Robby, sementara itu, terlihat semakin tidak berdaya. Bahkan kini dia bersujud sambil memegangi kedua kaki Davin.
“Aku berjanji tidak akan mengulangi lagi, Pak Davin. Demi Tuhan, aku bersumpah. Aku akan melakukan apa saja. Aku mohon jangan memecatku. Tolong jangan…” Robby terus memelas dan memohon.
Davin tetap tidak peduli. Dia berusaha menghindarkan kakinya dari kedua tangan Robby. Robby terus merengek. Davin bertambah muak dibuatnya. Lalu serta-merta ujung sepatu Davin melesat ke wajah Robby.
Jdak!
Robby bergulingan di lantai akibat tendangan keras Davin. Darah keluar dari ujung bibirnya.
“Hina sekali caramu! Otak bebal, congkak! Nggak tahunya cuma bisa merengek-rengek. Cepat pergi dari sini sebelum keamanan yang menyeretmu turun dari lantai enam!” usir Davin, tapi Robby tidak mau bergerak.
Tanpa menunggu Robby berdiri, Davin memerintahkan seorang petugas keam
Salah satu staff turun ke bawah memanggil cleaning service. Hampir semuanya memesan kopi, sama seperti yang Davin pesan.Ketika minuman panas itu jadi, Davin tidak langsung membuka rapat pembahasan tentang perusahaan. Dia mencari tahu lebih dulu apa yang mendasari korupsi itu terjadi. Entah karena kekurangan uang, terpaksa, atau mereka melakukan ini dengan sepenuh hati.Jason mengakui, semua yang terlibat dalam korupsi rata-rata dari kalangan menengah ke atas.“Hampir tidak ada karyawan kelas bawah yang ikut campur dalam korupsi ini. Mereka hanya diintimidasi, diancam apabila nekat menyebarkan informasi ini pada atasan.” Jason membeberkan semuanya.“Telusuri semua. Sasar sampai bersih. Jangan ada satu pun yang tersisa. Sikat semua mereka yang punya hubungan dengan Robby!” perintah Davinkepada mereka.Hari itu juga, semua hal yang berkaitan dengan ketidakberesan Robbydiselesaikan semuanya. Sejumlah instruksi dari
Brak!“Ma-maaf, Non, saya tidak sengaja.”Davin tidak sengaja menabrak seorang yang sangat cantik. Mata biru, bibir tipis, alis tebal, dan tentu, dua lesung pipi yang membuatnya nampak seperti bidadari. Rambut pirang dengan sedikit poni menutup dahi, ahh, dia sungguh sempurna.Lisa adalah bidadari kampus. Namanya terkenal di semua kalangan, tak terkecuali para mahasiswi. Bahkan kampus lain rela pura-pura mengajukan proposal kerja sama demi bisa tahu sosok Lisa.Sampai ada pepatah, bayangannya bahkan lebih cantik dari sepuluh orang wanita.Davin berdegup kencang ketika tahu, perempuan yang baru saja dia tabrak adalah perempuan yang selama ini dia sukai. Meskipun dia pernah pacaran dengan Viona dan Claudia, tetap saja, Lisa adalah cinta pertamanya.“Kamu tuh gimana sih, kalau jalan jangan melamun! Ya masa jalan selebar ini kamu bisa nabrak orang!” kesal Lisa, dia mengambil dua buku tulisnya yang berserakan di lantai.
“Di kampus, aku lah penguasa sebenarnya. Kamu tidak bisa melawanku!”Prima berdiri dengan dagu terangkat, menertawakan Davin yang tidak bisa meluapkan emosinya. Berulang kali Prima memukuli Davin, tapi pemuda tampan itu tidak membalas.Dia tahu, jika dia ganti memukuli Prima di hadapan publik, bisa-bisa namanya tercemar.Prima adalah artis paling dikenal di kampus, sementara dia selalu dianggap sebagai gembel. Membalas perbuatan Prima sekarang sama seperti bunuh diri. Tidak ada seorang pun yang akan mendukungnya.“Masih mau deketin Lisa lagi, hah!? Jawab!” Prima semakin geram, semua mahasiswa hanya memandang, tidak satu pun berusaha menghentikan siksaan ituIbu kantin hanya menggelengkan kepala. Dia tidak bisa berbuat banyak. Jika dia ikut campur urusan ini, bisa-bisa dia dipecat. Hanya ini pekerjaan yang bisa dia lakukan mengingat dia tidak memiliki ijazah SMA dan sejenisnya.Heri dan Jabran ikut memukuli Davin, mere
Pak Januel mempersilakan Davin masuk karena sudah ditunggu wakil rektor tiga. Ada dekan fakultasnya juga, wajahnya nampak tidak senang dengan kehadiran Davin. “Sebagai mahasiswa penerima beasiswa kurang mampu, tidak sepatutnya kamu membuat keributan di kampus, apalagi dilihat oleh mahasiswa lain. Hal itu bisa menciderai citra kampus, terutama jurusan kamu. Saya selaku dekan menyesalkan hal ini,” ungkap Pak Januel. “Perbuatanmu harus diberi sanksi. Jika tidak, mahasiswa akan menganggap kalau keributan di kampus merupakan hal biasa.” Davin hanya menunduk. Pasti ada yang melaporkan kejadian ini. Tapi satu hal yang jadi pertanyaan, kenapa hanya dia yang dipanggil... di mana Prima? Ini aneh. Pasti ada unsur orang dalam. Davin tidak gegabah. Dia tidak membantah pernyataan Pak Januel, tidak pula mendebatnya. Davin hanya ingin perkara ini cepat selesai dan segera merebahkan diri di atas kasur. “Saya minta maaf, Pak Warek, Pak Dekan, dan semua
