"Apa yang kamu dapatkan?" tanya Zidane kepada Rizky.
Sekretaris berparas tampan itu menyerahkan berkas-berkas yang sudah dia kumpulkan di dalam satu map berwarna cokelat kepada Zidane. Dia mundur satu langkah dengan kepala tertunduk, tidak berani menatap atasannya.
"Pak Antonio memberikan berkas yang isinya tidak sesuai dengan harapan kita," ujar Rizky dengan hati-hati.
Kedua alis Zidane saling bertautan, menatap Rizky dengan sorot penuh tanya.
"Apa maksudmu?"
Nampak jelas terlihat iris tajam itu berendar bagai elang mencengkram mangsa. Saat ini, yang dia inginkan hanyalah kejelasan tentang apa yang telah terjadi sebenarnya.
Ragu tetapi harus, Rizky mulai menceritakan bagaimana pertemuannya dengan sang pengacara, yaitu Antonio. Dia pun tidak mengerti mengapa tiba-tiba saja pria paruh baya itu berubah pikiran.
Semua yang Antonio katakan sebelumnya melalui sambungan telepon, tiba-tiba saja berbeda dengan isi dokumen yang pria paruh baya
"Ini adalah bukti bahwa sebelum suami saya meninggal, beliau telah menitipkan perusahaan ini kepada saya," ucap Sarah penuh percaya diri. Ruangan itu kembali riuh dengan suara bisik-bisik para dewan direksi yang berdebat antara yang pro dan kontra. Namun, meskipun begitu, mereka tidak bisa melakukan protes karena bukti yang arah miliki sangat jelas dan menurut mereka sah. "Karena saat ini saya pemilik saham terbesar di sini, demi kebaikan perusahaan saya ingin mengganti kandidat penting yang mengelola Buana grup dengan yang baru. Saya akan merekomendasikan sahabat almarhum suami saya yaitu Pak Hari, sebagai calon CEO Buana Grup. Lusa kita akan meeting lagi untuk menentukan siapa yang berhak menjabat sebagai CEO di antara Pak Hari dengan Zidane," ujar Sarah. Wanita paruh baya itu tersenyum, lantas melirik ke arah Zidane yang nampak diam menyimak tanpa mencoba untuk menyangkal. Sarah pikir, Zidane sudah pasrah menerima kekalahannya saat ini. Tanpa dia s
Zidane menyunggingkan senyum manis sembari menatap teduh wajah sang istri. Pertanyaan yang terlontar baru saja, menandakan sebuah keputusasaan."Kita punya Tuhan, Sayang, dan kamu punya aku. Aku yakin Allah tidak akan membiarkan orang yang zalim berkuasa," ucap Zidane."Ayo makan dulu, nanti makanannya keburu dingin," ucap Zidane lagi sambil memperlihatkan senyum manisnya.Annisa membalas tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya pelan. Mereka mulai memakan makan siang yang sudah diantar pelayan beberapa menit yang lalu. Tak ada yang berbicara, hanya terdengar suara denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring.Beberapa saat setelah mereka selesai makan, ponsel Zidane bergetar. Dia mengambil benda pipih itu dari saku jas yang dikenakannya. Keningnya berkerut menatap layar ponsel yang menyala, entah apa yang sedang Zidane lihat hingga membuat Annisa terheran melihatnya."Ada apa? Kenapa ekspresi wajahmu seperti itu?" tanya Annisa.Zidane
Kening Annisa mengerut, menatap heran bercampur geram kepada wanita yang tiba-tiba menghampiri Zidane, memeluk dan mencium pipi suaminya itu tanpa tahu malu bahwa saat ini mereka sedang berada di tempat umum. Baru saja mood-nya sedikit membaik, tiba-tiba dihancurkan kembali dengan pemandangan yang tidak mengenakkan. Terlebih, saat melihat suaminya itu nampak menikmati perlakuan wanita tak dikenal itu. "Kay, kebetulan sekali kita bertemu di sini. Aku kangen sama kamu," ucap Jenny sambil tersenyum sumbringah dan bergelayut manja di lengan Zidane. Annisa terbengong, menatap dua orang di hadapannya dengan terheran bercampur penasaran. 'Ada hubungan apa di antara Zidane dengan wanita itu?' pikir Annisa. "Kamu sedang apa di sini?" tanya Jenny. Zidane melepaskan tangan mantan kekasihnya itu dari lengannya, lalu menarik pinggang Annisa hingga merapat dengannya. "Aku sedang mengantar istriku berbelanja," jawab Zidane. Dia menoleh ke ara
