Citra
***
Ini adalah hari kedua setelah Lola pergi ke rumah sakit untuk mengobati tangannya, dan sejak saat itu ia benar-benar manja. Ia bahkan tidak mau melakukan pekerjaannya dengan maksimal, dengan alasan takut tangannya berdarah lagi.
“Citra, itu kan mejanya masih berantakan. Gimana sih? Kamu enggak liat? Beresin cepet. Nih aku bantuin…manja banget mentang-mentang lagi hamil!” celetuknya.
Ia lalu menumpuk piring dan gelas di tengah meja, gerakannya sangat kasar sampai-sampai bunyi denting piring dan gelas yang beradu bisa terdengar dari jarak yang agak jauh. Aku yang sedang membereskan meja lain cuma bisa menghela napas.
“Sebentar, kamu enggak liat aku lagi beresin meja ini?”
“Iya tau, dan kamu itu kelamaan kerjanya! Makanya aku tegur! Kamu enggak liat lagi banyak tamu gini?!”
Lagi-lagi aku menghela napas, Lola sangat keterlaluan. Ia bicara dengan nada tinggi,
Citra***“Citra…Citra. Hey!”Kurasakan tepukan halus di pipiku, tetapi rasanya berat untuk membuka mata. Sekarang aku bisa merasakan tubuhku lagi, jari-jari tangan, punggungku yang sedang berbaring di atas ranjang, angin sepoi-sepoi yang mengusap wajah.Tetapi sungguh, berat sekali kedua mataku ini untuk kubuka.“Citra, kamu enggak apa-apa? Citra!”Aku mengenali suara itu, sepertinya itu suara Jalu dan ia sedang berusaha untuk membuatku sadar. Apa mungkin tadi aku jatuh pingsan di café? Aduh, pasti sangat memalukan, juga sangat merepotkan.Perlahan, akhirnya aku mampu membuka mataku dan melihat langit-langit putih di atas kepala. Bukan langit-langit kamarku di mess. Ini di mana?“Citra? Hey, beneran udah bangun? Citra!”“Iya..” suaraku serak, seperti kodok dan rasanya malu karena Jalu mendengar suara aneh itu.Tetapi sepertinya ia baik-ba
Raka***“Terakhir bapak bertemu dengan Wine, saat dia mengandung anaknya. Waktu itu ayahmu…menikah lagi. Bapak enggak tau siapa istrinya yang baru, tapi yang jelas karena pernikahan itu Wine benar-benar sengsara.”“Dia bahkan bersumpah enggak akan biarkan Atra mengenal anak pertamanya, sampai kapanpun.”Ucapan pak Kahar terus terngiang di telingaku, meninggalkan rasa aneh yang tidak kusukai. Rasa bersalah, untuk sesuatu yang sebenarnya bukan salahku. Penyesalan dan rasa tidak enak yang harusnya ayah yang rasakan, bukan aku, bukan mama. Juga bukan Wine dan anaknya.“Kabar terakhir yang bapak dengar, Wine menikah dengan salah satu pimpinan Cemara Group dan saat itu pula bapak diPHK dari sana. Bapak enggak tau ada hubungannya dengan Wine atau tidak, tetapi saat itu hanya kami berdua yang diPHK. Yang jadi saksi pernikahannya dulu.”“Kenapa bapak yang jadi korbannya? Ka
Raka***Apa yang aku khawatirkan ternyata menjadi kenyataan, rapat mendadak bersama para pemegang saham sangat mengerikan. Aku seperti dikuliti hidup-hidup di depan semua orang, tak diberi kesempatan untuk membela diri, dan pikiranku juga benar-benar tumpul saat itu.Semua sendiku melemah, telingaku juga mendadak tuli saat para pemilik saham mulai mencecarku dengan kata-kata kasar. Iya, hal itu sangat wajar mengingat mereka juga dirugikan dengan anjloknya saham perusahaanku.Gara-gara gagal merilis produk baru, perusahaanku kehilangan momen yang bagus untuk mendapatkan keuntungan besar di momen pergantian tahun. Tak tahu siapa yang memainkan trik murahan, hingga akhirnya sahamku juga jadi anjlok habs-habisan.Perusahaanku bahkan sudah dua bulan belum membayar cicilan kredit ke bank dan jika di bulan ketiga aku tetap tak sanggup membayar. Perusahaanku resmi bangkrut dan aku tidak punya pilihan lain selain menyerahkan perusahaanku ke b
