Zidane menghela napas, dia tahu istrinya sedang emosi oleh karena itu dia tetap tenang menghadapinya agar tidak menciptakan sebuah kesalahpahaman.
"Sayang, tenang."
"Bagaimana aku bisa tenang kalau aku tahu penyebab meninggalnya Papa? Kamu tidak akan mengerti karena kamu tidak ada dalam posisi seperti aku sekarang," ujar Annisa, geram.
Tatapan matanya masih menyiratkan kebencian. Annisa memalingkan wajah ke arah lain, lalu berjalan menjauhi Zidane dan duduk di tepi samping ranjang.
"Mungkin aku tidak mengerti perasaan kamu sekarang, tapi Papa Reza sudah aku anggap seperti papaku sendiri. Bagaimana mungkin aku akan diam saja membiarkan semua ini terjadi? Membiarkan pelaku berkeliaran bebas begitu saja?"
Seketika itu Annisa terdiam, amarahnya sedikit mereda. Dia menghela napas panjang, tertunduk sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
Zidane duduk di samping Annisa, mengusap lembut bahu gadis itu penuh rasa sayang.
"Kita pa
Dering alarm berbunyi nyaring memenuhi seluruh ruang kamar, membangunkan Annisa dari lelapnya tidur semalam. Dia mengejapkan mata, mengumpulkan puing-puing seluruh kesadarannya.Annisa beranjak bangun lantas segera mematikan alarm yang berbunyi tepat pukul lima pagi. Gadis itu menoleh kepada suaminya yang masih terlelap dalam mimpi.Lamat manik berwarna cokelat itu menatap wajah sang suami yang nampak sangat tampan walau sedang tertidur. Tanpa sadar, bibirnya mengembang membentuk senyum tipis. Wajahnya pun mendadak merona kala otaknya mengingat kejadian semalam.Refleks, Annisa menyentuh bibirnya sendiri yang sudah tidak perawan lagi karena telah disentuh oleh suaminya. Annisa segera memalingkan wajah, menarik napas untuk mengendalikan jantungnya yang berdenyut tidak karuan."Kenapa pagi-pagi begini kamu melamun, Sayang?"Suara itu menyadarkan Annisa dari lamunannya. Dia refleks berbalik untuk melihat ke arah sumber suara. Namun, dia hanya berani m
Selepas selesai mengucapkan kalimat salam disertai memutar kepala ke arah kiri, Annisa langsung merangkak mendekati Zidane yang duduk tepat di depannya. Dia mengulurkan tangan kanan, lalu menempelkan bibirnya pada punggung telapak tangan suaminya itu.Zidane tersenyum tipis saat kembali merasakan sentuhan bibir sang istri di tangannya setiap kali selepas salat berjamaah. Tangan kirinya yang bebas langsung terangkat mengusap lembut puncak kepala yang masih berbalut dengan kain mukena, lalu mendaratkan sebuah kecupan hangat di sana."Aku selalu berdoa agar hubungan kita langgeng sampai maut memisahkan," ucap Zidane bersungguh-sungguh.Annisa terpaku tanpa berucap sepatah kata pun. Pandangannya cukup lama menatap manik suaminya yang nampak begitu teduh setiap kali sedang menatapnya.Tiba-tiba saja sebuah rasa bersalah berselimut di dalam dada saat tersadar dirinya belum melakukan tugasnya sebagai seorang istri. Dia merasa sangat bersalah karena belum bisa me
Annisa merenggangkan tubuhnya dari dekapan Zidane. Menatap seraut wajah tampan itu dengan manik yang berbinar teduh. Detik berikutnya dia menghela napas panjang."Aku tidak tahu harus berkata apa kepadamu, Zidane," ucapnya lirih."Kau begitu tulus, tetapi aku masih belum bisa membalasnya. Kau bahkan tahu selama ini aku hanya memanfaatkanmu," ucapnya lagi.Zidane tersenyum sambil menatap manik cantik sang istri, lalu mengusap puncak kepala gadisnya yang masih mengenakan kain mukena."Aku tidak merasa sedang dimanfaatkan," jawab Zidane lembut. "Aku justru malah menikmatinya," sambungnya lagi.Pandangan suami istri itu beradu cukup lama, seolah sedang menyelami kedalaman isi dalam hati masing-masing."Apa kamu tidak akan melepaskan kain mukenamu?" tanya Zidane memecah keheningan."Ah, ya." Annisa tersadar dari lamunannya. Dia memundur, sedikit menjauh dari Zidane sambil mengalihkan pandangannya.Pria beralis tebal itu hanya tersen
