Pertemuan dengan sang donatur berjalan lancar, Nadian dan sang donatur dapat mencapai kesepakatan sesuai dengan apa yang mereka berdua setujui. Pertemuan itu tak berlangsung lama, hanya sekitar tiga puluh menit setelah jam janji mereka. Sang donatur pamit pulang lalu Nadina menoleh ke arah Melati. “Sudah putuskan apa saja yang akan kamu bawa ke asrama?” tanya Nadina sambil tersenyum ke arah Melati. “Mbak, ternyata mahal lho di sini! Lagi pula kenapa si donaturnya pilih di sini padahal Cuma pesan minum?” sindir Melati. “Hey, ga boleh gitu! Udah nggak apa-apa. Pilih aja. Kira-kira kalau ini semua buat kamu, kamu bakal pesan apa. Pesan yang kamu suka juga yang akan teman kamu sukai, ya!” ujar Nadina. Melati tampak bengong sebentar lalu menoleh ke arah Nadina dan memeluk kawannya itu erat. “Makasih baaanyakk, Mbak Nadina!! Pasti satu asrama bakal rame banget karena senang makan ini!” pekik Melati. “Sama-sama, gih dipilih! Keburu jam makan siang nanti!” ujar Nadina. Melati kembali
Nadina menghentikan langkahnya. Ia kembali mengingat tentang Rayyan yang mengatakan bahwa Regina bisa melakukan apapun untuk mencapai tujuannya. Bahkan pembicaraannya dengan Regina tadi banyak menyimbolkan sesuatu dari setiap kalimat yang wanita itu tuturkan. “Apa mungkin Regina yang mengirimkannya? Tapi apa mungkin masalah sepeeti ini membuatnya bertindak terlalu jauh?” batin Nadina. Sementara Nadina masih berkutat dengan pikirannya sendiri, Melati yang menyadari ketidakhadiran kawannya itu di sebelahnya segera menoleh ke belakang dan mengerutkan dahi saat menghampiri Nadina. “Mbak? Kok berhenti? Kalau Melati tidak menengok bisa-bisa mbak ketinggalan di sini, lho!” sergah Melati. Nadina masih tak menyahut wanita itu seolah masih dengan pikirannya sendiri sementara Melati mulai melambaikan tangannya di hadapan wajah Nadina. “Mbak?!” pekik Melati seraya menyentak kedua pundak Nadina. Terkejut dengan sentakan yang Melati lakukan, Nadina tampak terjungkat hingga gelagapan merespons
Siang harinya, Nadina berhalangan untuk menjemput Adnan, dan oleh karena Aminah dan Ali yang akhirnya menjemput cucu mereka. Sesampainya di pondok, Adnan tampak segera berlari memasuki dalem seolah berita hebat hendak ia bagikan dengan sang ibu. “Ibu!!” teriak Adnan sementara Aminah hanya bisa terkekeh kecil bersama Ali melihat cucu mereka memiliki semangat yabg tak ada habis-habisnya. Tanpa diketahui, rupanya Nadina tengah menjelaskan sesuatu kepada seorang klien melalui sebuah platform meeting daring. Adnan yang mengetahui itu segera menutup mulutnya rapat dengan mata yang melotot. Nadina hanya melirik ke arah sang putra sembari tersenyum kecil dan mengangguk. “Maaf Ibu, Adnan tidak tahu!” lirih Adnan sembari menyatukan kedua tangannya sebagai kode permintaan maaf kepada sang ibu. Nadina pun mengangguk lalu Adnan berjalan kembali menuju kamarnya. Bocah itu sudah cukup mandiri untuk segera membersihkan dirinya, mengganti pakaian dan merapikan peralatan sekolahnya sepulang dari
“Azif? Unik sekali namanya?” sahut Nadina. “Iya, ‘kan?! Adnan juga kaget namanya bisa keren gitu! Oh iya, boleh tidak kalau kapan-kapan Adnan ajak Azif main ke sini?” tanya Adnan. “Boleh, dong! Tapi kasih tahu ibu dulu, ya! Supaya ibu bisa masakin makanan ya g enak untuk kalian!” pekik Nadina. Hari itu berjalan seperti biasa dengan tenang dan tanpa hambatan. Hingga akhirnya hari berganti. Nadina merasa cemas saat hendak meminta izin untuk keluar terlebih bagaimana ia mesti menjelaskan rencananya kepada Melati. “Jadi kita mau kemana, Mbak?” tanya Melati saat Nadina menjemputnya dari asrama putri. “Kamu ikut aja dulu, ya! Nanti kamu pasti tahu tempatnya dan siapa yang akan kita temui. Tapi, jangan berisik, ya! Anggap aja kita lagi ikut agen rahasia!” Ujar Nadina. Melati semakin merasa aneh, dahinya mengerut, pikirannya mulai membayangkan hal yang tidak-tidak mengenai pertikaian dan tembak menembak seperti yang biasa ada di film mata-mata. “Mbak yakin? Kita nggak bawa senjata? Tap
