“Katakanlah, sayang, film apa yang kamu inginkan?” Davin menoleh, sembari menorehkan seutas senyum lebar.“Mmm, terserah. Asal jangan anime seperti yang biasa kamu tonton, atau film-film perang jadul!”Davin tertawa, begitupula dengan Steve.“Tidak mungkin bioskop semewah ini hanya untuk melihat anime, apalagi cuma adegan Zorro bertarung dengan anak buah Queen, tangan kanan Kaido. Atau sosok Eren yang membasmi para titan.”“Siapa mereka semua? Aku tidak pernah mendengar nama itu.”“Lupakan, kamu tidak mungkin tahu,” lirih Davin, diikuti dengan tawa yang kembali pecah.Kini gantian, Lisa yang mencubitnya karena terus-terusan bercanda di saat yang sedang serius, romantis, dan juga hangat.“Bagaimana kalau The Walk? Aku penasaran rasanya berjalan di atas menara World Trade Center hanya dengan seutas tali.”“Hmm, boleh juga, sepertinya menarik. Sudah lama sekali aku tidak melihat adegan beradrenalin tinggi.”Steve berjalan menuju ruang yang ada di belakang layar, sementara Connor mengecek
World Trade Center terbentuk dari tujuh gedung kompleks yang dibangun di pusat kota. Dua di antaranya merupakan menara pencakar langit yang dinobatkan sebagai bangunan tertinggi di dunia tahun 1973 dan 1974.Davin yang memang menyukai aksi dan adegan menegangkan, sangat menikmati bagaimana cara Philippe berjalan dan berusaha untuk tetap tenang sembari mengatur pernapasan untuk menyeimbangkan tubuhnya.Dan sekarang, Davin dan Lisa –menggunakan kacamata 3D –ikut merasakan bagaimana rasanya berdiri di ketinggian hampir setengah kilometer, berdiskusi dengan malaikat maut perihal jadi atau tidaknya ia mencabut nyawa.73 lantai, bertumpu pada seutas tali dan satu tongkat sebagai penyeimbang. Bayangkan saja bagaimana ngerinya!Jatuh dari lantai tujuh atau delapan saja rasa sakitnya sudah tidak bisa dibayangkan, minimal ada patah tulang atau ya, berbincang dengan malaikat maut.Adrelanin terguncang, badan menjadi kaku, nafas terengah-engah, pikiran sudah kacau dan tidak terkendali. Semua itu
Tidak lama setelah mereka berbincang, Steve dan Connor datang dengan membawa sebuah kotak kecil yang mungkin adalah wadah untuk kacamata 3D khusus para penonton VVIP. “Bagaimana sensasi dua jam hanya untuk melihat persiapan hingga adegan orang berjalan di atas WTC?” Steve tersenyum kepada Davin dan Lisa. “Tanya kekasihku, mungkin dia bisa menceritakan detailnya,” balas Davin, lantas tertawa. Lisa menyadari jika itu adalah nada sindiran. Ia sedari tadi hanya menutup wajahnya dan melihat dari sela-sela jari, takut serta tidak berani melihat adegan ketika Philippe mulai menjajaki seutas tali yang menjadi pijakannya. “Yah, it’s a wonderful film.” Lisa menjawab dengan aksen Britishnya yang cukup unik. “Wonderful apanya? Dari tadi cuma menutup muka pakai tangan. Mananya yang wonderful?” “Ssstt,” tangan Lisa seketika menarik mulut Davin. “kamu tahu sendiri aku penakut dan malah mengajakku menonton film seperti itu!” “Bukannya kamu sendiri yang minta diputar film aksi yang seru? Toh, it
Keesokan harinya, Davin terbangun karena teleponnya berdering. Lisa sudah duduk di sampingnya seraya menyunggingkan senyum. Sarapan pagi terhidang manja di meja makan, makanan dari beberapa daerah, termasuk Ratatouille kesukaan Davin.Lelaki itu makan dengan lahap dan tidak menyangka jika Lisa bisa memasak masakan seenak ini. Davin sempat lupa tentang teleponnya yang berdering hingga Lisa mengingatkannya kembali.“Tadi Melvin meneleponmu, entah mau mengabari apa. Aku sengaja tidak membangunkamu karena kamu tadi malam tidak bisa tidur sampai pukul dua.”Davin menepok jidatnya karena dia memiliki tanggung jawab yang belum terlaksana. “Aduh, kakek bisa marah karena aku lupa satu hal.”Davin menelepon Melvin, minta dijemput di depan Super B.Lisa sendiri berencana pulang karena merasa tidak sehat. Dia mengabari Davin kalau ingin pulang hari ini, Davin pun minta maaf karena tidak bisa menemani Lisa pulang ke Bandung.Selang beberapa lama, Melvin datang menggunakan mobil mewah jeep warna co
Boom.Suasana seperti ada dalam negeri dongeng, berbeda 180 derajat dari keramaian George Square di jantung kota Bogor.Banyak patung-patung dibangun sepanjang jalan menuju Paramecia.Tiga jalan utama yang menjadi pusat perbelanjaan atau seringkali warga Jabodetabek menyebutnya sebagai High Street, menjadi pemanja mata ketika para turis lokal maupun mancanegara bertandang.Jalan Sangkuriang, Andara, dan Panenkata merupakan tiga serangkai menjadi pusat retrailer pasar seluruh kawasan Bogor, lebih-lebih Jabodetabek.Bahkan, jalan Buchanan dikata sebagai “Golden Z” dan menjadi pusat eceran terbesar ketujuh di Asia, mungkin lima puluh besar di seluruh dunia.“Ini adalah kudapan awalnya, Melvin, masih banyak lagi yang akan membuatmu ternganga karena perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan dengan aset terbesar di Asia, bahkan pendirian gerbang dan tamannya saja membutuhkan dana miliaran.”Melvin memacu mobilnya lagi, masuk lebih dalam ke Paramecia.Benar saja, pria itu kembali terbel
Reynald merupakan salah seorang greeter dengan name tag yang bertuliskan Ketua Divisi SDM atau sumber daya manusia.Tuan Besar Juta tadi mengabarinya dan berkata kalau Davin akan datang ke sini jam sebelas nanti, tapi Reynald tetap setia menunggu sampai sore tiba.Memang pegawai telaten!“Ma-maafkan aku … aku harusnya datang ke sini siang tadi, tapi sekretarismu tidak mengingatkanku.” Davin coba membela diri, tapi sadar jika itu murni kelalaiannya. “Sekali lagi aku minta maaf.”“Tidak, Tuan, harusnya saya minta maaf karena tidak bisa menyambut Anda dengan senyuman merekah. Karena saya berdiri seharian di sini, Anda tidak mendapat sambutan selayaknya Tuan Muda mendapat sambutan.”Melvin lebih ternganga, bagaimana bisa seorang kepala divisi dapat membungkuk seperti itu pada sosok Davin.Biasanya seorang bos hanya disambut biasa tanpa ada penjamuan khusus oleh para petinggi perusahaan, tapi kali ini berbeda.“Ma-maafkan aku … aku harusnya datang ke sini siang tadi, tapi sekretarismu tida
“Aku juga berpikir demikian, tapi aku belum bisa mengatakan kalau itu benar-benar kembarannya Lisa.”Saat sedang memikirkan misteri kembarnya Lisa dan Lia, tiba-tiba ponselnya berdering, ternyata dari Rara.“Mmm, aku minta kalian sedikit menjaga jarak karena aku ada telepon penting.”Bukannya sombong, melainkan untuk menutupi aib Rara yang suka memakinya, baik di telepon hingga dunia nyata. Saking sayangnya terhadap para pegawainya di Paramecia, Davin tidak mau mereka bersedih mendengar cacian RaraBenar saja, suara perempuan paruh baya itu menggelegar begitu telepon dibuka.“Hai Pembantu, jangan lancang keluar tanpa izin! Cepat kesini, Lisa sedang dirawat di rumah sakit!”Davin tertunduk lemas, tidak bisa berkata apapun. Ponselnya jatuh ke lantai.Semua orang terkejut. Melvin, Reynald, dan para petinggi Paramecia sangat gopoh melihat Davin yang tiba-tiba saja terduduk lemas, bahkan tersungkur di karpet katun merah khusus untuk menjamu tamu istimewa perusahaan.“Anda kenapa, Tuan? Ken
“Tolong beritahu partnermu jika aku tadi berkunjung kesini. Sampaikan permintaan maafku karena belum sempat menemuinya.”Partner yang dimaksud disini adalah Tyson, CEO Paramecia sekaligus atasan Reynald yang sedang mengisi seminar bisnis internasional di Washington dan akan kembali dua jam kemudian.Untuk sementara, Reynald-lah yang menggantikan posisi Tyson untuk mengatur seluruh urusan perusahaan selama presdir itu sedang menjalani kegiatan di luar negeri.“Justru aku yang ingin meminta maaf mewakili Tyson, Tuan. Kami tidak menduga Anda akan datang secepat ini dan kami pribadi belum melakukan penyambutan terbaik.”“Ahh, tidak apa, Reynald. Aku tadi sempat mengabari Tyson dan dia mengatakan akan kembali ke Jabodetabek kurang dari dua jam.”Davin berdiri, membenarkan posisi hoodie-nya yang mungkin tidak nampak mewah sama sekali di hadapan para petinggi Paramecia yang ternganga keheranan melihat kesederhanaan itu.Kunci dilempar Davin dan seketika ditangkap oleh Melvin dengan reflek ul