RakaAyah terkena serangan jantung ringan, dan syukurlah aku tepat waktu membawanya ke rumah sakit. Jika terlambat barang 5 menit saja, nyawa ayah tidak akan bisa tertolong lagi. Sekarang ayah sedang berada di ruang perawatan intensif.Perasaanku campuraduk, tak tahu apa yang paling kurasakan saat ini.Apakah lega karena nyawa ayah berhasil diselamatkan. Atau merasa menyesal karena buru-buru membawa ayah ke rumah sakit hingga ia lolos dari kematian?Tak bisa kupungkiri, jika aku sangat membenci lelaki itu. Namun sekaligus juga menyayangi dia. Bagaimana pun dia adalah ayahku.Claudia baru datang ke rumah sakit setelah hampir seharian ayah ada di ruang perawatan, wajahnya yang kaku dan tak pernah tersenyum itu membuatku sangat kesal. Istri muda yang tidak berguna sama sekali.“Kenapa baru datang?” tanyaku ketus.Wanita itu melirikku dengan ujung matanya, lalu melengos tanpa menjawab. Ia menenteng tas mahal di t
Citra***Setelah dari rumah sakit, aku dianjurkan untuk bedrest selama beberapa hari. Aku menuruti saran dokter dan tidak bekerja dulu selama beberapa hari. Syukurlah Dadan mengizinkan aku untuk beristirahat terlebih dahulu, dan bahkan ia yang memberikan aku makan 3 kali sehari.Iya, dia yang memberikan aku makanan secara rutin tanpa kuminta. Ia mengantarkan makanan-makananku ke kamar, saat kularang dia bilang aku sedang tak sehat dan jangan sampai kandunganku bermasalah.“ENggak usah sungkan, lagipula cuma mengantarkan nasi ke kamar apa susahnya?” ujarnya tiap kali aku melarangnya untuk mengantarkan makanan.Akhirnya aku pun mengalah, dan membiarkan Dadan membawakan makanan ke kamar. Nanti setelah badanku benar-benar kuat, aku akan bekerja dengan lebih baik lagi.Hanya ada hal yang sangat menggangguku, tentang Jalu.Setelah aku pulang dari rumah sakit, ia sama sekali tak acuh padaku. Aku bahkan tak pernah bertemu dengann
CitraAku cuma bisa membelalakkan mata tak percaya, ternyata pemilik café bukanlah Dadan melainkan Martha. Wanita nyentrik itu tersenyum-senyum melihat reaksi yang kutunjukkan.“Martha, sejak kapan datang?” tanya Dadan, ia meninggalkan meja kasir dan menghampiri kami berdua.“Sudah beberapa hari.”“Lalu kenapa baru datang ke café?”“Aku tau kalian kurang suka kuawasi, makanya aku baru datang sekarang. Bagaimana, kalian enggak mengacau selama aku tak ada, kan?”“Haha, tentu saja enggak. Kami baik-baik saja.”Ada yang aneh dari cara Dadan bicara, seperti tidak nyaman dengan keberadaan Martha. Mungkin ia memang tidak terlalu dekat dengan bosnya, atau mungkin ia juga terlalu nyaman bekerja sendirian tanpa diawasi.Tetapi selama ini cara kerjanya juga memang bagus, dia penanggungjawab yang professional dan bekerja dengan sanga baik. Ia juga menan
RakaPerjalanan jauh untuk mencari istri pertama ayahku terasa melelahkan sekali, berkali-kali lipat menguras tenaga dan emosiku. Bukan karena jaraknya, bukan juga karena perjalanannya, tapi lebih karena beban bathin yang kurasakan.Lelah sekali melihat hidupku kacau begini.Padahal sebelum menikah hidupku biasa-biasa saja, bahkan termasuk sempurna sesuai dengan semua rencana yang kubuat dan satu per satu mimpiku tercapai. Bahkan ayahku pun berniat menjodohkanku dengan Maureen.Sialnya, perempuan itu malah tidak mau menikah denganku dan membuat aku akhirnya malah menikmati Citra.Sialnya lagi, dia malah kuhamili.Kuhamili?Tunggu, mungkin bukan aku yang menghamilinya.Aku tak perlu memikirkan itu.Tapi tetap saja, jika memang benar ia hamil berarti ia akan melahirkan bayi dan jika bayi itu lelaki bisa kugunakan untuk mengklaim harta dari Jarot. Harta itu bisa membuatku mengembalikan perusahaanku seperti sem
