Seseorang dari kantor polisi datang menemui Zidane yang masih menunggu di depan ruang UGD untuk dimintai keterangan tentang kejadian penembakan yang dilakukan Hari kepada Annisa. Mereka ingin mendengarkan kesaksian Zidane atas kejahatan Hari.
Namun, karena saat itu Zidane tidak mau melewatkan apa pun tentang istrinya yang masih ditangani oleh dokter, dia meminta Rizky mewakili dirinya untuk memberikan kesaksian di kantor polisi karena sekretarisnya itu juga ada di tempat kejadian.
"Aku pergi dulu. Kabari aku segera jika kau membutuhkan bantuanku," ucap Rizky sebelum dia pergi bersama polisi.
Zidane mengangguk mengiakan, dia menepuk bahu Rizky sebagai tanda bahwa saat ini dirinya benar-benar mengandalkan sang sekretaris.
"Terima kasih, sudah mau membantuku," ucap Zidane bersungguh-sungguh.
Rizky terkekeh pelan. Dia merasa ambigu dengan ucapan terima kasih yang terlontar dari mulut atasannya itu. Bukan apa, pasalnya ini pertama kali Zidane mengucapka
Nayla mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, orang yang pertama dia lihat adalah Nayla, sahabatnya. Kedua alis gadis itu mengernyit, bertanya-tanya dalam hati akan keberadaan Zidane saat ini."Alhamdulillah, akhirnya kamu bangun juga, Nisa," ucap Nayla sambil mengembangkan senyum syukur saat mendapati sahabatnya sudah sadar."Hm," gumam Annisa.Dia mencoba untuk bangun, tetapi bahunya masih terasa sakit."Hati-hati, Nisa. Sebaiknya kamu jangan bangun dulu, lukanya jahitan di bahumu masih basah," ujar Nayla.Annisa menghela napas panjang, pasrah akan keadaannnya saat ini."Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Annisa. Dia kembali melihat ke sekeliling untuk memastikan kembali ketidak hadiran Zidane di ruangannya."Kemana Zidane?" tanyanya lagi.Nayla tersenyu tenang sebelum menjawab, "Suamimu baru saja pergi karena ada urusan penting yang harus dia selesaikan.""Tadi aku menghubungimu, tapi Zidane yang menjawab teleponn
BRAKKK!Suara pintu dibuka dengan paksa. Annisa dan Yogi yang sedang berbicara dibuat kaget karenanya. Refleks keduanya menoleh, melihat pelaku yang sangat tidak sopan itu."Maudy?"Kedua alis Annisa menyatu, menatap bingung pada wanita yang baru saja memasuki ruangannya tanpa permisi.Seringai terukir di bibir Maudy, tatapannya begitu sinis melihat Annisa yang sedang duduk di atas ranjang."Apa kau sudah merasa puas sekarang, hah? Gara-gara kamu, sekarang mamaku dipenjara!" bentak Maudy sambil menunjuk ke arah Annisa.Melihat hal itu, Yogi pun langsung beranjak dari tempat duduknya, lalu menepis tangan Maudy dan mendorongnya agar tidak melukai Annisa."Kau ini kenapa, Maudy? Datang-datang langsung bersikap tidak sopan seperti ini!" tegur Yogi.Maudy meliriknya sekilas, nampak sinis."Apa aku tidak salah? Kau baru saja membelanya? Membela orang yang sudah membuat papamu mas
"Aku memang hancur, tapi kau lebih hancur, Annisa!" tegas Maudy.Annisa terbengong sambil mencerna maksud perkataan Maudy yang semakin melantur dan sulit dipahami."Maudy!" bentak Yogi.Dia sudah benar-benar geram dengan sikap Maudy saat ini. Memang benar, tujuannya datang menemui Annisa ialah untuk memastikan sesuatu selain meminta maaf. Namun, menurutnya saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakan informasi yang mereka baru ketahui."Kenapa? Apa sekarang kau mulai luluh lagi dengan wanita ini?" tanya Maudy kepada Yogi bernada sinin.Yogi mendengkus kasar sambil mengusap wajahnya merasa kesal dengan keadaan seperti ini."Sebaiknya katakan saja apa yang ingin kau katakan. Jangan berbelit-belit!" tegas Annisa yang mulai kesal melihat tingkah Maudy dan Yogi yang sedari tadi meributkan sesuatu yang dia sendiri tidak tahu apa masalahnya."Aku beri waktu lima menit. Selesai tidak selesai, silakan kalian keluar dari sini!" tegasnya lag
Zidane terkejut saat mendapati ruang rawat yang ditempati Annisa dalam keadaan kosong. Ranjangnya sudah tertata rapi seperti tidak ada lagi yang menempati. Dia segera keluar, lalu bertanya kepada suster yang kebetulan melintas di depan Zidane."Maaf, Sus, istri saya ke mana, ya? Kenapa dia tidak ada di ruangannya?" tanya Zidane.Kedua alis perawat itu mengernyit dalam, mencoba mencerna maksud pertanyaan Zidane baru saja. Namun, otaknya langsung terhubung saat pria itu menunjuk ke arah kamar yang beberapa saat lalu sudah mereka bereskan."Oh, pasien yang menempati kamar ini sudah pulang, Mas," jawabnya."Pulang?" ulang Zidane yang langsung dibalas anggukkan oleh perawat itu."Kenapa pulang? Bukankah keadaannya belum stabil?" tanya Zidane menyelidik."Maaf, Mas, saya tidak tahu hal ini. Mungkin sebaiknya Mas tanyakan saja kepada dokter yang bersangkutan," ujar perawat itu.Zidane menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Terima ka
Saat tengah malam, Annisa terbangun karena tenggorokannya terasa kering. Gadis itu meringis saat hendak bangun karena bahunya masih terasa sakit. Dia menoleh ke samping, melihat Zidane sedang terlelap.Perlahan dan hati-hati Annisa bangun dan hendak turun dari ranjang. Namun, niatnya tertahan karena pergerakannya telah membangunkan pria yang tertidur di sebelahnya."Mau ke mana?" tanya Zidane dengan suara parau."Aku mau ambil minum," jawab Annisa sambil berniat untuk pergi."Biar aku saja. Tunggulah di sini sebentar," ucap Zidane.Annisa terpaku menatap punggung lebar suaminya menjauh dan menghilang di balik pintu. Tak butuh waktu lama, Zidane sudah kembali dengan membawa segelas air putih, secangkir cokelat hangat dan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya."Aku hanya ingin munum. Kenapa kau membawa semua ini?" tanya Annisa sambil menatap nampan yang dibawa Zidane."Tadi kau balum sempat makan 'kan? Makanlah, aku sudah menghangat
Suara dering ponsel Zidane di pagi hari membuat pria itu merasa terusik. Dia berusaha menggapai benda pipih yang dia simpan di atas nakas dengan mata yang masih terpejam karena masih mengantuk.Zidane mengejapkan mata, menyesuaikan dengan silau cahaya dari layar ponselnya. Sambil menguap, dia menggeser icon berwarna hijau untuk menjawab panggilan yang ternyata dari Jenny."Ada apa menghubungiku sepagi ini?" tanya Zidane kepada Zenny yang meneleponnya.Meski enggan, dia terpaksa bangun dan turun dari tempat tidur. Berjalan menuju ke arah balkon agar suaranya tidak sampai mengganggu Annisa yang masih terlelap. Namun ternyata, istrinya itu sudah bangun, hanya saja dia berpura-pura masih tertidur.Annisa meremas selimutnya, menahan napas selama beberapa detik lalu mengembuskan secara perlahan melalui mulut untuk menetralisir rasa sesak di dadanya.Tak lama kemudian, Zidane kembali ke kamarnya. Dia sedikit terkejut melihat Annisa yang sudah bangun, teta
"Kamu mau apa ke sini?" tanya Annisa.Kedua alisnya mengernyit, menatap Zidane yang merangkak naik ke atas kasur, lalu berbaring di sampingnya tanpa merasa sungkan."Mau tidur lagi," jawabnya tak acuh.Annisa semakin terheran dengan sikap suaminya. "Bukannya seharusnya kamu ke kantor sekarang?""Urusan kantor sementara diatasi oleh Rizky. Aku cuti selama istriku masih sakit," jawab Zidane."Kenapa begitu?" tanya Annisa semakin bingung. "Aku tidak memintamu menemaniku. Aku bisa menjaga diriku sendiri," sambungnya lagi.Jujur saja, Annisa senang Zidane menunjukkan perhatian kepadanya. Namun, bila mengingat video kemarin, hatinya kembali merasa kecewa. Hal itu membuat moodnya seketika menjadi semakin buruk."Pergilah! Kau tidak perlu mencemaskanku. Aku akan baik-baik saja di sini," ujar Annisa datar.Zidane tersenyum tipis, tak menggubris perkataan istrinya. Dengan tanpa merasa bersalah sedikit pun, pria itu malah membalikkan tubu
Annisa menghapus air matanya. Dia meraih ponsel miliknya yang tergeletak di atas nakas saat benda pipih itu berdering cukup lama. Annisa pikir, Zidane yang meneleponnya untuk meminta maaf, tetapi dugaannya salah."Asalammualaikum, Nisa." Suara cempreng itu menyapa dari seberang telepon."Waalaikumsalam," jawab Annisa dengan suara serak karena habis menangis."Suara kamu kenapa, Nisa? Kamu habis nangis?" tanya Nayla bernada cemas."Sekarang aku ada di depan rumahmu. Tolong bukakan pintunya."Annisa beranjak dari tempat tidurnya dengan hati-hati berjalan menuruni anak tangga untuk membukakan pintu depan setelah sambungan teleponnya dia matikan secara sepihak."Ya ampun, Nisa ... kenapa wajah kamu sembab seperti ini?" Nayla langsung mengomentari wajah sahabatnya yang sembab akibat menangis.Dia hendak mendekat, bermaksud memeluk Annisa, tetapi gadis berhijab itu segera menghindar kerena takut mengenai lukanya. Al