Bola mata Annisa membulat sempurna, kedua tangannya mengepal erat sambil menatap tajam wajah Maudy yang terlihat santai setelah baru saja mengatakan hal yang sangat tidak mungkin."Jangan bercanda denganku, Maudy! Sekarang juga, aku mau kamu ke luar dari sini!" ujar Annisa sambil menunjuk ke arah pintu, mengusir Maudy dari ruangannya.Lagi-lagi wanita itu tersenyum mengejek, tak mengindakhan perkataan Annisa yang sudah nampak sangat geram kepadanya."Bukan aku yang ke luar, tapi kau!" sahut Maudy sambil mendorong Annisa hingga gadis itu terhuyung hampir terjatuh ke lantai."Semua yang dikatakan oleh Maudy itu benar, Annisa. Ruangan ini sekarang akan ditempati olehnya."Annisa menoleh ke arah sumber suara yang begitu sangat familiar. Rahangnya menerasa dengan tatapan tajam menatap wajah Sarah yang baru saja memasuki ruangan."Apa maksud kalian? Kenapa aku harus pergi dari ruanganku sendiri? Atas dasar apa Maudy tiba-tiba menggantikanku di sin
Suara derap langkah tergesa pergi meninggalkan kantor tanpa memedulikan tatapan heran dan juga bisik-bisik para karyawan yang melihat bahkan menyapanya.Awalnya, gadis berhijab itu berjalan menuju ke arah parkiran. Namun, begitu dia menyadari bahwa kunci mobilnya ada pada suaminya, Annisa pun memutar arah untuk mencari taksi.Di dalam taksi yang ditumpanginya, Annisa nampak melamun, raut wajahnya terlihat frustrasi memikirkan nasibnya yang sudah diberhentikan dari perusahaan ayahnya sendiri."Selamat siang, Nona Annisa." Sapaan itu terucap dari karyawan kafe buku saat melihat kedatangan Annisa.Gadis itu menghentikan langkahnya, memperlihatkan senyum tipis sebagai balasan sapaan tersebut."Sudah lama Nona Annisa tidak berkunjung ke kafe. Bagaimana kabar Nona?" tanya Arya, karyawan kafe buku."Alhamdulillah, baik, seperti yang kamu lihat," jawab Annisa sambil tersenyum tipis."Syukurlah kalau begitu, Nona," ucap Arya canggung. "Saya me
"Kau sudah datang?" tanya Annisa."Hm."Zidane menarik kursi yang ada di depan meja Annisa lalu meletakkannya di samping gadis itu lalu mendudukinya. Dokumen yang tadi dibawanya, dia simpan di atas meja."Kamu baik-baik saja?" tanya Zidane."Hm. Aku baik-baik saja," jawab Annisa.Meski begitu, gadis itu nampak terlihat tidak bersemangat. Zidane bisa memahami apa yang dirasakan oleh istrinya.Lamat, Zidane menatap wajah sang istri cukup lama tanpa berucap sepatah kata pun. Dia bingung akan memulai pembicaraan dari mana."Kenapa kamu malah ke sini? Seharusnya kamu sedang di kantor sekarang," tanya Annisa.Dia meraih cangkir berisi air cokelat miliknya yang sudah tinggal setengah, lalu menyesapnya perlhan-lahan."Aku tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaan karena mencemaskanmu, Kia," jawab Zidane"Aku tidak menyangka mereka akan melakukan semua ini," sambungnya lagi.Zidane menghela napas panjang, menyenderka
Rizky menepikan mobilnya di depan halaman kafe buku. Sebelum memasuki kafe tersebut, dia menghela napas panjang sambil membenarkan dasi yang dikenakannya. Menatap plang nama kafe selama beberapa detik.Sekretaris Zidane itu berjalan menghampiri pelayan untuk menanyakan keberadaan Zidane dan Annisa."Permisi, saya mau bertemu dengan Pak Zidane dan istrinya," ucap Rizky langsung pada inti pembicaraan."Oh, ya. Mari saya antar," jawab Arya sopan.Arya berjalan terlebih dulu, memandu Rizky untuk bertemu dengan Zidane di ruang kerjanya.Pasangan suami istri yang sedang berbincang itu menghentikan pembicaraannya saat mendengar suara ketukan pintu. Mereka secara bersamaan menoleh ke arah luar melihat seseorang yang datang."Pak Zidane, ada tamu yang mau bertemu Pak Zidane dan Nona Annisa," ucap Arya."Suruh dia masuk!"Arya mengangguk, dia pergi setelah sebelumnya sudah mempersilakan Rizky bertemu dengan atasannya."Aku sudah b
Sepasang netra setajam elang sedang menatap seorang pria paruh baya yang baru saja datang menghampiri di ruang kerjanya. Hening tercipta selama beberapa saat hingga menciptakan ketegangan di dalam ruangan itu."Apa ada yang ingin Anda sampaikan kepada saya?" Suara tegas Zidane memecah keheningan.Pria paruh baya yang sedang duduk di sofa berseberangan dengannya itu menatap Zidane sambil tersenyum tenang."Kau sudah mendengar beritanya, bukan? Saham perusahaan ini 45% adalah milikku dan jika digabungkan dengan saham yang dimiliki Sarah, tentu saja hampir seratus persen akan menjadi milikku," ujar Hari.Pria paruh baya itu sengaja menjeda perkataannya dan tidak berbicara langsung kepada intinya. Dia meraih cangkir berisi minuman miliknya, lalu menyesapnya perlahan dan begitu tenang."Lalu?" tanya Zidane.Hari tersenyum menanggapi sikap lawan bicaranya yang acuh tak acuh."Tentu saja jabatanmu di sini tidak akan bertahan lebih lama. Kau