"Apa kau sudah gila? Kau benar-benar akan meninggalkanku di sini?" geram Annisa sambil menatap tajam ke arah Zidane yang nampak tenang seperti tak memiliki dosa. Pria beralis tebal itu menatap lurus ke arah depan, sepersekian detik kemudian, bibirnya melengkung membentuk sebuah senyum kagum. Dia menoleh ke arah sang istri, lalu memberi kode agar gadis itu melihat ke arah yang ditunjuk olehnya. Kening Annisa mengerut, tak mengerti dengan apa yang sedang dilakukan oleh suaminya itu. Namun, Zidane tak menyerah, dia terus mengkode agar Annisa melihat apa yang sedang dia lihat sekarang. Mata gadis itu membulat, berpendar rasa takjub akan keindahan yang sedang dia lihat. Pemandangan langit sore hari yang menampakkan warna kemerah-merahan. Sangat cantik dan menyejukkan mata. "Woaaaah ... ini sangat indah," gumam Annisa tanpa mengalihkan pandangannya. "Tempat ini sering aku datangi di saat aku sedang ingin sendirian," ucap Zidane. Pria tampan
Zidane menjentikkan jarinya di kening Annisa hingga membuat adis itu meringis kesakitan dan langsung mengusap-usap jidatnya."Tentu saja bukan," ucap Zidane sambil terkekeh pelan dan singkat. "Cerita itu aku dengar dari seorang teman yang sampai sekarang masih menunggu gadis kecil itu," sambungnya lagi.Annisa mengangguk pelan, "Apa sekarang temanmu sudah bertemu dengan gadis itu?" tanyanya."Hm, sudah." Zidane mengangguk mengiakan."Apa sekarang mereka bersama?" tanya Annisa lagi."Ya, sekarang mereka sudah menikah-" Zidane sengaja menjeda perkataannya untuk menghela napas. "Sayangnya, gadis itu tidak mengenalinya," sambung Zidane.Dia menoleh, menatap Annisa dengan mata berkaca-kaca, kemudian tersenyum getir secara singkat.Kedua alis Annisa saling bertautan, merasa bingung akan apa yang baru saja suaminya itu katakan."Tapi kau bilang mereka sudah menikah? Bagaimana mungkin itu bisa terjadi kalau si wanita tidak mengenali te
"Aaakh!" pekik Annisa saat kepalanya hampir membentur bagian depan mobil, tetapi dia segera menahan dengan tangannya."Sial!" umpat Zidane.Dia berusaha menyeimbangkan laju mobilnya agar tidak oleng menabrak pembatas jalan."Kau baik-baik saja?" tanya Zidane. " Apa kau terluka?" tanyanya lagi."Aku tidak apa-apa," jawab Annisa dengan suara bergetar. "Ada apa ini, Zidane? Kenapa mobil itu menabrak mobil kita?" tanya Annisa sambil mengintip dari kaca spion yang ada di samping.Zidane tak langsung menjawab, dia fokus mengemudi sambil berusaha menghindari mobil hitam di belakangnya yang terus membuntuti dan berusaha untuk menabraknya lagi."Kencangkan sabuk pengamanmu, Kia!" titah Zidane.Meskipun gadis itu masih merasa bingung dengan apa yang sedang terjadi saat ini, tetapi dia tak segan menuruti perintah suaminya.Zidane menginjak pedal gas dan memutar setir mobilnya hingga melesat kencang membelah jalanan raya, menyalip mobil-mo
Zidane tersenyum meremehkan saat dua orang pria berbaju hitam itu maju untuk menangkapnya. Tubuhnya masih memiliki cukup kekuatan untuk melawan bahkan mengalahkan keenam penjahat itu.Dengan gerakan yang lihai dan terlatih, Zidane bisa menangkis pukulan dan tendangan dari orang-orang berbaju hitam yang menyerangnya. Dalam waktu yang tidak lama, satu per satu dari mereka dapat Zidane kalahkan dengan mudah.Hanya tinggal melawan satu orang lagi yang kekuatannya seimbang dengannya. Zidane hampir mengalahkan orang itu, tetapi tidak jadi saat tiba-tiba saja dia mendengar suara Annisa dari balik sambungan telepon milik pimpinan penjahat."Lepaskan! Tolong pergi dari sini, jangan ganggu aku. Pergi! Pergi kalian semua!"Suara itu terdengar jelas di pendengaran Zidane. Suara Annisa yang meminta seseorang yang mengganggunya untuk pergi.Rahang Zidane mengeras hingga mengeluarkan suara gemeletup dari sela-sela giginya. Dia menghantamkan tinjuan terakhirnya ya
Pria paruh baya itu tertawa saat melihat raut wajah Zidane yang memerah karena sangat emosi tetapi tidak bisa melakukan apa pun. Dia berjalan menjauh dari Zidane sambil kembali menghubungi seseorang melalui ponselnya. Begitu sambungan telepon itu terhubung, dia langsung menekan tombol pengeras suara."Arrrgh!" pekik suara wanita yang sangat familiar di telinga Zidane dari balik telepon bersamaan dengan suara pukulan."To-tolong lepaskan aku. Ja-jangan lakukan ini kepadaku," ujar Annisa dengan suara ketakutan.Mendengar hal itu, membuat Zidane semakin merasa cemas dan geram karena mereka telah berani menyakiti wanita yang dicintainya."Kau dengar itu 'kan?" tanya Hari. Bibir tua itu tak henti mengembangkan senyum, tetapi sorot matanya menandakan ancaman."Serahkan semua bukti-bukti yang kau miliki jika kau ingin istrimu selamat! Saat ini, anak buahku sudah mengikatnya di atas gedung, maju satu langkah saja akan membuatnya terjatuh," ujar Hari penuh