Davin tidak tahu apa-apa. Ini fitnah terkejam yang pernah ia alami dari serangkaian 23 tahun hidupnya. Dituduh menghamili seseorang padahal dia sendiri masih perjaka? Mustahil.“Pria itu ... pria yang duduk di bangku kanan depan. Dia memaksaku melakukan perbuatan tidak senonoh dan tidak mau tanggung jawab begitu tahu aku hamil! Dia biadab! Dia harus dihukum pancung!”Dosen ekonomi mikro menghentikan pembelajaran. Dia melotot ke arah Davin. “Davin! Bisa-bisanya mahasiswa teladan sepertimu melakukan hal tidak senonoh! Kamu sudah mempermalukan nama baik kampus!”“Ta-tapi Bu ... aku tidak tahu apa-apa.”“Persetan! Tidak pernah ada maling mengaku maling. Kamu keterlaluan! Pengakuan korban adalah kesaksian terkuat!”Dosen ekonomi mikro menghampiri Davin, menampar pipinya sangat keras.Plak!Davin menggerutu, dia tidak bisa melawan. Seisi kelas menyorakinya dan mengatainya sebagai pria tak bera
Berita mengenai kehamilan itu mulai tersebar di kalangan mahasiswa. Tidak butuh waktu lama karena hal tersebut terus diperbincangkan. Di kantin, di koridor, di kelas, bahkan di aula dan gedung olahraga, semua berbicara tentang kehamilan Nadia. “Ih, kasihan banget Nadia, dihamili gembel yang tidak tahu tanggung jawab!” “Betul. Mana orangnya polos banget, diajak apa-apa pasti mau. Aku aja iba ngeliat Nadia dibohongi oleh Prima dan golongannya, tapi lebih kasihan lagi melihatnya hamil karena Davin, apalagi bedebah itu nggak mau tanggung jawab.” “Ahh, andai Nadia pacaran sama aku. Pasti dia baik-baik saja.” Lisa samar-samar mendengar perbincangan itu. Mereka menyebut gembel, tidak salah lagi, pasti Davin yang mereka perbincangkan. Lisa tidak langsung percaya dengan berita yang tersebar. Dia pamit ke teman-temannya dan pergi menuju halaman kampus. “Halo, Paman, ini aku Lisa, aku mau minta tolong,” Lisa menelepon pamannya yang ternyata salah satu an
“Jangan mengalihkan topik, cepat jawab pertanyaanku!” “Fitnah menuduh orang tanpa bukti. Kalau kamu bisa buktiin aku pelakunya, lakukan saja. Toh kenyataannya, Davin memang menghamili Nadia dan tidak mau tanggung jawab!” Plak! ”Cepat jawab, kenapa kamu tega menjebak Davin!” “Heyy, kenapa kamu membelanya? Bedebah seperti itu tidak pantas untuk dibela! Biar saja dia dikeluarkan dari kampus agar tidak ada lagi perempuan lain yang jadi korban!” “Kamu jahat!” “Apa katamu?” Prima mulai naik pitam. Dia menarik tangan Lisa dan menyeretnya ke tengah koridor. Kejadian itu disaksikan para mahasiswa dan seorang lelaki merekamnya dengan ponsel. “Jangan melawanku atau kamu rasain akibatnya!” Sementara itu, di koridor menuju ruang rektorat, Davin akan diinterogasi karena fitnah yang baru saja dilempar padanya. Wartawan dan jurnalis kampus berkumpul, menunggu kedatangan Davin. “Saudara Davin, apa benar Anda yang menghamili Nadia? Jika
Hingga akhirnya Nadia menyerah, dia membukakan pintu. Dia tidak bisa berteriak karena kosnya terletak di ujung gang. Percuma juga berteriak, tidak ada yang menolongnya. Kosnya juga terlalu bebas, laki-laki dan perempuan bisa masuk tanpa jam khusus. Supri mengintip dari sisi jendela yang terbuka dan melihat Davin tidak menggunakan pakaian apapun. Dia memaksa Nadia agar membuka pakaian dalamnya. Kebrutalan Davin semakin didramatisir oleh kata-kata busuk Supri. “Jangan berbohong! Aku tidak melakukan semua hal yang kau sebutkan! Jangankan ke kos Nadia, letak kos’annya saja aku tidak tahu,” bela Davin. “Ssstttt... teruskan kesaksianmu,” pinta Pak Labib. “Sudah, Pak, hanya itu yang bisa saya ceritakan. Selebihnya saya tidak tahu karena saya langsung balik agar tidak dicurigai. Takutnya ada penghuni kos sebelah yang bangun.” “Baiklah, kamu boleh pergi. Kesaksianmu lebih dari cukup.” “Pak, kenapa hanya Nadia dan lelaki itu yang dimintai kesaks