RakaAda yang aneh dengan perasaanku, tiba-tiba saja jantungku berdebar dengan kencang dan perutku melilit seperti kram. Padahal tadi keteganganku tak sampai seperti ini saat menuju rumah Wine, tetapi sekarang saat aku menuju kota di mana Citra berada rasanya seperti mau pingsan.Kenapa aku sangat gugup?“Pak, bapak baik-baik aja? Wajah bapak seperti kurang sehat.” Tanya Reza, ia memperhatikanku dari spion.Kuanggukkan kepalaku pelan,“Aku baik-baik saja. Enggak usah khawatir.”“Bapak mau makan dulu?”“Nanti lah, aku enggak lapar sama sekali.” Tolakku.Dalam kondisi seperti ini mana mungkin aku lapar, ini adalah pertama kali aku akan bertemu dengan Citra setelah beberapa bulan tidak bertemu. Seperti apa dia sekarang? Pasti dia makin kucel dan kurus kering. Ia pasti tidak bisa hidup sebaik saat bersamaku.Huh, salah sendiri pakai bertingkah.Kalau
Selama berada di depan Raka, Citra tidak menangis sama sekali, sebab semua tangisnya sudah habis. Malah Raka yang menangis, ia terlihat sangat menyesali semua yang ia rasakan saat ini. “Maafkan aku Citra, maafkan aku. Aku bahkan tak pantas untuk menggendong anak kita.. karena semua kelakuanku di masa lalu.” Citra tak menanggapi hal itu, biarkan saja Raka dengan penyesalannya sendiri. Ini salah satu cara untuk mengikhlaskan semuanya. Lagipula mau minta pertanggungjawaban dalam bentuk apa? Raka saja nyaris tak bisa menghidupi dirinya sendiri. Tak mau berlama-lama, Citra mengajak Angga pergi. Raka yang masih bercucuran air mata meminta untuk menggendong Hana sebentar. “SIlahkan,” sahut Citra. Walau sangsi, ia tetap memberikan Hana untuk digendong. Selama beberapa saat Hana dalam gendongan ayahnya sendiri, ia sangat anteng dan cuma mengoceh kecil sementara Raka makin banjir dalam air mata penyesalan. Tak berselang lama, Maureen datang sambil kesusahan menggunakan kursi rodanya. “Rak
Walaupun baru beberapa bulan saja Citra tinggal bersama bu Susi dan Anwar, tetapi perpisahan yang terjadi antara mereka cukup menyedihkan. Ketiganya menangis dengan haru bercampur sedih, namun mereka sama-sama berjanji supaya bisa tetap saling berkomunikasi walaupun sudah tak bersama.Citra kembali ke kampung halamannya, di mana ayah dan adiknya tinggal. Juga tentu saja Raka.Tetapi dia tak begitu peduli dengan Raka, bukan urusannya lagi sekalipun harus tinggal satu daerah dengan lelaki yang sudah mengacaukan hidupnya yang damai.Memang, saat belum menikah dengan lelaki itu dirinya juga dipusingkan dengan kelakuan Angga, tetapi paling tidak batinnya tak terluka sedalam saat bersama dengan Raka.Sebab karena Raka juga, dirinya mengalami patah hati dan rasa kecewa yang luar biasa karena dibohongi oleh orang yang telah ia percayai. Bahkan Citra juga sudah memikirkan kemungkinan jika dirinya akan mempercayakan hatinya juga pada Jalu.Iya, Jalu.Lelaki itu tipe pendamping yang sempurna, de
POV RakaCitra tak main-main dengan apa yang telah ia katakan dua bulan yang lalu, di rumah sakit, ketika lukanya masih berdarah dan bayi kecil kami masih belum terbuka matanya.Dia benar-benar pergi, meninggalkan semuanya. Masa lalunya, termasuk aku yang ternyata bukan siapa-siapa untuknya, sekalipun ada darahku dalam tubuh gadis mungil dalam pelukannya itu.Ah andai saja dulu aku tahu hidupku bakal sesusah ini, niscaya aku tak akan berkata hal yang buruk tentang anak kami. Paling tidak, aku tidak akan merasakan penyesalan sedalam ini.Aku akui, dahulu diriku memang sangat buta dan mengahalalkan segala cara, aku sangat takut jatuh miskin, apalagi dengan adanya papa dan Maureen yang menjadi tanggunganku.Kuakui saat itu menjadi kesalahan besar yang telah kulakukan, setelah banyak kesalahan lain yang telah kulakukan dan menyakiti hati Citra. Aku berangkat bukan untuk benar-benar menemui Citra, dan buah hati kami.Tetapi untuk memaksanya kembali denganku, dan meminta bagian warisan dar
Raka mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berkacak pinggang sambil memalingkan mukanya ke arah lain. Ke mana pun, asal tak perlu bertatapan dengan Jalu.Ia merasa jika Jalu memiliki semacam kemampuan untuk mengintimidasi orang lain. Entah karena memang dirinya yang terlalu pengecut, Raka tidak terlalu paham akan hal itu.“Mau apa datang ke mari? Mengacaukan semuanya lagi, hah?” desak Jalu.“Terus salahku di mana? Aku cuma mau ketemu anak istriku. Aku cuma mau mengatakan yang sebenarnya saja. salah?!”“Masih berani tanya salahmu di mana? Hmm. Kau lupa dengan semua yang telah kau lakukan pada Citra? Pernikahan kontrak itu, tindakanmu yang semena-mena padanya cuma karena ingin menyenangkan Maureen?”Raka jengah, ternyata Jalu juga tahu sampai sedetail itu.“Tau dari mana kamu? Jangan sok tau!”“Aku bukan sok tau, aku memang sudah tau. Kamu juga tak mengakui darah dagingmu, sampai Citra harus pergi jauh sekali. kalau aku jadi kamu, aku tak akan pernah menampakkan mukaku lagi di depan Citr
Citra berusaha untuk bangkit dari tidurnya, namun ia merasa kepalanya begitu berat dan ditambah lagi luka di perutnya terasa makin nyeri saja.“Duh, perutku sakit banget..” keluhnya sambil memegang perut, dan ia merasa jika perutnya sudah diperban lagi.Terakhir ia ingat jika dirinya sudah melepaskan perban saat berlari, karena perbannya sudah basah oleh darah dan perekatnya lepas. Tapi sekarang benda itu sudah diganti dengan yang baru, demikian juga pakaian yang ia kenakan.“Bu Susi pasti bawa aku ke mari.. aduh ya Tuhan, mau bayar pakai apa?” keluhnya lagi sambil menahan tangis.Tetapi ia tak bisa menangis, sebab dalam pikirannya kini hanya bayinya, bayinya dan bayinya. Urusan bayar rumah sakit, atau rasa nyeri yang tak tertahankan ini, semua masih bisa dipikirkan nanti.Bagaimana dengan bayinya yang masih merah? Di mana dia sekarang? Bersama siapa? Bagaimana jika dia ingin minum susu?“Ya Tuhan, kuatkan aku..”Citra turun dari ranjang, dan melepas infusan yang menempel di tangannya
Citra baru menyelesaikan makannya, dan bayi kecil yang baru saja dia lahirkan masih tidur terlelap tanpa menangis, rewel atau apapun. Setahunya, bayi baru lahir memang tidak terlalu banyak menangis, bahkan cenderung lebih banyak tidur.Maka karena itu dirinya harus memaksimalkan waktu, harus mampu memulihkan diri dalam waktu cepat namun juga harus bisa bekerja.Citra keluar kamar dan menutup pintunya rapat, ia berniat mengantarkan piringnya ke depan sambil bertanya apakah ada yang bisa dia bantu. Bagian belakang rumah sekaligus warung makan ini tidak dipagar, melainkan langsung mengarah ke kebun yang cukup padat tumbuhannya.Sejauh yang Citra lihat, ada beberapa batang pohon jengkol, rambutan dan pohon-pohon besar berbuah lainnya. Di ujung kebun yang cukup jauh terlihat ada jalan setapak kecil yang entah mengarah ke mana.“Agak ngeri juga ya kalau begini? Tapi enggak apa-apa. Siapa juga yang mau datang ke mari?” gumam Citra, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.Di dalam kepalany
Kamar yang diberikan untuk Citra adalah sebuah ruangan yang cukup untuk satu kasur single, ada lemari pakaian dan kipas angin. Satu pintu di bagian depan dan di sebelahnya ada jendela yang lumayan besar, dengan gorden yang bersih. “Syukurlah, tempatnya bersih. Aku bisa menidurkan anakku dulu, sementara aku makan. Aduh, perutku.. “ keluh Citra, sambil memegang bagian bawah perutnya. Ia khawatir jika luka jahitannya berdarah, atau parahnya jahitannya lepas. Tetapi saat ia melihat bagian bawah perutnya, sepertinya baik-baik saja. Semoga memang tak ada masalah apapun. “Permisi kak, ini nasinya dari depan.” Remaja lelaki anak pemilik warung nasi mengantarkan makanan Citra, bahkan sudah ditambah dengan es teh manis dan juga ayam goreng. “Makasih. Eh iya, nama kamu siapa Dek?” “Anwar, kak. Kalau Kakak siapa?” “Citra.” “Oh Kak Citra. Ya udah selamat makan dan istrirahat kak, kalau ada butuh apa-apa tinggal panggil aja aku di depan.” Citra mengangguk dan berterima kasih. Ia benar-benar
Selama hampir setengah jam Citra hanya duduk termangu di depan toserba, ia masih menggendong bayinya dalam posisi yang sama seperti saat pertama ia datang ke tempat ini. Jalanan di depannya masih ramai, beberapa orang yang melintas melihat dia dengan tatapan aneh.Wajar, semua orang juga pasti akan merasa aneh melihat seorang wanita muda dengan bayi yang masih merah. Pakaiannya berantakan dan bahkan mukanya juga masih pucat, hanya saja tidak ada yang cukup peduli untuk bertanya keadaannya, atau bahkan curiga jika dia penculik bayi atau apalah.Tetapi pada kenyataannya memang Citra lebih suka tidak ada yang peduli padanya, ia benar-benar sedang tidak mau bicara dengan siapapun.Citra baru tersadar saat bayinya bersuara, tidak menangis, hanya merengek sedikit lalu kembali tidur.“Ahh, aku harus beli baju buat anakku. Kasihan.. nanti dia mau pake apa?” gumamnya sambil berdiri.Ia membetulkan letak tas yang tersampir di bahunya, memperbaiki
Para perawat dan bruder mengeluarkan semua orang yang ada dalam ruangan rawat Citra, dan membiarkan ibu muda itu berduaan saja dengan bayinya. Seorang perawat sempat memberitahunya bagiamana cara untuk menyusui bayi yang benar, dan Citra sangat bersyukur tentang hal itu.“Sayang, kita pergi dari sini yuk? Di sini udah enggak aman. Mama enggak mau hidup kamu kacau kayak mama. Padahal ini hari pertama kamu di dunia, tapi kamu udah dapat masalah begini. Maafin mama ya?” bisik Citra, ia mendekap bayinya dengan erat.Bayi mungil dalam dekapannya sudah dibalut dengan selimut bayi, ia turun dari ranjang untuk mencari barang-barang pribadinya. Ia terkejut melihat tas yang biasa ia gunakan sudah ada di lemari kecil dekat ranjang.Isinya masih lengkap seperti terakhir dia meninggalkannya, ada HP, dan dompet.“Baguslah, aku bisa pergi sekarang.” Gumamnya sambil menghela napas.Tidak ada pakaian ganti, tidak ada baju untuk si baby. Suda