Sementara itu, jauh dari tempat Nadina berada, tepatnya pada salah satu tempat makan lokal, Ali bertemu dengan Rayyan. Rayyan segera bangkit dari tempat duduknya saat mendapati Ali telah melangkahkan kakinya ke arah meja yang ia duduki. “Assalamualaikum, Abi!” pekik Rayyan sembari menyalami dan mencium tangan keriput Ali. “Waalaikumussalam,” sahut Ali. Keduanya lanjut duduk. Tak ada pembuka yang begitu berarti, Rayyan segera menjelaskan apa yang tadi terjadi di pondok. Mulai dari tabrakan itu hingga surat yang berisi kalimat ancaman. “Apakah Nadina memang sudah menerima banyak paket ancaman, Abi?” tanya Rayyan. “Tidak, Nak Rayyan. Ini kedua kalinya. Tapi jujur saja Abi cemas dengan menantu abi itu. Kami tak memiliki seseorang pun untuk diperkirakan, tak ada bukti untuk membawa kami pada petunjuk apapun,” sahut Ali. “Abi, jujur saja Rayyan mencurigai Regina. Mantan kekasih Rayyan yang terang-terangan menyampaikan kebenciannya pada Nadina. Rayyan bahkan telah pergi menemuinya. Ra
Beralih dari Rayyan dan Ali, di sebuah rumah yang cukup besar, tampak seorang anak kecil tengah berlari memasuki rumah sembari terus memanggil sang ibu. “Bunda!!” pekik bocah itu yang tak lain dan tak bukan ialah Azif. Bocah itu segera saja berlari ke arah sebuah kamar yang diduga kuat adalah kamar sang ibu. Tanpa permisi, ia langsung membuka dan menghamburkan dirinya ke dalam ruangan. Seorang wanita berpakaian hitam tengah berdiri memandang jendela segera mendapat pelukan dari Azif. Pelukan yang sangat erat. Seolah bocah itu hendak mengeluarkan segala cerita tentang harinya kepada sang wanita. “Bunda sudah bilang berapa kali pada Azif?! Jangan lupa mengetuk pintu lebih dahulu! Kenapa mematuhi hak sesederhana itu Azif tidak bisa?! Bunda tidak suka ya jika Azif melanggar dan main masuk kamar bunda!” sergah wanita itu kini berbalik dan mencekal kedua lengan tangan Azif. Bocah yang awalnya memasang senyuman lebar itu kini berubah datar. Rautnya tampak sedikit ketakutan melihat sang
“Haisshh! Anak itu! Tidak tahu diuntung! Bisanya hanya merengek! Memang seharusnya dia mati saat insiden tujuh tahun lalu!” sergah sang wanita yang rupanya mendengar keluhan sang putra dari balik celah pintu kamar. Wanita itu kembali ke kamar lalu duduk di meja kerjanya. Ia menatap sebuah ponsel dengan tatapan ketus. Ada rasa amarah dan dendam yang terasa membuncah dan lama dipendam. “Dengar Nadina, tujuh tahun aku membiarkanmu menang atas segalanya. Dan sekarang, tak akan kubiarkan hidupmu tenang! Kau sendiri sekarang. Tak akan ada yang bisa membantumu dan membelamu. Apapun akan kulakukan. Kau harus membayar semua rasa malu dan sakit hatiku!” sergah wanita itu. Wanita itu memang berhijab, bahkan hijabnya panjang sempurna menutup aurat yang memang semestinya ia tutupi. Tetapi siapa sangka jika hatinya begitu penuh amarah. Kemampuannya dalam mengontrol emosi sangat rendah bahkan saat ia di hadapkan pada seorang anak kecil. “Sayang sekali, sebelum aku bisa menunjukkan kembali diriku
Hari berganti pagi, entah bagaimana caranya, Rayyan telah ada di serambi masjid bersama Ali dan tengah berbincang bersama saat Nadina keluar dari dalem dan bersiap untuk kelas bahasanya di salah satu jam mengajar pondok. “Rayyan? Abi? Sejak kapan dia ada di sana? Apa aku telah benar-benar terlalu baik padanya hingga memberikan harapan yang semestinya tak aku bagi padanya?” gumam Nadina. Hari itu hari libur sekolah, karenanyalah Rayyan bisa dengan leluasa datang tanpa sibuk dengan jam mengajarnya. Sementara itu, Nadina yang sedang mengajar di kelas sedikit tak fokus karena memikirkan mengenai Rayyan juga sosok yang ia lihat pada panggilan telepon Azfi tempo hari. “Ya Allah, kenapa aku jadi tidak tenang dan terus-terusan was-was seperti ini, ya?” batin Nadina. Meskipun begitu, tanggung jawab Nadina untuk menyelesaikan kelasnya tetaplah nomor satu. Satu jam berlalu dan ia pun memutuskan untuk keluar dari kelas. Saat keluar berjalan pada koridor, ia melihat melati tengah berjalan be
Mobil Nadina berhenti di sebuah pemakaman umum pinggir kota. Keduanya segera turun dari mobil dan sejenak menarik napas sebelum melangkahkan kakinya untuk memasuki kawasan penuh nisan bernama itu. “Mbak Nadina masih hafal posisinya? Apalagi ini sudah tujuh tahun sejak kematiannya. Pasti sudah banyak makam-makam baru, ‘kan?” tanya Melati saat keduanya mulai mengawasi tanah yang akan mereka pijak. “Aku dan Mas Nadhif masih sering kemari setidaknya dua bulan sekali. Tetapi setelah kematiannya, aku tak terlalu sering datang kemari. Terakhir kali aku kemari satu tahun yang lalu. Jadi kuharap perubahannya tak akan begitu kentara,” ujar Nadina. “Ahh, iya ‘kah? Wah, tetapi kenapa Mbak Nadina dan almarhum Gus Nadhif masih sering datang kemari? Maksud Melati, ya Melati tahu kalian orang baik, tetapi lokasi ini juga cukup jauh dari pondok ‘kan? Perlu kurang lebih empat puluh menit untuk kemari. Kenapa repot-repot?” tanya Melati panjang. Nadina diam sebentar, langkahnya pun berhenti. Ia meman
“Mungkin karena aku sudah lama tidak mengunjunginya, Mel!” sahut Nadina sekenanya. “Masyaallah, Mbak Nadina!” pekik wanita paruh baya itu. Sebut saja Rukmi namanya. “Assalamualaikum, Bu Rukmi!” pekik Nadina segera berjalan menuju wanita yang tampak terkejut dan antusias itu. Melati pun segera mengeluarkan kotak roti yabg memang mereka beli untuk Ibu Rukmi dari dalam mobil lalu menyerahkannya kepada sang penerima. “Ya Allah, Mbak! Kenapa repot-repot! Jenengan—kamu, datang kemari saja sudah membuat saya senang! Tidak perlu repot-repot membawa buah tangan!” pekik Rukmi tak langsung menerima sodoran kotak roti dari Melati. “Mboten—tidak, repot kok, Bu! Saya senang bisa bertemu ibu lagi. Lagi pula ini hanya sedikit, diterima nggih, Bu!” ujar Nadina mengambil alik kotak roti itu dari tangan Melati lalu menyerahkannya ke tangan Rukmi. “Alhamdulillah, terima kasih, Nak!” pekik Rukmi. “Ayo, ayo masuk dulu! Tapi maaf, seperti biasa rumah ibu ya begini kecil dan kumuh!” pekik Rukmi sembari
Mobil Nadina kini berhenti di pelataran pondok. Namun mata Nadina langsung menangkap sebuah mobil yang sedari tadi pagi memang ada di sana. “Pak Rayyan belum pulang juga, Mbak! Sepertinya memang menunggu Mbak Nadina, deh!” pekik Melati. “Bantu aku membuat alasan, Mel! Jujur saja aku tidak ingin bertemu dengannya saat ini. Aku tak siap mesti bersikap seperti apa padanya,” ujar Nadina terdiam dengan sabuk pengaman yang masih menempel. “Kenapa terus dihindari, Mbak? Kalau bukan hari ini, besok mungkin dia akan datang lagi. Semua akan seperti itu, kembali terulang. Kalau saran Melati, jangan dihindari lagi, Mbak. Temui saja beliau,” ujar Melati. “Begitu, Mel? Tetapi harus seperti apa aku nanti?” tanya Nadina kini menundukkan kepalanya. “Ehm, biasa saja. Jangan memberikan perlakuan spesial. Namun juga jangan memberikan perlakuan tak baik. Bersikap saja dia tamu yang patut dihormati.” Nadina menarik napas panjang lalu mengangguk ke arah Melati. “Baiklah. Oiya, jangan lupa rotinya, Mel
Nadina mencoba tenang menghadapi apa yang akan Rayyan sampaikan setelah ini. Entah secara terang-terangan ataupun secara implisit, Nadina terus memaksa diri untuk menegaskan keputusannya tentang kesendiriannya itu. “Jujur aku bingung harus mengatakannya dari mana dan seperti apa, Nadina. Tetapi aku harap kamu akan bisa dengan mudah memahami maksudku ini,” ujar Rayyan. “Tidak apa, Rayyan. Sampaikan saja dulu,” ujar Nadina mempersilakan sembari mengangguk kecil. Rayyan menarik napas panjang, ia bahkan sedikit mengatur posisi duduknya dan cara pandangnya kepada Nadina saat itu. “Aku tahu jika ini akan sangat sulit, entah untukmu atau untukku Nadina. Tetapi ada hal yang berada di luar kendaliku. Aku tak bisa mengaturnya sedemikian rupa hingga sesuai mauku atau sesuai situasi yang ada saat ini.” Rayyan menyatukan kedua tangannya yang bersangga pada kursi yang ia duduki itu. “Maaf jika aku lancang untuk mengatakan ini, Nadina. Tetapi aku rasa aku telah menaruh hati padamu, ada rasa lai
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan