Zidane tersenyum meremehkan saat dua orang pria berbaju hitam itu maju untuk menangkapnya. Tubuhnya masih memiliki cukup kekuatan untuk melawan bahkan mengalahkan keenam penjahat itu.
Dengan gerakan yang lihai dan terlatih, Zidane bisa menangkis pukulan dan tendangan dari orang-orang berbaju hitam yang menyerangnya. Dalam waktu yang tidak lama, satu per satu dari mereka dapat Zidane kalahkan dengan mudah.
Hanya tinggal melawan satu orang lagi yang kekuatannya seimbang dengannya. Zidane hampir mengalahkan orang itu, tetapi tidak jadi saat tiba-tiba saja dia mendengar suara Annisa dari balik sambungan telepon milik pimpinan penjahat.
"Lepaskan! Tolong pergi dari sini, jangan ganggu aku. Pergi! Pergi kalian semua!"
Suara itu terdengar jelas di pendengaran Zidane. Suara Annisa yang meminta seseorang yang mengganggunya untuk pergi.
Rahang Zidane mengeras hingga mengeluarkan suara gemeletup dari sela-sela giginya. Dia menghantamkan tinjuan terakhirnya ya
Pria paruh baya itu tertawa saat melihat raut wajah Zidane yang memerah karena sangat emosi tetapi tidak bisa melakukan apa pun. Dia berjalan menjauh dari Zidane sambil kembali menghubungi seseorang melalui ponselnya. Begitu sambungan telepon itu terhubung, dia langsung menekan tombol pengeras suara."Arrrgh!" pekik suara wanita yang sangat familiar di telinga Zidane dari balik telepon bersamaan dengan suara pukulan."To-tolong lepaskan aku. Ja-jangan lakukan ini kepadaku," ujar Annisa dengan suara ketakutan.Mendengar hal itu, membuat Zidane semakin merasa cemas dan geram karena mereka telah berani menyakiti wanita yang dicintainya."Kau dengar itu 'kan?" tanya Hari. Bibir tua itu tak henti mengembangkan senyum, tetapi sorot matanya menandakan ancaman."Serahkan semua bukti-bukti yang kau miliki jika kau ingin istrimu selamat! Saat ini, anak buahku sudah mengikatnya di atas gedung, maju satu langkah saja akan membuatnya terjatuh," ujar Hari penuh
Dua pria bertubuh kekar memakai pakaian serba hitam datang sambil menyeret Annisa yang terus meronta meminta untuk dibebaskan. Mata gadis itu di tutup dengan kain berwarna hitam sehingga dia tidak tahu akan dibawa ke mana lagi.Setelah Zidane menurunkannya di jalan, Annisa berusaha mencari pertolongan. Awalnya dia menghubungi Nayla, meminta gadis itu untuk datang menjemputnya. Sayang, sahabatnya itu sedang tidak berada di rumahnya. Jadi, Nayla tidak bisa menjemput Annisa.Saat ingin menghentikan taksi, tiba-tiba saja sebuah mobil berhenti tepat di depannya, lalu orang yang ada di dalam mobil itu langsung menyeret paksa bahkan membekamnya dengan sapu tangan yang sudah dibubuhi bius."Annisa!" panggil Zidane.Gadis yang saat ini sedang ketakutan dan berusaha untuk menyelamatkan dirinya dari para penjahat itu langsung mendongak ke arah sumber suara.Meskipun matanya tertutup kain hitam, tetapi indra pendengarannya masih berfungsi dengan normal. Dia bi
"Aarrrgh ...." Zidane meringis merasakan perih dan sakit saat Annisa mencoba mengobati luka lebam di wajahnya.Melihat hal itu membuat Annisa pun ikut-ikutan meringis seolah merasakan sakit yang dirasakan oleh Zidane."Apa sebaiknya kalian diobati di rumah sakit saja? Lihatlah! Wajah kalian sudah tidak berbentuk lagi," ucap Annisa dengan ekpresi yang nampak seperti sedang mengejek."Hei ... apa mengejek adalah bentuk perhatianmu kepada kami?" Rizky langsung menyahuti perkataan Annisa. Dia merasa tersinggung saat mendengar sahabatnya itu mengejeknya.Bibir pria tampan itu memberenggut kesal dibarengi dengan matanya yang mendelik kesal. Tangannya masih sibuk mengompres wajahnya yang penuh luka memar.Saat ini, Rizky sedang berada di rumah Zidane karena Annisa yang membawanya. Anak buah Hari menghajar mereka habis-habisan setelah berhasil mendapatkan barang yang mereka inginkan, hingga tubuh mereka terkapar tak berdaya.Bersyukur mereka tidak s
Sebuah tatapan tajam terpancar begitu dalam dan sinis saat gadis berhijab itu berpapasan dengan dua wanita yang sedari dulu ingin menghancurkan kehidupannya. Langkah mereka terhenti sejenak, saling berhadap-hadapan dan saling memandang dengan sorot yang sulit diartikan.Hari ini, hari yang telah ditentukan oleh Hari dan Sarah untuk memilih CEO baru sekaligus mengesahkan pemindahan perusahaan dari atas nama Reza menjadi atas nama Sarah."Lihat, siapa ini yang datang?" tanya Maudy kepada Sarah. Wanita bertubuh seksi itu tersenyum sinis sambil menatap Annisa dengan sorot mengejek. "Bukankah kau sudah dipecat dari kantor ini? Masih punya muka, menginjakkan kaki di sini?" tanyanya kepada Annisa.Annisa mengalihkan pandangan ke samping sambil tersenyum simpul, lalu kembali menatap wajah Maudy."Apa kau lupa? Aku adalah putri dari pemilik asli perusahaan ini," jawab Annisa angkuh.Tak lama kemudian, Zidane datang bersama Rizky yang juga ingin menghadiri m
Selesai berpidato, Sarah melanjutkan acara peilihan CEO baru yang akan dilakukan oleh para dewan direksi. Sekretarisnya langsung membagikan selembaran kertas untuk memvoting kepada semua yang hadir di meeting itu.Sejenak, keheningan tercipta saat mereka mulai memikirkan siapa orang yang pantas untuk dijadikan CEO di antara Zidane dan Hari. Sekilas mereka melihat wajah dua pria berbeda usia calon CEO itu secara bergantian untuk menegaskan keputusannya tidak akan salah memilih.Annisa melirik Zidane yang nampak tenang dengan iris mata tegasnya menatap ke arah depan, lebih tepatnya menatap Hari. Dia segera mengalihkan pandangan, melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya."Kenapa mereka masih belum datang juga?" gumam Annisa. Tersirat kecemasan di raut wajah cantiknya.Zidane menggenggam tangan sang istri yang napak sedang cemas. Dia tersenyum tipis sambil mengangguk pelan seolah menegaskan bahwa semuanya akan baik-baik saja.Sekretaris Sara
Para dewan direksi yang mendengar perkataan Annisa baru saja langsung merasa terkejut akan berita pemalsuan tersebut. Suasana di dalam ruang meeting menjadi ramai dengan desas desus antar anggota yang hadir di sana, mulai mengintimidasi sosok Sarah yang saat ini menjadi tersangka kejahatan."Memang benar, semua orang tahu bahwa saya adalah pengacara kepercayaan pak Reza. Sebelum beliau meninggal, beliau sempat memberikan dokumen berisi surat wasiat yang sudah ditandatangani kepada saya. Namun, tiba-tiba pak Reza menghubungi saya kembali dan meminta saya untuk memberikan dokumen itu kepada Pak Andre, jelas Antonio."Tapi kenapa bisa seperti itu?" tanya pria paruh baya berbadan gemuk yang tak lain ialah sala satu dewan direksi.Sebelum menjawab, Antonio melihat ke arah Annisa dan Zidane yang langsung mengangguk pelan menyetujui apa yang akan dia bicarakan selanjutnya. Pandangan pria paruh baya itu beralih ke arah Sarah yang tampak mulai cemas karena sebentar lagi
Suara tembakan menggema di seluruh ruang meeting hingga memekakkan pendengaran. Semua yang ada di sana refleks menutup telinganya masing-masing. Zidane terkejut saat melihat peluru berasal dari pistol yang Hari tembakkan itu melesat dengan cepat hingga mengenai bahu Annisa."Tazkia ...."Annisa merasakan nyeri yang teramat sangat begitu peluru itu mengenai tubuhnya. Tangan kirinya refleks memegang bagian yang terluka, menutupi cairan hangat dan kental berwarna merah yang mulai membanjiri pakaian yang dikenakannya.Dalam hitungan detik, tubuh gadis itu terkulai lemas dan hilang kesadaran. Dengan gerakan sigap dan cepat, Zidane langsung menahan tubuh istrinya agar tidak terjatuh ke lantai.Sementara itu, Rizky langsung mengamankan Hari yang baru saja membuat kekacauan hingga menyebabkan Annisa terluka. Dia bersama polisi langsung menggiring pria paruh baya itu untuk segera dibawa ke kantor polisi."Sayang, plis, tolong bertahanlah," ujar Zidane denga
Seseorang dari kantor polisi datang menemui Zidane yang masih menunggu di depan ruang UGD untuk dimintai keterangan tentang kejadian penembakan yang dilakukan Hari kepada Annisa. Mereka ingin mendengarkan kesaksian Zidane atas kejahatan Hari.Namun, karena saat itu Zidane tidak mau melewatkan apa pun tentang istrinya yang masih ditangani oleh dokter, dia meminta Rizky mewakili dirinya untuk memberikan kesaksian di kantor polisi karena sekretarisnya itu juga ada di tempat kejadian."Aku pergi dulu. Kabari aku segera jika kau membutuhkan bantuanku," ucap Rizky sebelum dia pergi bersama polisi.Zidane mengangguk mengiakan, dia menepuk bahu Rizky sebagai tanda bahwa saat ini dirinya benar-benar mengandalkan sang sekretaris."Terima kasih, sudah mau membantuku," ucap Zidane bersungguh-sungguh.Rizky terkekeh pelan. Dia merasa ambigu dengan ucapan terima kasih yang terlontar dari mulut atasannya itu. Bukan apa, pasalnya ini pertama kali Zidane mengucapka
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu
Keesokan harinya Tiara bisa bermalas-malasan di rumah karena memang sedang weekend. Tadinya ia akan pergi berkencan dengan Rizky, tapi nyatanya kekasihnya itu harus bekerja lembur sehingga rencana mereka gagal. "Ra, kamu sudah bangun belum?" panggil Rubi sambil mengetuk pintu kamar putri sulungnya. Tiara yang sudah bangun sedari tadi dan hanya main smartphone di atas kasur pun menyahuti mamanya dengan malas. "Aku udah bangun kok, Ma. Cuma lagi males aja keluar kamar. Lagian sekarang juga libur."Rubi yang berada di depan pintu kamar Tiara hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia paham betul putrinya itu memang suka sekali bermalas-malasan saat libur kerja. Namun, mulai saat ini ia harus segera mengubah pola hidup anaknya itu. "Sekarang kamu keluar dulu, Ra. Masa perempuan yang sudah mau dilamar orang kerjanya malas-malasan. Coba belajar untuk tetap mandi pagi dan turun dari kasur setelah bangun walaupun sedang libur," suruh Rubi. Tak berapa lama, Tiara muncul membuka pintu
Setelah berbincang dengan Zidane di kafe tadi, Rizky sedikit mempertimbangkan saran dari atasannya itu. Namun, ia masih merasa jika saat ini belum waktunya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara. Hatinya masih meragu karena takut kekasihnya itu akan pergi jika ia menceritakan soal rencana perjodohannya. Waktu sekarang menunjukkan tepat pukul lima sore dan Rizky bersiap-siap untuk pulang. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya tiba-tiba saja Tiara muncul di hadapannya sambil tersenyum manis. Wajah Rizky terlihat kusut karena sedari tadi memikirkan masalah perjodohannya. Sebagai kekasih dari Rizky, jelas Tiara bisa sangat peka jika pasangannya itu sedang menyembunyikan masalah. "Biasanya kalau aku muncul kamu langsung peluk aku terus nyengir. Nah ini kok kamu diem aja dan mukanya ditekuk gitu. Kamu ada masalah ya?" tebak Tiara sambil mengerutkan dahi dan menatap Rizky tajam. "Nggak ada kok. Aku cuma lagi capek aja soalnya kerjaan lagi numpuk," dalih Rizky. Tiara tak serta mert
Setelah menghabiskan waktu pagi bersama Annisa dengan sarapan dan berjalan-jalan di taman, Zidane pun berangkat ke kantor. Hatinya baru bisa lega saat istrinya itu sudah tidak marah lagi padanya. Sebenarnya Zidane agak khawatir meninggalkan Annisa sendiri di rumah orang tuanya, tapi Annisa meyakinkannya jika tidak akan ada masalah. Istrinya itu mengatakan jika bisa mengatasi semuanya dengan baik. Ia pun percaya karena memang harus segera berangkat ke kantor sebab pekerjaan sudah menunggu. "Aku berangkat dulu ya," pamit Zidane. "Hati-hati ya, Mas," sahut Annisa sambil mencium punggung tangan kanan suaminya. Zidane pun menaiki mobilnya menuju kantor. Ia harus segera sampai karena memang sudah telat. Untung saja tidak ada panggilan mendadak sehingga ia tak perlu terlalu terburu-buru. Lagi pula sebelumnya ia juga sudah menghubungi Rizky perihal kedatangannya yang terlambat. Baru saja sampai di kantor, Zidane langsung bergegas menuju ruangannya. Kedatangannya disambut oleh beberapa pe