Raka
Perjalanan jauh untuk mencari istri pertama ayahku terasa melelahkan sekali, berkali-kali lipat menguras tenaga dan emosiku. Bukan karena jaraknya, bukan juga karena perjalanannya, tapi lebih karena beban bathin yang kurasakan.
Lelah sekali melihat hidupku kacau begini.
Padahal sebelum menikah hidupku biasa-biasa saja, bahkan termasuk sempurna sesuai dengan semua rencana yang kubuat dan satu per satu mimpiku tercapai. Bahkan ayahku pun berniat menjodohkanku dengan Maureen.
Sialnya, perempuan itu malah tidak mau menikah denganku dan membuat aku akhirnya malah menikmati Citra.
Sialnya lagi, dia malah kuhamili.
Kuhamili?
Tunggu, mungkin bukan aku yang menghamilinya.
Aku tak perlu memikirkan itu.
Tapi tetap saja, jika memang benar ia hamil berarti ia akan melahirkan bayi dan jika bayi itu lelaki bisa kugunakan untuk mengklaim harta dari Jarot. Harta itu bisa membuatku mengembalikan perusahaanku seperti sem
RakaAda yang aneh dengan perasaanku, tiba-tiba saja jantungku berdebar dengan kencang dan perutku melilit seperti kram. Padahal tadi keteganganku tak sampai seperti ini saat menuju rumah Wine, tetapi sekarang saat aku menuju kota di mana Citra berada rasanya seperti mau pingsan.Kenapa aku sangat gugup?“Pak, bapak baik-baik aja? Wajah bapak seperti kurang sehat.” Tanya Reza, ia memperhatikanku dari spion.Kuanggukkan kepalaku pelan,“Aku baik-baik saja. Enggak usah khawatir.”“Bapak mau makan dulu?”“Nanti lah, aku enggak lapar sama sekali.” Tolakku.Dalam kondisi seperti ini mana mungkin aku lapar, ini adalah pertama kali aku akan bertemu dengan Citra setelah beberapa bulan tidak bertemu. Seperti apa dia sekarang? Pasti dia makin kucel dan kurus kering. Ia pasti tidak bisa hidup sebaik saat bersamaku.Huh, salah sendiri pakai bertingkah.Kalau
RakaAku nyaris tak bisa tidur semalaman, hanya berguling ke kanan dan ke kiri dengan gelisah. Aku tak paham kenapa aku segugup ini hanya untuk bertemu dengan Citra. Padahal dia bukan siapa-siapa, bukan orang yang berharga atau penting untukku. Dia cuma istri kontrakku saja.Dengan hati masygul aku memuka ponel, mengakses Instagram dan melihat postingan Maureen memenuhi beranda. Ia sedang jalan-jalan, menggunakan yacht mewah yang indah dan ada logo perusahaan Jonas di bagian depan kapal pesiar kecil itu.Cih, tentu saja.Dengan siapa lagi gadis miskin itu bisa pergi jika bukan dengan Jonas? Setelah semua kekacauan yang mereka sebabkan, semua penghinaan yang Maureen dapatkan, gadis itu tetap saja kembali ke pelukan Jonas dengan bodohnya. Mereka masih bisa bersenang-senang.Orang-orang gila.Tak tahu kenapa rasanya aku mulai kehilangan rasa sayangku pada Maureen, aku tidak ingin mendengar kabarnya, aku tak rindu bertemu dengannya
CitraKubuka mata, kepalaku sakit dan berputar. Perutku tidak terasa sakit seperti tadi tetapi tetap saja membuatku merasa sangat khawatir. Apa yang terjadi, ya?Lagi-lagi harus pergi ke rumah sakit, diinfus lagi, tranfusi darah lagi. Kondisiku kenapa buruk sekali? Padahal aku tidak kelelahan, aku juga tidak merasa tertekan atau stress sama sekali. Kenapa dengan diriku?Kuelus perutku, sedikit gerakan terasa saat tanganku menyentuh permukaan perutku yang buncit. Sayang, maafkan mama ya? Kamu pasti sangat kelelahan. Maafkan mama yang merasa kuat, padahal kondisi mama ternyata buruk dan harus masuk RS beberapa kali.Bertahan ya sayang? Sebentar lagi kita ketemu.“Citra, kamu sudah ngerasa enakan?”Jalu masuk ke dalam ruangan, membawa tas plastik yang berisi jus dan buah segar. Ia menyentuh dahiku, lalu mengecek infusan untuk melihat apakah lajunya lancar atau tidak. Setelah itu barulah ia menyimpan makanan yang ia baw
CitraPerjalanan dari rumah sakit ke rumah Martha ternyata cukup memakan waktu, tak tahu satu atau dua jam lamanya dan sepanjang perjalanan aku tidak sanggup menahan kantuk. Mungkin juga karena pengaruh obat, sehingga rasa kantukku benar-benar tak mampu ditahan sama sekali.Ketika aku membuka mata, ternyata sudah berada di kota tempat tinggal Martha dan aku ingat tempat ini saat pertama kali pergi ke kota XX. Kenapa aku ingat? Sebab aku melihat pabrik-pabrik besar di sekitar kota, dan dari jalan utama pun aku bisa melihatnya.“Udah bangun?”Suara berat menyapaku, dan aku langsung terlonjak kaget saat menyadari bahwa aku sedang bersandar di bahu Jalu. Jangan-jangan sejak tertidur tadi, aku terus menerus membebani bahu lelaki itu. Jalu pasti sangat pegal, kenapa tidak membangunkan aku, sih?“Aduh, maaf. Tanganmu pasti pegal, kan?”“Apanya? Enggak kok.”“Tapi aku kan berat.”
CitraAku terkesiap bangun saat merasakan hawa dingin di sekujur tubuh, dan saat membuka mata kulihat jendela masih terbuka padahal di luar sudah gelap. Karena merasa tak nyaman, aku segera menutup jendela dan meraih ponsel untuk melihat jam berapa sekarang.“Oh, udah jam delapan malam…” gumamku sambil meletakkan ponsel kembali di dekat bantal.Aku harus mandi, tubuhku terasa sangat lengket dan tak nyaman walaupun tidur dengan AC, tak berkeringat. Mungkin karena badanku yang mulai terasa berat, mudah gerah dan lipatan-lipatan tubuhku pun sering lecet.Aku sempat khawatir, tetapi saat kubaca di internet katanya hal itu sangat wajar bagi ibu-ibu yang menginjak trimester dua.Tak apa, aku menjalaninya dengan bahagia. Yang terpenting anakku bisa tumbuh dengan baik dan sehat.Kamar mandi ada di dalam kamar, aku tak perlu keluar untuk mandi atau sekadar buang air kecil. Tetapi pakaianku bagaimana ya? Tadi Martha bi
RakaPerjalanan sehari semalam menuju ke kota asal membuatku setengah gila, kelelahan yang ditambah dengan ketegangan yang kurasakan, membuat aku nyaris tumbang di tengah jalan. Reza berulang kali bertanya kondisiku, bertanya ini itu yang sebenarnya tak perlu ditanyakan.Aku tak keberatan walaupun agak kesal, setidaknya dia peduli dengan kondisi yang kurasakan saat ini.“Langsung ke rumah sakit, pak?”“Iya.” Sahutku pendek, sambil menatap layar ponsel yang menyala.Lockscreennya kosong, hanya gambar bawaan dari pabrik karena aku menghapus wallpaper yang tadinya kupakai terus menerus. Foto Maureen bersamaku, satu-satunya foto kami berdua yang aku miliki.Aku sangat menyukai foto itu, sampai-sampai kupakai terus menerus sepanjang tahun. Tak pernah merasa bosan, tak pernah merasa harus menggantinya sama sekali apapun yang terjadi. Karena aku benar-benar menyukai gadis itu.Rambut pirangnya yang berki
RakaSetelah penolakan yang kudengar dari papanya Maureen—yang ternyata bukan ayah kandungnya, aku hanya bisa terdiam sambil memandangi gadis itu dari balik kaca. Ia mengenakan baju pasien berwarna biru, kepalanya dibebat dengan perban, ada memar dan lecet di wajahnya yang cantik. Perutnya sekarang rata, seperti sebelumnya.Bayi yang selama ini ia kandung dikeluarkan paksa, karena sudah meninggal dalam kandungan akibat kecelakaan itu.Aku masih bertanya-tanya, seperti apa kecelakaan yang terjadi. Di mana? Sedang apa? Mau ke mana? Semua pertanyaan berkecamuk di dalam kepalaku. Tak ada cemburu, walaupun kecelakaan itu terjadi ketika Maureen tengah bersama dengan Jonas. Lelaki berengsek yang membuatku benci setengah mati dengan hidupku sendiri.Iya, aku benci hidupku sendiri karena dia ada di dunia ini.Karena Jonas membuat aku terlihat menyedihkan di mata orang-orang yang kukenal, di depan mama dan ayah, di depan Maureen. Lihat sa
CitraKutatap pantulan wajahku di cermin, pipiku jadi berisi dan agak bulat. Lalu kumundurkan sedikit tubuhku untuk melihat bagaimana rupa seluruh tubuhku. Perut yang membuncit, kaki yang mulai bengkak, dan kulit bagian bawah perutku juga mulai terasa gatal yang tak tertahankan.“Sebentar lagi kita ketemu, nak.” Bisikku pada si kecil di dalam perut, ia bergerak sedikit.Aku sangat senang merasakan respon si kecil. Bisa kurasakan gerakannya halus di bawah telapak tangan yang kuletakkan di atas perut. Jagoan kecil yang kunanti-nanti, maafkan mama yang tak bisa memberikan keluarga utuh untukmu.Tetapi walaupun begitu, mama berjanji akan memberikan kasih sayang yang melimpah untukmu dan mama pastikan kamu tak akan merasa kesepian di dunia ini. Kita berdua akan bersama-sama terus.“Citra, kamu di dalam?”Terdengar suara Martha di depan pintu, entah kenapa aku merasa sedikit khawatir tiap kali me
Selama berada di depan Raka, Citra tidak menangis sama sekali, sebab semua tangisnya sudah habis. Malah Raka yang menangis, ia terlihat sangat menyesali semua yang ia rasakan saat ini. “Maafkan aku Citra, maafkan aku. Aku bahkan tak pantas untuk menggendong anak kita.. karena semua kelakuanku di masa lalu.” Citra tak menanggapi hal itu, biarkan saja Raka dengan penyesalannya sendiri. Ini salah satu cara untuk mengikhlaskan semuanya. Lagipula mau minta pertanggungjawaban dalam bentuk apa? Raka saja nyaris tak bisa menghidupi dirinya sendiri. Tak mau berlama-lama, Citra mengajak Angga pergi. Raka yang masih bercucuran air mata meminta untuk menggendong Hana sebentar. “SIlahkan,” sahut Citra. Walau sangsi, ia tetap memberikan Hana untuk digendong. Selama beberapa saat Hana dalam gendongan ayahnya sendiri, ia sangat anteng dan cuma mengoceh kecil sementara Raka makin banjir dalam air mata penyesalan. Tak berselang lama, Maureen datang sambil kesusahan menggunakan kursi rodanya. “Rak
Walaupun baru beberapa bulan saja Citra tinggal bersama bu Susi dan Anwar, tetapi perpisahan yang terjadi antara mereka cukup menyedihkan. Ketiganya menangis dengan haru bercampur sedih, namun mereka sama-sama berjanji supaya bisa tetap saling berkomunikasi walaupun sudah tak bersama.Citra kembali ke kampung halamannya, di mana ayah dan adiknya tinggal. Juga tentu saja Raka.Tetapi dia tak begitu peduli dengan Raka, bukan urusannya lagi sekalipun harus tinggal satu daerah dengan lelaki yang sudah mengacaukan hidupnya yang damai.Memang, saat belum menikah dengan lelaki itu dirinya juga dipusingkan dengan kelakuan Angga, tetapi paling tidak batinnya tak terluka sedalam saat bersama dengan Raka.Sebab karena Raka juga, dirinya mengalami patah hati dan rasa kecewa yang luar biasa karena dibohongi oleh orang yang telah ia percayai. Bahkan Citra juga sudah memikirkan kemungkinan jika dirinya akan mempercayakan hatinya juga pada Jalu.Iya, Jalu.Lelaki itu tipe pendamping yang sempurna, de
POV RakaCitra tak main-main dengan apa yang telah ia katakan dua bulan yang lalu, di rumah sakit, ketika lukanya masih berdarah dan bayi kecil kami masih belum terbuka matanya.Dia benar-benar pergi, meninggalkan semuanya. Masa lalunya, termasuk aku yang ternyata bukan siapa-siapa untuknya, sekalipun ada darahku dalam tubuh gadis mungil dalam pelukannya itu.Ah andai saja dulu aku tahu hidupku bakal sesusah ini, niscaya aku tak akan berkata hal yang buruk tentang anak kami. Paling tidak, aku tidak akan merasakan penyesalan sedalam ini.Aku akui, dahulu diriku memang sangat buta dan mengahalalkan segala cara, aku sangat takut jatuh miskin, apalagi dengan adanya papa dan Maureen yang menjadi tanggunganku.Kuakui saat itu menjadi kesalahan besar yang telah kulakukan, setelah banyak kesalahan lain yang telah kulakukan dan menyakiti hati Citra. Aku berangkat bukan untuk benar-benar menemui Citra, dan buah hati kami.Tetapi untuk memaksanya kembali denganku, dan meminta bagian warisan dar
Raka mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berkacak pinggang sambil memalingkan mukanya ke arah lain. Ke mana pun, asal tak perlu bertatapan dengan Jalu.Ia merasa jika Jalu memiliki semacam kemampuan untuk mengintimidasi orang lain. Entah karena memang dirinya yang terlalu pengecut, Raka tidak terlalu paham akan hal itu.“Mau apa datang ke mari? Mengacaukan semuanya lagi, hah?” desak Jalu.“Terus salahku di mana? Aku cuma mau ketemu anak istriku. Aku cuma mau mengatakan yang sebenarnya saja. salah?!”“Masih berani tanya salahmu di mana? Hmm. Kau lupa dengan semua yang telah kau lakukan pada Citra? Pernikahan kontrak itu, tindakanmu yang semena-mena padanya cuma karena ingin menyenangkan Maureen?”Raka jengah, ternyata Jalu juga tahu sampai sedetail itu.“Tau dari mana kamu? Jangan sok tau!”“Aku bukan sok tau, aku memang sudah tau. Kamu juga tak mengakui darah dagingmu, sampai Citra harus pergi jauh sekali. kalau aku jadi kamu, aku tak akan pernah menampakkan mukaku lagi di depan Citr
Citra berusaha untuk bangkit dari tidurnya, namun ia merasa kepalanya begitu berat dan ditambah lagi luka di perutnya terasa makin nyeri saja.“Duh, perutku sakit banget..” keluhnya sambil memegang perut, dan ia merasa jika perutnya sudah diperban lagi.Terakhir ia ingat jika dirinya sudah melepaskan perban saat berlari, karena perbannya sudah basah oleh darah dan perekatnya lepas. Tapi sekarang benda itu sudah diganti dengan yang baru, demikian juga pakaian yang ia kenakan.“Bu Susi pasti bawa aku ke mari.. aduh ya Tuhan, mau bayar pakai apa?” keluhnya lagi sambil menahan tangis.Tetapi ia tak bisa menangis, sebab dalam pikirannya kini hanya bayinya, bayinya dan bayinya. Urusan bayar rumah sakit, atau rasa nyeri yang tak tertahankan ini, semua masih bisa dipikirkan nanti.Bagaimana dengan bayinya yang masih merah? Di mana dia sekarang? Bersama siapa? Bagaimana jika dia ingin minum susu?“Ya Tuhan, kuatkan aku..”Citra turun dari ranjang, dan melepas infusan yang menempel di tangannya
Citra baru menyelesaikan makannya, dan bayi kecil yang baru saja dia lahirkan masih tidur terlelap tanpa menangis, rewel atau apapun. Setahunya, bayi baru lahir memang tidak terlalu banyak menangis, bahkan cenderung lebih banyak tidur.Maka karena itu dirinya harus memaksimalkan waktu, harus mampu memulihkan diri dalam waktu cepat namun juga harus bisa bekerja.Citra keluar kamar dan menutup pintunya rapat, ia berniat mengantarkan piringnya ke depan sambil bertanya apakah ada yang bisa dia bantu. Bagian belakang rumah sekaligus warung makan ini tidak dipagar, melainkan langsung mengarah ke kebun yang cukup padat tumbuhannya.Sejauh yang Citra lihat, ada beberapa batang pohon jengkol, rambutan dan pohon-pohon besar berbuah lainnya. Di ujung kebun yang cukup jauh terlihat ada jalan setapak kecil yang entah mengarah ke mana.“Agak ngeri juga ya kalau begini? Tapi enggak apa-apa. Siapa juga yang mau datang ke mari?” gumam Citra, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.Di dalam kepalany
Kamar yang diberikan untuk Citra adalah sebuah ruangan yang cukup untuk satu kasur single, ada lemari pakaian dan kipas angin. Satu pintu di bagian depan dan di sebelahnya ada jendela yang lumayan besar, dengan gorden yang bersih. “Syukurlah, tempatnya bersih. Aku bisa menidurkan anakku dulu, sementara aku makan. Aduh, perutku.. “ keluh Citra, sambil memegang bagian bawah perutnya. Ia khawatir jika luka jahitannya berdarah, atau parahnya jahitannya lepas. Tetapi saat ia melihat bagian bawah perutnya, sepertinya baik-baik saja. Semoga memang tak ada masalah apapun. “Permisi kak, ini nasinya dari depan.” Remaja lelaki anak pemilik warung nasi mengantarkan makanan Citra, bahkan sudah ditambah dengan es teh manis dan juga ayam goreng. “Makasih. Eh iya, nama kamu siapa Dek?” “Anwar, kak. Kalau Kakak siapa?” “Citra.” “Oh Kak Citra. Ya udah selamat makan dan istrirahat kak, kalau ada butuh apa-apa tinggal panggil aja aku di depan.” Citra mengangguk dan berterima kasih. Ia benar-benar
Selama hampir setengah jam Citra hanya duduk termangu di depan toserba, ia masih menggendong bayinya dalam posisi yang sama seperti saat pertama ia datang ke tempat ini. Jalanan di depannya masih ramai, beberapa orang yang melintas melihat dia dengan tatapan aneh.Wajar, semua orang juga pasti akan merasa aneh melihat seorang wanita muda dengan bayi yang masih merah. Pakaiannya berantakan dan bahkan mukanya juga masih pucat, hanya saja tidak ada yang cukup peduli untuk bertanya keadaannya, atau bahkan curiga jika dia penculik bayi atau apalah.Tetapi pada kenyataannya memang Citra lebih suka tidak ada yang peduli padanya, ia benar-benar sedang tidak mau bicara dengan siapapun.Citra baru tersadar saat bayinya bersuara, tidak menangis, hanya merengek sedikit lalu kembali tidur.“Ahh, aku harus beli baju buat anakku. Kasihan.. nanti dia mau pake apa?” gumamnya sambil berdiri.Ia membetulkan letak tas yang tersampir di bahunya, memperbaiki
Para perawat dan bruder mengeluarkan semua orang yang ada dalam ruangan rawat Citra, dan membiarkan ibu muda itu berduaan saja dengan bayinya. Seorang perawat sempat memberitahunya bagiamana cara untuk menyusui bayi yang benar, dan Citra sangat bersyukur tentang hal itu.“Sayang, kita pergi dari sini yuk? Di sini udah enggak aman. Mama enggak mau hidup kamu kacau kayak mama. Padahal ini hari pertama kamu di dunia, tapi kamu udah dapat masalah begini. Maafin mama ya?” bisik Citra, ia mendekap bayinya dengan erat.Bayi mungil dalam dekapannya sudah dibalut dengan selimut bayi, ia turun dari ranjang untuk mencari barang-barang pribadinya. Ia terkejut melihat tas yang biasa ia gunakan sudah ada di lemari kecil dekat ranjang.Isinya masih lengkap seperti terakhir dia meninggalkannya, ada HP, dan dompet.“Baguslah, aku bisa pergi sekarang.” Gumamnya sambil menghela napas.Tidak ada pakaian ganti, tidak ada baju untuk si baby. Suda