Regina memuncak, emosinya tak lagi bisa terkendali. Ia menggebrak meja dengan salah satu genggaman tangannya. Tak berhenti di sana, kini Regina menatap nyalang Rayyan sembari menunjuk pemuda itu. “Dengar Rayyan, aku sudah berusaha sebaik mungkin memberimu pilihan. Aku sudah berulang kali mengajukan permohonan maaf agar kita bisa bersama lagi. Tapi sayangnya kamu memilih caraku yang lain!” pekik Regina. “Apa maksudmu? Tak ada cara lain, Regina. Kita sudah selesai!” sergah Rayyan. Melati dan Nadina saling melirik. Keduanya seolah saling mengode untuk fokus pada apa yang akan mereka dengar setelah ini. “Nadina! Dia kan yang selalu kamu khawatirkan? Lihat saja, akan kulakukan sesuatu padanya agar dia tahu siapa aku dan siapa posisinya. Berani-beraninya dia merusak hubunganku denganmu!” bisik Regina. Mata Nadina seketika berhenti beredar, sementara Melati langsung menoleh ke arahnya. “Mbak?” lirih Melati. Nadina segera mengarahkan telapak tangannya pada Melati berharap wanita itu men
Nadina bersama Melati segera mengurus keperluan pemindahan kamar untuk Rayyan. Nadina juga telah menghubungi Aminah dan Ali jika ia berada di rumah sakit dan menjelaskan keadaan mengenai Rayyan. Tak diragukan lagi, Aminah panik dan segera meminta Ali untuk menyusul ke rumah sakit. Usai menyelesaikan keperluan administrasi, Nadina dan Melati masuk ke kamar inap tempat Rayyan berada. “Alhamdulillah masih baik-baik saja. Tapi ini sedikit aneh bukan? Kenapa Pak Rayyan menerima tawaran tanpa memberi tahu dia alergi seafood? Dan...,” “Kekasih macam apa yang tak tahu alergi pasangannya dan malah menyiram ke mukanya?” lengkap Melati. “Entahlah, Melati. Aku pun tak tahu. Aku masih sangat terkejut dengan apa yang terjadi barusan. Syukurlah masih ada kesempatan untuk memperbaiki segalanya. Aku tak tahu apa yang akan terjadi jika sampai terjadi sesuatu padanya.” Nadina pun memutuskan untuk duduk pada sofa yang ada di ruangan itu. Keduanya duduk dan menyandarkan punggung ke sofa. Saat Melati
Suara salam yang baru saja terdengar dengan cepat menginterupsi gerakan Rayyan. Pemuda itu tampak dengan canggung akhirnya memutar tubuh. Saat itulah ia tahu Melati ada di ambang pintu sembari membawa sebuah bungkusan yang bisa dipastikan berisi makanan. “Ehm, waalaikumussalam. Jangan salah paham, saya hanya memberikan selimut kepadanya, saya tahun ia masuk angin karena menunggu saya. Ehm, ada siapa saja semalam di sini?” tanya Rayyan mencoba mengalihkan topik. Melati berjalan masuk sembari sedikit mengangguk. “Ehm, ada Abi Ali dan Umi Aminah. Beliau ada di luar sekarang. Semalam Mbak Nadina ada di sini bersama saya dan Umi. Jadi tenang saja. Kalian tidak ada di sini berdua. Dan.., apa Pak Rayyan sudah baik-baik saja? Tidak pusing atau sesak lagi?” tanya Melati sembari mendongakkan kepalanya sementara tangannya meletakkan bungkusan itu ke meja. “Ah, alhamdulillah saya sudah jauh lebih baik. Ehm, maafkan saya pasti semalam saya sangat merepotkan kalian. Terima kasih untuk bantuanny
Rayyan sedikit mengerutkan dahinya. Ada secercah raut kebingungan yang tergambar saat Ali menuturkan sebuah kalimat dengan nada kembut kepadanya itu. “Menjaga seperti apa, Abi? Rayyan tidak mengerti, Rayyan bahkan tidak melakukan apapun,” ujar Rayyan melirih sembari menatap wajah sayu Ali. Tangan kanan Ali menepuk pundak Rayyan dan seketika memindah pandangan pemuda itu dari wajah Ali ke tangan yang kini mendarat pada bahunya. “Abi ingin berbicara denganmu saat kau telah pulih nanti. Jadi segeralah pulih dan beraktivitas seperti biasanya. Semoga Allah selalu melindungimu, Aamiin.” Ali lagi-lagi tersenyum. Tak menjawab pertanyaan dari sang pemuda di hadapannya itu, Ali kini malah berjalan hendak keluar kamar asrama yang mulai hari itu akan sementara ditinggali Rayyan. Masih dengan lamunan dan seribu rasa tanyanya, Rayyan akhirnya memaksa diri berbaring pada ranjang, matanya memaksa untuk terpejam meski pikirannya benar-benar masih rumit. Sementara itu, Nadina tampak tengah mengge
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan