponsel untuk memotret kondisiku yang baru disiksa. Fanny mengambil fotoku dari segala arah, dia juga memotret semua memar yang ada di tubuhku.Fanny juga menghubungi Haikal dan Komisi Perlindungan Wanita untuk datang ke rumah.Ternyata Harry, Jasmine, dan Giana belum pergi. Mereka bersembunyi di lantai satu. Harry pun panik menyaksikan tindakan Fanny. Dia berteriak dari kejauhan, "Maya, kamu yang cari mati! Nggak ada gunanya lapor polisi, ini adalah rumahku. Suami istri bertengkar adalah hal yang wajar.""Bajingan, kamu belum pergi?" Fanny mengeluarkan pisau dan mengejar Harry.Harry berlari ke dalam kamar utama
Mataku terasa panas saat mendengar omelan Taufan. Sebuah gelombang hangat bergejolak di dalam hatiku.Di saat mobil melaju dan membawaku pergi, aku bertanya mau ke mana, tetapi dia tidak menjawab.Taufan malah menarik daguku, lalu mengamati wajahku. Aku tersipu malu menghadapi tatapan Taufan. Kemudian aku menepis tangannya dan bertanya kepada sopir yang mengemudikan mobil, "Kamu mau membawaku ke mana?"Namun sopir tersebut malah menekan sebuah tombol, papan penyekat pun muncul untuk memisahkan tempat duduk di depan dan belakang.Harus kuakui, Bright Celestial menyediakan fasilitas yang memadai untuk karyawan. Meskipun Taufan hanyalah seorang asisten CEO, dia mendapatkan kompensasi yang memadai dari perusahaan."Di mana lukamu?" tanya Taufan."Ah? Aku nggak luka. Kamu lihat sendiri." Aku menghindari tatapan Taufan."Jadi semua foto yang beredar adalah foto palsu?" Taufan mendesakku. "Kamu mau tunjukkan sendiri atau aku yang gerak?"Jantungku berdebar kencang, suasana ini membuatku salah
Entah berapa lama, sebuah suara yang lembut membangunkanku dari tidur. Aku merasa seperti ditarik kembali ke dunia nyata.Aku membuka mataku secara perlahan-lahan, tampak sebuah sosok tampan yang muncul di hadapanku. Aku terkejut dan bangun. Gerakanku yang terlalu cepat membuat memar di perutku terasa sakit."Hati-hati." Taufan berdecak kesal.Kami masih berada di dalam mobil, aku melihat hari mulai gelap. Matahari berwarna keemasan menutupi sebagian langit dan perlahan terbenam di ufuk barat."Astaga, sudah jam berapa? Aku harus menjemput Adele." Aku panik sambil buru-buru mencari ponsel."Aku menghubungi temanmu menggunakan ponselmu, aku memintanya untuk menjemput putrimu," Taufan menjawab dengan santai. "Bangun! Kakiku keram."Aku baru sadar bahwa diriku tertidur di dalam pelukannya. Wajahku memerah dan tersipu malu, kenapa Taufan tidak segera membangunkan aku?"Aku ... tidur berapa lama?" Aku tidak enak hati. Aku bergegas melepaskan pelukannya dan menjaga jarak."Dua jam lebih." Ta
Pikiran ingin melarikan diri bahkan terbesit di kepalaku. Kata orang lebih baik mencegah daripada mengobati. Mungkin selama ini aku terlalu membuka diri, makanya Taufan sama sekali tidak sungkan kepadaku.Taufan menghentikan gerakan tangannya saat melihat aku melamun. Dia menatapku dingin sambil bertanya dengan nada bicara yang mengejek, "Kenapa? Takut? Kamu berpikir untuk menjaga jarak? Apakah aku begitu menakutkan?"Wajahku sontak terasa panas, aku memelototinya sambil menjawab, "Siapa yang takut sama kamu?"Mulutku tidak mau mengaku, tetapi jantungku berdegup kencang."Kalau kamu menjaga jarak sama bajingan itu, kamu tidak akan terluka seperti sekarang." Taufan kembali mengoleskan obat. "Tenang, aku hanya akan melakukannya kalau kamu bersedia. Kalau kamu menolak, aku pun tidak akan memaksa."Aku menatapnya dengan memelas, tetapi dia tidak menghiraukan aku."Dengarkan aku, baring yang benar." Tiba-tiba nada bicaranya berubah jadi lembut. "Mau aku pakai cara kekerasan?"Sepertinya har
Aku membalas kecupannya. Perasaan dicintai, dibutuhkan, dan sensasi dibelai membuatku kehilangan akal sehat. Tampaknya aku memendam hasrat ini terlalu lama.Ucapannya terus berputar di dalam kepalaku. "Kalau kamu masih memberontak, aku tidak akan sungkan-sungkan. Biar ke depan kamu tidak ada alasan lagi menolakku."Sekarang aku hanya ingin melepaskan ikatan yang membelenggu hatiku. Aku ingin sesekali memanjakan diriku, melakukan hal-hal yang aku dambakan tanpa terkekang oleh apa pun. Aku tidak mau melarikan diri lagi.Bayangan perselingkuhan Harry dan Jasmine seolah merangsang tubuhku. Aku sangat bersemangat, aku juga menginginkannya. Aku ingin membalas mereka, aku juga bisa bersenang-senang.Aku tenggelam di dalam embusan napas Taufan yang menggebu-gebu. Tangannya yang hangat memegang lembut punggungku. Dia menyentuhku dengan hati-hati agar tidak mengenai lukaku.Perasaan ini terasa nyata, aku tidak sanggup menolak ciumannya yang bergairah.Sepertinya Taufan merasakan gairahku yang me
Tenggorokanku seperti dicekik, aku tidak berani mengungkapkan isi hatiku. Kami baru bersenang-senang, aku tidak mau merusak suasana.Aku pun mengubah topik pembicaraan. "Fasilitas yang perusahaanmu berikan sangat bagus. Seandainya aku nggak punya perusahaan, aku pasti bakal melamar kerja di kantormu.""Kenapa?" tanyanya."Melihatmu yang santai banget, aku yakin perusahaanmu pasti sangat memanusiakan karyawan." Aku berusaha mencari alasan yang terdengar masuk akal.Taufan tersenyum mendengar jawabanku, kami tidak melanjutkan topik yang canggung ini.Taufan sangat elegan meski saat makan. Aku menghabiskan makananku dalam hitungan menit, mungkin karena kau kelaparan. Hari ini aku belum makan, aku tidak perlu berpura-pura di hadapannya.Setelah makan aku memaksa ingin pulang. Dia bangkit berdiri sambil berkata, "Aku antar."Di dalam mobil, Taufan sedang memikirkan sesuatu, sedangkan aku menatap keluar jendela. Angin sejuk yang bertiup membuatku sadar, semua yang terjadi tadi bagaikan mimpi
Aku merasa lega dan bebas saat melangkah meninggalkan ruang persidangan.Ketika aku mengantar Haikal pergi, tiba-tiba Harry muncul dan berlari ke arahku. Orang-orang yang berada di sekitar langsung mengadang untuk melindungiku.Beberapa orang menahan Harry agar tidak bertindak gegabah. Penampilan Harry pasrah dan acak-acakan. Dia menatap seolah sedang menyalahkanku. "Sayang ...."Aku jijik mendengar panggilan tersebut."Maya, jangan pergi! Lepaskan aku, jangan tahan aku! Maya, tolong berikan aku kesempatan bicara." Harry berusaha menepis tangan-tangan yang menahannya. Dia menatapku dengan memelas. "Maya, berikan aku kesempatan bicara. Walaupun sudah cerai, masih ada banyak hal yang perlu kita bicarakan. Sayang, aku mohon.""Berhenti memanggilku sayang, kamu nggak punya hak! Aku nggak merasa ada yang perlu dibicarakan lagi, pengadilan telah memutuskan semuanya." Aku melemparkan tatapan sinis."Nggak, Maya! Aku mohon! Kalian jangan menahanku! Lepaskan aku ...." Harry menatapku dengan cem
Harry tersentak mendengar ucapanku, dia menatapku hingga mematung. Aku dapat melihat keengganan dan kepasrahan yang tersirat di matanya."Maya, kalian sudah cerai! Kamu masih berani menggoda Harry di depan umum? Wanita nggak tahu malu!" Jasmine berlari ke samping Harry dan menarik tangannya.Aku menyeringai jijik, lalu berkata kepada Harry, "Aku ingatkan untuk terakhir kalinya. Kamu adalah pria yang tidak berbakti, tidak berguna, tidak setia, pengecut, menelantarkan istri dan anak. Tunggu saja karmamu! Pengadilan telah memutuskan perceraian, bangunlah dari mimpimu! Mulai sekarang jangan pernah menemuiku lagi."Setelah bicara, aku membalikkan badan dan pergi meninggalkannya. Ketika membalikkan badan, sekilas aku melihat mata Harry yang memerah dan berkaca-kaca.Aku berterima kasih kepada Haikal, lalu mengajak ibuku dan Fanny pulang. Dari kaca spion, aku melihat Harry yang berdiri mematung sambil menyaksikan mobilku melaju pergi.Kami singgah ke rumah sakit untuk menjemput ayahku pulang.
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Kemudian, aku menyalakan mobil dan perlahan-lahan meninggalkan jalan kecil itu. Dari persimpangan di depan, aku kembali ke jalan utama. Pada saat ini, kemacetan sudah agak mendingan. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.Ibuku langsung merasa lega begitu melihatku sudah sampai di rumah. Dia buru-buru mulai memasak makanan. Jarang sekali aku bisa makan bersama mereka di rumah seperti ini.Begitu mendengar jika aku ingin makan di rumah, kedua orang tuaku langsung menunggu kepulanganku. Ibuku mengatakan, makanan yang paling enak adalah makanan yang baru dimasak.Setelah makan malam, aku menelepon Fanny dan bertanya apakah dia sedang ada di rumah. Fanny mengatakan jika dirinya baru saja sampai di rumah. Oleh karena itu, aku mengajak Adele jalan-jalan dan pergi menemui Fanny.Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Fanny. Begitu melihatku, Fanny langsung menanyakan tentang Taufan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.Fanny mengatakan, akhi
Entah kenapa, pada saat itu, punggungku terasa dingin dan merinding. Aku merasa ngeri saat memikirkannya. Bayangkan saja, manusia yang masih hidup dan baik-baik saja ditabrak mobil hingga tewas saat dalam perjalanan menemui diriku. Mungkinkah semua ini hanya kebetulan belaka?Selain itu, dia hanya ingin menyampaikan informasi mengenai Taufan kepadaku. Hanya sebuah informasi. Akan tetapi, apakah semua itu harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya? Bagaimana mungkin orang yang begitu lembut itu sekarang dibilang sudah meninggal …Semua ini makin membuatku mengerti jika situasinya tidaklah sesederhana itu.Melihat Danny yang buru-buru pergi, makin aku memikirkannya, makin aku merasa jika ada yang tidak beres. Kenapa polisi tidak menanyakan apa pun mengenai Taufan kepadaku? Bukankah itu adalah pertanyaan yang paling penting? Apakah mungkin bagi mereka untuk mengabaikan pertanyaan sepenting itu?Selain itu, jika sudah dipastikan bahwa sopir mobil karavan kecil itu mabuk dan Bastian meningg
Yang datang ke kantorku adalah dua petugas berseragam polisi.Hal ini membuatku agak terkejut dan bingung. Apa yang menyebabkan polisi mendatangiku di kantor?Aku mempersilakan mereka untuk duduk dan menatap mereka. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan sangat serius, “Bolehkah aku bertanya padamu? Apa kamu kenal Bastian Luzman?”“Siapa?” Aku agak bingung dan langsung menyangkalnya. “Aku nggak kenal.”Petugas polisi itu langsung menatapku dengan tajam. Jelas, dia tidak percaya dengan jawabanku. Kemudian, dia melirik rekannya dan berkata, “Mana fotonya?”Polisi satunya buru-buru mengeluarkan foto dari tas kerja yang dipegangnya dan menyerahkannya kepadaku. “Perhatikan baik-baik orang yang ada di foto ini.”Aku menerima foto tersebut dengan kedua tanganku dan melihat orang yang ada di foto itu. Dia adalah seorang pria. Wajahnya terlihat cukup tampan. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang masih berusia sekitar 20 tahun.Aku menggelengkan kepalaku dan berkata dengan tegas,
Orang yang meneleponku itu adalah seorang pria asing. Dia memintaku untuk menemuinya seorang diri. Pria itu mengatakan bahwa dia punya informasi mengenai Taufan.Aku menanyakan siapa dirinya. Namun, pria itu langsung menutup teleponnya. Akan tetapi, dia mengirimkan pesan kepadaku, berupa sebuah alamat. Sepertinya, alamat tersebut merupakan lokasi di mana kami akan bertemu nanti.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil tasku dan turun ke bawah.Setelah mengatur navigasi, aku langsung menuju ke tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Hatiku merasa cemas. Dalam beberapa hari terakhir, inilah pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang memberitahuku bahwa dia memiliki informasi mengenai Taufan.Aku bahkan tidak memikirkan apakah informasinya itu benar atau salah. Sekalipun salah, aku tetap ingin mendengar apa yang ingin dia katakan. Setidaknya, itu lebih baik daripada aku tidak tahu apa-apa.Dalam beberapa hari terakhir, kecelakaan mobil yang menimpa Taufan seakan-akan tidak perna
Hatiku langsung berdebar kencang saat melihat nama yang muncul di layar ponselku adalah nama Luna.“Luna, kalau kamu mau bicara omong kosong, sebaiknya hentikan saja. Aku sedang malas berurusan denganmu.” Aku mengangkat telepon dan langsung berkata kepada Luna. “Informasi mengenai Taufan, kalian mau mengatakannya atau nggak, aku pasti akan tetap mengetahuinya.”“Hahaha … Kak Maya, kayaknya kamu benar-benar cemas.” Luna terlihat aneh saat mengetahui kecemasanku. Sikapnya begitu menyenangkan. “Kayaknya Kakak marah besar.”“Kayaknya kamu lagi nggak ada kerjaan ya?” Setelah berkata seperti itu, aku langsung menutup teleponnya. Aku tahu betul. Makin aku memedulikannya, Luna akan makin menjadi-jadi.Benar saja. Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku menahan diri dan baru mengangkatnya setelah berdering beberapa kali. “Jangan menguji kesabaranku.”“Hahaha … Kak Maya, aku cuma ingin memberitahumu kalau dia baik-baik saja. Sungguh.” Nada bicara Luna menyiratkan jika dia bersukacita atas musi
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung